• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

2. Unsur- unsur Puisi

1)Tipografi atau perwajahan puisi

Antara puisi dengan prosa, yang paling membedakan dari kedua karya sastra tersebut adalah dari segi tipografi atau perwajahannya. Dalam penulisan sebuah prosa yang terjadi adalah biasanya setiap lembar dipenuhi dengan kata-kata yang mendeskripsikan tentang sesuatu hal, maka pada puisi tidak dipenuhi dengan kata-kata seperti halnya prosa. Tepi kanan atau tepi kiri halaman yang memuat puisi belum tentu terisi penuh dengan kata-kata.

Wahyudi Siswanto dalam bukunya, Pengantar Teori Sastra menjelaskan seberapa jauh pengaruh perwajahan puisi dengan ruang pemaknaan pada puisi. Ia menjelaskan sebagai berikut:

Pada puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan satu pernyataan. Mungkin saja satu pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan di akhiri dengan titik (.). Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tapi membentuk bait. Sebuah bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.9

Pada kesimpulannya, tipografi atau perwajahan dalam puisi amat penting karena pengaturan baris dalam puisi dapat berpengaruh terhadap pemaknaan terhadap suatu puisi, sebab menentukan kesatuan makna. Selain itu perwajahan pada puisi dapat pula mewakili maksud dan kejiwaan penyairnya.

2) Diksi dan gaya bahasa

Pada umumnya kita menganggap bahasa sastra adalah bahasa yang khas, khususnya puisi, bahasa spesifik yang biasanya digunakan oleh para penyair.

Apakah lantas kita batasi sebuah puisi atas dasar kebahasaannya yang khas dibanding bahasa sehari-hari yang kita pakai? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada pendapat Sutardji Calzoum Bachri yang mengatakan, tidak heran kalau sajak bisa jadi gelap. Minim pintu, arah, tanda dan isyarat yang diberikan pada pembaca untuk menciptakan sesuatu yang masuk hati dan akal sehat.”10

Sutardji menganggap kegelapan sebuah puisi merupakan kebebasan bagi pembaca, bahwa sajak yang ekstrem gelap menciptakan pembaca yang ekstrem merdeka. Kebebasan itulah yang nantinya melahirkan daya baca yang kreatif bagi pembacanya. Sementara itu, Linus berpendapat, “puisi yang baik bukan sekedar hasil kelihaian penyairnya beretorika, bukan sekedar hasil kemahiran penyairnya mengartikulasikan kata-kata abstrak, tapi hasil kesanggupan penyairnya mentransformasikan pengalamannya menjadi kata-kata intuitif.”11

Dalam puisi kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata konkret dalam bahasa sehari-hari, gaya bahasa retoris seperti asonansi atau gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.12 Dalam puisi kata-kata juga sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.

Meskipun perannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun keutamaan kata-kata dalam puisi adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya antara kata-kata dalam puisi dan yang bukan puisi, sebab Hugh Kenner pun menjelaskan bahwa it is true a poetry brewed out of the sounds and implication of words is not a medium in which to think.13

10

Sutardji Calzoum Bachri, Isyarat: Kumpulan Esai, (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007) , h.117 11

Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3), (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), h.26.

12

Gorys Keraf, Dik si dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001) , h.130 13

“Itu benar bahwa puisi bersumber dari suara dan keterlibatannya terhadap kata dan bukanlah media dimana untuk berpikir”, baca: Hugh Kenner (ed). Twentieth Century Views. T .S.Eliot: A

Hampir senada dengan pernyataan Sutardji, Goenawan Mohamad dalam esainya mengutip pernyataan Alfred North Whitehead, “apabila kita memahami segalanya tentang matahari, segalanya tentang atmosfir dan segalanya tentang rotasi bumi, kita masih terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari terbenam.”14

Bagi Goenawan Mohamad sendiri, di saat melihat sinar matahari itu kita pun masing-masing punya pengalaman sendiri, yang tak sepenuhnya bisa dikomunikasikan secara persis.

Singkatnya, Goenawan Mohamad menganggap bahwa prestasi kesusastraan yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian dan suatu kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar benar demikian bila ia ada dalam lingkup komunikasi yang merdeka, dan pandangan Goenawan Mohamad ini bisa dikatakan senada dengan Walt Whitman yang berpendapat bahwa, “the messages of great poets to each man and woman are, come to us on equal terms, only then can you understand us, we are no better than you what we enclose you enclose, what we enjoy you may enjoy.15

Kenyataan menunjukkan bahwa terjadi kesalahpahaman dalam menjelaskan hubungan puisi sebagai karya sastra dengan latar yang digunakan sebagai unsur pembangun puisi tersebut. Kesalahpahaman tersebut sebagian besar diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menyimak hakikat puisi sebagai karya sastra yang merupakan hasil imajinasi, rekaan, dan proses kreativitas, termasuk bahasa yang metaforis atau konotatif.

