• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

C. Pembelajaran Sastra

1. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini

Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat lantaran dianggap „seorang nabi‟, di Cina misalnya. Pramoedya menuliskan pengalamanya dalam menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang dimuat dalam Mimbar Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan-kesannya sebagai berikut:

Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan politikus, mereka menjadi para pemimpin spiritual yang memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di zaman kita. Ini turut menjelaskan mengapa penulis diperlakukan sangat baik oleh masyarakat.”53

Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang menjumpai banyak kesulitan, entah dari minat siswanya yang kurang, dengan alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan sastra sendiri cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk mengajarkannya.

53

Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan judul “Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun pada penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit Kumar Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h.25.

Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup mengganggu. Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang menyatakan bahwa secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada gaya hidup kekinian dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu bisnis, ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi modern.54

Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya yang „ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa yang berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha memahami dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair yang sering menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu yang membingungkan.55

Walaupun sumber kesulitan itu kadang-kadang berasal dari sifat dasar puisi itu sendiri, namun untuk keperluan pengajaran puisi banyak pula ditemukan puisi yang sangat mengesankan dan cukup mudah untuk dinikmati dan dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya.Puisi-puisi jenis naratif dan dramatik (balada) nampaknya cukup mengesankan dan lebih mudah untuk dipahami bagi pemula.

Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis dan gaya bahasa yang kompleks.56 Dalam beberapa hal, puisi memang merupakan bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan pokok persoalan puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktek pembelajaran bahasa dan sastra.

54

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h.44. 55

Ibid, h. 46. 56

Bagi siswa, puisi yang demikian itu tidak akan mudah dilupakan dan sangat berguna pada dirinya sebagai latihan mengkpresikan diri. Keuntungan lebih lanjutnya adalah ketika puisi dapat membantu pembinaan seni berbicara untuk siswa, mengingat puisi disusun berdasarkan referensi bentuk-bentuk bahasa lisan.

2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran

Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya kita dapat menilai bagaimana sastra dan implikasinya dalam proses belajar di bawah ini.

Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut

Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”57

Dalam pembelajaran sastra pun siswa di arahkan untuk melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan

57

membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak menciptakan puisi.

Yang kedua, sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti bidang studi pada umumnya yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi. Ini diibaratkan, jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra pun karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”58

Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.

Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai berikut:

“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit.”59

58

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fik si dan Fak ta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.515

59

Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra memuat bagaimana semangat zamannya yang bersifat kolektif, yang menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu, apabila kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri jauh lebih penting dibanding karya sastra itu. Hal yang demikian akhirnya memberikan pengalaman yang berbeda ketika menelaah fakta lewat karya sastra sehingga pada akhirnya meningkatkan minat siswa untuk lebih jauh menyelami dunia pembelajaran sastra.

Ketiga, sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara pasti kecuali pendidikan yang menggunakan praktik Brain Wash atau cuci otak. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang dididiknya.

Di sisi lain, sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran moral diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika, sebagaimana ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak, dan sebagainya.”60

Sementara Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian

60

kemungkinan hidup manusia.”61

Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat untuk mendidik, terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana pembelajaran guna mengasah keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika pada kepribadian si anak didik.

D. Tinjauan Sosiologi Sastra