• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

FENOMENA KEMISKINAN DI DESA MORODEMAK 1 Keterbatasan Sarana dan Prasarana

Desa Morodemak termasuk dikategorikan sebagai desa miskin, karena pemukiman nelayan kelihatan sangat padat, kumuh, fasilitas sarana dan prasarana lingkungan desa relatif jelek, sehingga terkesan desa Morodemak itu desa miskin.

Kebanyakan rumah tempat tinggal nelayan di desa Morodemak ditempati beberapa keluarga. Kebiasaan masyarakat nelayan desa Morodemak kalau buang hajat di pinggir sungai atau dipinggir tambak, sehingga didalam rumah warga desa umumnya tidak dilengkapi jamban. Mereka membuat jamban dipinggir sungai atau tambak, bahkan ada yang tidak memiliki jamban sama sekali.

Gambar Bedeng-bedeng Liar yang Berfungsi sebagai Jamban

Di beberapa tempat terdapat timbunan sampah yang mengganggu pemandangan, mencemari lingkungan tambak dan muara sungai Morodemak serta dikhawatirkan dapat menyebabkan bersarangnya sumber penyakit. Disisi lain, lingkungan disekitar timbunan sampah menjadi kumuh tidak sedap dipandang mata, sehingga terkesan lingkungan yang tidak sehat. Hal ini diperparah dengan munculnya bangunan-bangunan bedeng liar disekitar timbunan sampah tersebut.

Bedeng-bedeng liar tersebut dibangun oleh warga sekitar untuk keperluan buang hajat dan mandi. Ada juga bedeng yang digunakan untuk gudang perabot rumah tangga, kandang kambing atau penyimpanan kayu bekas perahu atau kapal yang rusak untuk kayu bakar.

Banyak kriteria mengapa desa Morodemak termasuk berkategori desa miskin. Pertama: karena desa tersebut tidak memiliki kekayaan desa, sehingga tidak ada pemasukan bagi pembangunan desa; kedua: perkembangan ekonomi yang lambat, karena penghasilan nelayan tidak menentu; ketiga: fasilitas sarana dan prasarana lingkungan desa yang kumuh.

Sarana Pendidikan

Kondisi Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Morodemak yaitu sebuah TK Islam, sebuah SD Negeri Inpres Moro, 2 buah MI, 2 buah sekolah Diniyah dan terdapat sebuah sekolah setingkat SLTP, yaitu MTs Sunan Barmawi. Sedangkan fasilitas pendidikan setingkat SLTA dan Perguruan Tinggi belum ada di Desa Morodemak. Fasilitas pendidikan yang berkembang di Desa Morodemak adalah fasilitas pendidikan keagamaan.

Gambar Sekolah MTs Sunan Barmawi dan SD Inpres Moro

Jumlah penduduk Desa Morodemak usia 5-9 tahun 625 jiwa, usia 10-14 tahun 633 jiwa, usia 15-19 tahun 626 jiwa. Jadi penduduk Desa Morodemak usia sekolah 5-19 tahun adalah 1.884 jiwa (BPS, 2003:33-34). .Pada umumnya anak nelayan Desa Morodemak seusia SD disekolahkan di MI (Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD). Masyarakat Desa Morodemak memiliki perhatian yang sangat baik dalam masalah pendidikan keagamaan anak-anak mereka, namun dalam masalah

pendidikan umum sangat kurang. Sebagai perbandingan, bahwa jumlah fasilitas sarana pendidikan, jumlah siswa dan jumlah guru pendidikan yang berkaitan dengan keagamaan lebih bagus dibandingkan dengan pendidikan yang sifatnya umum, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Jumlah Fasilitas PendidikanDesa Morodemak Fasilitas Pendidikan Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru

TK 1 88 2 SD Negri/Inpres 1 256 9 Setingkat SD (MI) 2 597 21 SLTP 0 0 0 Setingkat SLTP 1 368 17 Diniyah 2 249 14

