• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT ISLAM, TEOLOGI (KALAM), TASAWUF; SEBUAH RELASI DIALOGIS

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 65-113)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

E. FILSAFAT ISLAM, TEOLOGI (KALAM), TASAWUF; SEBUAH RELASI DIALOGIS

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, filsafat awalnya merupakan identifikasi yang diberikan untuk ilmu-ilmu rasional yang tidak mendasari diri pada wahyu. Namun, seiring dengan perkembangan intelektualitas di dunia dan di kalangan muslim, filsafat menjadi spesialisasi keilmuan tersendiri. Tetapi sesungguhnya seperti sebuah paket intelektual Islam, filsafat merupakan hasil olah disiplin keilmuan dengan pergumulannya bersama disiplin keilmuan lainnya. Oleh karena itu, dituturkan Nasr, filsafat mengalami semacam pergeseran atau bisa juga disebut perkembangan dari falsafah dan kemudian hikmah, dan sebagaimana yang telah disampaikan ilmu kalam atau teologi dan tasawwuf adalah dua bidang keilmuan Islam yang seringkali bertubrukan atau juga berseberangan dengan filsafat Islam. Ilmu kalam atau yang biasa diterjemahkan sebagai “teologi spekulatif’ merupakan salah satu cabang pengetahuan dalam Islam, makna kalam secara harfiah berarti “perkataan", “pembicaraan" atau “kata- kata”. Sebuah pernyataan yan dikemukakan Malik (w. 179 H) menjelaskan hubungan antara “pembicaraan” seperti itu dengan kata kalam dalam batas makna leksikalnya, la berkata, “Hati-hatilah terhadap bid'ah ...; mereka yang membicarakan (yatakallamuna fi) Nama-nama dan Sifat- sifat Tuhan, Firman-Nya,

Pengetahuan dan Kekuasaan-Nya, dan tidak berdiam diri (yaskutun) tentang hal-hal yang tidak dibicarakan oleh para sahabat Nabi dan pengikut mereka”. Sebagai seorang ahli hukum, Malik juga menyatakan, “Aku tak suka kalam kecuali dalam hal yang melibatkan 'amal (tindakan, perbuatan), tetapi dalam kalam tentang Tuhan, diam adalah lebih baik daripada bicara.57

Ilmu ini kemudian dirumuskan Muhammad Abduh, dengan definisi sebagai berikut;

“ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan- penegasan yang- esensial dan yang-mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam juga berhubungan dengan para rasul dan keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang esensial dan yang benar dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan kualitas tersebut".58

Kalam dalam pengertian teknisnya melibatkan penyampaian- penyampaian bukti-bukti rasional untuk memantapkan rukun iman. Hal ini diisyaratkan al- Qur’an dalam banyak tempat, yang menggarap subjek- subjek teologis sekaligus mungkin bisa menjadi “ranah" filsafat. Beberapa masalah mengenai penciptaan, pengetahuan Tuhan bahkan daya-upaya manusia, serta bagaimana Tuhan turut atau tidak mempengaruhi daya manusia. Dan al- Qur'an mengisyaratkan keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, di ayat-ayat mutasyabihat ini-lah, kalam memainkan peranannya, dan sebenarnya seluruh upaya -ijtihad- yang dilakukan oleh teolog-teolog itu, termasuk di dalamnya penakwilan-penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, adalah sebagai sebuah usaha untuk semakin mendekatkan dan mengesakan Tuhan.

Menurut Harun Nasution, ajaran inti yang terkandung dalam al-Qur’an adalah ajaran tauhid. Untuk mengesakan -menyembah- Tuhan ini kemudian al-Qur’an mensyaratkan syari'ah termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat dan haji. Namun beberapa orang merasa aktivitas syari’ah tidak cukup memuaskan dahaga spiritualitas mereka. Mereka kemudian berijtihad menggali ayat-ayat mutasyabihat yang berisi rahasia-rahasia tersembunyi, dan sebagian lain menenggelamkan diri dalam tasawwuf.59

