• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAWABAN IBNU RUSYD

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 164-185)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

B. JAWABAN IBNU RUSYD

Abu al-Waltd Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Seorang tokoh terkemuka Islam wilayah barat, yang namanya sangat masyhur di Eropa, dikenal sebagai Averroes dan memberi banyak pengaruh pada pemikir-pemikir barat. Terlahir dari keluarga faqih yang terhormat, qadhf negara terkemuka di Spanyol. Kakeknya, Abu al-Walid Muhammad (senama dengan Ibnu Rusyd) adalah qadhi Cordova terkemuka dan memainkan peran penting dalam perlawanan kota itu terhadap kekuasaan al-Murabithun, meskipun kemudian Cordova ditaklukan al- Murabithun. Sang kakek menulis berbagai karya teoritis dalam ushul fiqh dan dalam studi atas berbagai pendapat yang ditawarkan oleh beberapa madzhab besar fiqh (ikhtilaf). Ini menghubungkannya dengan gagasan pembaruan fiqh Maliki yang menganjurkan pengintegrasian penalaran analogis (g/yas).43

Meneruskan sang kakek, ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad menduduki posisi kepala pengadilan di Andalusia, disamping itu meneruskan tradisi keluarga sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dari madzhab Maliki. Ibnu Rusyd pun menjadi seorang Malikiyyah, bersama ayahnya, dia merevisi al- Muwatta’ dan menghafal seluruh isinya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun. Adapun filsafat dan theology, dia peroleh dari Ibn Thufayl.44

Di zamannya Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan Seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Tetapi tradisi ilmiah ini, seperti tradisi keilmuan di wilayah lainnya mengalami pasang surut. Keseluruhan tradisi ilmiah ini disesuaikan dengan ide-ide penguasa (khalifah). Jika sang penguasa seorang rasionalis, dia akan membangun tradisi filosofis di wilayahnya, jika sang penguasa tertarik pada hal-hal sufistik, dia akan mendorong rakyatnya untuk mengabaikan tradisi-tradisi duniawi. Termasuk di dalam hal ini, kepercayaan penguasa terhadap madzhab-madzhab fiqh, yang bisa jadi menekankan satu madzhab fiqh dan mengabaikan yang lain.

Di Spanyol, tradisi filosofis mengalami pasang surut yang signifikan. Di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912-961) filsafat menjadi sangat maju, namun pasca Abdurrahman kegiatan ilmiah menurun terutama pada zaman Hasyim dan penguasa al-Murabithun Ketika dinasti ini ditaklukkan dinasti al-Muwahhidun, kegiatan filsafat dihidupkan kembali, terutama zaman Abu Ya’qub Yusuf.45 Ibnu Thufail berjaya di masa ini, dan melalui Ibnu Thufail pula, Ibnu Rusyd dikenalkan ke dalam lingkungan istana. Hasil dari pertemuan ini Ibnu Rusyd diangkat sebagai qadhi di Seville. Atas dorongan Abu Ya'qub pula, Ibnu Rusyd menganalisis karya-karya Aristoteles.

Kepiawaiannya mengulas ide-ide Aristoteles menghantarkannya menjadi seorang yang dijuluki dengan “komentator Aristoteles". Kemampuannya disebut Michael Dante setara dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu Sina dan Galen. Komentar- komentarnya ditulis secara ilmiah, dengan mengutip pemikiran Aristoteles dan menafsirkan maksud pemikiran Aristoteles berdasarkan perspektifnya.46 Uraian Ibnu Rusyd mirip sekali dengan tulisan-tulisan tafsir, menyampaikan pemikiran Aristoteles murni dan ditafsirkan maksudnya pasca penulisan pemikirannya. Sebuah karya sederhana namun berhasil menunjukkan sisi ilmiah sebuah metode penulisan. Komentarnya dipadukan pula dengan pemikiran filosof-filosof muslim, termasuk upayanya mensistensiskan agama dan filsafat. Ibnu Rusyd sendiri jauh lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur. Tulisan- tulisannya lebih banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab banyak yang hilang dan terbakar dan dilarang diterbitkan lantaran semangat anti filsafat dan filosof yang berakar dalam masyarakat. Di sisi lain, bangsa Eropa seakan akan menerima angin

segar, karena selama berabad-abad tidak berhasil mensistensiskan agama (gereja) dengan ilmu pengetahuan. Sebuah kemampuan skolastik yang kemudian menggema di Eropa.47

