• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN

2.3 Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi

Pembangunan sarana dan prasarana merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan faktor pendukung daya saing wilayah. Ketersediaan dan aksesibilitas berbagai sarana dan prasarana sosial-ekonomi di Kabupaten Raja Ampat berikut ini, dapat memberikan gambaran pemenuhan kebutuhan dasar penduduk di lokasi kajian.

Sarana Transportasi

Kabupaten Raja Ampat terdiri dari pulau-pulau dengan wilayah laut yang lebih luas dari wilayah daratan, sehingga sarana transportasi laut lebih menonjol bila dibandingkan dengan transportasi darat. Namun demikian, alat transportasi ini masih sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun frekuensi operasionalnya. Di tiap kampung hampir semua rumah tangga memiliki perahu dayung dan sebagian kecil mempunyai fasilitas motor tempel atau katinting. Tidak hanya untuk laki. Kopra biasanya laku terjual seharga Rp4.500,00-Rp6.000,00 per

kilogram. Sarana transportasi yang terbatas menyebabkan kopra yang sudah jadi tidak langsung dijual tetapi dikumpulkan hingga jumlah tertentu. Kopra biasanya dijual ke Kota Sorong, dengan biaya transportasi mencapai Rp50.000,00-Rp100.000,00 untuk satu kali perjalanan.

Desa Yenanas, Amdui, dan Kapatlap juga pernah mendapatkan bantuan berupa bibit coklat dan pohon jati dari dinas pertanian setempat. Kedua jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan subur apabila dirawat dengan baik dan mendatangkan keutungan yang tidak sedikit. Misalnya, dari satu buah pohon coklat bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp1.200.000,00 per tahun. Biasanya petani coklat tidak harus membawa hasil panen ke Kota Sorong untuk dijual, tetapi pengumpul coklat yang akan datang untuk membeli hasil panen dari para petani.

Pinang juga salah satu jenis tanaman perkebunan yang menghasilkan banyak keuntungan bagi penduduk di Yenanas. Adanya kebiasaan memakan pinang bagi orang Papua Barat, menjadi alasan pinang selalu mendatangkan keuntungan bagi para petani. Baik pinang basah maupun pinang kering mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi para petani. Harga pinang basah biasanya sekitar Rp25.000,00- Rp30.000,00, sedangkan harga pinang kering dua kali lipat lebih mahal, yaitu bisa mencapai Rp60.000,00-Rp120.000,00 per kilogram. Kebiasaan memakan pinang bagi penduduk setempat, juga menggerakkan beberapa penduduk untuk membuat kapur (sebagai padanan makan sirih-pinang). Kapur dibuat dari cangkang kerang yang dibakar. Kerjasama suami dan isteri juga terlihat jelas dalam pembuatan kapur. Cangkang kerang biasanya akan dikumpulkan oleh perempuan dari pesisir pantai, kemudian dicuci bersih dan dikeringkan. Sementara, tugas membakar cangkang kerang hingga menjadi bubuk akan dilakukan oleh para laki-laki. Pembuatan kapur dengan memanfaatkan bahan baku di sekitar pantai dan tanpa

membeli tentunya menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Satu bungkus kapur dijual seharga Rp3.000,00 per bungkus. Berdasarkan pengakuan dari pembuat kapur di Desa Yenanas, sekali produksi biasanya menghasilkan kapur sebanyak 50-100 bungkus.

Hutan perbukitan yang terdapat di Pulau Batanta dan Pulau Salawati dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai sumber mata pencaharian mereka. Di dalam kawasan hutan tersebut ditemukan beberapa pohon yang memiliki nilai jual tinggi, seperti pohon kayu besi (Intsia), pohon jati, dan pohon cendana. Hampir di setiap desa penelitian ditemukan penduduk yang menebang pohon di dalam hutan dan kemudian mengolahnya menjadi kayu untuk di jual ke penduduk sekitar atau dikirim ke daerah lain. Sementara itu, hutan sagu juga banyak tersebar di lokasi penelitian. Sagu memiliki nilai subsiten sebagai sumber pati bahan makanan yang diperoleh dari batangnya. Sumber karbohidrat ini merupakan makanan pokok bagi masyarakat Papua yang tinggal di daerah pesisir.