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:40-46 Sarana Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Morodemak hanya berupa sebuah poliklinik dan posyandu. Rumah sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Rumah Bersalin tidak ada. Penduduk Desa Morodemak kalau mau berobat di Rumah sakit harus pergi ke kota Kabupaten atau berobat di Puskesmas pergi kota Kecamatan. Tenaga medis formal hanya seorang paramedis dan seorang bidan. Sedangkan yang nonformal adalah dukun bayi dan tukang pijat hanya 5 orang. Sarana Peribadatan

Sesuai dengan karakteristik sosial masyarakatnya yang beragama Islam, maka sarana peribadatan di Desa Morodemak hanya terdiri sarana peribadatan kaum muslimin saja yaitu 8 buah musholla dan 2 buah masjid. Fasilitas tempat ibadah yang dimiliki oleh Desa Demak berupa Masjid Baitul Atiq sangat megah dengan gaya arsitektur tidak kalah dengan Masjid Agung Demak. Biaya yang dikeluarkan untuk membangun masjid tersebut diperkirakan sekitar Rp 1 milyar. Itu pun masjid belum selesai dibangun. Perhatian masyarakat Desa Morodemak terhadap tempat peribadatan sangat tinggi.

Gambar Masjid Jami Baitul Atiq dan Mushola Mujahidin Desa Morodemak Sarana Transportasi

Sarana transportasi yang tersedia di Desa Morodemak berupa sarana transportasi umum dan transportasi pribadi berupa sepeda motor. Sarana transportasi yang beroperasi diantaranya adalah angkutan pedesaan. Angkutan pedesaan hanya sampai di Desa Purworejo tetangga Desa Morodemak, untuk sampai ke Desa Morodemak harus dengan menyeberang sungai dengan perahu

penyeberangan. Angkutan umum lain yang beroperasi di Desa Morodemak adalah ojek roda tiga dan perahu penyeberangan.

Gambar Sarana Transportasi di Desa Morodemak Sarana Perdagangan

Fasilitas perdagangan di Desa Morodemak hanya tersedia pasar desa yang terletak di perbatasan antara desa Margolinduk dengan Desa Morodemak dan banyak terdapat warung, toko dan kios sebagai usaha bagi para istri nelayan.

Gambar Pasar, Warung, Toko dan Kios Pemukiman

Jumlah kepala keluarga yang tidak diimbangi oleh jumlah rumah mengakibatkan pemanfaatan satu rumah untuk lebih dari satu kepala keluarga. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat Desa Morodemak dapat diketahui bahwa banyak terdapat rumah yang dihuni oleh lebih dari 1 kepala keluarga, yaitu antara 2 hingga 3 kepala keluarga.

Kendala utama dalam pengembangan pemukiman di Desa Morodemak ini adalah terbatasnya lahan yang dapat dikembangkan untuk perumahan karena hampir sebagian besar lahannya merupakan areal tambak, akibatnya pada daerah- daerah permukiman tersebut mempunyai kepadatan yang sangat tinggi.

Kondisi permukiman yang saling berhimpit, sempit, kumuh dan kotor itu juga bisa mempengaruhi temparemen sifat nelayan yang mudah tersulut kemarahan. Ada kejadian konflik nelayan antara Desa Morodemak dengan Desa Margolinduk yang dipicu oleh masalah sepele, yaitu masalah wanita. Padahal mereka tetangga desa yang sangat dekat, bahkan antara kedua desa tersebut seolah tidak ada perbatasannya.

Gambar Pemukiman Nelayan Desa Morodemak Utilitas Jaringan Jalan

Pintu masuk ke Desa Morodemak berupa jalan beton (plesteran) kecil dengan lebar hanya 1,5 meter menyeberangi sungai. Jika ada kendaraan roda dua yang saling berpapasan, pasti tidak cukup jika melewati jalan tersebut bersamaan, harus ada yang mengalah untuk melewati jalan itu. Kendaraan roda empat tidak

dapat melewati jalan tersebut. Akses pintu masuk ke Desa Morodemak juga dapat dicapai melalui perahu penyeberangan.