14

Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kek uasaan, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), h.72. 15

“Pesan dari penyair besar untuk setiap pria dan wanita, bahwa yang datang kepada kami adalah sama, hanya demikian anda dapat memahami kami, kami tidak lebih baik dari apa yang kami tutupi, kalian juga tutupi, apa yang kita nikmati anda juga dapat menikmati.” Baca: Walt Whitman, Complete

3) Rima dan Ritma

Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi baik di awal, tengah maupun akhir. Sedangkan jika merujuk pada pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rima diartikan sebagai“pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan”.16

Wahyudi Siswanto beranggapan bahwa rima mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:

a) Onomatope: tiruan terhadap bunyi. Dalam puisi, bunyi-bunyi ini memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan oleh penyair, misalnya pada setiap konsonan huruf-huruf terdapat pemaknaan-pemaknaan tersendiri, seperti sifat, suasana atau bahkan sebuah sugesti.

b) Bentuk intern pola bunyi: merupakan aliterasi, asonansi, persamaan awal atau akhir, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi dan sebagainya.

c) Pengulangan kata atau ungkapan: pengulangan kata-kata tidak terbatas pada bunyi, namun mungkin kata-kata atau ungkapan. Pengulangan bunyi, kata, dan frasa memberikan efek magis yang murni.17

Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan (atau mendekati pengulangan) bunyi, rima mempunyai fungsi efoni.”18

Wellek dan Warren pun di sini menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya sendiri.19

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1174.

17 Siswanto, Op.cit. h. 122. 18

Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta , (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h.199.

19

Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri puisi secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan atau dikontraskan oleh rima. 20

Sedangkan Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat, lebih jauh Waluyo menjelaskan ritma sebagai berikut:

Ritma juga dapat di bayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang jawa. Dalam tembang tersebut berupa pemotongan bait-bait puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. 21

Adapun contoh ritma bisa kita lihat dari puisi karya Ali Hasjmy, yaitu ritma berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian/frasa sebagai berikut:

Pagiku hilang/ sudah melayang Hari mudaku/sudah pergi Kini petang/ datang melayang Batang usiaku/ sudah meninggi.22

B. Struktur Batin Puisi 1) Tema

Mursal Esten mengatakan bahwa “sebuah cerita rekaan membutuhkan tema. Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot cerita.”23

Jika melihat dalam konteks puisi, tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.24

20

Rene Wellek & Austin Warren. loc. cit. 21

Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995) , h.94. 22

Ibid, h. 95. 23

Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subk ultur, (Bandung: Angkasa, 2013) , h.134. 24

Dalam puisi, Waluyo menjelaskan bahwa tema merupakana “pokok pikiran atau pokok persoalan yang begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya.”25

Waluyo mencontohkan jika ada desakan yang kuat berupa rasa belas asih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untut memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial.

Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus bagi penyair akan tetapi menjadi objektif ketika di tangan khalayak atau pembaca.26 Secara singkat tema dapat diartikan sebagai gagasan dasar yang menopang isi yang ada dalam karya sastra, oleh sebab itu tema mengacu pada sebuah makna yang mengikat keseluruhan unsur-unsur apa yang ingin disampaikan oleh penyair sehingga hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu, seperti apa yang dikatakan oleh Angela Carter: “Some refer to the central idea, the thesis , or even the message of the story, and that is roughly what we mean by theme: a generalization or abstraction from the story.”27

2) Suasana

Dalam menciptakan karya, perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati pembaca bagaimana suasana ang dibangun oleh penyair, contohnya saja, dalam menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan penyair banyak menampilkan bagaimana kehidupan pengemis, gelandangan atau orang-orang yang termarjinalkan. 25 Waluyo, op.cit., h 106. 26 Waluyo, op.cit., h 107. 27

“Sebagian mengacu pada ide pokok, kesimpulan, atau pesan dari cerita, dan itulah apa yang dimaksud dengan tema: penyederhanaan atau inti dari cerita.” Baca: Jerome Beaty, et.al.,The Norton

Introduction to Literature: Shorter Eighth Edition,(United States of America: W. W. Norton &

Menurut Waluyo “suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.”28 Jadi kesimpulannya, dengan suasana yang dibangun dalam karyanya, penyair memberikan kesan yang lebih mendalam kepada pembaca. Puisi bukan hanya ungkapan yang bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang total karena seluruh aspek-aspek psikologis itu dikonsentrasikan dalam karyanya untuk memperoleh komunikasi yang sempurna dengan pembacanya.

4) Amanat

Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Ia merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran sebagai bentuk bahwa kita mampu memetik manfaat dari setiap karya . Setiap pembaca berbeda-beda menafsirkan makna dalam sebuah karya.

Sementara itu, Wahyudi Siswanto mengatakan bahwa sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisinya.29 Misalnya seperti sebuah puisi yang merupakan sebuah alih wahana dari kisah wayang yang diambil dari Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat.

Apa yang dikemukakan A.Teeuw semakin menjelaskan bahwa dalam setiap karya terdapat amanat yang ingin disampaikan oleh penyair atau pengarang. Pendapat A.Teeuw merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Horatius, orang yang pertama kali mengatakan pada banyak pembaca sastra, bahwa pada dasarnya karya sastra bersifat utile dan dulce yang berarti dasarnya bermanfaat dan nikmat.30

28

Waluyo, op.cit., h 125. 29

Siswanto, op. cit., h. 125. 30