2.3 Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi

Pembangunan sarana dan prasarana merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan faktor pendukung daya saing wilayah. Ketersediaan dan aksesibilitas berbagai sarana dan prasarana sosial-ekonomi di Kabupaten Raja Ampat berikut ini, dapat memberikan gambaran pemenuhan kebutuhan dasar penduduk di lokasi kajian.

Sarana Transportasi

Kabupaten Raja Ampat terdiri dari pulau-pulau dengan wilayah laut yang lebih luas dari wilayah daratan, sehingga sarana transportasi laut lebih menonjol bila dibandingkan dengan transportasi darat. Namun demikian, alat transportasi ini masih sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun frekuensi operasionalnya. Di tiap kampung hampir semua rumah tangga memiliki perahu dayung dan sebagian kecil mempunyai fasilitas motor tempel atau katinting. Tidak hanya untuk laki. Kopra biasanya laku terjual seharga Rp4.500,00-Rp6.000,00 per

kilogram. Sarana transportasi yang terbatas menyebabkan kopra yang sudah jadi tidak langsung dijual tetapi dikumpulkan hingga jumlah tertentu. Kopra biasanya dijual ke Kota Sorong, dengan biaya transportasi mencapai Rp50.000,00-Rp100.000,00 untuk satu kali perjalanan.

Desa Yenanas, Amdui, dan Kapatlap juga pernah mendapatkan bantuan berupa bibit coklat dan pohon jati dari dinas pertanian setempat. Kedua jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan subur apabila dirawat dengan baik dan mendatangkan keutungan yang tidak sedikit. Misalnya, dari satu buah pohon coklat bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp1.200.000,00 per tahun. Biasanya petani coklat tidak harus membawa hasil panen ke Kota Sorong untuk dijual, tetapi pengumpul coklat yang akan datang untuk membeli hasil panen dari para petani.

Pinang juga salah satu jenis tanaman perkebunan yang menghasilkan banyak keuntungan bagi penduduk di Yenanas. Adanya kebiasaan memakan pinang bagi orang Papua Barat, menjadi alasan pinang selalu mendatangkan keuntungan bagi para petani. Baik pinang basah maupun pinang kering mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi para petani. Harga pinang basah biasanya sekitar Rp25.000,00- Rp30.000,00, sedangkan harga pinang kering dua kali lipat lebih mahal, yaitu bisa mencapai Rp60.000,00-Rp120.000,00 per kilogram. Kebiasaan memakan pinang bagi penduduk setempat, juga menggerakkan beberapa penduduk untuk membuat kapur (sebagai padanan makan sirih-pinang). Kapur dibuat dari cangkang kerang yang dibakar. Kerjasama suami dan isteri juga terlihat jelas dalam pembuatan kapur. Cangkang kerang biasanya akan dikumpulkan oleh perempuan dari pesisir pantai, kemudian dicuci bersih dan dikeringkan. Sementara, tugas membakar cangkang kerang hingga menjadi bubuk akan dilakukan oleh para laki-laki. Pembuatan kapur dengan memanfaatkan bahan baku di sekitar pantai dan tanpa

kedua desa tersebut biasa menggunakan perahu katinting ukuran 10 PK.

Penduduk di Kecamatan Salawati Utara jauh lebih dimudahkan dengan adanya trasnsportasi rutin menuju Sorong. Penduduk Wamega dan Kapatlap harus menuju ke pelabuhan Samate (ibukota distrik) untuk menggunakan sarana “taksi laut.” Alat transportasi reguler tersebut berangkat ke Sorong setiap hari Rabu dan Sabtu antara pukul 07.00-07.30 WIT dan kembali ke Samate sekitar pukul 14.00-15.00 WIT. Biaya yang harus dikeluarkan penumpang sebesar Rp50.000,00 untuk menuju Sorong. Dengan adanya transportasi regular dari Samate, tidak mengherankan apabila kegiatan perekonomian penduduk di Wamega dan Kapatlat lebih bergantung ke Sorong daripada ke ibukota kabupaten. Sementara, bila menggunakan perahu motor ukuran 40 PK, untuk menuju Sorong dari Wamega maupun Kapatlap dapat ditempuh selama 1-1,5 jam dengan bensin sekitar 20 liter.

