• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUHRAWARDI AL-MAQTUL

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 185-200)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

A. SUHRAWARDI AL-MAQTUL

Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi sangat masyhur dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh al-lsyraq), suatu aliran baru yang berkembang setelah peripatetik. Lahir di Suhraward, Persia -sekarang Iran- pada tahun 549 H/1191 M, dalam usia muda, Suhrawardi telah belajar filsafat dan teologi pada Majd al-Din al-Jili di Maraghah dan kemudian diteruskannya ke Isfahan, belajar pada Fakhr al-Din al-Mardini dan Zhahir al-Farsi, seorang logikawan ternama. Suhrawardi patut dianggap sebagai the right man in the right time, sebab karya iluminasinya lahir di tengah- tengah lingkungan yang kondusif. Dari segi pemikiran, karya ini muncul pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat Islam mencapai tahap kematangannya di tangan Ibnu Rusyd, tasawwuf di tangan Ibnu ‘Arabi (1165-1240), ilmu kalam di tangan al-'ljli (w. 1355) dan Ushul Fiqh di tangan al-Syatibi (w. 1388). Jadi, Suhrawardi muncul setelah matangnya pemilahan metode antara penalaran diskursif dan intuisi.

Sayang, usianya tak panjang, Suhrawardi meninggal saat usianya baru menginjak 35 tahun, tuduhan bahwa ia adalah penyebar aliran sesat yang disebarkan ulama Suriah saat itu membuatnya dijatuhi hukuman mati. Itu sebabnya mengapa ia dikenal dengan Suhrawardi al-Maqtul, al-Maqtul adalah yang terbunuh atau yang telah dieksekusi. Tetapi, meski ia wafat di usia muda, pemikirannya jauh melampaui usianya. Tulisan dan ide-idenya yang termaktub dalam kitab Hikmah al- lsyraq menjadi fenomena yang tidak tergantikan, kitab ini telah mendapat banyak komentar dari murid-muridnya seperti al-Sahrazuri dan Quthb al-Din al-Syirazi atau simpatisannya seperti Ibnu Kammunah, seorang filosof Yahudi. Suhrawardi sendiri adalah penulis produktif yang banyak menulis banyak karya tentang hampir semua pokok persoalan filsafat, termasuk, untuk pertama kali dalam sejarah filsafat Islam, sejumlah narasi simbolik filosofis Persia.

Namun, teks-teks yang terpenting dalam filsafat iluminasi adalah; al- Taiwihat, al-Muqawamat, al-Masyari’ wa al-Mutarahat dan Hikmah al- lsyraq. Selain tulisan-tulisan ini, Suhrawardi pun memiliki kumpulan karya yang berupa do’a-do'a dan zikir-zikir yang terkait dengan peribadatan dan

ketaatan. Dalam do’a-do’anya, Suhrawardi menggunakan bahasa sastra dan simbolik yang amat kaya, misalnya saja, Suhrawardi menyebut “Matahari Langit yang Agung” dan menyebut- nyebut otoritas “Wujud Bercahaya Agung", sebagai simbol Tuhan, yang kepadanya ia memohon diberi pengetahuan dan keselamatan. Sayang, upaya simbolisme dalam do’a-do’a pendeknya dituding sejumlah sarjana pada saat itu sebagai upaya menyebarkan kembali pemujaan Persia kuno kepada benda-benda astronomis bercahaya seperti matahari.

Filsafat Suhrawardi sebenarnya adalah sebuah upaya memadukan filsafat dan tasawwuf, yang ia sebut dengan isyraq (illuminasi). Ide filosofisnya ini kemudian menjadi salah satu aliran filsafat Islam, yang berbeda karakteristiknya dengan aliran peripatetis yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat illuminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif sebagai pendamping atau bahkan menjadi dasar bagi penalaran rasional. Bagi Suhrawardi pencari kebenaran terdiri dari tiga kelompok; 1). Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam yakni para sufi, tetapi tidak mampu mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; 2). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik, yang dalam hal ini dapat berperan sebagai hubungan langsung dengan realitas sejati, seperti yang terjadi pada para filosof peripatetik dan 3). Mereka yang memiliki kemampuan poin 1 dan 2.