James Pavlin menyebutkan bahwa secara umum, kontroversi terjadi di seputar pengetahuan Tuhan dan sifat-sifatNya. Topik ini melibatkan konsep- konsep seperti kalam Tuhan, yang berkaitan dengan ke-bukanmakhluk-an al- Qur’an, dan kehendak Tuhan yang berkaitan dengan kepercayaan pada keterciptaan dunia. Persoalan ini menjadi bahasan penting aliran mu’tazilah, filosof muslim dan aliran asy'ariyyah —sunni-, dan bagian terpelik dari kontroversi ini dituturkan Pavlin adalah metodologi yang digunakan untuk menjelaskan setiap problem.60

Pendorong utama pemakaian kalam hadir ketika pengaruh filsafat dan logika Yunani merasuk ke dalam pemikiran kaum muslim. Para mutakallim yakin bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan perlu ditafsirkan melalui argumen berdasarkan bukti- bukti logis. Menariknya,

logis disini dipengaruhi oleh epistemologi dalam memandang teks, sebagian dari mereka -mu'tazilah- melandaskan modus pengetahuan mereka pada akal untuk menakwil atau menafsirkannya, dan sebagian lainnya -asy’ariyyah- melandaskan modus pengetahuan mereka pada wahyu dengan meminimalisir akal.

Sayangnya, karena akal memandang dari berbagai sisi, akal juga menghasilkan konsep takwil dan tafsir ayat atau bahkan hadis dengan interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, bermunculan aliran-aliran pemikiran kalam, sesuai dengan perspektif mereka dalam memahami firman- firman Allah. Momentum kalam semakin menggema, saat pemerintahan Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun melegitimasi salah satu dari banyak aliran kalam menjadi dasar negara. Kebijakan ini menimbulkan polemik, reaksi keras dari kaum tradisional, yakni sarjana- sarjana di bidang hadis. Dasar pemikiran mereka bahwa hadis adalah bayan al-Qur'an, tidak ada penjelasan bagi ayat-ayat antrophormofisme atau mutasyabihat, menerima ayat-ayat tersebut dengan iman. Persoalan ini secara langsung menciptakan semacam jurang perbedaan antara ahlu ra’yi yang diwakili oleh teolog dan filosof dengan ahlu al-hadis.61

Persoalan mengenai tauhid dan persepsi mengenai konsep- konsepnya menjadi semacam wacana dimana semua fihak turut berpendapat, terutama kemudian setelah wacana ini menjadi kebijakan pemerintah. Pro-kontra menjadi semakin luas dan menghasilkan beragam pemikiran cemerlang, abad ke-3 hijriyah disebut-sebut sebagai perbenturan antara ahlu ra’yi dan ahlu al- hadis. Menariknya, di abad ini, pengetahuan-pengetahuan berbasis akal mencapai keemasannya begitu pula hadis. Al-Kindi muncul di abad ini, al- Bukhari juga menciptakan karya monumentalnya di abad ini.

Artinya, sebelum filosof menyampaikan ide-ide filosofisnya, sebenarnya ilmu kalam adalah gerbang yang membuka jalan masuk filsafat, kalam juga yang menginspirasi karakter khas filsafat Islam. Teori kenabian al-Farabi dan konsep malaikatnya Ibnu Sina diperkirakan adalah upaya untuk menghasilkan ide yang dapat diterima umat saat itu.

Lebih dari itu, perdebatan-perdebatan yang menarik di Syria dan lraq, antara orang-orang Muslim dan pengikut agama lain - terutama orang Kristen, Mazda dan pengikut Mani, semuanya telah mengembangkan argumen- argumen secara filosofis dan teologis untuk mempertahankan ajaran keyakinan mereka- yang menyebabkan orang- orang Muslim mencari suatu bentuk pengembangan rasional dari apa yang mereka miliki, untuk melindungi dan mempertahankan Islam.62

Kalam dalam hal ini menjadi benteng pertahanan agama Islam ketika bersinggungan dengan agama lain, daya rasio adalah faktor untuk menerangkan berbagai macam pembuktian bagi agama lainnya termasuk menghindari dari kritik-kritik yang mungkin bisa saja memberi pengaruh buruk bagi perkembangan Islam. Di sisi lain, upaya-upaya teologis ini

membantu memberikan interpretasi-interpretasi doktrinal Islam dalam bahasa logis.