Kabupaten Raja Ampat memiliki empat buah pelabuhan laut yang tersebar di Saonek (Distrik Waigeo Selatan), Kabare (Distrik Waigeo Utara), Salafen (Distrik Misool), dan Sakabu (Distrik Samate) (http://regional.coremap.or.id/raja_ampat/profil_kabupaten/ekonomi_ bisnis/perhubungan_laut/). Sementara, sebagian besar pelabuhan yang ada di kabupaten hanya merupakan dermaga sederhana yang terbuat dari kayu (Gambar 2.3.1). Seperti halnya di Desa Kapatlap, kondisi tangga dermaga sudah sangat memprihatinkan. Anak tangga tidak lagi kokoh dan sangat membahayakan keselamatan penumpang terutama bila hari sudah mulai gelap. Sementara, dari empat lokasi penelitian, kondisi dermaga yang masih dalam keadaan baik dibandingkan dermaga di desa lainnya, ditemukan di Desa Yenanas.

menangkap ikan, tetapi perahu tersebut juga digunakan untuk mengangkut penumpang.

Ibukota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, berjarak 36 mil laut (67 km) dari Sorong. Kapal feri menjadi moda transportasi utama masyarakat untuk menuju ibukota kabupaten. Kapal feri cepat biasanya beroperasi setiap hari dengan waktu keberangkatan pukul 14.00 WIT dari Pelabuhan Rakyat, Sorong. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp140.000,00 hingga Rp220.000,00 untuk satu kali perjalanan (Sorong-Waisai atau sebaliknya) dan memakan waktu sekitar dua jam bila kondisi cuaca sedang baik. Sementara, dengan feri lambat dibutuhkan waktu tempuh sekitar empat jam untuk mencapai jarak yang sama. Speedboat menjadi pilihan lain untuk menuju ibukota kabupaten, dengan waktu tempuh yang lebih cepat (1,5 jam). Namun, tentunya penumpang harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal. Keterbatasan transportasi umum antara lain ditemukan di Kecamatan Batanta Selatan. Tidak tersedianya transportasi rutin menyebabkan masyarakat harus menggunakan perahu motor untuk menuju Sorong atau Waisai. Desa Yenanas maupun Desa Amdui memiliki jarak lebih dekat ke Sorong dibandingkan ke ibukota kabupaten. Untuk menuju Sorong dibutuhkan waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam, sedangkan ke Waisai dibutuhkan waktu sekitar empat jam dengan menggunakan motor 40 PK. Harga bensin juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi penduduk setempat untuk menuju Sorong atau Waisai. Dengan perahu motor 40 PK dibutuhkan bensin sebanyak 50 sampai 60 liter untuk pulang pergi dengan harga bensin Rp13.500,00-Rp15.000,00 per liter. Sebagai alternatif untuk menekan biaya transportasi, biasanya penduduk di Yenanas maupun Amdui menumpang perahu motor (bila ingin menjual hasil tangkapan, hasil kebun, atau keperluan lain) yang ingin menuju Sorong atau Waisai dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp50.000,00-Rp100.000,00 sekali jalan. Sementara itu, untuk menuju jarak yang dekat dan melakukan kegiatan sehari-hari, penduduk di

kedua desa tersebut biasa menggunakan perahu katinting ukuran 10 PK.

Penduduk di Kecamatan Salawati Utara jauh lebih dimudahkan dengan adanya trasnsportasi rutin menuju Sorong. Penduduk Wamega dan Kapatlap harus menuju ke pelabuhan Samate (ibukota distrik) untuk menggunakan sarana “taksi laut.” Alat transportasi reguler tersebut berangkat ke Sorong setiap hari Rabu dan Sabtu antara pukul 07.00-07.30 WIT dan kembali ke Samate sekitar pukul 14.00-15.00 WIT. Biaya yang harus dikeluarkan penumpang sebesar Rp50.000,00 untuk menuju Sorong. Dengan adanya transportasi regular dari Samate, tidak mengherankan apabila kegiatan perekonomian penduduk di Wamega dan Kapatlat lebih bergantung ke Sorong daripada ke ibukota kabupaten. Sementara, bila menggunakan perahu motor ukuran 40 PK, untuk menuju Sorong dari Wamega maupun Kapatlap dapat ditempuh selama 1-1,5 jam dengan bensin sekitar 20 liter.

