• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

NORMA MASYARAKAT YANG TIDAK MENDUKUNG PEMBANGUNAN 1 Suka Berhutang dan Tidak Bertanggung Jawab

Pada umumnya program-program P3EMDN di desa Morodemak banyak yang macet. Awalnya ketika diberi bantuan dana program bergulir, mereka bersedia mengembalikan, namun ketika program sudah berjalan beberapa waktu, mereka tidak mau mengembalikan pinjaman tersebut. Mereka menganggap bahwa bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu gratis, tidak perlu dikembalikan. Mereka menjadikan alasan, bahwa dulu-dulu program bantuan dana dari pemerintah itu gratis. Dahulu juga ada dana bantuan IDT yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah, namun dana tersebut yang seharusnya bergulir diantara masyarakat, ternyata tidak berjalan, bahkan uang pinjaman untuk modal tidak kembali. Hal itu dijadikan alasan bagi mereka untuk tidak mengembalikan uang dana bantuan P3EMDN.

Mereka kalau berhutang dan tidak membayar itu sudah biasa dan tidak merasa berdosa atau merasa merugikan orang lain yang dihutangi. Anehnya padahal mereka mengaku agamis. Apalagi berhutang massal ada temannya, mereka tambah berani untuk tidak membayar. Ditambah lagi tidak ada jaminan dan sanksi hukum yang mengikat, mereka tambah lebih berani.

Kebiasaan bagi istri-istri nelayan, mereka berhutang di warung-warung untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Nanti dibayar kalau suaminya pulang dari melaut. Apabila suaminya pulang dari melaut ternyata pendapatannya kecil, sehingga tidak dapat membayar hutang. Besoknya ambil barang ngebon lagi. Akhirnya hutangnya jadi menumpuk dan sulit untuk menagihnya. Kalau ditagih bahkan ada yang marah- marah atau mereka pindah tidak lagi belanja di warung yang lain.

Budaya masyarakat nelayan yang belum dapat dihilangkan adalah budaya tidak ada rasa tanggung jawab. Senangnya hutang sampai menumpuk akhirnya tidak dibayar. Banyak warung yang mengeluhkan masalah ini. Warung yang diperbanyak modal dan barangnya, tidak semakin berkembang menjadi besar, justru modalnya hilang dan habis. Padahal pengajian disini hampir tiap hari diadakan, namun perilaku masyarakat masih seperti ini. Bahkan ketika acara kematian warga, itu sudah diketuk dan diingatkan tentang hutang, seharusnya itu lebih mengena, namun juga belum ada kesadaran. Kembali kepada nafsu manusia lagi. Merubah perilaku mereka itu sangat sulit. Seharusnya ada kesepakatan diantara penjual warung atau toko, kalau membeli tidak membayar, tidak usah dilayani. Bahkan ada orang yang mampu dan punya usaha, hidup berkecukupan, kalau hidupnya tidak dihiasi hutang tidak enak.

Diibaratkan mereka itu seperti bayi yang baru lahir, harus kita bimbing untuk belajar berdiri, berjalan dan akhirnya dapat berlari kencang sendiri dengan penuh kesabaran dan jangan terlalu cepat dilepaskan begitu saja sebelum mereka mampu berdiri sendiri. Yang jadi masalah adalah mau tidak mereka dibimbing, diarahkan

dan dibina untuk menjadi baik. Merubah pola pikir yang dimiliki masyarakat ini memerlukan proses dan waktu yang panjang dan penuh kesabaran dalam membimbing secara terus menerus serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 2. Mabuk-mabukan

Kebanyakan masyarakat nelayan Desa Morodemak tidak mau menabung. Begitu mereka mendapat penghasilan banyak digunakan untuk belanja barang- barang yang sebetulnya belum terlalu dibutuhkan. Ketika musim paceklik, mereka bingung cari hutangan atau menjual barang-barang yang harga jualnya sudah tidak bernilai lagi. Bahkan sebagian dari mereka, kalau mendapatkan hasil yang lebih, digunakan untuk membeli “Bir” (minuman keras) dan minum-minum ditengah laut, terutama juru mudi-juru mudi. Alasan mereka adalah sebagai penghangat badan di tengah laut yang dingin. Padahal Pak Kades sudah melarang minuman keras. Kadang menjadi pemicu terjadinya perkelahian. Akhir-akhir ini generasi pemuda Desa Morodemak, perkembangannya sangat memprihatinkan. Kemungkinan karena pengaruh TV dan mass media lain. Mereka berperilaku kebanyakan negatif, seperti suka mabuk.