Uniknya, filsafat dan perkembangan pemikirannya relatif sejalan senada dengan perkembangan kalam. Hubungan dialogis ini mencerminkan bahwa filosof turut mengkritisi berbagai pemikiran teologis. Lihat saja, bagaimana para filosof awal, dimana mu'tazilah memiliki peran penting sebagai madzhab negara saat itu. Al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina, relatif lebih banyak mensandarkan pemikirannya pada pemikiran- pemikiran yang berkembang di Yunani. Kajian filosofis mereka secara umum masih sama atau tidak melompat terlalu jauh dari Yunani, meski tak dipungkiri mereka berhasil membuat sebuah formula emanasi yang lebih “tauhid”. Walaupun dalam beberapa hal, mu’tazilah dan filosof tidak selamanya sependapat, namun daya rasionalitas yang dominan pada mu’tazilah dinilai senada dengan filosof yang juga bersandar pada akal.

Lalu, ketika mu'tazilah mulai meredup, dan asy'ariyah berkembang dengan baik dan menjadi semacam madzhab berfikir kaum muslim, arah perkembangan filosofis turut pula mendapat pengaruhnya. Perlu diketahui perbedaan mendasar diantara mu'tazilah dan asy'ariyah adalah cara pandang mereka dalam menginterpretasikan sesuatu. Mu'tazilah terlalu mengagungkan akal, adapun asy’ariyah berupaya mensistensikan antara akal dan dalil-dalil naqli. Apalagi setelah terjadi mihnah -Ahmad Ibn Hanbal- , dan reaksi yang muncul dari tradisionalis -ahlu al-hadis-. Asy’ariyah yang dimotori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, ini mencoba menempuh jalan tengah antara dua ekstremitas; yakni para rasionalis mu’tazili, yang membuat wahyu di bawah penalaran, dan para eksternalis yang berbeda pendekatannya, yang menolak peranan nalar dan kembali bersandar pada makna dzahir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara murni.63

Pesan teologi asy’ariyah dan makna spiritualnya membuat hubungan unik dengan metafisika, voluntarisme asy'ariyah atau paham Kemahakuasaan Tuhan meski di satu sisi melawan kebebasan dan realitas intelegensi manusia dan kedap terhadap sifat-sifat Tuhan, karena -walau tidak sepenuhnya- menggantungkan daya manusia kepada kehendak Tuhan. Voluntarisme menekankan kehadiran Tuhan dalam hari demi hari manusia, dari paham ini, asy'ariyah telah menempatkan apa yang sebelumnya dapat disebutkan atomisme atau okasionalisme. Paham ini menurunkan fenomena dunia dari ketiadaan dan mempertahankan bahwa dunia ditiadakan dan diciptakan kembali pada setiap saat peristiwa dengan penonjolan dominasi kehendak Ilahi di atas segala sesuatu dan semua peristiwa.64

Doktrin atomisme ini, yang berdiri melawan pandangan metafisikawan, filosof dan ilmuwan Islam atau pada problem yang sama dengan sains modern. Mereka berpandangan bahwa hanya terjadi “penyebab horisontal” dan menafikan "penyebab vertikal" dalam menjelaskan fenomena sesuatu.65 Singkatnya, maksud doktrin atomisme/ okasionalisme mengingatkan pada kita bahwa secara terus- menerus Tuhan hadir dan aktif dalam segala sesuatu,

dan memberikan sugesti pada kita bahwa dunia ini hanya akan dilanda chaos, jika tanpa kehadiran Ilahi. Menghargai cara ini, atomisme asy’ariyah adalah suatu pengingat tentang kehadiran Ilahi, atau suatu pengantar pada transendensi yang mengagumkan.