Kabupaten Raja Ampat memiliki empat buah pelabuhan laut yang tersebar di Saonek (Distrik Waigeo Selatan), Kabare (Distrik Waigeo Utara), Salafen (Distrik Misool), dan Sakabu (Distrik Samate) (http://regional.coremap.or.id/raja_ampat/profil_kabupaten/ekonomi_ bisnis/perhubungan_laut/). Sementara, sebagian besar pelabuhan yang ada di kabupaten hanya merupakan dermaga sederhana yang terbuat dari kayu (Gambar 2.3.1). Seperti halnya di Desa Kapatlap, kondisi tangga dermaga sudah sangat memprihatinkan. Anak tangga tidak lagi kokoh dan sangat membahayakan keselamatan penumpang terutama bila hari sudah mulai gelap. Sementara, dari empat lokasi penelitian, kondisi dermaga yang masih dalam keadaan baik dibandingkan dermaga di desa lainnya, ditemukan di Desa Yenanas.

menangkap ikan, tetapi perahu tersebut juga digunakan untuk mengangkut penumpang.

Ibukota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, berjarak 36 mil laut (67 km) dari Sorong. Kapal feri menjadi moda transportasi utama masyarakat untuk menuju ibukota kabupaten. Kapal feri cepat biasanya beroperasi setiap hari dengan waktu keberangkatan pukul 14.00 WIT dari Pelabuhan Rakyat, Sorong. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp140.000,00 hingga Rp220.000,00 untuk satu kali perjalanan (Sorong-Waisai atau sebaliknya) dan memakan waktu sekitar dua jam bila kondisi cuaca sedang baik. Sementara, dengan feri lambat dibutuhkan waktu tempuh sekitar empat jam untuk mencapai jarak yang sama. Speedboat menjadi pilihan lain untuk menuju ibukota kabupaten, dengan waktu tempuh yang lebih cepat (1,5 jam). Namun, tentunya penumpang harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal. Keterbatasan transportasi umum antara lain ditemukan di Kecamatan Batanta Selatan. Tidak tersedianya transportasi rutin menyebabkan masyarakat harus menggunakan perahu motor untuk menuju Sorong atau Waisai. Desa Yenanas maupun Desa Amdui memiliki jarak lebih dekat ke Sorong dibandingkan ke ibukota kabupaten. Untuk menuju Sorong dibutuhkan waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam, sedangkan ke Waisai dibutuhkan waktu sekitar empat jam dengan menggunakan motor 40 PK. Harga bensin juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi penduduk setempat untuk menuju Sorong atau Waisai. Dengan perahu motor 40 PK dibutuhkan bensin sebanyak 50 sampai 60 liter untuk pulang pergi dengan harga bensin Rp13.500,00-Rp15.000,00 per liter. Sebagai alternatif untuk menekan biaya transportasi, biasanya penduduk di Yenanas maupun Amdui menumpang perahu motor (bila ingin menjual hasil tangkapan, hasil kebun, atau keperluan lain) yang ingin menuju Sorong atau Waisai dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp50.000,00-Rp100.000,00 sekali jalan. Sementara itu, untuk menuju jarak yang dekat dan melakukan kegiatan sehari-hari, penduduk di

Gambar 2.3.2 Kondisi Jalan Beton di Desa Kapatlap

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.

Sarana Perikanan

Berdasarkan data tahun 2013 yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan kabupaten keseluruhan mencapai 160 buah. Sementara, kapal pengumpul ikan di perairan Kabupaten Raja Ampat sebanyak 36 buah. Baik kapal penangkap maupun kapal pengumpul ikan mengalami peningkatan jumlah yang signifikian dibanding dengan tahun sebelumnya. Tabel 2.2. menjelaskan banyaknya kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di perairan kabupaten selama periode 2010-2013.

Gambar 2.3.1 Dermaga Kayu di Desa Amdui

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.

Sebagai kabupaten dengan kondisi geografis yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, jalan darat bukan merupakan sarana transportasi utama bagi penduduk di Kabupaten Raja Ampat. Panjang jalan kabupaten sepanjang 243,75 km dan belum semua distrik memiliki jalan kabupaten. Jika dilihat kualitasnya, kondisi jalan di Kabupaten Raja Ampat masih kurang memadai. Hingga tahun 2014, hanya sekitar 13,42 persen jalan berpermukaan aspal dan umumnya jalan tersebut ada di ibukota kabupaten. Di empat lokasi penelitian sarana jalan darat secara keseluruhan terbuat dari beton dan dalam kondisi sedang hingga baik seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.2 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015).

