• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

KELEMBAGAAN PENEGAKAN HUKUM

1. Tidak Tegasnya Sanksi Hukum dalam Program Pembangunan

Pernah ada kejadian di salah satu desa yang memberlakukan aturan-aturan yang sangat ketat dalam pelaksanaan PPK dan itu sudah merupakan hak mereka untuk menetapkan aturan dan sanksi. Namun ditolak oleh warganya dan diancam akan didemo. Akhirnya tidak jadi diberlakukan aturan dan sanksi tersebut. Ada lagi kejadian di desa lain, ide untuk menempelkan nama-nama orang yang nunggak pinjaman di papan pengumuman masjid, agar yang bersangkutan malu dan ini sebagai pelajaran dan teguran. Namun ini juga ditolak warga, karena jangan mencampurkan urusan pinjaman dan kemasyarakatan dengan ibadah.

Terkadang ada sebagian masyarakat neleyan yang tetap membandel, tidak mau diarahkan. Mereka berbuat semaunya sendiri. Terhadap orang-orang yang demikian perlu diberikan tindakan peringatan dan kalau masih terus mengganggu

ketertiban dan keamanan masyarakat, perlu diberikan sanksi hukum yang tegas, agar jera dan tidak mengulang perbuatannya.

2. Tidak Tegas Sanksi Pelarangan Alat Tangkap yang Merusak Lingkungan Temparemen nelayan itu mudah tersulut. Beberapa kali pernah terjadi konflik, bentrok antar nelayan. Seharusnya, secara pribadi menurut saya, pelakunya harus diproses secara hukum. Namun kenyataannya aparat lebih cenderung dengan penyelesaian kekeluargaan, tetapi efeknya di masyarakat nelayan, jika terjadi konflik lagi, tidak jera, toh nanti bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, tidak dihukum. Akhirnya yang kasihan adalah yang jadi korban, rumahnya rusak dilempari batu oleh massa. Kejadian konflik antara nelayan Morodemak (tridesa) dengan nelayan Wedung dipicu oleh penggunaan alat tangkap terlarang. Sejak reformasi kami merasa kesulitan untuk membenahi masalah tersebut. Jika nelayan dilarang memakai alat tersebut, nelayan yang memakai alat tersebut protes: “nelayan mau cari makan pakai apa?” Sementara itu nelayan yang patuh tidak menggunakan alat terlarang merasa terganggu dan tidak terima. Akhirnya terjadilah konflik tersebut.

Ketika ada rapat sosialisasi program pembangunan DKP di Kecamatan Bonang, kami pernah mengusulkan supaya sumberdaya laut itu dikembalikan lagi, agar penghasilan nelayan dapat bertambah baik. Kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap mini trawl supaya dilarang, karena dapat merusak lingkungan dan ikan-ikan yang kecil pun ikut tertangkap. Tetapi dari DKP belum dapat menyelesaikan masalah ini. Alasannya sulit memberantas, karena sudah terlanjur berjalan dan membudaya.

Dahulu sebelum ada kapal mini trawl, ikan-ikan masih banyak. Bahkan ada ikan yang berani menampakkan diri ke daratan. Sekarang sulit sekali nelayan mendapatkan ikan. Apalagi hutan bakau juga sudah tidak ada. Pernah diusulkan, agar DKP menindak kapal yang menggunakan alat mini trawl, mereka angkat tangan tidak berani. Padahal kapal mini trawl itu daya rusaknya sangat besar, mereka merusak karang-karang laut sampai ketika kapal tersebut bersandar di tepi sungai.

Di daerah Jepara itu ada satu daerah yang memiliki organisasi nelayan yang kuat. Mereka membatasi perairan laut sesuai dengan kesepakatan bersama. Tidak boleh ada kapal yang menangkap ikan dibatas perairan yang telah mereka tetapkan. Jika ada kapal yang nekat masuk, mereka langsung mengejarnya dan membunuh awak kapalnya, kaena itu sudah kesepakatan mereka. Dampaknya bagi nelayan setempat sangat bagus, mendapatkan hasil tangkapan ikan yang cukup banyak. Kalau di Desa Morodemak tidak bisa, karena yang menggunakan kapal mini trawl atau kapal galaxy juga masyarakat nelayan desa ini. Itu bisa berantakan, karena bisa saja mereka saling bunuh membunuh antar warga sendiri.

