BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
PAPARAN DATA DAN TEMUAN
B. Temuan Penelitian
4. Faktor pendukung dan menghambat dalam penanaman religiusitas anak
Dalam menanamkan sikap religiusitas pada anak, tidak
terlepas dari faktor pendukung dan penghambat dalam memanamkan
religiusitas pada anak. Faktor-faktor tesebut antara lain:
“Kendalanya paling ya anaknya jika disuruh ngaji agak
lama, mesti alasannya capeklah, ngantuklah. Suami yang mendukung. Mengajari anak tentang Islam lebih dalam soalnya dulu ia pondokan, jadi lebih paham agama dibanding saya. Kalau lingkungan alhamdulillah disini
keagamaannya baik, sekolahannyapun juga saya
sekolahkan di sekolah Islam, insyaallah semuanya baik”. (Ibu NH/Selasa/18-07-2017).
Ibu HY juga mengatakan:
“Setiap habis pulang sekolah mesti langsung nyekel HP,
sampai-sampai lupa makan, lupa shalat harus di oprak-oprak (paksa) baru berangkat shalat. Kalau lingkungan kurang mendukung, soalnya anak-anak disini terlalu bebas pergaulannya, sedangkan bekal agamanya kurang”. (Ibu HY/Minggu/16-07-2017).
Lain halnya dengan ibu NK yaitu:
“Kendalanya, saya itu orang awam, tidak bisa mengajari
anak pengetahuan macam-macam”. (Ibu NK/Rabu/19-07-2017).
Sedangkan ibu BR mengatakan:
“Kebanyakan main Hp dan Laptop mbak, jika diberitahu
mesti membantah ibu itu lhow ini itu. Keluarga mendukung, apalagi keluarga besar saya dan suami juga membantu
menasehati anak saya ketika saya tidak dirumah”. (Ibu BR/Kamis/20-07-2017)
Hasil wawancara peneliti dengan responden, cara orang tua
di Desa Medayu dalam mengatasi kendala-kendala yang muncul
antara lain:
“Saya paksa untuk mengikuti TPA setiap sore, saya antar
nanti saya jemput lagi. Saya larang main HP tanpa seijin
saya, setidaknyasekarang lebih baik dari semula”. (Ibu HA/Senin/17-07-2017).
“Saya nasehati, jika nasehat tidak mempan saya marahi ,
bapaknyapun juga ikut menasehatinya jika perlu akan saya matang lagi, Hasilnya alhamdulillah lebih baik dari sebelumnya”. (Ibu NH/Selasa/18-07-2017).
“Saya kasih pilihan jika tetap mainan HP dan tidak mau shalat atau mengaji, Hpnya saya minta, jika perlu nanti saya pondokkan saja. Hasilnya ya lebih baik, meskipun sedikit-sedikit, mungkin dia takut jika dipondokkan”. (Ibu BR/Kamis/20-07-2017).
“Sama bapaknya HPnya diminta terus dibanting didepannya. Berubah sekali, soalnya takut dan merasa bersalah anaknya. (Ibu PL/Minggu/16-07-2017).
88 BAB IV PEMBAHASAN A. Peran Wanita Karier dalam Keluarga
Wanita merupakan seorang perempuan yang sudah menginjak masa
dewasa (Yahya, 2000:1268). Seorang wanita ini mempunyai peran dalam
kehidupan berumah tangga untuk mengatur segala urusan rumah tangga,
terutama memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Wanita sebagai
bagian dari keluarga mempunyai tugas sebagai seorang istri, sebagai ibu rumah
tangga maupun juga sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Menurut Hemas
(dalam Pudjiwati, 1997:35) memaparkan bahwa tugas yang disandang oleh
seorang wanita yang sudah berumah tangga adalah:
1. Wanita sebagai istri
Wanita adalah sebagai pendamping suami sekaligus sebagai ibu
rumah tangga, agar dalam rumah tangga tetap terjalin ketentraman yang
dilandasi kasih sayang yang sejati. Sebagai istri dituntut untuk setia dan
selalu mendukung kegiatan suami.
Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yaitu ibu BR yang
mengatakan bahwa keluarga adalah no 1, sesibuk apapun pekerjaannya
beliau selalu mengurus keluarga dengan sebaik-baiknya. Setiap hari
bangun pagi-pagi sebelum bekerja memasak dahulu untuk keluarga,
beres-beres rumah, setelah selesai baru berangkat kerja. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh ibu HY, sebelum berangkat kerja mengurus keluarga
2. Wanita sebagai ibu rumah tangga
Sebagai ibu rumah tangga, wanita dituntut untuk dapat terus
memperhatikan kesehatan rumah dan tata laksana rumah tangga, serta
mengurus segala sesuatunya. Keadaan rumah haruslah mencerminkan rasa
nyaman, aman, tentram, dan damai bagi semua anggotanya.