Gambar 2.3.2 Kondisi Jalan Beton di Desa Kapatlap

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.

Sarana Perikanan

Berdasarkan data tahun 2013 yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan kabupaten keseluruhan mencapai 160 buah. Sementara, kapal pengumpul ikan di perairan Kabupaten Raja Ampat sebanyak 36 buah. Baik kapal penangkap maupun kapal pengumpul ikan mengalami peningkatan jumlah yang signifikian dibanding dengan tahun sebelumnya. Tabel 2.2. menjelaskan banyaknya kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di perairan kabupaten selama periode 2010-2013.

Gambar 2.3.1 Dermaga Kayu di Desa Amdui

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.

Sebagai kabupaten dengan kondisi geografis yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, jalan darat bukan merupakan sarana transportasi utama bagi penduduk di Kabupaten Raja Ampat. Panjang jalan kabupaten sepanjang 243,75 km dan belum semua distrik memiliki jalan kabupaten. Jika dilihat kualitasnya, kondisi jalan di Kabupaten Raja Ampat masih kurang memadai. Hingga tahun 2014, hanya sekitar 13,42 persen jalan berpermukaan aspal dan umumnya jalan tersebut ada di ibukota kabupaten. Di empat lokasi penelitian sarana jalan darat secara keseluruhan terbuat dari beton dan dalam kondisi sedang hingga baik seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.2 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015).

menjadi salah satu alasan tidak berjalannya aktivitas pasar. Saat ini, bangunan pasar tersebut hanya digunakan sebagai tempat berkumpul warga bila ada acara desa atau bahkan hanya digunakan oleh anak-anak sebagai tempat bermain (Gambar 2.3.3).

Gambar 2.3.3 Bangunan Pasar di Amdui yang Tidak Dimanfaatkan Seperti Pasar

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Perdagangan skala kecil juga terjadi di toko, kios, maupun warung. Berdasarkan data BPS Kecamatan Salawati Utara (2014) aktivitas perdagangan hanya terjadi di kios atau warung, dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Di Wamega terdapat enam warung, sementara di Kapatlap terdapat 15 buah warung. Biasanya para pedagang membeli dagangan mereka dari Sorong. Sedangkan, di Kecamatan Batanta Selatan, terdapat lima warung kelontong di Yenanas dan empat warung di Amdui (BPS Kecamatan Batanta Selatan, 2014).

Tabel 2.3.1 Jumlah Kapal di Perairan Kabupaten Raja Ampat Periode 2010-2013

Tahun Kapal Penangkap Ikan Kapal Pengumpul Ikan

2010 56 Buah 12 Buah

2011 44 Buah 25 Buah

2012 112 Buah 25 Buah

2013 160 buah 36 buah

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, 2014. Sementara, bila melihat sarana perikanan yang digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian, nelayan umumnya menggunakan perahu motor tempel dengan ukuran mesin 5,5-15 PK. Di empat desa tersebut juga ditemukan nelayan yang masih menggunakan jukung atau perahu papan tanpa motor untuk menangkap ikan. Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten Raja Ampat adalah di pesisir dan daerah teluk. Nelayan lokal pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan sekitar tempat tinggal mereka.

Sarana Ekonomi

Kondisi perdagangan di suatu wilayah tidak dapat terlepas dari peran pasar sebagai sarana ekonomi. Di tempat inilah terjadi arus perputaran uang dan barang, serta transaksi barang dan jasa antara penjual dan pembeli. Sejauh ini Kabupaten Raja Ampat memiliki satu buah pasar (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Desa Amdui dan Yenanas mendapat bantuan bangunan pasar dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Barat. Namun, ternyata sarana ekonomi tersebut terbengkalai akibat kesamaan barang yang dimiliki oleh penduduk setempat. Sebagai contohnya, sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Ikan dan hasil pertanian yang mereka miliki tidak jauh berbeda satu sama lain. Akibatnya, hasil tangkapan dan tanaman hasil panen tidak laku untuk diperjualbelikan. Biasanya, ikan dan sayur-mayur dijual dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah. Jarak Kapatlap yang tidak terlalu jauh dari Sorong juga

menjadi salah satu alasan tidak berjalannya aktivitas pasar. Saat ini, bangunan pasar tersebut hanya digunakan sebagai tempat berkumpul warga bila ada acara desa atau bahkan hanya digunakan oleh anak-anak sebagai tempat bermain (Gambar 2.3.3).