Di Desa Morodemak itu kalau ada pengajian rajin tiap hari, banyak yang datang dan semangat, namun perilaku sebagian masyarakat disana ada yang minum (mabuk-mabukan). Waktunya minum, mereka minum, tetapi waktunya dipungut bantuan dana untuk pembangunan tempat ibadah, mereka ada yang memberi Rp100ribu, Rp50ribu dan seterusnya. Pernah di desa tersebut ada sosialisasi pemberantasan minuman keras yang melibatkan tokoh masyarakat, ada seorang tokoh yang menyeletuk:”Wah ini gimana saya ini suka minum minuman keras kok ikut memberantas minuman keras?”

3. Pola Hidup Boros, Suka Berfoya-foya, tidak mau Menabung dan Konsumtif Masyarakat nelayan itu belum pernah merasakan susahnya menanam, dalam artian menanam benih ikan, dalam pemikian mereka yang ada hanya panen, menangkap ikan di laut. Keadaan demikian menyebabkan mereka jika mendapatkan hasil banyak, selalu dihabiskan, Dalam pikiran mereka kalau habis nanti akan dapat hasil lagi dengan melaut. Tetapi ketika musim paceklik datang, mereka serba kekurangan. Kegemaran menabung tidak ada, karena belum pernah merasa susahnya menanam. Pola pemikiran mereka yang seperti itu sudah terjadi secara turun temurun. Kalau mereka mendapatkan hasil banyak, mereka tidak mau menabung uangnya untuk senang-senang membeli barang-barang yang mereka sukai. Ketika diingatkan, mereka berkomentar: “besok melaut lagi kan dapat uang lagi”. Kalau mereka punya hutang, harus mengejar-ngejar untuk menagihnya. Itu pun sangat sulit. Begitu terjadi masa-masa sulit, mereka menjual barang-barang yang dimiliki untuk menutup kebutuhan hidupnya. Terkadang kalau terpaksa hutang ke rentenir dengan bunga yang tinggi.

Perilaku mereka juga, kalau waktu panen tiba, mereka konsumtif membeli barang-barang. Namun ketika musim paceklik tiba, mereka menjual barang-barang tersebut untuk kebutuhan makan. Dulu ada yang menjual piring, gelas, perabot rumah, bahkan ada yang menjual genting rumahnya.

4. Temparemen Keras dan Sulit Diatur

Rata-rata masyarakat pesisir itu mempunyai karakter yang keras dan sulit diatur. Ketika ada program dana pinjaman modal untuk pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir dari pemerintah, mereka sebelumnya berjanji untuk

mengembalikan dan menggulirkan dana tersebut kepada warga lain, namun kenyataannya dana tersebut macet, bahkan mereka tidak mau mengembalikan dana tersebut dengan alasan itu adalah dana pemberian pemerintah yang tidak perlu dikembalikan. Kesadaran untuk mengembalikan dana itu sangat rendah, padahal kalau mereka berhasil mengembalikan dana tersebut, mereka akan mendapatkan bantuan lanjutan lagi.

Program P3EMDN (Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa Nelayan) sebesar sekitar Rp 200 jutaan. Nampaknya karena terbentur dengan reformasi, program tersebut sudah tidak terkendali. Ada beberapa kelompok masyarakat yang menerima dana program tersebut menjual asset dan modal usaha dengan alasan asset tersebut adalah milik masyarakat. Bahkan dana hasil penjualan tersebut dipakai untuk membuat lapangan sepak bola. Jadi mereka maunya sudah seperti itu, sulit diatur. Karakteristik masyarakat desa nelayan itu keras dan sulit diatur.