Selaras dengan hal tersebut, ibu HA, ibu BR, dan ibu NK
menjelaskan bentuk tanggung jawab mereka dalam menciptakan rumah
yang bersih dan nyaman yaitu saling mengingatkan antar sesama keluarga,
sehingga akan tumbuh rasa peduli antar anggotanya. Ibu NH juga
menambahkan, jika setiap hari libur mengadakan bersih-bersih bersama,
sehingga akan tercipta rasa nyaman, tentram dan bersih dalam rumah.
3. Wanita sebagai pendidik
Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Menanamkan
rasa hormat, cinta kasih kepada Allah, anggota keluarga, teman dan
masyarakat. Peran ibu sangat menentukan kelangsungan karakter dan
pribadi anak dimasa mendatang.
Begitu juga dengan usaha yang dilakukan responden ibu NH dalam
mendidik anak-anaknya disela-sela kesibukannya bekerja, beliau tetap
mengajarkan nilai-nilai agama pada anak sejak masih kecil. Selain itu juga
menginggatkan bila salah dan selalu mengajak anak dalam kebaikan. Hal
yang berbeda diungkapkan oleh ibu NH dalam mendidik anak-anaknya
anaknya pada sekolah yang bernuansakan Islami, dengan tujuan agar
anak-anaknya kelak memiliki pengetahuan yang cukup tentang agamanya.
Keterbatasan pengetahuan memang menjadi kendala besar bagi
orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Sehingga akhirnya orang tua
memasrahkan pendidikan anaknya pada lembaga-lembaga sekolah.
Memang bagus menyekolahkan anak pada lembaga-lembaga sekolah,
namun perlu diingat tugas utama orang tua tetaplah mendidik dan
membekali anak-anak mereka dengan berbagai pengetahuan, tapi orang
tua juga tidak boleh lepas tanggung jawab begitu saja setelah anak
memasuki usia sekolah dan menyerahkan tanggungjawab sepenuhnya pada
sekolah. Namun orang tua tetap harus mengawasi dan tetap mendidik
anak-anaknya semampunya.
Secara emosional, wanita cenderung lebih labil dibanding laki-laki.
Terlebih apabila wanita tersebut merupakan seorang ibu. Tuntutan
pekerjaan menjadi masalah yang berat, tapi disamping itu, tuntutan
perasaan merupakan masalah yang lebih berat dijalani oleh ibu yang
memilih hidup mengurus keluarga sambil berkarier. Perasaan yang
berkecamuk biasanya lebih pada rasa bersalah terhadap anak dan juga
suami. Namun demikian seorang wanita tentulah memiliki alasan yang
kuat kenapa mereka memilih jalan mengurus rumah tangga sambil
berkarier.
Hasil wawancara penulis dengan responden di Desa Medayu
mengurus keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (faktor
ekonomi) dan juga untuk biaya sekolah anak sebagaimana yang dikatakan
oleh ibu NH, ibu HY dan ibu NK. Lain halnya dengan ibu BR, ibu HA dan
ibu PL alasannya bekerja yaitu untuk mencari pendapatan tambahan dan
untuk mewujudkan cita-citanya.
Menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga yang
berkewajiban mengatur tata laksana rumah tangga dan juga sebagai wanita
karier yang dituntut untuk profesional dalam pekerjaannya tidaklah
mudah. Mereka harus rela membagi sebagian waktu yang dimiliki untuk
bekerja diluar rumah, dan meninggalkan keluarganya dalam waktu tertentu
ditempat kerja.
Berbagai persoalan muncul dari mulai rasa bersalah karena tidak
bisa mendampingi anak setiap saat, tidak bisa mengantar anak kesekolah
dan juga fisik yang lelah ditambah kondisi rumah yang terbengkalai. Hal
tersebut sebagaimana dikatakan oleh ibu PL, ibu HY dan ibu NH. Lain
halnya dengan ibu BR, ibu HA dan ibu NK, mereka tidak merasakan
beban apapun ketika harus menjalani dua peran secara bersamaan. Hal ini
dikarenakan perbedaan pekerjaan yang mereka jalani, lamanya waktu
bekerja serta kondisi keluarga yang berbeda-beda.