Jaringan jalan yang ada di Desa Morodemak sebagian besar berupa jalan beton plester dengan lebar kurang lebih 1,5 – 2 meter. Selain jalan beton plester, ada ruas jalan aspal, namun hanya beberapa meter saja panjangnya. Bahkan ada ruas jalan masih berupa tanah, jika terkena air hujan pasti jalan tanah tersebut akan

becek dan berlumpur, karena tertutupi dengan tanah bekas endapan tambak yang berada disebelahnya.

Gambar Kondisi Jalan Desa Morodemak

Utilitas Jaringan Air Bersih

Air bersih merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Masyarakat Desa Morodemak untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, mereka membuat sumur. Kualitas air sumur yang dihasilkan mengandung rasa asin, akibat pengaruh air laut. Sementara air PDAM belum menjangkau Desa Morodemak. Sebagian besar masyarakat Desa Morodemak untuk memenuhi kebutuhan air minum, mereka membeli air kemasan secara swadaya, sedangkan untuk keperluan MCK, mereka menggunakan air sumur.

Utilitas Jaringan Drainase

Kondisi drainase di Desa Morodemak sangat buruk, hal ini karena banyaknya drainase yang tertimbun oleh sampah serta banyaknya drainase di sekitar perkampungan yang hanya memiliki kedalaman beberapa centimeter saja (± 20 cm). Kurang efektifnya sistem drainase yang ada di Desa Morodemak juga terlihat dengan tidak mengalirnya air yang ada di tiap drainase tersebut. Ketika musim penghujan atau air pasang laut cukup tinggi, Desa Morodemak tergenang air.

Gambar Kondisi Drainase

Utilitas Jaringan Persampahan

Masyarakat Desa Morodemak membuang sampahnya di sungai, sehingga mengakibatkan aliran sungai tidak lancar, kotor dan terjadi pendangkalan. Mereka juga membuang sampah didekat lokasi pemakaman desa dan disekitar tambak, sehingga terkesan kotor, kumuh dan tidak sehat.

Gambar Kondisi Tempat Pembuangan Sampah

Jaringan persampahan di Desa Morodemak belum ada, sehingga sampah yang dihasilkan oleh penduduk masih dikelola oleh masing-masing penduduk yang bersangkutan dengan cara dibuang di sungai, tambak atau lokasi dekat dengan \pemakaman desa atau dibakar. Masalah kebersihan di Desa Morodemak, terutama sampah. Hal ini disebabkan karena lahan desa itu sudah sempit dan tidak ada lagi tempat kosong untuk pembuangan sampah.

Kondisi sungai Morodemak relatif kotor, banyak sampah-sampah yang mengapung di permukaan sungai dan warna airnya sudah tidak lagi jernih. Kondisi ini terjadi karena sungai ini merupakan tempat pembuangan limbah bagi aktivitas yang ada di sekitarnya. Limbah-limbah tersebut berasal dari limbah rumah tangga, limbah industri, limbah dari TPI. Selain itu sungai ini juga telah tercemar oleh bahan bakar, minyak tanah, solar dan oli yang berasal dari kapal-kapal yang berlabuh. Selain kondisi sungai yang kotor, bau dari sungai ini juga sangat menyengat.

Nelayan Desa Morodemak, kalau mengecat kapal dan perahu menggunakan sejenis obat untuk menghilangkan jamur dan kerak-kerak lumut yang menempel. Tumpahan bahan bakar dan oli dari kapal ikut memperparah pencemaran kualitas air di sungai. Air tambak diambil dari air sungai yang telah tercemar tadi. Akhirnya hasil panen ikan bandeng atau udang berkualitas jelek, tidak bisa besar dan rasanya juga berbeda dengan dulu.