5. Kebiasaan Buang Air dan Buang Sampah di Pinggir Sungai atau Tambak Kebiasaan buang hajat di pinggir sungai dan tambak, sehingga kebanyakan rumah mereka tidak dilengkapi dengan jamban. Kebiasaan membuang sampah disembarang tempat, sebetulnya itu menyangkut kebiasaan masyarakat yang sulit dirubah, karena meraka sudah terbiasa turun temurun dari orang tuanya berbuat begitu. Kalau mereka mau membiasakan buang hajat di WC sebetulnya mudah, membuat jamban di dalam rumah. Buktinya orang yang mampu diantara mereka masih ada yang buang hajat di luar rumah, padahal mereka mampu membuat jamban didalam rumah. Kalau mereka beralasan, buat jamban didaerah pantai itu sulit, karena peresapannya selalu dipenuhi air laut, apalagi ketika pasang. Dengan teknik tertentu bisa diatasi masalah tersebut, misalnya dengan membuat WC yang lebih tinggi tempatnya.

Pernah ada kejadian lucu, ada keluarga yang memiliki besan dari luar kota, suatu saat besan tersebut akan buang hajat, ketika ditunjukkan di pinggir sungai,

besan tersebut tidak jadi buang hajat, tetapi justru pamit akan pulang. Esok harinya, karena anaknya malu kepada mertuanya, anaknya minta dibuatkan WC di dalam rumah. Terpaksa si bapak mengabulkan permintaan anaknya tersebut.

Terkadang ada anaknya yang kuliah di kota, karena kebiasaan di kota kalau buang hajat dan mandi di tempat tertutup di dalam rumah, mereka pulang ke desa minta dibuatkan kamar mandi dan WC yang tertutup di dalam rumah. Permintaan anak tersebut dipenuhi oleh orang tuanya.

6. Sulit Diajak Membangun Fasilitas Sarana dan Prasarana Desa

Karakteristik masyarakat desa Morodemak, kalau untuk kegiatan keagamaan, mereka keluar uang itu ringan, tetapi kalau untuk membangunan fasilitas lingkungan sarana prasarana desa, mereka sangat sulit. Bahkan sudah diberi stimulus dana untuk pembangunan saja susah. Alasannya pembangunan itu urusannya pemerintah.

Pada umumnya masyarakat nelayan Desa Morodemak mempunyai tingkat pendidikan dan sumberdaya manusianya yang relatif rendah. Tingkat pendidikan dan SDM yang rendah membuat mereka tidak dapat berfikir dan kurang memiliki wawasan yang luas. Keterbatasan waktu, karena sehari-harinya waktu dihabiskan di

laut untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Akhirnya ketika diajak untuk berpartisipasi, mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri.

Contohnya ketika mereka diajak untuk pertemuan tidak mau menghadiri kalau tidak ada uang sakunya. Alasannya, kalau ada uang saku, mereka tidak bekerja sudah cukup untuk makan sekeluarga. Tetapi kalau tidak ada uang sakunya, sementara mereka tidak bekerja, keluarga mereka yang memberi makan siapa? Perilaku ini berawal dari ketergantungan mereka dengan pendapatan yang sifatnya harian dan kemalasan mereka untuk menabung, sehingga ketika satu hari tidak memiliki penghasilan, mereka bingung. Akhirnya menjadi kebiasaan bagi masyarakat, keengganan mereka ketika diminta untuk musyawarah memecahkan permasalahan yang mereka hadapi, sehingga mereka tidak pernah membicarakan dalam forum musyawarah.

7. Gengsi dan Pemalas

Ada perilaku gengsi dikalangan mereka. Penampilan mereka meyakinkan, walaupun di rumah sebetulnya tidak mempunyai apa-apa (jaga gengsi). Perilaku pemalas, ketika musim paceklik mereka tidak melaut sama sekali dan tidak berusaha untuk mencari alternatif pekerjaan lain.

Jiwa pemalas yang terjadi pada nelayan itu disebabkan karena keterbatasan ketrampilan, mereka hanya mempunyai ketrampilan melaut saja. Mereka tidak memiliki keahlian lain. Jadi kalau datang musim paceklik, mereka tidak bekerja atau mencari alternatif pekerjaan lain, karena tidak memiliki keahlian lain dan hanya bermalas-malasan, tidur-tiduran. Akhirnya karena tidak ada aktivitas dan kesibukan yang dikerjakan, mereka banyak yang terjatuh dalam kemaksiatan main, minum dan lain-lain. Padahal mereka kehidupannya sangat agamis. Pernah ada kejadian, saat penen tiba mereka mendapat udang penuh satu perahu, bahkan tempatnya tidak cukup, karena sangat melimpah, tetapi hasilnya kemudian tidak untuk ditabung, malah digunakan untuk foya-foya.