Kelembagaan nelayan lemah dan tidak dapat berfungsi dengan baik serta tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga untuk melarang nelayan yang memakai alat tangkap yang dapat merusak lingkungan tidak bisa dan sangat sulit. Seharusnya dari pihak berwajib seperti DKP, angkatan laut atau AIRUD mengadakan operasi di laut dan menindak tegas kapal yang melanggar. Itu pun masyarakat nelayan Desa Morodemak tidak bisa berharap banyak. Buktinya jaminan keamanan di TPI saja tidak ada. Contoh yang nyata, nelayan untuk menjual ikannya saja setelah laku dilelang, uang tidak bisa langsung diterima kontan, baru seminggu kadang 10 hari uang dibayar, padahal nelayan butuh makan dan menutup biaya operasional.

Pernah terjadi konflik antar nelayan Desa Wedung dengan Desa Purworejo dan Desa Morodemak, penyebabnya adalah karena alat tangkap apokat yang

merusak lingkungan. Seharusnya pihak aparat yang berwajib sering-sering melakukan operasi rasia apokat, agar nelayan kecil tidak dirugikan. Pernah ada juga yang mendatangi Koramil, namun jawaban yang didapatkan: “memang lautan Indonesia itu kalau diambil orang Indonesia sendiri tidak apa-apa”. Ketika seorang nelayan bertemu dengan petugas AIRUD di TPI, dia ceritakan perkataan anggota Koramil tadi, dan nelayan tadi berkomentar:”kenapa saya tidak diperbolehkan menangkap ikan dengan bom, padahal saya juga masyarakat Indonesia”. Kemudian petugas AIRUD tadi berjanij akan melakukan rasia.

Bagi nelayan, masalah rejeki itu berada di tangan Allah, namun masalahnya jadi lain. Ketika nelayan melaut menebar jaring untuk menangkap ikan, ternyata disebelahnya sudah ada kapal mini trawl apokat yang sudah menguras ikan di tempat nelayan tersebut menangkap ikan. Bahkan pernah terjadi tabrakan antara perahu nelayan kecil dengan kapal mini trawl apokat, lalu mereka lari tidak bertanggung jawab.

Pemerintah sebetulnya sudah melarang alat tangkap mini trawl berupa

apokat dan cantrang, namun ternyata larangan pemerintah tersebut tidak mempan, karena alat tersebut masih berkeliaran dan merugikan nelayan kecil, karena pemerintah tidak ada sanksi dan tindakan tegas. Sebetulnya kalau alat tangkap

apokat dan cantrang dilarang dan tidak beroperasi di perairan Jawa Tengah, nelayan kecil tidak akan kelaparan. Sebetulnya nelayan mini trawl berupa apokat

dan cantrang, kalau dilakukan operasi rasia oleh pihak aparat keamanan itu takut. Ada kasus ketika dilakukan operasi rasia oleh DKP, saat itu ada nelayan yang memakai alat tangkap mini trawl apokat tertangkap, temannya yang mengetahui, langsung lari sambil memotong alat tangkap apokat lain yang masih ada.

Selama masih ada alat tangkap mini trawl apokat, nasib nelayan sangat menderita. Pernah dari Dinas Perikanan membuat tanda rambu-rambu batas beroperasinya alat tangkap apokat yang tidak boleh melebihi rambu-rambu itu. Oleh nelayan mini trawl apokat, semua rambu-rambu itu dibuang dengan ditarik 5 unit kapal mini trawl apokat. Padahal jumlah rambu-rambu itu banyak sekali dan biayanya mahal, selain itu bisa untuk rumpon-rumpon untuk mengundang ikan. Akhirnya dihabisi oleh nelayan mini trawl apokat.

KELEMBAGAAN NELAYAN TPI MORO DAN KUD