• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL JOKO PINURBO

B. Joko Pinurbo sebagai Penyair

Karya-karya Joko Pinurbo yang mengandung sentuhan jenaka yang membungkus tema-tema serius merupakan karya-karya yang seringkali menarik kritikus untuk mengkaji. Meskipun seringkali cara pandangnya terhadap suatu tema diangkat secara jenaka atau terkesan main-main namun di sisi lain Joko Pinurbo mengangkat hal-hal serius yang telah atau sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, tema-tema yang diusungnya sangat penting dan menarik untuk dikaji.

Joko Pinurbo adalah penyair kontemporer yang memiliki kebebasan dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih. Puisi naratifnya sangat ringan ketimbang puisi dengan larik lirik yang rumit, namun, tetap sarat akan misteri dan kedalaman. Hal serupa diungkapkan oleh Ignas Kleden yang menilai bahwa pada puisi Joko Pinurbo yang mendapat sorotan utama adalah badan, diselidikinya dengan renungan yang intens, dan diberi peran ganda, baik sebagai tanda (signifier) maupun sebagai apayang hendak ditandai (the signified).4 Lebih dalam lagi Ignas menjelaskan sebagai berikut:

“Pandangan penyair terhadap badan, jauh dari pandangan erotis, yang melihat tubuh sebagai penjelmaan keindahan, daya tarik atau sex appeal, tetapi lebih berupa suatu pandangan filosofis, yang kadang eksistensial, kadang ontologis sifatnya, tetapi selalu disertai dengan humor yang kental uang kadang mendekati sarkasme.”5

3

Joko Pinurbo, Celana Pacark ecilk u di Bawah Kibaran Saruing, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007).

4

Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai -esai Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004), hal.247.

5

Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah ironi-ironi yang diungkapkan dengan kata-kata banal. Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang sakral meski tidak berarti ia menyepelekan suatu konteks yang membangun puisi itu sendiri. Sapardi mengatakan, “beberapa sajak Joko Pinurbo mungkin lucu, terutama jika di lisankan di hadapan khalayak yang belum pernah secara cermat membacanya.”6

Lebih jauh Sapardi menganggap benda-benda yang disebutkan dalam puisi Joko Pinurbo merupakan lambang-lambang yang membentuk sistem perlambangan tertentu yang erat sekali hubungannya dengan dunia bawah sadar. Sapardi mencontohkan ketika ia membaca puisi Joko Pinurbo yang berjudul Boneka. Sajak Boneka (1) yang sedikit banyak menyidir keadaan masyarakat kita sekarang, menggambarkan seorang pembuat boneka yang tidak betah tinggal di negerinya sendiri dan melarikan diri ke negara boneka.7

Joko Pinurbo membuat strategi teks puisi yang berbeda dengan menghadirkan kekuatan komedi dan tragedi. Imaji-imajinya dalam setiap puisi yang ia ciptakan bergerak dalam berbagai wacana dan terjadi sistem pemaknaan yang kompleks dan juga alur dari peristiwa-peristiwa dalam puisi-puisinya diakhiri dengan konklusi yang tragis. Hal ini dapat dilihat lewat salah satu puisinya yang paling terkenal, yaitu Celana, 1. Dalam puisisi ini, komedi yang terasa sejak awal kemudian berakhir menjadi tragedi yang berada dalam suatu totalitas kisah manusia dengan celana, yang seolah memberikan gambaran bagaimana seorang manusia sangat bergantung pada sebuah celana, namun disisi lain celana seperti simbol eksistensialis dari seorang manusia.

Celana, 1

Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta

supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan.

6

Joko Pinurbo, Celana, (Magelang: Indonesia Tera, 1999), hal.72.

7

Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana

namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga

yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.” Lalu ia ngacir

tanpa celana dan berkelana

mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan:

“Ibu, kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?

Puisi Celana, 1 nampaknya menjadi awalan intensitas dan konsistensi Joko Pinurbo menuliskan puisi yang reflektif dan kontemplatif, yang dalam sebagian puisi-puisinya mengandung sebuah kritik. Joko Pinurbo bermain dengan kenaifan, kenakalan, dan kritik yang kuat dalam bentuk puisinya yang naratif, jauh dari tradisi lirik.

“Kau adalah mata, aku airmatamu”, tulis Joko Pinurbo dalam sebuah sajaknya yang berjudul Kepada Puisi. Joko Pinurbo menganggap jika puisi adalah mata, maka ia sebagai penyair adalah air mata. Mungkin bagi Joko Pinurbo antara puisi dengan penyairnya terdapat sebuah hubungan yang intim, ini seperti mengacu pada sebuah anggapan yang mengatakan penyair adalah orang yang harus „menzinahi‟ kata-kata hingga melahirkan bentuk puisi yang matang.

Alex R Nainggolan dalam esainya yang berjudul Diksi Genit Joko Pinurbo mengatakan, penyair harus menemukan kesabarannya dengan menelurkan

ide/sajaknya (“Bertelur”). Ia adalah pangeran sejati yang membuka rahasia kata paling dalam, menelusupinya dari hari ke hari, dan mengeraminya.8 Alex menganggap Joko Pinurbo menyederhanakan semua ke kompleksan puisinya.Ia menuliskan dengan pilihan kata yang sederhana, acapkali menjaga ruang antar kalimat, segalanya baur dan susunannya membuka peristiwa lain terhadap dunia. Mungkin fragmen itu diambilnya hanya separuh, tetapi ia membuka kemungkinan masuknya muatan makna yang lain.

Bagi Alex, Joko Pinurbo merupakan penyair yang berhasil menempatkan kata-kata menjadi puisi yang kaya, dan yang paling mengagetkan adalah ketika seolah-olah Joko Pinurbo pun mengamini hal itu. Dalam esainya yang dimuat dalam Harian Tempo ia mengemukakan bahwa dirinya sering kali menulis sajak yang mencoba melebur lebih dari satu tema, bahkan kadang ia suka menulis sajak yang seakan-akan merupakan peleburan lebih dari satu puisi.9

Dalam puisi-puisinya, Joko Pinurbo juga seolah tak mau ketinggalan menunjukkan proses kreatifnya dengan terbuka kepada para pembacanya. Kisah-kisah dan konsep keberpuisian atau kepenyairannnya hadir dalam sebagian puisi-puisinya yang mengarah pada biografi penyair dan biografi puisi, akan tapi masih kuat mengandung humor-humor yang tragis. Misalnya saja pada puisi Pinurbo berikut:

Orang Gila Baru

Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri. Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru yang dengan setengah waras berkata,

“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?” Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan, “Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”

Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang, “Ini rumahmu, bukan rumahku.”

8

Alex R Nainggolan, Dik si Genit Jok o Pinurbo, dalam Harian Suara Merdek a, 05 Desember 2004.

9

Secara keseluruhan Joko Pinurbo mengambil apa pun unsur-unsur yang ada atau karakter-karakter yang ada di sekitarnya, baik itu celana, becak, ranjang tidur, seorang guru, tetangganya maupun sosok ibu dan ayah, yang dihadirkan dalam puisi-puisinya menjadi sistem simbolik yang cerdas untuk mengungkapkan karakter-karakter kontradiktif, situasi batas, absurditas, dan hipokritas manusia di dalam dirinya maupun di dalam relasinya dengan orang lain.