Data Potensi Desa tahun 2000 menunjukkan, bahwa di Desa Morodemak telah terjadi pencemaran air. Pencemaran air ini telah mnegakibatkan penurunan produktivitas sektor tambak. Udang yang semula menjadi komoditas utama dari tambak, produksinya semakin menurun karena mengalami stress.

Gambar Kondisi Kualitas Air Sungai Morordemak yang Tercemar Limbah

2. Kemiskinan Natural (Alamiah)

Pendapatan masyarakat nelayan Desa Morodemak sangat tergantung dari hasil penangkapan ikan. Kalau musim paceklik tidak melaut, mereka tidak mau mencari alternatif pekerjaan yang lain. Masa paceklik bagi nelayan adalah masa- masa terang bulan, karena ikan menyebar tidak mau berkumpul ketika diberi penerangan lampu di malam hari. Biasanya setiap tanggal 8 bulan Qomariah sudah mulai masa terang bulan sampai tanggal 18 bulan Qomariah (selama 10 hari). Mereka nganggur-ngur (total tidak bekerja) dan diam di rumah, sehingga masa- masa terang bulan di desa ini banyak sekali nelayan yang berada di rumah. Itulah sebabnya mengapa perekonomian mereka lemah, sehingga istri-istri mereka juga

ikut mencari alternatif pendapatan, karena suami mereka tidak bekerja. Kalau musim hujan mulai datang, sekitar bulan Oktober sampai dengan Maret tiap tahunnya itu juga musim paceklik. Setiap hari Jumat, masyarakat nelayan disini libur tidak melaut. Jadi masa paceklik bagi nelayan Desa Morodemak ada yang tahunan, bulanan dan mingguan.

Masyarakat nelayan Desa Morodemak, kalau tiba masa paceklik nganggur total. Anehnya mereka masih bisa makan, karena mereka mengambil kebutuhan pokoknya di warung atau toko dengan cara berhutang. Kadang-kadang mereka menggadaikan barang yang mereka masih miliki.

Dahulu sebelum ada mesin motor kapal atau perahu, nelayan sering menggadaikan barang-barangnya, seperti perabot rumah tangga, bahkan genting rumah dijual, karena musim paceklik sangat panjang. Mereka dulu tidak berani melaut kalau sudah musim penghujan. Pendapatan mereka tidak menentu, kadang hari ini mendapatkan Rp 20 ribu, hari besok belum tentu dapat Rp 20 ribu, bahkan ada yang pulang tidak membawa apa-apa.

Masa-masa paceklik bagi nelayan Desa Morodemak, sekarang ini tidak memandang bulan, tetapi sudah parah, karena tiap kali melaut hasilnya pasti sedikit, sehingga tidak dapat menutup biaya operasional. Kadang justru meninggalkan hutang, karena tidak dapat menutup harga bahan bakar, apalagi bahan bakar sekarang cukup mahal bagi ukuran nelayan seperti saya ini.

Hampir setiap bulan musim paceklik, tidak teratur seperti dulu. Hal ini disebabkan karena adanya alat tangkap pukat harimau atau mini trawl dan alat tangkap cantrang. Dahulu bulan Januari saja, ketika musim penghujan, nelayan masih bisa mencari ikan dengan hasil yang cukup. Saat sekarang bulan Januari nelayan sama sekali tidak dapat melaut, karena hasilnya sangat sedikit. Hal itu dialami oleh nelayan di semua tempat. Apalagi kalau musim kemarau, keadaan bertambah semakin parah.

Gambar Kondisi Sungai Morodemak Dipenuhi Perahu Nelayan di Musim Paceklik

3. Kemiskinan Kultural

Sudah menjadi kebiasaan nelayan Desa Morodemak, kalau sudah datang waktu paceklik tidak mau bekerja sama sekali, hanya di rumah. Bekerja yang lainnya tidak mau, padahal kalau mau memancing, masih bisa menghasilkan ikan. Kalau terpaksa mereka untuk makan tidak ada, mereka akan pergi ke pantai mencari kerang untuk lauk makan. Nelayan Desa Morodemak memiliki rasa gengsi yang tinggi, kalau tidak melaut lebih baik tidak bekerja. Selain itu memiliki jiwa pemalas dan pemboros. Buktinya, nelayan disini kalau rokoknya tidak enak, mereka tidak mau merokok.