Prestasi filsafat Ibnu Rusyd mengalami antiklimaks ketika Abu Ya’qub Yusuf wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf. Sultan Abu Yusuf membutuhkan dukungan ulama dan fuqaha untuk mengerahkan massa menghadapi peperangan melawan kaum Kristen. Tokoh-tokoh filsafat seperti Ibnu Rusyd yang telah dianggap berseberangan dengan agamawan terpaksa disingkirkan. Sebuah keputusan politik yang tragis, Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena, sebuah kota kecil di selatan Cordova yang kebanyakan dihuni oleh orang Yahudi. Pengasingan dilakukan atas tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua tulisannya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika.48

Sejawat ilmiahnya di Seville berusaha keras membela Ibnu Rusyd dari segala tuduhan. Sejawat-sejawatnya ini yang mendesak Khalifah Yusuf al-Manshur untuk direhabilitasi namanya dan diundang oleh Khalifah ke Maroko. Ibnu Rusyd memilih Maroko sebagai pelabuhan terakhirnya. Di Maroko inilah, Ibnu Rusyd menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M). Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan di perkuburan keluarganya.49

Yang menarik dari Ibnu Rusyd, adalah kemampuannya di dua bidang sekaligus. Sebagai seorang faqih sekaligus seorang filosof ternama. Kemampuan fiqhnya dibuktikan melalui karya fenomenal Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, sebuah uraian logis tentang hukum Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilaf (ilmu perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan dalam setiap hal, setiap sudutnya, pendapat- pendapat yang diajukan oleh berbagai mazhab kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh mazhab besar. Ikhtilaf dijadikan metode oleh Ibnu Rusyd, sebagai suatu cara menyoroti prinsip- prinsip yang menimbulkan perbedaan. Gagasan utamanya, bahwa kecenderungan doktrinal sang pemilik madzhab, dan individu madzhab tidak bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu mazhab disetujui oleh mazhab lain.50

Dan sebagai seorang Malikiyyah, Ibnu Rusyd mengkaji peran Qiyas sebagai alternatif hukum Islam. Uniknya, Ibnu Rusyd pun mengkaji Qiyas dengan teknik-teknik Aristotelian. Secara umum, Ibnu Rusyd mengajukan Qiyas sebagai sebuah alternatif ijtihad di luar taqlfd pada mazhab-mazhab yang ada. Bidayah mengisyaratkan bahwa seorang faqih adalah seseorang yang dapat menerapkan suatu hukum pada fakta dan situasi yang nyata. Tujuannya adalah, memberi kesempatan pada umat untuk memihak pada satu hukum sesuai dengan situasi yang dijalaninya tanpa mengandalkan fanatisme berlebihan pada satu madzhab.51 Dengan demikian bidayah berperan sebagai

bagian dari evolusi yang membawa metodologi ke sistem klaim-klaim universal.

Fakta terpenting dari Ibnu Rusyd adalah kemuliaan akhlaknya yang sangat masyhur, la dikenal sebagai seseorang yang selalu mengenakan pakaian sederhana dan tidak pernah dituduh berkorupsi, la dengan tekun melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai qadhi, selalu menjaga kesopanan, kedermawanan dan kerendahan hati, bergaul dengan rakyat biasa dan sultan. Kemasyhurannya dalam kemuliaan akhlaknya menunjukkan bahwa la adalah tokoh besar yang sangat bijaksana.52

1. Filsafat dan Agama

Sebagaimana filosof muslim lainnya, Ibnu Rusyd pun melakukan “pembelaan” akan keterlibatannya pada dunia filsafat. Filsafat sampai dengan masa Ibnu Rusyd juga dianggap sebagai ilmu yang menyesatkan ajaran agama. Perdebatan utamanya sesungguhnya terletak pada perbedaan epistemologis antara Ahlu al-Sunnah dan Ahlu al-Ra’yi. Kekuatan setiap paradigma epistemologis bergantung pada patronage yang memerintah di wilayah tersebut.