Gambar 2.3.3 Bangunan Pasar di Amdui yang Tidak Dimanfaatkan Seperti Pasar

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Perdagangan skala kecil juga terjadi di toko, kios, maupun warung. Berdasarkan data BPS Kecamatan Salawati Utara (2014) aktivitas perdagangan hanya terjadi di kios atau warung, dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Di Wamega terdapat enam warung, sementara di Kapatlap terdapat 15 buah warung. Biasanya para pedagang membeli dagangan mereka dari Sorong. Sedangkan, di Kecamatan Batanta Selatan, terdapat lima warung kelontong di Yenanas dan empat warung di Amdui (BPS Kecamatan Batanta Selatan, 2014).

Tabel 2.3.1 Jumlah Kapal di Perairan Kabupaten Raja Ampat Periode 2010-2013

Tahun Kapal Penangkap Ikan Kapal Pengumpul Ikan

2010 56 Buah 12 Buah

2011 44 Buah 25 Buah

2012 112 Buah 25 Buah

2013 160 buah 36 buah

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, 2014. Sementara, bila melihat sarana perikanan yang digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian, nelayan umumnya menggunakan perahu motor tempel dengan ukuran mesin 5,5-15 PK. Di empat desa tersebut juga ditemukan nelayan yang masih menggunakan jukung atau perahu papan tanpa motor untuk menangkap ikan. Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten Raja Ampat adalah di pesisir dan daerah teluk. Nelayan lokal pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan sekitar tempat tinggal mereka.

Sarana Ekonomi

Kondisi perdagangan di suatu wilayah tidak dapat terlepas dari peran pasar sebagai sarana ekonomi. Di tempat inilah terjadi arus perputaran uang dan barang, serta transaksi barang dan jasa antara penjual dan pembeli. Sejauh ini Kabupaten Raja Ampat memiliki satu buah pasar (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Desa Amdui dan Yenanas mendapat bantuan bangunan pasar dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Barat. Namun, ternyata sarana ekonomi tersebut terbengkalai akibat kesamaan barang yang dimiliki oleh penduduk setempat. Sebagai contohnya, sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Ikan dan hasil pertanian yang mereka miliki tidak jauh berbeda satu sama lain. Akibatnya, hasil tangkapan dan tanaman hasil panen tidak laku untuk diperjualbelikan. Biasanya, ikan dan sayur-mayur dijual dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah. Jarak Kapatlap yang tidak terlalu jauh dari Sorong juga

Kecamatan Batanta Selatan. Berbagai sarana dan prasarana distrik, seperti kantor distrik, sekolah, dan puskesmas ditempatkan di bagian ujung desa. Menurut informasi yang diperoleh dari aparat Desa Yenanas, sebenarnya akan dibangun dermaga khusus untuk menuju wilayah perkantoran distrik, namun belum terlaksana. Pada waktu penelitian dilakukan, lokasi ini dapat dicapai dengan berjalan kaki cukup jauh dan harus melewati area pemakaman. Akses yang terbatas dan aparat pemerintahan yang tidak tinggal di Yenanas menyebabkan berbagai fasilitas tersebut terbengkalai dan dalam keadaan rusak meskipun belum pernah dimanfaatkan.

Jumlah sekolah di Distrik Salawati Utara sebanyak 11 unit. Di antaranya TK memiliki tiga unit, SD memiliki empat unit, SLTP sebanyak dua unit dan SMU/SMK sebanyak dua unit. Desa Wamega memiliki fasilitas TK dan SD, sementara Desa Kapatlap hanya ada satu buah SD. Sementara, jenjang pendidikan SMP dan SMA dapat ditempuh di ibukota distrik, Samate. Sekolah di Wamega masih memiliki kendala keterbatasan ruang belajar. Selain itu, bangunan sekolah juga dalam kondisi tidak begitu baik (BPS Kecamatan

Dokumen terkait