Pengalaman mistik adalah pengalaman langsung melihat realitas sejati, karena dalam pengalaman mistik seperti itu “objek" yang diteliti telah “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut dengan “ilmu hudhuri”. Arti dari pengalaman mistik bagi seorang pencari kebenaran adalah bahwa melalui pengalaman tersebut seseorang dapat menyaksikan kebenaran (al Haqq), yang penyaksian tersebut takkan bisa terjadi dengan pendekatan apapun baik indera maupun akal. Ketika salah seorang muridnya bertanya pada Suhrawardi apakah kitab Hikmah al-lsyraq adalah karya mistik atau filsafat, Suhrawardi menjawabnya bahwa Hikmah al-lsyraq adalah kitab filsafat yang didasarkan pada pengalaman mistik

Dalam penjelasan filsafatnya, Suhrawardi adalah sastrawan terbaik, dia mengungkapkan berbagai istilah dengan pengungkapan pengungkapan sastra. Misalnya saja, dia mengungkapkan Barzakh sebagai ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan dan bukan berkaitan dengan soal kematian. Suhrawardi juga menggunakan kata Timur (Masyriq) -tempat terbitnya matahari untuk menggambarkan dunia cahaya atau dunia malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, dan kata Barat (Maghrib) adalah dunia kegelapan atau materi. Selain itu, Suhrawardi dalam filsafat illuminasinya menyebutkan sumber dan hasil illuminasi dengan istilah Nur (cahaya). Istilah cahaya dan gelap ini adalah ciri khas dari filsafat Suhrawardi, bahkan ia menyebut Tuhan dengan Nur al-Anwar, Cahaya dari segala cahaya. Ungkapan Nur al-Anwar sebagai analogi sifat sejati Tuhan sebagai cahaya

dan sumber bagi cahaya lainnya. Juga dengan ungkapan al-Ghani, dilihat dari segi kemandirian-Nya yang absolut dari alam, sedangkan alam sendiri disebut dengan al-Fakir, karena ketergantungannya dengan Tuhan. Karena kemampuan membahasakan sesuatu dengan sastra yang sangat baik, Suhrawardi juga dikenal dengan penulis bercorak alegori dan simbolikal. 1. Filsafat Illuminasi Suhrawardi Epistemologi

Suhrawardi sebagaimana telah diterangkan sebelumnya adalah orang yang berhasil memadukan dua metode epistemologis yakni penalaran diskursif dan zauqi. Metode penalaran diskursif adalah metode yang digunakan oleh Mutakallim dan filosof sedangkan yang kedua dilakukan oleh para sufi. Kedatangan Suhrawardi seakan-akan mengobati kejenuhan para filosof muslim terhadap metode peripatetic yang ketika itu mulai meredup dan kehilangan gaungnya. Melalui konsep filsafatnya, Suhrawardi menuangkan ide isyraqiyyah. Isyraqiyyah merupakan kata yang multi arti, pertama ditujukan untuk menggambarkan ilmu khuduri yakni pencapaian pengetahuan tentang suatu objek tanpa objek tersebut digambarkan di dalam akal, la mempunyai objek immanen yang menyebabkannya menjadi pengetahuan tanpa membutuhkan objek yang transitif. la hadir dengan sendirinya melalui bimbingan intuitif cahaya keilahian.

Isyraq dalam bahasa Arab berarti “pencahayaan" dan masyriq berarti “timur”. Kesatuan antara “cahaya" dan “timur” dalam Hikmah lsyraqiyyah berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan mencahayai segala sesuatu, cahaya diidentifikasi dengan gnosis dan illuminasi. Dengan demikian isyraqiyyah dipahami sebagai ketimuran dan illuminatif, ia memancar karena ia berada di timur, dan ia berada di timur karena ia memancar. Isyraqiyyah adalah pengetahuan melalui pencahayaan di mana manusia dapat menyesuaikan dirinya di dunia wujud semesta, tidak masalah di mana pun ia hidup secara geografis, akhirnya ia menyadari bahwa timur adalah tempat kediaman azali, sementara bayangan, kegelapan dan kesuraman hidup manusia terdapat di barat.