Tradisi ilmiah di Spanyol mengalami pasang surut, sesekali memihak pada intelektual rasionalis sesaat kemudian menjadi hak milik intelektual tasawwuf mistis atau bahkan dikuasai oleh Ahlu Sunnah. Pada masa Bani Umayyah di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912- 961), kegiatan ilmiah sangat maju karena kecintaannya pada ilmu dan filsafat. Khalifah memerintahkan ulama belajar ke Baghdad dan juga mendatangkan para ilmuwan dari Bagdad ke Spanyol. Pasca al-Nashir, kegiatan ilmiah menurun, terutama pada zaman Hasyim dan penguasa Murabithun. Penguasa Murabithun sangat memfokuskan diri pada militer dan taktik perang, sehingga keilmuan terabaikan. Ketika dinasti Muwahhidun menaklukkan Murabithun, situasi keilmuan kembali membaik. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena serangan Kristen terus merongrong, dan Khalifah perlu mempersiapkan diri pada strategi militer dan perang.53

Pada kondisi inilah, Ibnu Rusyd diasingkan, Sang Khalifah konon memerlukan dukungan ulama dan ahli-ahli tradisional untuk dapat menarik massa. Sehingga Ibnu Rusyd perlu diasingkan agar tujuannya dapat terlaksana. Meski begitu, kerabat-kerabat dekat Ibnu Rusyd dan sejawatnya berupaya membebaskannya.

Beberapa tulisan menyebut bahwa Ibnu Rusyd adalah murid Ibnu Thufail, Ibnu Thufail pula yang merekomendasikan Ibnu Rusyd pada kalangan istana. Rekomendasi ini ditujukan untuk menunjukkan “siapa sebaiknya yang menggantikan peran Ibnu Thufail yang telah tua. Ibnu Thufail mengajak Ibnu Rusyd bercengkerama dengan Sultan Abu Ya'qub, sampai kemudian sang Sultan bertanya “Apa pendapat para filosof tentang langit?", “Apakah ia substansi kekal ataukah mempunyai permulaan?”. Ibnu Rusyd awalnya mencoba menjaga jarak untuk menjawab hal ini, sampai kemudian Sang guru

terlibat diskusi serius dengan Sultan, dan Ibnu Rusyd pun mulai terlibat di dalamnya.54

Dalam riwayat lain, keterlibatan Ibnu Rusyd pada dunia filsafat didorong oleh guru kedokterannya Ibnu Harun, yang menceritakan bahwa sang Sultan berharap ada seseorang yang mampu mengomentari buku- buku Aristoteles dan menjelaskannya secara gamblang buku-buku itu agar maksud dan maknanya diketahui banyak orang. Ibnu Thufail menolak tugas ini, karena terlalu tua menerimanya, dan Ibnu Rusyd diajukannya untuk menjalankan tugas ini.55 Kemungkinan kedua riwayat ini saling berhubungan dan terjadi dalam waktu yang sama. Yang terpenting dari riwayat ini adalah bagaimana Ibnu Rusyd kemudian atas dukungan patronagenya mulai mengkaji setiap pemikiran filsafat.

Melalui Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-lttishal, Ibnu Rusyd melakukan pembelaan bagi filsafat. Ibnu Rusyd membuka risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam). Ditegaskannya, bahwa filsafat diwajibkan atau setidaknya dianjurkan dalam agama (syari’ah). Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekulasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan akan Sang Pencipta.56

Prosedur yang paling jelas dalam agama, menurut Ibnu Rusyd adalah perintah melakukan i’tibar (mengambil pelajaran). Al-I’tibar merupakan suatu ungkapan qur'ani yang berarti sesuatu yang lebih dari spekulasi atau refleksi.57 Proses i'tibar inilah yang akan menjadi titik tolak utama yang diajarkan dalam filsafat. I'tibar menurut Ibnu Rusyd sudah seharusnya melalui logika dan tata penalaran yang benar, sehingga seseorang yang mengimani kebenaran Syari'at dianjurkan untuk memahami tata alur penalaran dengan sebaik-baiknya.58

Konteks paling sederhana dari i'tibar adalah qiyas, Ibnu Rusyd menegaskan bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan analogi- analogi jika tidak memiliki alur berfikir yang benar. Posisinya sebagai seorang qadhi memudahkan Ibnu Rusyd memberi penekanan hubungan antara filsafat dan syari'at. Menghubungkan kebutuhan tata berfikir logika, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa adalah sebuah kewajaran jika kemudian logika ini juga dijadikan alat oleh manusia untuk membaca alam ini. Keingintahuan dan usaha meneliti semua wujud di alam adalah curiousity manusia untuk mengenal makhluk-makhluk sekaligus mengenal Sang Khalik.