Umumnya masyarakat nelayan Desa Morodemak, kalau mandapatkan hasil banyak akan dibelanjakan banyak, tidak ada usaha menabung. Giliran paceklik barang-barang dijual semua untuk kebutuhan hidup. Sikap boros sudah biasa bagi

masyarakat nelayan Desa Morodemak. Saat paceklik mereka tidak bekerja sama sekali, sehingga tidak ada pendapatan, untuk menutup kebutuhan mereka manjual barang-barang. Kalau tidak ada yang dijual, mereka larinya ke bank thithil (lintah darat). Kalau mereka mendapatkan hasil banyak, mereka tidak mau menabung uangnya untuk senang-senang membeli barang-barang yang mereka sukai. Ketika diingatkan, mereka berkomentar: “besok melaut lagi akan dapat uang lagi”. Kalau mereka punya hutang, harus mengejar-ngejar untuk menagihnya. Itu pun sangat sulit. Terkadang mereka terpaksa hutang ke rentenir dengan bunga yang tinggi.

Ada pula nelayan Desa Morodemak yang suka minuman keras, terutama juru mudi-juru mudi. Alasan mereka adalah sebagai penghangat badan di tengah laut yang dingin. Pihak aparat desa sudah berusaha melarang peredaran minuman keras di Desa Morodemak, walaupun hasilnya belum memuaskan. Orang-orang yang mabuk sering menjadi pemicu terjadinya perkelahian di Desa Morodemak.

Rata-rata masyarakat nelayan Desa Morodemak mempunyai karakter yang keras. Memang kehidupan masyarakatnya agamis, tetapi kehidupan dan perilaku sehari-harinya sebagian dari mereka ada yang belum sesuai dengan tuntunan agama Islam.

4. Kemiskinan Struktural

Para juru mudi adalah orang yang pekerja keras, pengalaman banyak, wawasannya luas dan nalurinya tajam, sehingga dia bisa tahu musim yang baik, tempat yang banyak ikannya, pengopersian alat tangkap dan lain-lain. Awalnya dalam meniti karier dia mempunyai tabungan, misalnya Rp 25 juta. Kemudian mencari orang yang bisa diajak bekerja sama untuk menanam modal dengan sistem bagi hasil, sehingga modal menjadi Rp 50 juta. Uang Rp 50 juta dibelikan kapal di Jawa Timur sebagai uang muka, Setelah kapal menghasilkan, sisanya dapat diangsur. Akhirnya dengan kapal miliknya dan dikemudikan sendiri. Lambat laun mendapatkan tabungan uang yang banyak dan bisa membeli kapal sendiri, sehingga nelayan yang maju dan kaya di Desa Morodemak adalah nelayan juru mudi. Mereka kekayaannya melimpah-limpah.

Juru mudi dalam pembagian hasil, mereka mendapat bagian lebih banyak dan mendapat persenan dari pemilik kapal dan hasil penjualan. Ada hasil lain bagi juru mudi sebagai pendapatan tambahan, berupa sisa ikan yang tercecer di kapal, karena dia yang memegang peranan di kapal. Belum nanti kalau istrinya sebagai perantara/makelar menjualkan ikan kepada bakul juga dapat keuntungan.