B. Religiusitas (keberagaman) Anak
Keagamaan berasal dari kata agama yaitu kebutuhan jiwa (psikis)
manusia yang menyatu dan megendalikan sikap, pandangan, kelakuan, dan
Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (ibadah) tapi juga melakukan aktivitas lainnya yang didorong
oleh kekuatan supranatural, bukan hanya aktivitas yang tampak namun
aktivitas yang tidak tampak juga oleh hati manusia (Ancok dan Suroso,
1995:75). Aktivitas tampak ini dapat berupa sikap atau perilaku, sedangkan
yang tidak tampak dapat berupa keyakinan dalam diri (hati).
Ancok dan Suroso menjelaskan karateristik individu yang memiliki
religiusitas berdasarkan dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock
dan Stark yang memiliki kesesuaian dengan Islam yaitu:
1. Memiliki keyakinan /akidah terhadap rukun iman.
Akidah ialah keyakinan hidup, yaitu iman dalam arti khas, yakni
pengikraran yang bertolak dari hati (Nashari, 1986:32). Akidah secara
bahasa berarti ikatan, secara terminologis berarti landasan yang mengikat
yaitu keimanan. Akidah juga sebagai ketentuan dasar mengenai
keimanan seorang muslim, landasan dari segala perilakunya bahkan
akidah sebenarnya merupakan landasan bagi ketentuan syari’ah yang merupakan pedoman bagi seseorang berperilaku dimuka bumi (Daradjat,
1992:317).
Seorang muslim yang memiliki akidah yang kuat akan merasa
yakin dan percaya terhadap adanya Allah dan melakukan hubungan
sebaik-baiknya dengan Allah guna mencapai kesejahteraan hidup di
dunia dan akhirat, menjalankan perintahnya dan menjauhi segala
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan responden
ananda AN yaitu:
“Allah yang disembah Allah Swt. Nabi panutannya Rasulullah SAW. Kitabnya Al Qur’annul karim, malaikat itu makluk ciptaan Allah yang ciptakan dari cahaya, yang tidak pernah ingkar kepada Allah. Ada sepuluh malaikat yang wajib diketahui. Semua yang ada dilangit dan dibumi akan rusak pada hari kiamat itu, dan ada juga Dajjal yang akan mengajak manusia pada kesesatan”.
Sebagai orang Islam juga wajib mempercayainya adanya takdir Allah. Hal senada juga diungkapkan oleh ananda AX, ananda NY, ananda AJ, ananda FP dan juga ananda DP terkait tentang ajaran agama yang ia yakini.
2. Mengerjakan kegiatan ibadah yang diajarkan oleh agama
Ancok dan Suroso (1995:80) menjajarkan dimensi peribadatan
dengan syariah, yaitu suatu hal yang menunjukkan pada tingkat
kepatukan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual
sebagaimana ketetapan dalam agama yang dianutnya. Dalam agama
Islam dimensi praktik agama ini mencakup pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan sebagainya.
Hasil wawancara antara penulis dengan beberapa responden yaitu
ananda AN, ananda NY dan ananda DP mengaku telah mengerjakan
kegiatan ritual sebagaimana disyariatkan dalam agama, seperti shalat,
mengaji, berdoa, bersedekah, berpuasa dan zakat. Lain halnya dengan
mereka, ananda AX, ananda AJ dan ananda FP dalam hal ibadah,
terutama untuk shalat masih kurang karena shalatnya masih
3. Perilaku akhlak yang ditunjukkan sesuai dengan ajaran agamannya
Menurut Hafidz, (2009:107) Akhlak adalah buah dari Islam yang
diperuntukkan bagi seorang individu dan umat manusia, dan akhlak
menjadikan kehidupan ini menjadi manis dan elok. Tanpa akhlak, yang
merupakan kaidah-kaidah kejiwaan dan sosial bagi individu dan
masyarakatnya, maka kehidupan manusia tidak berbeda dengan
kehidupan hewan dan binatang.
Perilaku ini sesuai dengan ajaran agama yang menunjuk pada
seberapa tinggi tingkat keagamaan seseorang yang dimotivasi oleh
agamanya dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Dimensi ini
meliputi perilaku suka menolong, membela yang benar, bekerjasama,
menjaga lingkungan hidup, tidak mencuri, tidak menipu, dan lain
sebagainya.
Perilaku ini dapat dilihat dari pernyataan ananda AX, ananda AN,
ananda FP, dan ananda DP yang suka membantu orang tuanya
menyelesaikan pekerjaan rumah. Selain itu mereka juga suka menolong
teman yang kesusahan, suka memberi maaf serta mengerjakan tugas
kelompok secara bersama-sama. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku mereka telah menunjukkan perilaku yang sesuai dengan syari’at ajaran agamanya.