8. Perilaku Tokoh yang tidak memberi Keteladanan

Pemerintah memberikan dana bantuan pinjaman yang harus diangsur oleh masyarakat tanpa jaminan pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK), namun masyarakat mengira itu adalah bantuan rutin tahunan pemerintah yang tidak perlu untuk dikembalikan. Seharusnya pemerintah dalam memberikan pinjaman modal meminta jaminan. Apalagi tidak ada sanksi hukumnya apabila ada yang melanggar. Masyarakat kalau bulan ini tidak ditagih, maka dapat dipastikan bulan depan tidak akan membayar. Bahkan ada seorang tokoh masyarakat, ketika ditagih tidak mau membayar. Ini dijadikan alasan warga lain juga tidak mau membayar. Hal ini menunjukkan, bahwa perilaku yang kurang baik dari tokoh masyarakat nelayan yang dicontoh oleh masyarakat. Akhirnya menjadi kebiasaan bagi masyarakat. Mereka beranggapan, bahwa semua dana bantuan yang diberikan pemerintah melalui program pembangunan merupakan bantuan pemerintah yang tidak perlu dikembalikan (gratis) tiap tahun pasti ada dana bantuan gratis tersebut.

KARAKTER TOKOH DALAM SISTEM KELEMBAGAAN 1. Memperhatikan Aspirasi Masyarakat

Ada kecenderungan kegagalan sistem kelembagaan swadaya masyarakat disebabkan, karena pemimpin kelembagaan swadaya masyarakat lebih memfungsikan lembaga yang mereka pimpin sebagai pendukung upaya pembangunan pemerintah daripada sebagai lembaga mandiri yang berusaha memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan (Soetrisno, 1995:236). Kepemimpinan yang efektif mengembangkan kelembagaan swadaya masyarakat setidaknya apabila memiliki empat prasyarat, yaitu terpercaya, berkepentingan (kompeten), komunikatif dan memiliki komitmen untuk bekerja sama (Sumardjo, 2003:157).

2. Jujur, Transparan dan Memegang Amanat

Masyarakat nelayan dalam artian yang selalu pergi melaut. Umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan dana bantuan dibutuhkan seorang pemimpin yang diakui kejujurannya, disegani oleh masyarakatnya dan memiliki ketrampilan dan tingkat pendidikan serta wawasan yang luas. Pemimpin itu sebagai pemikir yang membutuhkan kejernihan berfikir, sementara yang turun ke laut adalah orang-orang yang tingkat pendidikan dan kejujurannya belum meyakinkan. Sering terjadi perselisihan antara pemimpin yang berperan sebagai manajer dengan pelaksana di lapangan. Karakter pemimpin yang baik, sangat dibutuhkan bagi masyarakat, meliputi kejujuran, keteladanan dan sifat keterbukaan, sehingga masyarakat percaya dan mau mengikuti petuah-petuah dan nasehatnya.

Melihat pengalaman selama ini, mengenai peran tokoh dalam sistem kelembagaan sangat penting sekali. Seorang tokoh haruslah orang yang: (1) diakui memegang amanah, transparan dan jujur; (2) bisa memberi contoh kepada warga dan konsekwen antara apa yang dilakukan dan diperbuat dengan apa yang dikatakan secara moral; (3) disegani, sehingga warga mematuhi aturan yang dibuat bersama.

Tokoh kyai sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Mereka juga perlu diberdayakan, karena ada kecenderungan para kyai hanya mengarahkan masyarakat untuk urusan akhirat saja, sementara hal-hal urusan dunia sepeti pengetahuan, pendidikan dan ketrampilan dikesampingkan. Sebetulnya para kyai sangat berpotensi sebagai agen-agen pemberdayaan masyarakat, untuk itu harus bersinergi tidak hanya yang diberdayakan masyarakat, namun para kyai pun perlu diberdayakan.