Atomisme asy'ariyah yang padanya ada kontinuitas dan diskontinuitas sekaligus, antara prinsip Ilahi dan manifestasi- manifestasinya serta antara immanent dan transenden, telah mengilhami Ibn ‘Arabi mengembangkan teori gnosis-nya. Teologi asy’ariyah tidak hanya menyebar dalam dunia Sunni tetapi juga berkombinasi dalam lingkungan utama Sufisme. Intinya menempatkan gnosis, yakni pengetahuan iluminatif yang diaktualisasikan dengan bantuan wahyu, melalui intelek imanen yang simbolnya adalah hati.66

Meskipun begitu, madzhab asy'ariyah “dianggap" tidak pernah menyediakan suatu pertahanan rasional tentang ajaran-ajaran keimanan dan membuat suatu iklim, dimana kebenaran adalah nyata dan kehendak Tuhan yang supreme. Nasr mengungkapkan teologi syi’ah-lah yang kemudian berupaya menyentuh ke dalam pembahasan-pembahasan rasional tersebut, Mulia Shadra adalah orang yang berhasil memberikan penjelasan yang lebih sistematis dan mengalir tentang metafisika bagaikan menuangkan madu dari sebuah guci.67 Perlu diketahui, bahwa sampai abad XI, flsafat berkembang di dunia Islam bercorak peripatetis yang mencapai puncak di tangan Ibnu Sina dan pengikutnya. Tetapi pada masa dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, terutama setelah al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah, sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam Timur, yang berada di bawah pengaruh sunni -atau jika dapat dikatakan asy’ariyah-, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibnu Rusyd. Bersamaan dengan itu, filsafat kembali menggeliat namun berada di dunia timur, di wilayah syi'ah. Tradisi intelektual Islam Timur kembali hidup tetapi hanya di wilayah-wilayah syi’ah dan diperkirakan tetap stagnan atau mati suri di wilayah-wilayah sunni.68

Perkembangan filsafat di wilayah syi’ah ini ditandai pada abad ke VI H/ XII M, dimana Suhrawardi mengkritik beberapa ajaran dasar filsafat iluminasi yang bersifat mistis (hikmah al-lsyraq) yang mempunyai banyak pengikut. Namun Suhrawardi tidak pernah meragukan hak akal untuk menyelami rahasia-rahasia keagamaan yang paling dalam. Hak ini telah dipertanyakan oleh kaum tradisionalis dan teolog-teolog konservatif, para fuqaha, banyak sufi dan masyarakat umumnya. Kedudukan Suhrawardi yang penting dalam sejarah pemikiran pasca- Avicennian terletak dalam usahanya untuk mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan kewajuban para pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran darimanapun sumbernya: dalam filsafat Yunani, Pemikiran Persia Kuno, Neo-Platonisme Muslim dan juga Sufisme.

Arus lsyraqi yang dilepas Suhrawardi terus mengalir deras khususnya di lingkungan syi’ah selama masa dinasti Syafawi di Persia. Pendiri Dinasti Syafawi, Syah Isma’il (1500-1524) yang mengakui berasal dari ordo sufi yang mengacu ke abad XIII, mengambil bagian dalam pelaksanaan sistem kepercayaan Sy'ah di seluruh Persia dalam suatu cara tertentu. Akibatnya, perhatian kepada filsafat dan teolog yang telah mengalami kemunduran selama periode Mongol, kini hidup kembali.

Pada abad XIII, Nasir al-Din al-Tusi, seorang filosof peripatetis terkemuka, terpengaruh oleh beberapa pandangan sufi iluminasi, melakukan “counter attack”, dan mengembalikan "nama baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya Syarh al-lsyarat (Syarah terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu Sina). Bersamaan denga itu, pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar di bidang spiritual yang bercorak gnosis atau ‘irfan, seperti Ibn ‘Arabi, al- Qunawi dan Jalai al-Din al-Rumi.

Di bidang kalam, seabad sebelum kemunculan Mulia Shadra, aliran kalam sunni sedang mengembangkan dirinya, Qadi ‘Adud al-Din Iji, Sa’d al-Din Taftazani dan Sayyid Syarif al-Jurzani sampai dengan Syekh Waliullah di India. Tetapi dalam tahap tertentu, pemikiran sunni ini lebih dekat dengan konsep-konsep sufi. Berbeda dengan sunni, syi’ah mengembangkan konsep yang lebih rasional dan banyak menyandarkan rujukannya pada Ibnu Sina dan para filosof awal.69