4. Mengetahui dan memahami hal-hal yang pokok mengenai dasar-dasar
keyakinan ajarannya.
Setiap orang yang beragama haruslah mempunyai pengetahuan
tentang aturan-aturan dan batasan-batasan dalam agama yang dianutnya.
Pengetahuan ini menjadi dasar yang harus dimiliki bagi setiap
pemeluknya, sebagai bentuk pendarmabaktian seorang hamba kepada
Allahnya. Dalam agama Islam dimensi pengetahuan agama ini meliputi,
pengetahuan tentang pokok-pokok isi Al Qur’an, pokok-pokok yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman),
kandungan hadis, halal haram dalam Islam dan sebagainya.
Hasil wawancara peneliti dengan beberapa responden di Desa
Medayu, diperoleh hasil bahwa ananda AX, ananda NY, ananda AJ dan
ananda FP telah mengikuti kegiatan agama disekolahnya yaitu Shalat
Dhuha berjama’ah, mengikuti ngaji bersama dimasjid setelah Shalat Maghrib, dan juga mengikuti TPQ di desa tetangga. Selain itu, ananda
AN dan ananda DP juga mengikuti kegiatan agama di desanya berupa
pengajian rutinan dan yasinan.
5. Merasakan pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban
yang datang dari Allah Swt.
Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (ibadah) tapi juga melakukan aktivitas lainnya
yang didorong oleh kekuatan supranatural, bukan hanya aktivitas yang
(Ancok dan Suroso, 1995:75). Aktivitas tampak ini dapat berupa sikap
atau perilaku, sedangkan yang tidak tampak dapat berupa keyakinan
dalam diri (hati).
Ancok dan Suroso (1995:82), menjajarkan dimensi ini dengan
penghayatan yang menunjukkan tentang seberapa jauh tingkat keyakinan
seseorang terhadap kekuasaan Allahnya melalui pengalaman-pegalaman
religius yang dirasakannya. Pengalaman ini dapat berupa ketenangan hati
saat menyebut asma Allah Swt, ketentraman hati setelah melaksanakan
shalat, rasa bahagia ketika bisa menolong orang yang membutuhkan,
merasakan bahwa doanya dikabulkan Allah, merasa bergetar hatinya
ketika mendengar dan menyebut nama Allah, dan merasa bersyukur
ketika diberi nikmat olah Allah Swt.
Sebagaimana hasil wawancara dengan ananda AN yang mengaku
ketika sehabis shalat hatinya menjadi tenang, jika tidak shalat ada
perasaan bersalah, hal itu menjadikannya selalu ingat kepada Allah setiap
saat, saat kita melupakannnya, akan menjadi ada yang bersalah dihati
kita. Responden lain yaitu ananda NY, mengatakan jika ia pernah
memberi uang pada seorang pengemis yang sudah tua, ia merasa kasihan.
Setelah peristiwa itu ia lebih bersyukur karena ia lebih beruntung dari
pengemis tadi.
C. Upaya Membina Religiusitas Anak
Setiap orang tua dituntut untuk mendidik dan membimbing anak-anak
memiliki akhlak mulia dan menjadi manusia taqwa. Anak bagaikan kertas
putih, orang tuanyalah yang memberikan corak warna lukisan apa yang kita
kehendaki. Inilah pentingnya mengapa pendidikan anak dimulai sejak dini,
karena perkembangan jiwa anak telah mulai tumbuh sejak kecil.
Dalam agama Islam, tujuan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi ini. Tujuan yang ingin dicapai
oleh Islam dalam aspek pendidikan adalah membina manusia guna mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah_Nya. (Shihab,
1999:173).
Peran penting orang tua tidak berarti dimaknai harus sering bertemu
dan berinterksi secara fisik dalam lingkup tatap muka. Akan tetapi yang
terpenting adalah bagaimana manajemen keluarga bisa dibangun secara baik,
dalam arti kedua orang tuanya sibuk bekerja, tetapi pemantauan dan desain
kehidupan dalam keluarga sudah dikelola dengan baik (Yasin, 2008:119).