Epistemologi Suhrawardi dibangun dari konsep esensialisme, dimana baginya esensi adalah yang prinsipil dan bukan eksistensi. Untuk menguatkan argumentasinya, Suhrawardi bertanya pada kaum eksistensialis, apa yang dimaksud dengan wujud. Nah, ketika orang itu menjawab apa itu wujud, ia mengatakan apa yang dipahaminya tentang wujud tersebut pada hakikatnya bukanlah wujud, tetapi esensi, yaitu esensi wujud.

Namun, karena setiap realitas adalah sesuatu yang tersusun dari partikel- partikel yang terpisah yang ada kalanya sederhana dan simpel dan ada kalanya bersifat majemuk, rumit dan kompleks. Esensi yang diketahui oleh akal adalah pengetahuan yang didapati dari esensi general, misalnya saja pada binatang, kita melihat esensi keseluruhannya adalah binatang rusa, tetapi sebenarnya rusa tersebut adalah tersusun dari organ- organ tubuh dan nyawa. Dimana bagian-bagian yang menjadi ciri seekor rusa yang terpisah-

pisah seperti nyawanya, bentuk kakinya, dan lainnya adalah esensi spesifik karena terjadi secara perse.

Suatu makna spesifik yang dilekatkan pada objek, dapat beriringan dengan sifat-sifat spesifik lainnya. Misalnya sifat “bersiap-siap berfikir” pada objek manusia, bisa beriringan dengan makna spesifik lain seperti “kelelakian". Tetapi sesuatu yang spesifik atau esensi spesifik harus dibedakan dengan aksiden-aksiden yang melekat pada objek Aksiden-aksiden yang melekat ini bisa jadi adalah sesuatu yang terpisah, yang hanya melekat dalam kondisi- kondisi tertentu. Misalnya; tertawa dan menangis, kedua sifat ini adalah aksiden yang terpisah yang hanya terjadi berdasarkan kondisi tertentu saja. Selain aksiden yang terpisah, setiap realitas pun memiliki aksiden yang permanen. Aksiden permanen ini dapat dianggap sempurna, bila hubungannya dengan realitas tersebut bersifat pasti, seperti hubungan antara “tiga sudut" dan bentuk “segitiga”. Aksiden ini tidak mungkin bisa dihilangkan karena seseorang tidak mungkin merekayasa kenyataan bahwa bentuk segitiga selalu memiliki tiga sudut; sebab bila ini terjadi, maka ada kemungkinan ganda untuk menyertakan atau tidak menyertakan aksiden tersebut dalam “realitas" bentuk segitiga. Kemungkinan semacam ini bisa menyebabkan bentuk segitiga ada tanpa tiga sudut dan ini mustahil.

Untuk dapat mengetahui aksiden apa saja yang secara primer dalam esensinya, anda dapat mencoba memandangi realitas tersebut secara an sich, dan mengabaikan segala pengaruh eksternal di luar realitas tersebut. Pada tahap selanjutnya, akan diketahui bahwa aksiden yang mustahil terlepas dari realitas, yang mengikuti laju eksistensinya, muncul dan mengada karena realitas itu. Salah satu tanda permanensi aksiden itu adalah bahwa rasionalisasinya mendahului rasionalisasi atas keseluruhan realitas dan ia punya “peluang” merealisasikan keseluruhan realitas. Suatu bagian kecil aksiden yang menjadi karakteristik suatu benda seperti sifat “kebinatangan" dalam diri manusia dan semacamnya, dikatakan Suhrawardi, telah diistilahkan para pengikut Peripatetik sebagai “esensialis" (zati) dan diistilahkan Suhrawardi dengan “aksiden yang primer” (ma yajibu). Sedangkan sifat non-permanen, prioritas rasionalisasinya terjadi agak lambat dibanding realitas dan tidak memiliki peluang merealisasikan realitas. Sifat aksidental kadang kala lebih general dari pada realitas, seperti aktivitas “berjalan” atau “tertawa”. Dua sifat ini adalah sifat yang tidak hanya terjadi pada manusia, binatang kemungkinan dapat melakukan itu, dan tanpa aksiden “tertawa" sekalipun, manusia tetaplah manusia.