Namun demikian, karya sistematis pertama dalam ilmu kalam syi’ah ditulis oleh Nasir al-Din Thusi pada abad ke XIII dengan judulk “Tajrid". Sejumlah syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa pengikut Thusi sampai satu atau dua generasi sebelum Mulia Shadra. Keempat aliran pemikiran Islam di atas, filsafat Peripatetis, lluminasionis/ isyraqi, kalam sunni-syi'ah, mempengaruhi proses pembentukan tradisi pemikiran syi'ah di kerajaan Safawi dan menghasilkan penggabungan yang kemudian digagas oleh Mir Damad, yang kemudian diformulasikan dan dikembangkan oleh Mulia Shadra.70

Latar belakang intelektual Shadra ini dan perjalanan menuju teologi Syi’ah dan perkembangan pemikiran filsafat pasca Ibnu Sina dan pasca “serangan’’ al-Ghazali menunjukkan bahwa dalam beberapa hal filsafat Islam, tasawwuf dan teologi melakukan hubungan dialogis yang sangat menarik. Satu dengan lainnya memberikan semacam keterkaitan meski tidak memiliki kesamaan. Sebagaimana dituturkan Nurcholish Madjid, “gelombang Hellenisme merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan madlarat bagi kaum muslimin, dan membuat mereka terbagi antara yang menyambut dan yang menolak. Responsi mereka kepadanya bisa menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman”.

a Disebut dengan filsafat Islam karena para filosof ini merupakan orang- orang muslim (beragama Islam) dan melandaskan pembahasannya juga pada ajaran Islam.

b Tidak bisa dikatakan dengan filsafat Arab karena tidak seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab, tetap ditemukan karya-karya yang ditulis dengan bahasa Persia.

c Tidak pula dapat diidentifikasi dengan filsafat dalam Islam, karena memiliki pengaruh yang kuat dengan Yunani, Hellenisme, dan aliran- aliran teologi dalam Islam sendiri

d Terdapat empat aliran pemikiran filsafat: peripatetic, lluminasionis, ‘Irfani dan Hikmah Muta’aliyah

e Proses perpaduan budaya dan pemikiran mempengaruhi perkembangan empat aliran ini, peripatetic misalnya dekat sekali dengan pemikiran- pemikiran Yunani khususnya Aristoteles, Plato dan konsep Plotinus, adapun lluminasionis banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep atomisme asy’ariyah dan gerakan spiritualitas di dalamnya

f Geliat filsafat Islam berhubungan erat dengan perkembangan teologi dan tasawwuf, beberapa aliran yang muncul belakangan menunjukkan bukti tersebut. Ibn ‘Arabi merupakan bentuk filsafat Islam yang kemudian memberikan konsep ma’rifah dan wahdat al- wujud. Konsep yang kemudian digunakan dalam maqam-maqam sufistik

g. Pencapaian kebangkitan pemikiran filsafat pasca Ibnu Rusyd diperkirakan banyak digerakkan oleh wilayah-wilayah Syi'ah. Wilayah- wilayah penganut “sunni” diperkirakan mengalami stagnanisasi jika tidak dikatakan hampir menghilang

h Suhrawardi al-Maqtul, Nasir al-Din Thusi dan Mulia Shadra merupakan tokoh-tokoh filosof Islam yang telah membuat harmonisasi antara berbagai pemikiran Islam, baik sunni, syi’ah bahkan sufi, dalam satu pemikiran penting kebangkitan kembali filsafat Islam. Kebangkitan ini sekaligus menjadi evolusi perjalanan keilmuan filsafat Islam sejak dari permulaan pertemuannya bersama filsafat hellenis sampai kemudian menarik gerak spiritualitas Islam dan mungkin masih terus berjalan bersama kebutuhan zaman sampai kapan pun.

