• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

TIDAK BERFUNGSINYA SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA KELEMBAGAAN RUMAH TANGGA

1. Anak-anak Nelayan

Bagi masyarakat nelayan desa Morodemak, penanaman pemahaman agama dimulai sejak dari lahir. Bayi yang baru lahir sudah dikenalkan agama oleh orang tuanya dengan mengumandangkan adzan. Kalau tidak dikumandangkan adzan kurang mantap. Kemudian pada usia TK sudah dikenalkan baca Al-Quran melalui Taman Pendidikan Quran. Anak-anak nelayan Desa Morodemak mempunyai acara yang padat untuk belajar. Setelah sholat Shubur, dia baca Al-Quran di tempat guru ngajinya. Kemudian pulang, mandi dan pergi sekolah di MI. Pukul 13.30 pulang sekolah, kemudian mandi dan makan siang. Pukul 14.00 – 16.50 WIB sekolah diniyah. Setelah sholat Maghrib baca Al-Quran, Setelah Sholat Isya belajar dan berkumpul dengan keluarga.

Anak-anak nelayan sekarang sudah mulai banyak yang sadar untuk sekolah, alasan mereka saat sekarang tamatan SD itu tidak ada manfaatnya, kecuali anak- anak nelayan yang buruh. Anak buruh nelayan kebanyakan tidak sekolah, seandainya sekolah hanya sampai bangku SD atau tidak selesai SMP, karena mereka dituntut untuk membantu orang tuanya mencari pendapatan di laut. Jangankan untuk kebutuhan sekolah anaknya, untuk kebutuhan makan sehari- harinya saja sulit.

Anak-anak nelayan buruh itu kalau sekolah tidak pernah selesai paling bagus lulus MTs dan jika nelayan tersebut tergolong mampu, hanya dapat menyekolahkan anaknya sampai Madrarah Aliyah (setingkat SMA). Anak nelayan sekolah di perguruan tinggi itu tidak ada. Ada yang hanya mampu menyekolahkan sampai lulus SD atau MTs. Bahkan ada yang SD saja tidak lulus. Mereka lebih mengkonsentrasikan ke pendidikan agama.

Anak-anak nelayan kalau sudah tidak sekolah, mereka pergi melaut membantu orang tuanya. Usia 10 – 12 tahun sudah diajak melaut. Dahulu sebelum ada MTs, banyak anak-anak nelayan yang tidak sekolah, mereka langsung melaut. Anak-anak muda nelayan di desa ini, tidak ada keinginan untuk memikirkan masa depan mereka. Mereka senang hidup berfoya-foya, tidak memikirkan untuk menabung. Berbeda dengan anak muda yang ada di Jepara, mereka bekerja sebagai tenaga mebel. Mereka bersaing untuk menabung untuk membeli baju atau ikut arisan dari uang gaji mingguannya. Kalau anak muda disini yang belum nikah, mereka berfoya-foya dan tidak mau menabung. Pikiran mereka, nanti kalau nikah yang membiayai orang tuanya.

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhdap perilaku anak-anak muda. Biasanya anak muda yang tidak mau ikut kumpul-kumpul itu dijauhi teman- temannya, dianggap pelit. Padahal kalau mereka sudah kumpul, pasti berbuat yang kurang baik. Disini berlaku siapa yang pendapatan ikannya banyak, biasanya malam harinya teman-temannya ke rumah untuk bersenang-senang, minta minum atau minta jajan.

2. Peran Istri Nelayan

Pada saat musim paceklik terang bulan mulai tanggal 10 sampai dengan 20 bulan qomariah, nelayan istirahat, nganggur total di rumah tidak mau mencari alternatif pekerjaan lain, pikirannya sudah mati. Akhirnya istrinya yang mencari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Peran istri dalam membantu mencari pendapatan suami sangat besar. Mereka membantu mengolah hasil tangkapan ikan suaminya. Usaha mereka mengeringkan ikan asin, membantu memperbaiki jaring yang rusak, pemanggangan ikan, membuat krupuk ikan atau udang dan lain-lainnya.

Sebagai istri nelayan yang memiliki pendapatan yang tidak menentu, mereka berusaha mencari pendapatan tambahan. Usaha tersebut tergantung dengan ramainya hasil tangkapan ikan. Jika musim panen datang, usaha tersebut turut ramai. Jika hasil tangkapan ikan nelayan sedikit, usahanya juga ikut sepi. Kalau usahanya sedang sepi, mendapatkan uang juga sulit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan makan juga sulit.