Secara jelas, Ibnu Rusyd menunjuk ilmu Ushul fiqh sebagai ilmu fiqh yang logis dan berbasis rasio. Ilmu ini menggunakan premis- premis tertentu yang kemudian diistinbath (disimpulkan) oleh para pemikir madzhab berkenaan dengan berbagai masalah khilafiyah yang menjadi pokok-pokok perdebatan yang terjadi di antara para pemikir Islam di banyak negara.59 Melalui Ushul fiqh, Ibnu Rusyd berusaha membukakan bahwa filsafat juga telah menjadi

bagian dari Islam dan merupakan sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan. Penekanan dari hubungan ini adalah memberikan wawasan bahwa mempelajari filsafat adalah hal yang wajib dan bukan haram sebagaimana yang dituding banyak kalangan ketika itu. Adapun penyimpangan- penyimpangan yang terjadi dalam proses penalaran tersebut adalah sebuah kebetulan yang tidak esensial. Sesuatu yang secara karakteristik dan esensial mampu memberikan manfaat, tidak bisa disia-siakan hanya karena adanya fenomena dlarar (bahaya) yang terkait dengannya secara aksidental. Karena itu Rasulullah pernah bersabda kepada seseorang yang pernah diperintahkannya untuk memberi minum madu kepada saudaranya yang terkena diare, namun ternyata membuat penyakitnya bertambah parah, dan kemudian orang itu mengadu pada Nabi, lalu dikatakan; "Allah tetaplah benar dan perut saudara yang berbohong”.60

Artinya, perumpamaan orang yang melarang mereka yang memiliki cukup kapasitas untuk mempelajari buku-buku filsafat hanya dengan alasan bahwa ada sekelompok orang yang lemah kualitasnya dicurigai telah menempuh jalan sesat akibat mempelajari filsafat, adalah seperti halnya seseorang yang sangat haus ingin minum air dingin tawai tapi dilarang, sampai akhirnya ia menemui ajalnya karena dahaga, dengan alasan bahwa pernah ada sekelompok orang tersedak air yang mati dan itu sesungguhnya merupakan kasus kebetulan semata. Sedangkan kehausan adalah suatu fakta esensial dan dlaruri.

Mempertegas korelasi antara filsafat dan syari’ah, Ibnu Rusyi menunjukkan bahwa syari'at mengajak kepada penalaran yang akai menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahw; suatu penalaran burhani (logika) tidak akan membawa konflik apa pui dengan syari'at. Kebenaran yang satu jelas tidak akan berlawanan dengai kebenaran lainnya bahkan justru saling mendukung dan menepatka posis masing-masing.61

Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menunjukkan jika syari’at tida memberikan signal- signal negatif pada penalaran demonstratif atai burhani (logika) maka sesungguhnya tidak ada yang buruk dari hc tersebut. Artinya, tidak ada permasalahan yang signifikan yang mes diperdebatkan di dalamnya. Namun, jika syari'at mempermasalahkannya sebaiknya didahulukan takwil dan tidak dengan menghukumi bahw; hal tersebut salah atau bertentangan dengan syari’at sebelum dilakukai takwil.

Yang ingin disampaikan oleh Ibnu Rusyd melalui konsep takw adalah objektivitas penilaian yang mesti diberikan kepada seorang filosol Karena melalui takwil makna lahir apapun yang terdapat dalam syari’c yang secara lahiriah dianggap bertentangan dengan suatu makna yan< disimpulkan oleh metode burhan (logika), akan diteliti dan ditelaah semu; bagian dan partikelnya. Selama pertentangan itu bersifat aksidental tida esensial, maka seyogyanya hal itu tidak menjadi masalah.62 Ibnu Rusyi meyakinkan bahwa syari’at mengandung makna lahir (eksetoris) dan batil (esoteris) disebabkan

adanya keanekaragaman (pluralitas) kapasita: penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerim; (pembuktian) kebenaran.63 Itu sebabnya syari’at disiratkan melali ungkapan-ungkapan tekstual yang menjadi kewajiban umatny; menakwilkan dan menggabungkan beragam makna tekstual tersebut.

