• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

B. Fenomena Sosial

1. Pengertian Fenomena Sosial

Fenomena berasal dari bahasa Yunani; phainomenon yang berarti things appearing yakni apa yang tampak.38 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fenomena berarti: (1) hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam); (2) sesuatu yang luar biasa; keajaiban; (3) fakta; kenyataan.39 Sedangkan sosial bermakna: (1) berkenaan dengan masyarakat: perlu adanya komunikasi;(2) suka memperhatikan kepentingan umum.40

Dari pengertian di atas, fenomena sosial dapat diartikan sebagai gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan sosial. Salah satu fenomena sosial yang terdapat dalam kehidupan kita sehari-hari adalah adanya masalah-masalah sosial yang timbul baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Jika kita membicarakan fenomena sosial, perlu kita mengacu pada sebuah perubahan sosial dan permasalahan sosial dalam tatanan masyarakat yang diawali dengan interaksi.

Pendapat Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto yang mengartikan fenomena sosial mengantarkan kita pada sebuah konteks perubahan sosial, yang dalam hal ini sebagai segala bentuk perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.41

Pembicaraan fenomena sosial juga tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara realitas fisik dan realitas psikis manusia. Misalnya saja fenomena sosial

38

Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, Analisis Struk tur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 42.

39

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 390.

40

Ibid.,h. 1331.

41

Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 305.

yang terjadi karena adanya masalah sosial yang merupakan akibat interaksi sosial antara individu satu dengan individu lainnya, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok.42

Interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bertujuan, yang pada dasarnya berfungsi memenuhi kepuasan subjek. Aktivitas yang disertai dengan tujuan-tujuan tertentu, baik tujuan tersebut berhasil dicapai secara langsung oleh pelaku maupun lewat anggota lain, dan biasanya untuk menuju pada pencapaiannya, yaitu kepuasan subjektif tak jarang terjadi gesekan-gesekan antar individu, hal inilah yang kiranya dapat dikatakan fenomena sosial.

Fenomena sosial terjadi juga karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto, “perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.”43

Fenomena sosial sendiri mengacu pada banyak bentuk, di ataranya proses sosial dan interaksi sosial seperti asosiatif dan disosiatif; kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat; dinamika kebudayaan; lembaga masyarakat; stratifikasi masyarakat; kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan dalam masyarakat; serta masalah sosial yang terjadi diantaranya yaitu kemiskinan, kejahatan, pelanggaran norma-norma masyarakat, masalah kependudukan dan masalah lingkungan hidup.44 42 Ibid., h.358. 43 Ibid., h.308. 44 Ibid., h. vii

2. Fenomena Sosial dan Proses Kreatif

Kehadiran fenomena sosial yang terjadi meliputi berbagai aspek manusia dan kehidupannya adalah materi yang digambarkan dalam sebuah puisi misalnya ke dalam bentuk perjalanan hidup manusia yang terjadi di „jalan raya‟ atau „biru langit‟ dan tanpa materi tersebut, sebuah karya sastra pastinya tidak bermakna.

Sebuah karya sastra menjadi menarik karena melibatkan sisi psikologis, sosioligis, filosofis, kultural dan sisi politis yang kesemuanya adalah cerminan pengalaman kehidupan dari penyair. Oleh sebab itu, terkadang banyak sastrawan yang mengungkapkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya tidak dengan cara yang sederhana. Misalnya menggunakan daya imajinasi dan intuisi yang optimal serta perbendaharaan kata untuk menopangnya.