1 Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), cet. I, hal. 25

2 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2006), cet. II, hal. 44

3 Haidar, Buku ..., hal. 44

4 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), hal. 3

5 Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan Wahyu, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hal. 3

6 Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), hal.3

7 Corbin, seorang orientalis Perancis; ahli mengenai Islam dan Iran, menolak predikat Filsafat Muslim, menurutnya penamaan itu menunjukkan bahwa filsafat tersebut merupakan keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal-ihwal. Kutipan dalam Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), cet. 8, hal. 13; terdapat beberapa buku yang membahas filsafat Islam dengan menggunakan judul “Moslem Philosophy”, seperti tulisan Osmen Amin, tetapi jika anda membaca maksud yang disampaikannya, akan ditemukan bahwa yang dimaksud adalah filsafat Islam. 8 Osmen Amin, Moslem Philosophy, (Cairo, Renaissance Bookshop, 1958), cet. I, hal. 15

9 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 20-23

10 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah al-lslamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, (Mesir, Daral-Ma’arif, 1976), hal. 23-24

11 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Press, 2005), hal. 10

12 Amsal, Tema-tema hal. 12 13 Amsal, Tema-tema ..., hal. 12

14 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Pengantar kepada Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, (Jakarta, Bulan Bintang, 1981), cet. III, hal. 113

15 Gazalba, Sistematika hal. 113-114 16 Gazalba, Sistematika ..., hal. 114-116 17 Gazalba, Sistematika hal. 116-117 18 Amsal, Tema-tema ..., hal. 14

19 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2003), hal. 22-23

20 John F. Haught, Science and Religion: from Conflict to Conversation, terj., Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik sampai Dialog, (Jakarta, Mizan, 2004), cet. I, hal. xx-xxi

21 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1987), cet. VII, hal. 171

22 Endang, Ilmu ..., hal. 172

23 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), cet. I, hal. 132

24 Dikutip dari “Pengantar Debat” dalam Moeflich Hasbullah, ed.. Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I

25 Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I, hal. 8

26 diambil dari deskripsi yang disampaikan Mulyadhi Kertanegara, lih. Mulyadhi, Gerbang hal. 140

27 Mulyadhi, Gerbang hal. 142

28 Hasbullah, ed., Gagasan ..., hal. xviii 29 Hasbullah, ed., Gagasan hal. xix

30 Ahmad Hanafi menuturkan bahwa para filosof Muslim menggunakan penafsiran dan penakwilan ayat-ayat al-Qur’an untuk menguatkan pendapat- pendapatnya. Seperti penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Sina terhadap ayat 35 Surat al-Nur; Tuhan adalah cahaya langit dan bumi, Perumpamaan cahayanya bagaikan jendela, Padanya adalah lampu, Lampu berada dalam kaca (lentera), Lampu dinyalakan dari (minyak) pohon keberkatan, pohon Zaitun, Tidak ke Timur, tidak pula ke Barat, Minyak pohon itu hampir bersinar, Meskipun tidak tersentuh Api, Cahaya di atas cahaya, dengan Cahaya-Nya Allah menunjukkan orang yang disukai-Nya, Allah membuat contoh- contoh kiasan untuk manusia, Allah maha mengetahui sesuatu.', lih. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 55-56

11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 256-257

12 Muhammad ‘Utsman Najati, al-Dirasat al-Nafsiyyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 82

11 Nasr et.al, History hal. 44

14 Nasr et.al, History ..., hal. 44 " Nasr et.al, History ..., hal. 46 Nasr et.al, History ..., hal. 48

" Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 32 '* Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44

1 ’ Amsal, Tema-tema ..., lih. Daftar Isi 4(1 Mulyadhi, Gerbang .... lih. Daftar Isi

41 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah ..., lih. Daftar Isi 42 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah ..., hal. 100-103

43 A. Epping O.F.M., et.al, Filsafat Ensie Eerste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedie, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 158 44 Mulyadhi, Gerbang hal. 26-27

45 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 27-30 46 Mulyadhi, Gerbang hal. 30-31

47 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44-45

48 Dikutip dari kata pengantar penerbitan, Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, terj., Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung, Mizan, 2001), hal. Ix-xi

49 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 47 50 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 57-58 51 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 62-64 52 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 69-70

53 Mulyadhi, Gerbang hal. 71

54 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 72 35 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 74 56 Nasr et.al, History ..., hal.85

57 Nasr et.al, History ..., hal.92 Nasr et.al, History .... hal.127

58 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (ttp, Dar al- Fikr al-‘Arabiy, tth.) hal. 316-319

59 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I,

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 65-113)