• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Petani

2.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Usahatani Konservasi

Menurut Sumahadi (1993) Usahatani konservasi pada hakekatnya merupakan pendekatan usahatani terpadu yang menekankan pengembangan kombinasi teknik budidaya/usahatani lahan kering dengan teknik konservasi tanah (vegetatif, sipil teknik dan kimiawi) secara efektif untuk menjamin pemanfaatan lahan, air, vegetasi secara lestari dan menguntungkan. Namun ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi usahatani konservasi baik secara pisik maupun sosial yaitu:

2.2.1. Teknologi Usahatani Konservasi

Menurut Saragih (1993) Pada dasarnya usaha konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan di samping meningkatkan produksi dan pendapatan petani juga melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS-DAS kritis. Namun penyebaran teknologi tersebut masih relatif lambat, yang antara lain disebabkan (1) besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi), (2) kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani, (3) masih lemahnya kemampuan pemahaman petani untuk menerapakan teknologi usahatani konservasi sesuai yang diintroduksikan, (4) keragaman komoditas yang

diusahakan di DAS-DAS kritis, dan (5) terbatasnya sarana/prasarana pendukung penerapan teknologi konservasi.

Hal tersebut mensyaratkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang ada sekarang masih belum memadai, hingga perlu diupayakan penemuan-pnemuan teknologi usahatani konservasi yang lebih sesuai, baik melalui kegiatan: (1) penelitian komponen-komponen teknologi yang dapat mendukung paket teknologi usahatani konservasi, maupun (2) penelitian pengembangan teknologi yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut sesuai dengan kondisi agro-fisik dan sosial ekonomi wilayah setempat. Kegiatan pencarian teknologi usahatani konservasi yang lebih sesuai di atas memang mutlak diperlukan, tetapi umumnya memerlukan waktu yang relatif lama.

2.2.2. Permodalan Usahatani Konservasi

Seperti sudah diketahui secara luas bahwa keterbatasan modal petani merupakan kendala penting pengembangan usahatani konservasi. Untuk mengatasi hal tersebut petani perlu diberikan kredit usahatani konservasi. Menurut Saragih (1993) masalahnya adalah bagaimana mekanisme pengadaan dana kredit dan lembaga keuangan yang bagaimana yang tepat untuk menyalurkan kredit tersebut.

Selanjutnya Saragih (1993) mengatakan bahwa untuk itu perlu dikemukakan ciri-ciri yang melekat pada kredit usahatani konservasi, yaitu: (1) kredit usahatani konservasi diperlukan oleh masyarakat pedesaan yang mengusahakan lahan pertanian marjinal dan berisiko tinggi, (2) kredit usahatani konservasi hanya dapat menjadi kegiatan yang produktif bagi lembaga keuangan, apabila lembaga yang mengelolanya berorientasi pedesaan, mengetahui seluk beluk pedesaan, mengenal perilaku petani dan berkepentingan dalam memajukan derajat hidup petani, (3) kredit usahatani konservasi memerlukan tenaga keuangan yang selalu dapat berhubungan dengan instansi pemerintah baik karena status pemilikkan, hubungan kerja maupun hubungan pembinaan, (4) kredit usahatani konservasi memerlukan lembaga keuangan yang selalu siap melayani petani, dengan kata lain lembaga keuangan tersebut harus mampu menjangkau dan dijangkau petani.

Atas dasar keterangan diatas, maka lembaga-lembaga yang mungkin dapat dikembangkan untuk menjadi lembaga keuangan pedesaan yang menangani kredit usahatani konservasi adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Lembaga Dana dan Keuangan Pedasaan (LDKP) dan Koperasi dimana lembaga tersebut baik karena status kepemilikan maupun motivasi pendirian ditujukan untuk melayani masyarakat miskin di pedesaan.

2.2.3. Lembaga Sosial

Dalam rangka pengelolaan kawasan taman nasional dan daerah aliran sungai kritis sudah sering didengar istilah keterpaduan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pengelolaan kawasan taman nasional dan DAS yang merupakan satu kesatuan kegiatan, dimana di dalamnya terlihat berbagai unsur kelembagaan formal baik instansi pemerintah maupun nonpemerintah. Selanjutnya perlu diingat bahwa kemampuan aparat unsur kelembagaan tersebut (khsusnya pada tingkat daerah) baik dari segi kuantitas maupun kualitas masih sangat terbatas. Oleh karena itu keterpaduan antar lembaga hanya akan efektif apabila tuntunan kuantitas dan kualitas aparat unsur kelembagaan dapat ditingkatkan, baik melalui pendidikan/latihan, pembinaan informal maupun tambahan jumlah aparat.