Karya sastra hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam hierarki. Wujud yang ideal tidak bisa menjelma langsung dalam bentuk karya sastra. Tetapi ini tidak berarti bahwa karya sastra sama sekali kehilangan nilai. 45

Puisi merupakan refleksi dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Realita yang terjadi di tengah masyarakat tersebut kemudian dituangkan oleh penyair berdasarkan alam imajinasinya ke dalam bentuk puisi. Dengan demikian puisi dapat memberikan solusi atau alternatif untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi dalam arus masyarakat. Sapardi Djoko Damono beranggapan bahwa sastra merupakan bagian cermin kehidupan, dan kehidupan itu berisi kenyataan sosial. Dalam pengertian ini Sapardi menjelaskan bahwa:

Kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarkat dengan orang-orang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi

45

bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.46

Wellek dan Warren dalam bukunya menyitir pendapat Max Eastman (seorang teoretikus yang juga menulis puisi) yang berpendapat:

“…pengarang—dan terutama penyair—mengira bahwa tugas utama mereka adalah menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Padahal fungsi utama penyair, adalah membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan mata kita, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah kita ketahui.”47

Pendapat Eastmen semakin kuat manakala Carl Gustav Jung menambahkan bahwa tidak ada bedanya apakah penyair tahu bahwa karyanya tumbuh dengan matang di masyarakat, atau apakah ia beranggapan bahwa dengan menuangkan apa-apa yang ada di pikirannyatelah dapat membuat seorang penyairnya sendiri keluar dari kekosongan, akan tetapi disini Carl Gustav memerlukan dirinya untuk menekankan bahwa “in this way the work of the poet comes to meet the spiritual need of the society in wich he lives, and for this reason his work means more to him than his personal fate, whether he is aware of this or not.48

Seorang penyair kerap dianggap sebagai penanggung beban dunia, filsuf, bahkan dalam sastra profetik penyair diibaratkan serupa nabi. Penyair yang peka terhadap lingkungan, ia menyaksikan fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya, secara visual itu ditulis kembali dalam bentuk puisi dengan tambahan-tambahan pokok pikiran yang subjektif namun dengan gubahan bahasa yang lebih khas, sehingga mempunyai keberartian yang lebih dalam dari dimensi

46

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringk as, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaa n, 1978), h.1.

47

Wellek & Warren, op. cit., h.31. 48

“Dengan cara ini karya penyair datang untuk memenuhi kebutuh an spiritual masyarakat di tempat ia tinggal, dan untuk alasan ini karyanya lebih berarti baginya daripada nasib pribadinya, apakah dia menyadari hal ini atau tidak.” Baca: Arthur M.Eastman (ed), et.al.,The Norton Reader:

visual sebelumnya seperti pendapat Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan; “Sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia, penyair itu banyak pula mendapat inspirasi dari pada perhubungan manusia seorang dengan yang lain. Segala soal-soal masyarakat menggerakan perasaannya.”49

Pada dasarnya seorang penyair sendiri adalah orang yang mampu merayakan hal nampaknya sederhana menjadi peristiwa yang menarik bahkan dahsyat lewat rangkaian kata. Sastrawan memperlakukan kenyataan yang dijadikan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan meniru, memperbaiki, menambah atau menggabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan kedalam karyanya. Kenyataan yang ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra.50

Menyitir pendapat Frederich Albert Lange dalam Wardi Bachtiar yang beranggapan bahwa puisi merupakan media rekonsiliasi antara kreativitas jiwa dan determinisme serta skeptisme yang dihasilkan oleh fakta sosial.51 Albert Lange menganggap puisi sebagai dunia ketiga yang menghubungkan dunia fisik dengan psikis, subjektif dengan pengetahuan ilmiah objektif, dan pada tahap selanjutnya menghubungkan antara dunia ideal dengan dunia empiris.

Eka Budianta dalam tulisannya menjelaskan bahwa penyair seperti wartawan, jurnalis, seniman lain yang pada umumnya merupakan perantara atau „jembatan‟ dalam istilah Eka. Ia berpendapat “…penyair bertugas sebagai jembatan. Karya-karyanya menghubungkan dunia idea dan dunia kenyataan.”52

Demikianlah proses kreatif dalam menciptakan karya sastra, yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara peristiwa sosial dalam proses penciptaan yang berpusat pada kesan atau impresi.

49

S. Takdir Alisjahbana, Kebangk itan Puisi Baru Indonesia, (Jakarta: PT. Dian Rakjat, 1978), hal.30. 50

Siswanto, op. cit., h.46. 51

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.140. 52