Seorang ibu yang bekerja juga mempunyai kewajiban yang sama
dengan ibu yang tidak bekerja dalam mendidik anak-anaknya. Ibu adalah
madrasah pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan agama sangat penting
diberikan pada anak sejak dini sebagai pondasi dalam mengarungi kehidupan
yang penuh dengan tantangan. Maka dari itu, kewajiban orang tua adalah
membekali anak dengan pengetahuan yang kuat tentang agamanya agar anak
tidak mudah terhasud oleh dunia luar yang tidak baik untuknya. Hasil
penelitian terkait peran wanita karier dalam membina religiusitas anak di
1. Pembinaan Akidah Anak
Akidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminologis berarti
landasan yang mengikat yaitu keimanan. Akidah juga sebagai ketentuan
dasar mengenai keimanan seorang muslim, landasan dari segala
perilakunya bahkan akidah sebenarnya merupakan landasan bagi ketentuan syari’ah yang merupakan pedoman bagi seseorang berperilaku dimuka bumi (Daradjat, 1992:317).
Akidah dalam agama Islam memiliki 6 aspek yaitu: Percaya pada
Allah sebagai zat yang Maha Pencipta, Percaya malaikat sebagai ciptaan
Allah, Percaya kitab-kitab Allah, Percaya nabi dan rasul sebagai utusan
dalam membawa risalah kebajikan, percaya adanya hari akhir (kiamat),
serta percaya akan adanya qadha dan qadar Allah.
Setiap orang tua dituntut untuk mendidik dan membimbing
anak-anak menuju agama yang sesuai dengan fitrah naluri manusia, agar mereka
kelak memiliki akhlak mulia dan menjadi manusia taqwa. Anak bagaikan
kertas putih, orang tuanyalah yang memberikan corak warna lukisan apa
yang kita kehendaki. Inilah pentingnya mengapa pendidikan anak dimulai
sejak dini, karena perkembangan jiwa anak telah mulai tumbuh sejak kecil.
Realita yang terjadi di Desa Medayu, peran wanita karier dalam
membina akidah anak sudah mulai tertanam, namun masih ada beberapa
orang tua yang belum maksimal dalam menanamkan pendidikan akhlak
pada anak-anaknya, seperti: ibu HY, ibu PL dan ibu NK. Hal ini dapat
pemahaman tentang rukun iman (malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul, hari
kiamat dan takdir Allah) masih kurang maksimal.
2. Pembinaan Ibadah Anak
Akidah tidak hanya diyakini saja, melainkan juga harus
dikerjakan dalam ibadah (Nipan, 1997:201). Pembinaan ibadah ini
merupakan wujud dari kapatuhan seorang hamba kepada penciptanya.
Ibadah ini sebagai bukti keimanan seseorang dalam menjalankan
aturan-aturan dalam agama yang telah diyakininya.
Tugas utama manusia diturunkan kebumi adalah untuk
beribadah kepada Allah Swt, baik itu manusia maupun jin. Hal ini
dijelaskan dalam QS. Adz Zariyat ayat 59. Hasil wawancara penulis
dengan ibu HA, ibu NH, ibu BR, ibu HY, ibu PL dan ibu NK sudah
mengajarkan pembinaan ibadah pada anak-anak mereka, baik dalam
hal shalat, puasa maupun membantu orang yang kesusahan. Perilaku
ini sesuai dengan tindakan akidah yang tidak hanya diyakini saja tapi
juga dikerjakan dalam ibadah.
3. Pembinaan Akhlak Anak
Menurut Hafidz, (2009:107) Akhlak adalah buah dari Islam
yang diperuntukkan bagi seorang individu dan umat manusia, dan
akhlak menjadikan kehidupan ini menjadi manis dan elok. Tanpa
akhlak, yang merupakan kaidah-kaidah kejiwaan dan sosial bagi
individu dan masyarakatnya, maka kehidupan manusia tidak berbeda
Orang tua haruslah memperkenalkan dasar-dasar etika dan
moral melalui uswatun hasanah dan kegiatan lainnya yang berkaitan
dengan perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
mewujudkannya tidaklah mudah, dibutuhkan kerja keras serta
kesabaran yang ekstra dari orang tua selaku pendidik.
Hasil penelitian di Desa Medayu tentang peran orang tua
dalam membina akhlak anak sudah baik, sebagaimana yang dikatakan
oleh ibu NH dan ibu NK. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara
dengan mereka yang mengatakan bahwa anaknya patuh jika
disuruh-suruh. Jarang membantak nasehat orang tua. Bersikap baik dengan
saudara, keluarga, maupun dengan masyarakat dimana ia tinggal.
Meskipun masih ada juga anak yang sering membantah jika diberi
nasehat oleh orang tuanya, bersikap manja dan sering bertengkat
dengan saudaranya, sebagaimana dituturkan oleh ibu BR, ibu PL dan
ibu HY.
D. Faktor pendukung dan penghambat orang tua dalam membina