Inti utama penjelasannya ini adalah pengingkaran terhadai vonis kafir yang disematkan kepada para filosof. Karena ungkapan kafi tidak selayaknya diberikan kepada seseorang yang melakukai penakwilan terhadap syari’at dan tidak bertentangan dengan syari’a secara esensial.

Melalui penjelasannya ini, Ibnu Rusyd hendak menunjukkai bahwa dalil demonstratif (logika) merupakan alat yang tepat untul digunakan dalam memahami syari’at. Ibnu Rusyd membagi perbedaai pemahaman dalam syari’at ini pada tiga bagian,64 pertama, golongai orang-orang yang bukan ahli interpretasi sama sekali, yaitu golongai retorika. Golongan ini merupakan bagian terbesar manusia, untuk golongan ini kemampuan mereka hanya menerima penjelasan retoris yang mudah dan sederhana. Pendekatan pada golongan ini adalah dengan cara penuturan yang baik (al-maw’izhah al- hasanah).

Golongan kedua, ialah orang-orang yang ahli dalam interpretasi dialektis, yang berbicara pada mereka adalah dengan dialog yang baik, wa jadilhum billatihiya ahsan. Kemungkinan besar golongan ini memiliki fanatisme terhadap pemikiran atau ajaran tertentu. Adapun golongan ketiga, adalah dari kalangan ta’wil yaqini, mereka inilah kaum filosof. Interpretasi golongan filosof tidak boleh dibeberkan pada golongan dialektis, apalagi kepada golongan umum. Karena interpretasi adalah pengalihan dari makna lahir ke makna majazi. Mereka yang tidak mampu memahami makna majazi seyogyanya menghindarinya karena akan menimbulkan kebingungan dalam diri.

Dikisahkan, bahwa Ibnu Rusyd merupakan muballigh masjid di zamannya. Uraian-uraian Ibnu Rusyd sangat ringkas dan mudah dicerna oleh orang awam, namun ketika ditanyakan masalah kebangkitan jasmani dan ruh, Ibnu Rusyd memilih menyembunyikannya dan beralasan bahwa pembahasan tersebut bukanlah pembahasan yang mesti dibahas secara umum dan kalangan awam.65

Fashl al-Maqal adahal karya pendahuluan Ibnu Rusyd mengenai metodologi filosofis dan religius. Buku ini menegaskan bahwa al-Qur'an sendirilah (QS. Al-Hasyr ayat 2 dan QS. Al-lsra’ yang menganjurkan kajian rasional. Hubungan metodologis antara Fashl al- Maqal dan Bidayah sangat jelas, Ibnu Rusyd hendak menunjukkan peran filsafat khususnya logika, interpretasi demonstratif dan kaitannya dengan syari'at.

2. Tahafuttahafut

Peran fenomenal Ibnu Rusyd dalam kancah filsafat Islam adalah bukunya Tahafut at-Tahafut, sebuah karya yang ditulisnya sebagai upaya kounterisasi dari merebaknya pemahaman umat terhadap karya al-Ghazali, Tahafut al-

Falasifah. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd hendak membeberkan fakta bahwa buku al-Ghazali yang sampai kepada orang awam membuat orang awam menjadi bingung, karena pembahasan pembahasan tersebut tidak seharusnya dibahas pada umum. Karyanya Tahafut al-Tahafut ditujukan untuk menjelaskan fakta-fakta yang tidak semestinya disematkan kepada para filosof. Tujuannya adalah mengembalikan nama baik para filosof tersebut dari tuduhan kafir.