Istri nelayan sangat aktif mengikuti jamaah pengajian di kampungnya yang dilakukan secara bergiliran dari rumah warga yang satu ke rumah warga yang lain. Terkadang dilakukan di masjid atau mushola setempat. Perkumpulan semacam PKK di kampungnya tidak ada. Banyak kelompok yang diikuti oleh istri-istri nelayan, ada

kelompok wanita persatuan, wanita perjuangan, wanita kebangsaan, pengajian muslimatan dan lain-lain. Anehnya, semua kegiatan kelompok itu berkisar pada pengajian dan keagamaan saja. Tidak ada yang memiliki program peningkatan ketrampilan atau pengembangan ekonomi keluarga. Tidak heran, jika setiap hari di Desa Morodemak ini ada pengajian.

Istri-istri nelayan sekarang memiliki kebisaaan buruk, mereka selalu menanyakan pendapatan suami, sampai-sampai uang yang disimpan oleh suaminya ditanyakan. Bahkan sekarang jatah seorang suami yang mengatur istrinya. Padahal dahulu seorang istri menanyakan pendapatan suami itu merupakan aib yang besar. Perubahan ini yang tidak dirasakan oleh bapak-bapak nelayan.

3. Kepala Keluarga

Nelayan serabutan, terkadang ikut kapal melaut atau ikut perahu jaring. Tiap hari pendapatannya tidak menentu. Suatu saat membawa pulang uang Rp 40 ribu, lain hari Rp 30 ribu. Bahkan pernah sehari membawa Rp 10 ribu atau Rp 5 ribu, terkadang tidak mendapatkan hasil apa-apa.

Mayarakat nelayan di Desa Morodemak, kalau siang tidur, nanti sore berangkat ke laut pagi baru pulang. Untuk pertemuan dan rapat antar warga jarang terjadi. Pertemuan hanya dilakukan kemungkinan pada hari Jumat, karena biasanya hari Jumat semua nelayan tidak melaut. Orang tua pimpinan keluarga itu sebagai teladan anak-anaknya. Kalau perilaku orang tua baik, akan dicontoh anaknya menjadi baik dan sebaliknya kalau jelek.

Di lingkungan RT tidak ada kegiatan pertemuan warga, karena semua laki- laki disini disibukkan pergi ke laut, tidur/istirahat, pergi ke mushola untuk sholat dan memperbaiki perahu atau jaring yang rusak, sehingga tidak sempat mengadakan pertemuan-pertemuan semacam itu.

4. Kelembagaan Kemasyarakatan Desa

Dahulu di desa Morodemak, kehidupan sosial masyarakat sangat solid. Gotong royongnya masih kuat, misalnya ada warga yang akan mendirikan rumah, semua warga sambatan membantu. Membuat jaring, rumpon atau bagan di tengah laut mereka semua sambatan. Sekarang semua harus dengan upah, sampai mendorong perahu yang akan melaut pun harus memberi upah. Ada lagi kebisaaan yang hilang, yaitu pencing. Biasanya nelayan pulang dari melaut medapatkan hasil tangkapan banyak, maka sebagiannya diberikan kepada kaum kerabat yang tidak mampu. Kebiasaan pencing ini sakarang sudah tidak pernah terdengar lagi.

Tiap RT dan RW masing-masing mempunyai kelompok pengajian manakib

dan perjanjen yang mengadakan masyarakat sendiri. Perkumpulan RT bagi warga melalui jamaah-jamaah pengajian manakib, perjanjen, yasinan, tiap hari malam jumat. Ada juga jamaah Mustaghfiri, yang memiliki kegiatan bila ada keluarga warga yang meninggal didoakan dan ditahlili selama tiga hari tidak dipungut biaya. Untuk pertemuan warga yang membahas pembangunan seperti yang ada di kota itu tidak ada.Keeratan kekeluargaan dalam kehidupan nelayan itu sangat penting. Suatu contoh, di Desa morodemak banyak nelayan kapal kecil yang ditumpangi hanya 2 orang (pothik). Ketika musim paceklik, mereka menjadi anak buah kapal besar yang berkapasitas angkut tadinya 25 orang, menjadi 40 – 50 orang, sehingga bagi anak buah yang asli menerima pembagian hasil lebih sedikit dari biasanya, yang tadinya

hasil dibagi 25 orang sekarang dibagi 40 – 50 orang, namun mereka tidak keberatan. Ini bukti solidaritas kekeluargaan mereka.

Ada juga perkumpulan PKK dan sepak bola menjelang peringatan agustusan. Remaja nelayan kalau tidak mempunyai kegiatan, mereka akan melakukan perbuatan yang negatif. Perkumpulan istri nelayan berupa perkumpulan pengajian dan PKK.