• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur sosial bersifat abstrak, dikarenakan perhatian objeknya ditujukan pada pola-pola tindakan, jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam

Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan dirimu sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan perkara diantara manusia dengan adil. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu (syetan), karena akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Al Quran surat Shad (38) ayat 26)

Dialah (Allah) yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia (Allah) meninggikan kedudukan kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu (Al-Quran Surat Al An’am (6) ayat 165)

dalam waktu dan ruang, posisi sosial dan peranan-peranan (fungsi) sosial yang kadang tidak nampak oleh pandangan mata manusia. Struktur sosial merupakan sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian pola hubungan sosial antar individu atau kelembagaan yang ada menurut status, peranan dan pranata yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu (Suparlan, 1981:90).

Selo Soemardjan (1964:14) dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi menjelaskan hubungan antara norma-norma, kelembagaan sosial dan lapisan masyarakat sebagai berikut:

Unsur-unsur sosial yang pokok ialah norma-norma atau kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Kesemuanya ini berjalin satu sama lainnya dan keseluruhan dari unsur-unsur sosial ini dalam hubungannya satu sama lain disebut struktur sosial…….Pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan ini dicakup dalam pengertian proses-proses sosial. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadi perubahan-perubahan dalam struktur sosial.

Satuan-satuan lingkungan sosial terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi. Sedangkan yang melingkari individu-individu tersebut terdiri dari keluarga, kelembagaan, komunitas, dan masyarakat. Satuan lingkaran struktur sosial tersebut mempunyai karakteristik yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan dan proses-proses yang berlangsung dalam struktur tersebut.

Interaksi struktur sosial bersifat kompleks, karena masing-masing individu mempunyai kepentingan, sehingga memerlukan suatu tatanan hidup bersama untuk mengamankan kepentingan komunal demi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup struktur sosial tersebut. Perangkat tatanan kehidupan bersama menurut pola tertentu kemudian berkembang menjadi pranata sosial, atau abstraksi yang lebih tinggi dinamakan kelembagaan atau institusi (Soelaeman, 1993:64).

Corak dari suatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang ada disekitarnya. Perwujudan kebudayaan sebagai pola kelakuan berupa norma-norma atau aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat tergambarkan melalui beraneka ragam corak pranata-pranata sosial yang berkembang di masyarakat tersebut.

Pranata-pranata tersebut sebagai wujud dari serangkaian norma-norma yang menjadi tradisi/kebiasaan kehidupan individu-individu dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, sehingga yang menentukan corak struktur sosial suatu

masyarakat adalah pranata-pranata yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Kelembagaan Swadaya Masyarakat

Soerjono Soekanto (2002:209-210) menjelaskan, bahwa kelembagaan masyarakat merupakan hasil kristalisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Kelembagaan masyarakat memiliki ciri adanya aturan-aturan berupa adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan yang tergabung dalam satu unit fungsional sesuai dengan peran masing-masing individu yang ada didalamnya.

Norman Uphoff (1986: 19) menjelaskan, bahwa aspek kelembagaan memiliki makna yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian organisasi. Kelembagaan mengandung unsur adanya aturan-aturan (rules) yang dapat mempengaruhi perilaku, yaitu berupa norma yang diturunkan dari tata nilai yang hidup dan berkembang dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Konsep swadaya (self help) memiliki dasar pengertian, bahwa penggunaan sumberdaya lokal beserta semua kegiatan yang dikelola oleh masyarakat sebagai suatu kesatuan yang bertahan secara mandiri (Conyer, 1994:177). Gunawan Sumodiningrat mengemukakan, bahwa kelembagaan swadaya masyarakat muncul atas inisiatif masyarakat sendiri dengan tujuan pokok memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat baik secara individu maupun kelompok (Quranggana, 1994:18).

Bambang Ismawan memberikan ciri, bahwa kelembagaan swadaya masyarakat adalah kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kelembagaan swadaya masyarakat merupakan suatu wahana yang dapat menggerakkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pencapaian kesejahteraan bersama dan sebagai tempat untuk proses belajar dan mengajar serta pengambilan keputusan (Setiawati, 1994:208).