Seperti yang diketahui, al-GhazalT mengkafirkan para filosof atas tiga tesis; keqadiman alam, tidak ada pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dan tidak ada kebangkitan jasad di akhirat. Catatan terpenting dalam Tahafut Tahafut sebagaimana judul yang diberikan Ibnu Rusyd adalah menjelaskan “kerancuan" dalam “kerancuan”. Sulayman Dunya memperkirakan bahwa Ibnu Rusyd sesungguhnya hendak mendudukkan problema yang telah dianggap rancu oleh al-GhazalT. Kata Tahafut yang disandarkan kepada kata Fatasifah menunjuk secara langsung siapa subjek yang telah berbuat “kerancuan” tersebut. Indikasi buruk dari kata Tahafut adalah lemahnya nalar yang dimiliki para filosof dalam memahami -khususnya- soal-soal metafisika.66

Titik perbedaan yang paling jelas diantara al-GhazalT dan Ibnu Rusyd adalah pembagian keilmuan yang dilakukan keduanya. Bagi al- Ghazali terdapat perbedaan yang signifikan antara metafisika dan ilmu- ilmu lainnya yang dikategorikannya sebagai bagian filsafat seperti matematika, astronomi, kedokteran dan logika. Menurut al-GhazalT untuk menggali hal-hal metafisis tidak dapat digunakan kaca mata filosofis seperti astronomi, matematika dan kedokteran. Untuk memahami hal- hal metafisis hanya dapat dilakukan oleh wahyu (al-Qur’an dan hadis), artinya tidak diperlukan pembuktian- pembuktian secara detil seperti halnya dalam ilmu matematis. Jika al-Qur’an dan hadis telah mengisyaratkannya maka sudah cukuplah pembahasan tersebut.67

Sebaliknya bagi Ibnu Rusyd, siapapun memiliki hak memahami hal-hal metafisis melalui kaca mata apapun asalkan tidak berubah fahamnya secara esensial. Pemahaman ini disebut Ibnu Rusyd sebagai interpretasi alegoris, majazi. Jika keterangan para filosof ini disebut racun bagi manusia lain, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa tidak sesuatu yang disebut racun membahayakan bagi komunitas lainnya. Bisa jadi bagi kelompok lain, racun itu adalah obat mujarab atau makanan bagi komunitas lainnya. Maka, barangsiapa menuangkan racun itu kepada orang yang menganggap hal itu adalah racun, maka baginya hukuman. Dan barangsiapa yang menjauhkan racun dari orang yang perlu diobati dengan hal tersebut ditimpakanlah hukuman yang setimpal.68

Untuk mengetahui racun atau tidakkah hal tersebut, tentu diperlukan seorang dokter yang memahami fungsi dari dosis yang hendak diberikan. Dokter pula yang dapat menerapi orang-orang yang kelebihan dosis atau kurang dari dosis yang diberikan. Inti alegorinya ini adalah bahwa pembahasan mengenai hal-

hal filosofis dan anggapan-anggapan yang disematkan kepada mereka (filosof) adalah hal yang tidak sewajarnya disampaikan pada kalangan awam. Jika sudah merebak dan menyebabkan kesalahfahaman berkepanjangan maka tugas orang yang mengerti untuk menjelaskannya.

Al-GhazalT dan Ibnu Rusyd sesungguhnya memiliki kesamaan dalam memandang bagaimana sebenarnya filsafat disajikan. Keduanya meyakini bahwa bahasa simbolis merupakan bahasa orang awam dan bahasa demonstratif bagi para filosof. Problem yang muncul adalah efek dari pemahaman awam yang menerima ide-ide filosof atau sebaliknya yang menerima "kerancuan-kerancuan” yang ditulis al-Ghazali. Kegalauan al- Ghazali adalah merebaknya pemikiran bahwa hanya dengan menggunakan penalaran sudah cukup untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengabaikan syari'at. Sebaliknya, Ibnu Rusyd galau tradisi rasionalitas menghilang karena jumud dan taqlid berkepanjangan.

Artinya, tulisan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tidaklah ditujukan sebagai Sarkasme Mutual sebagaimana yang dituding Sulayman Dunya. Keduanya berupaya merespon kondisi umat yang menurut mereka perlu segera diingatkan. Tujuan utamanya adalah menjaga kemaslahatan umat dan kemurnian Islam. Sayang, tak mudah mencapai tujuan dan maksud yang hendak disampaikan keduanya. Karena forum khusus untuk kajian filosofis ini tak terdeteksi, maka lebih mudah menimbulkan anarkhisme ideologis dan chaos pemikiran hingga terjerumus dalam bias.

Perdebatan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun seakan-akan menunjukkan alian teologis mereka. Al-Ghazali diduga mengutip banyak ide-ide Asy’ariyyah

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 164-185)