Nelayan yang miskin adalah buruh/anak buah kapal, mereka dapat bagian yang paling kecil dalam pembagian hasil tangkapan ikan. Sekali melaut paling banyak mereka hanya dapat kurang lebih Rp 50.000,- sementara perantara/makelar bisa mendapatkan komisi dari bakul dan juru mudi sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,- padahal anak buah/buruh nelayan kerjanya lebih berat daripada perantara/makelar. Nelayan buruh dan ABK tidak dapat meningkat kesejahteraannya.. Pendapatan mereka tidak menentu dan relatif sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Rasa kesetiakawanan sosial para juru mudi terhadap anak buahnya belum terjalin. Kalau mereka mengeluarkan zakat fitrah pada saat lebaran, itu sudah kewajiban mereka. Yang berbentuk kepedulian untuk membantu anak buah ketika mengalami kesusahan belum ada rasa kedermawanan. Tunjangan hari raya yang diberikan bagi anak buah, hanya memberi sebuah sarung dan sekaleng roti. Itu pun karena juru mudi khawatir, kalau anak buahnya tidak diberi tunjangan hari raya tersebut akan pindah ke juru mudi kapal lain. Seharusnya sebagai seorang juragan

atau juru mudi, ketika musim paceklik ada uang santunan bagi nelayan buruh atau ABK.

Memang nelayan yang memiliki alat tangkap mini trawl kaya-kaya, tetapi itu dulu. Sekarang mereka juga sudah merasakan hasil penangkapan yang bertambah sedikit dari waktu ke waktu. Kapal mini trakl sekarang sekali melaut membawa jurak

(anak buah kapal) banyak, sampai ada kapal mini trawl yang biasanya dimuati untuk 25 orang, harus dimuati 43-45 orang. Juragan pemilik kapal tidak mau peduli, yang penting pendapatan kapal dibagi dua. Separo pemilik kapal dan separonya lagi dibagi banyaknya nelayan yang ikut. Misalnya kapal mendapat hasil Rp 10 juta dengan jumlah nelayan 25-27 orang. Rp 5 juta untuk juragan (pemilik kapal) dan Rp 5 juta dibagi 25-27 orang nelayan masing-masing rata-rata mendapatkan Rp 100 ribu. Sekarang jumlah pembaginya bertambah banyak 43-45 orang, maka pendapatan nelayan tentu bertambah sedikit. Itulah nasib nelayan kecil yang memprihatinkan.

Pembagian hasil tangkapan ikan setelah dipotong uang perbekalan adalah juragan 10 bagian (33%), juru mudi 2,5 bagian (8%), kemudian sisanya 17,5 bagian (59%) dibagi rata pada nelayan buruh/ABK yang berjumlah 19 orang sesuai dengan tugas masing-masing. Mereka rata-rata hanya mendapatkan kurang dari 1 bagian. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pembagian hasil tangkapan ikan yang sebetulnya sangat merugikan nelayan buruh/ABK. Belum kalau jumlah nelayan buruh/ABK yang ikut melaut saat itu lebih dari 19 orang, tentunya mereka akan mendapatkan bagian yang lebih sedikit lagi, karena factor pembaginya bertambah banyak. Belum lagi kalau hasil tangkapan ikannya sedikit, bisa-bisa mereka pulang ke rumah tanpa membawa hasil sama sekali. Para juru mudi yang memiliki kapal dan alat tangkap (merangkap menjadi juragan), merekalah orang yang kaya di Desa Morodemak.

Desa Morodemak memiliki kondisi sarana dan prasarana desa yang sangat memprihatinkan, secara struktur karena akibat kurangnya perhatian pemerintah. Kondisi sarana dan prasarana yang tidak berkembang dengan baik, menyebabkan perkembangan perekonomian Desa Morodemak lamban, akibatnya Desa Morodemak dikategorikan sebagai desa miskin.

Disisi yang lain secara struktur pula, bahwa peran tokoh agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat yang hanya mementingkan nilai-nilai keagamaan saja untuk melanggengkan kepentingan politik mereka. Sementara untuk urusan seperti meningkatkan pendidikan, ilmu pengetahuan, ketrampilan, menjaga lingkungan yang bersih, perbaikan sarana dan prasarana desa belum tertanam dalam norma dan perilaku masyarakat nelayan Desa Morodemak, sehingga yang muncul dalam pandangan masyarakat, bahwa aparat desa dan semua program pembangunan sarana dan prasarana desa adalah tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab mereka.