2.2.4. Organisasi Usahatani Konservasi

Sudah banyak kegiatan pengelolaan DAS terpadu dan bersifat lintas sektoral yang pernah dilaksanakan selama ini. Namun sistem organisasi yang dibuat masih bersifat kegiatan proyek yang ditentukan dari pusat dan struktur organisasinnyapun terbentang dari pusat sampai kedaerah. Masalah klasik yang selalu timbul adalah sistem organisasi yang dibuat melalui kegiatan proyek tersebut ternyata tidak melembaga, khususnya pada tingkat daerah di mana pelembagaan sangat diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan (1) kurangnya keterlibatan instansi didaerah dalam perencanaan proyek, (2) tidak adanya kebebasan pemerintah daerah untuk memodifikasi organisasi proyek pada tingkat daerah hingga sesuai dengan kondisi daerahnya, (3) kurang jelasnya pembagian fungsi dan tanggung jawab antar instansi di daerah dan (4) terbatasnya kuantitas dan kualitas aparat instansi di daerah.

2.2.5. Nilai Sosial Budaya

Nilai sosial budaya adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang, dan salah satu cirinya bahwa nilai itu merupakan unsur penting yang tidak dapat diremehkan oleh masyarakat penganutnya. Nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang karena berdasarkan konsensus masyarakat nilai itu menyangkut kesejahteraan bersama. Nilai itu merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku manusia (Sujarwo, 2004).

Selanjutnya Padmowihardjo (Sujarwo, 2004) mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat, nilai sosial berfungsi: (1) sebagai alat untuk menetapkan harta sosial suatu masyarakat, (2) mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku, (3) sebagai penentu dalam memenuhi peranan sosial manusia, (4) dan sebagai alat solidaritas di kalangan anggota masyarakat. Dimyati (Sujarwo, 2004) menambahkan lagi bahwa pola sikap dan perilaku seseorang anggota masyarakat banyak dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor antara lain adalah lingkungan alam, faktor keturunan, lingkungan sosial, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan.

2.3. Komunikasi

Menurut Laswell (Effendy, 2001) memberikan definisi komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan effek tertentu. Paradigma Laswell menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu S-M-C-R—E (Source, message, channel, receiver dan efec).

Definisi ini menunjukan bahwa yang dijadikan obyek komunikasi bukan saja pempampaian informasi tetapi juga pembentukan pendapat umum dan sikap publik yang sangat memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial. Definisi khusus Havland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses merubah sikap perilaku orang lain.

Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimuli (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Komunikasi juga merupakan

proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka dan lain-lain.

Komunikasi merupakan sebuah proses sosial di masyarakat, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama. Semakin majunya peradaban dalam masyarakat, semakin banyak tantangan yang dihadapi dalam mengkomunikasikan hal-hal baru yang mungkin masuk dalam sistem sosial masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan pola pikir masyarakat tidak akan bermakna jika tidak disebarluaskan dan dikomunuikasikan. Hal-hal baru itu kita kenal sebagai inovasi. Suatu inovasi yang bergerak positif kearah perubahan pada tatanan masyarakat perlu disebarluaskan hingga dapat diserap oleh masyarakat dan dijadikan perilaku. Proses penyebaran dan penyerapan ini disebut difusi.

Menurut Berlo (1960) model SMCR merujuk pada perspektif psikologis dalam peristiwa komuniksi meliputi: sumber (source), pesan (message), saluran (channel ), dan penerima (receiver) Model komunikasi Berlo (1960) berbeda dari model linear lainnya yang menekankan pada proses komunikasi diadik, Berlo lebih menekankan pada peran sumber (source) dan penerima (receiver) sebagai peubah penting dalam proses komunikasi. Model ini melintasi sekat pengkategorisasian bentuk komunikasi yang tidak membataskan diri pada komunikasi massa, namun juga pada komunikasi interpersonal dan bersifat merangsang penelitian