Indikasi suatu masyarakat berhasil dalam melaksanakan pembangunan adalah tergantung kepada kemampuan dan kemauan masyarakat untuk mengakumulasikan segala potensi yang ada secara maksiamal, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara bersama-sama secara mandiri (berswadaya) tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar.

Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan Sosial

Kelembagaan yang memiliki nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berperilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kehidupan sosial yang khas (Taryoto, 2001:53). Kelembagaan yang terbentuk secara alamiah bermula dari kristalisasi nilai-nilai dan norma. Suatu norma akan terbentuk secara bertahap, pada awalnya berupa cara perilaku biasa (usage), kemudian meningkat menjadi kebiasaan (folkways), selanjutnya menjadi tata kelakuan (mores) dan akhirnya menjadi adat istiadat (custom). Proses pertumbuhan suatu norma yang baru menjadi bagian dari kelembagaan pada masyarakat disebut proses pelembagaan (Syahyuti, 2003:29).

Suatu norma telah melembaga, apabila telah diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai sampai kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan suatu masyarakat, sehingga norma tersebut menjadi suatu kelembagaan yang mempunyai kedudukan sempurna (Soekanto, 2002:203).

Metta Spencer (1995:325-441) membagi kelembagaan masyarakat menjadi lima bagian, yaitu sistem kelembagaan keluarga, sistem kelembagaan keagamaan, sistem kelembagaan pendidikan, sistem kelembagaan ekonomi politik dan sistem kelembagaan penegakan hukum. Munculnya kelembagaan masyarakat, biasanya merupakan implementasi dari suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Keperluan-keperluan pokok tersebut meliputi bidang ekonomi, pendidikan, agama, politik, keturunan (keluarga). Masing-masing bidang kehidupan tersebut mempunyai hubungan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk segi kehidupan bersama melalui proses-proses sosial (Selo Sumardjan, 1964:14 dan 62).

Sistem kelembagan masyarakat antara yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan dengan pola-pola dan keserasian tertentu sesuai dengan karakteristik suatu tempat. Soerjono Soekanto (2002:333) membagi kelembagaan masyarakat menjadi lima bagian, yaitu: sistem kelembagaan politik, keagamaan, pendidikan, ekonomi dan hukum. Pola hubungan masing-masing sistem kelembagaan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi pada suatu tempat. Untuk lebih jelasnya mengenai pola hubungan sistem kelembagaan masyarakat dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber: Soekanto, 2003:333

Gambar 1 Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Margono Slamet (2003: 45) memberikan pengertian pemberdayaan adalah kemampuan, berdaya, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensinya dan berani bertindak mengembangkan diri, sehingga terbentuk kemandirian dan tidak tergantung dengan pihak lain.

Istilah partisipasi secara umum mempunyai pengertian suatu usaha berkelanjutan, yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, baik secara aktif maupun pasif. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurut Loekman Soetrisno (1995: 207) adalah kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan dengan mengakomodasi aspirasi, nilai budaya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Partisipasi tersebut dapat dimanfaatkan pula sebagai sarana mengkomunikasikan

Kelembagaan Politik Kelembagaan Hukum Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Ekonomi Kelembagaan Keagamaan

keinginan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kegiatan pembangunan.

Menurut PBB dalam Conyer (1994:174-175):

Istilah pembangunan masyarakat (community development) telah digunakan secara internasional dalam arti sebagai proses, dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan kultural, serta untuk mengintegrasikan masyarakat…..Proses yang rumit itu terdiri atas dua elemen penting: (1) partisipasi masyarakat itu sendiri dalam usaha mereka untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif mereka sendiri; serta (2) pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya inisiatif, sifat berswadaya dan kegotongroyongan yang membuat kesemuanya ini lebih efektif lagi.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat menurut Pimbert dan Pretty dalam

Brown (2001:15) meliputi partisipasi pasif, partisipasi dalam memberikan masukan informasi, partisipasi dengan melakukan konsultasi, partisipasi dengan memberi bantuan material, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif dan partisipasi dengan berperan aktif.