3. Disiplin dan Dapat Memberi Contoh yang Baik

Karakter tokoh dan disiplin untuk mengikuti aturan itu juga mempengaruhi. Tokoh yang memberi contoh yang baik akan berpengaruh baik ke warga masyarakat. Kedisiplinan mengikuti aturan-aturan yang disepakati bersama bagi semua elemen masyarakat akan membawa keberhasilan. Kadang tokoh tidak memberi contoh yang baik, mereka mendapatkan dana pinjaman tidak mau membayar dengan alasan dana bantuan pemerintah tidak perlu dikembalikan, maka warga lain akan mengikuti. Padahal sejak awal sudah disepakati aturan harus dikembalikan, karena dana tersebut harus bergulir ke warga lain. Jika tokohnya disiplin, warga lain pun akan disiplin. Jika semua sudah disiplin dengan tugasnya masing-masing, semua akan berjalan dengan baik.

Masyarakat desa ini masih menghargai tokoh agama dan tokoh masyarakat. Sebetulnya masyarakat disini tergantung dengan yang mengarahkan dan tokoh tersebut bisa memberi contoh nyata. Masyarakat nelayan disini itu bimbingannya mudah, kalau mereka sudah terpegang hatinya, mereka akan dengan mudah memberikan yang mereka miliki. Namun kalau sudah terbentur tidak dipercaya oleh masyarakat, walaupun kata-katanya manis semanis apapun tidak akan diperhatikan oleh masyarakat. Contohnya untuk sambatan kapal untuk kebutuhan masjid dan disepakati semua hasil akan diserahkan masjid, mereka akan melihat siapa yang bicara, kalau yang bicara bisa mereka percaya, mereka akan dengan suka rela untuk sambatan. Mereka merasa memiliki masjid, sehingga berusaha untuk membantu semampu mereka.

Masyarakat nelayan Morodemak itu sebetulnya mudah, asalkan bisa mengambil hatinya, mereka akan memberikan apa yang dibutuhkan dengan suka rela. Buktinya adalah ketika dimintai dana dan tenaga untuk pembangunan masjid dan madrasah, mereka bersemangat dan suka rela. Memang perlu waktu yang panjang dan pembinaan yang terus menerus untuk merubah pola pikir mereka yang keliru dan itu juga membutuhkan keteladanan tokoh dan pemimpin, bahwa pembangunan sarana dan prasarana umum desa juga merupakan bagian dari ibadah.

Banyak program pembangunan berupa dana bantuan dari pemerintah yang kurang berjalan dengan baik di Desa Morodemak. Hal ini disebabkan oleh perilaku masyarakat yang kurang mendukung. Masyarakat yang kurang mendukung program pembangunan, karena mereka cenderung melihat ketokohan yang mereka teladani. Sebetulnya perilaku mereka dapat sedikit demi sedikit berubah, kalau ada keteladanan dari tokoh dan pemimpin. Hal ini membutuhkan proses waktu yang sangat panjang. Diawali dari para tokoh masyarakat, khususnya aparat desa.

4. Memiliki Kemampuan (SDM Cukup Baik) dan Kemauan

Pemerintah desa itu sebagai ujung tombak bagi terlaksananya program pembangunan. Hal ini diperparah dengan kondisi SDM yang relatif masih rendah. Dalam proses pemilihan Kades, masyarakat tidak mau memilih calon Lurah atau Kades yang memiliki kemampuan SDM tinggi. Mereka memilih calon yang berpengaruh di desa, namun tidak memiliki SDM yang cukup untuk menjalankan tugas-tugas sebagai Kades, calon yang demikian justru yang mendapatkan dukungan kuat di mata masyarakat. Apalagi sekarang diperparah dengan adanya

money politic yang semarak antar calon, sehingga yang terpilih sebagai Kades kualitas SDM-nya kurang bagus. Padahal seorang pemimpin salah satunya harus ditunjang dengan kualitas SDM yang bagus, karena dia adalah sebagai seorang pemimpin. Kalau seandainya semua desa didukung dengan Kades yang memiliki kualitas SDM bagus, desa akan berkembang dengan baik.

LEMAHNYA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM SISTEM KELEMBAGAAN