Partispasi pasif berupa paling tidak masyarakat memberikan dukungan moril dan setuju terhadap kegiatan Pembangunan di daerahnya, walaupun mereka tidak berperan aktif. Akan lebih baik jika masyarakat berperan serta dalam memberikan informasi dan masukan yang bermanfaat dalam forum diskusi atau musyawarah. Jauh lebih baik lagi apabila masyarakat ikut aktif untuk berkonsultasi jika mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di lapangan, dengan suka rela memberikan bantuan baik dana, pikiran dan kemampuannya, ikut terlibat dalam kepengurusan dan pengelolaan kegiatan pembangunan sesuai dengan bidang keahlian masing-masing secara fungsional, saling bekerja sama dengan seluruh elemen yang ada untuk mensukseskan tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan pembangunan tersebut.

Ada tiga alasan penting, perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat. (2) masyarakat akan lebih mempercayai suatu program pembangunan, jika merasa dilibatkan dalam proses pemabngunan tersebut, sehingga akan mempunyai rasa memiliki. (3) masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan berusaha mencari jalan keluar untuk memandang, bahwa pembangunan seharusnya tidak hanya memperhatikan segi pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan segi kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan. Menurut Giuseppe Munda (1997:18), bahwa konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi perlu juga memperhatikan aspek pertumbuhan kesejahteraan sosial yang baik dan perlindungan terhadap lingkungan. Program pembangunan berkelanjutan tidak hanya sekedar menitikberatkan pembangunan ekonomi saja, namun mencakup juga pembangunan sosial-budaya dan ekologi, sehingga pembangunan aktor sosial dan kelembagaan sosial juga perlu diperhatikan pengembangannya.

Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah (a) terpenuhinya kebutuhan dasar (pokok) manusia; (b) tercapainya keseimbangan dan keadilan sosial; (c) memberikan kebebasan untuk menetapkan nasibnya sendiri secara (demokratis); (d) menjaga kelestarian ekosistem lingkungan dan keanekaragaman hayati; (e) mempertimbangkan aspek-aspek kesatuan antara aspek lingkungan,aspek sosial dan aspek ekonomi (Mitchell,1994:190).

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pemerataan dan keadilan sosial, partisipasi, menghargai keanekaragaman hayati, menggunakan pendekatan integratif dan perspektif jangka panjang. Prospek generasi di masa datang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. Pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhannya, baik keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial budaya maupun politik, pertahanan dan keamanan (Djajadiningrat, 2001:30-38).

Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan

Sistem kelembagaan yang berkelanjutan merupakan suatu bentuk ketaatan masing-masing individu masyarakat terhadap norma-norma yang dipegang secara terus menerus, konsisten dalam semangat dan stabil walupun terjadi perubahan- perubahan. Jadi kelembagaan yang berkelanjutan mencakup aturan (rules) dan peran (roles). Strategi pemilihan alternatif terbaik yang memungkinkan keadaan masyarakat menjadi lebih baik sesuai kemampuan dan memanfaatkan kondisi potensi yang ada disekitarnya.

Menurut Derick W. Brinkerhoff dan Arthur A. Goldsmith (1992: 371-380), Pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh (1) partisipasi dari masing-masing individu masyarakat (stakeholder); (2) Kinerja yang baik secara berkelanjutan; (3) Dapat mengantisipasi kompleksitas permasalahan yang tidak dapat dielakkan dengan usaha pengembangan diri; (4) Ditegakkannya kewibawaan aturan hukum.

Kemampuan penduduk dalam menguasai lingkungan sosialnya harus didukung dengan pengembangan kemandirian setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dan bentuk partisipasi tersebut tidak hanya dimonopoli oleh suatu kelompok/kelembagaan tertentu saja, tetapi harus secara bersama-sama dan merata oleh semua kelompok/kelembagaan yang terlibat di dalamnya.