Namun komponen yang paling jelas dari epistemologi illuminasionis Suhrawardi, adalah bagaimana ia mematahkan argumen- argumen peripatetik, dalam hal ini filosof muslim dan para filosof Yunani. Dimana Suhrawardi berusaha menolak dominasi akal dalam pencarian pengetahuan, fakta bahwa ia merumuskan kembali masalah-masalah filsafat, menolak sebagian atau memperbaiki sebagian lainnya merupakan indikasi akan tujuan

filsafatnya sendiri. Dimana modus intuisi adalah keunggulan pencarian pengetahuan, dan simbolisasi “cahaya" adalah penjelasan yang diberikannya untuk menggambarkan intuisi.

Itu sebabnya, Suhrawardi menekankan makna “esensi” dari pada eksistensi karena mengetahui “esensi” adalah dengan instuisi dan mengetahui “eksistensi" adalah dengan rasionalitas.dan menyebut sifat-sifat yang mencirikan esensi sebagai aksiden, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.

Untuk memahami bagaimana illuminasi dapat berhubungan erat dengan modus intuisi Suhrawardi, digunakanlah cahaya sebagai metafornya. Tampaknya, simbolisme cahaya adalah deskripsi yang tepat, dan lebih mudah difahami. Karena cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas “kedekatan” dan “kejauhan” dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan. Simbolisme yang juga diterapkan pada keutamaan epistemologis tindakan intuisi, yang mengajukan, sebagai aksioma pertama, pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang diri sendirinya sebagai entitas cahaya merupakan landasan dan titik tolak pengetahuan.

Pengetahuan ini diibaratkan cahaya abstrak yang berasal dari sumber cahaya. Dimana sumber cahaya memancarkan cahayanya, dan cahaya itu merambat dengan sendirinya begitu memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan secara sengaja serta tidak dipancarkan secara terputus-putus. Ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan dalam suatu saat nirselang ketika sumber bercahaya, kapan saja terjadi.

Modus ini membuktikan dengan tegas bagaimana intuisi berperan dalam pengetahuan dan tidak melalui kerja akal. Pertama, Suhrawardi mengkritik teori definisi peripatetik, yang juga merupakan cara kerja peripatetis yang banyak didominasi akal. Dalam peripatetik, sesuatu yang didefinisikan dilihat dari posisi premis sebagai langkah pertama dalam melakukan pembuktian, misalnya saja ketika mendefinisikan “manusia"; seorang peripatetik melihat manusia dari sifat-sifatnya dan menentukan manusia dalam satu jenis berdasarkan kesamaan dengan makhluk lain. Sehingga kemudian disimpulkan bahwa manusia sejenis dengan hewan, lalu dilakukan perbedaan dari kesatuan jenis itu, untuk membedakan manusia dari jenis lainnya, dan perbedaannya adalah karena manusia dianugerahi akal untuk berfikir. Sehingga manusia didefinisikan dengan “hewan yang berfikir"; hayawan nathiq.

Artinya, dalam peripatetik mendefinisikan adalah merumuskan sesuatu yang menunjukkan esensi dan menggabungkan segenap unsur penyusunnya yang dalam realitas-realitas prinsipal, rumusan itu adalah sintesis dari genus-genus dan diferensia-diferensia mereka. Sedangkan menurut illuminasionis, semua unsur pembentuk sesuatu itu harus masuk dalam rumusan tersebut, suatu persyaratan yang tidak ditetapkan secara khusus oleh rumusan peripatetik. Ini

berarti, menurut pandangan illuminasionis, sesuatu tidak dapat didefinisikan begitu saja dengan hanya melihat jenis-jenis dan diferensianya.

Suhrawardi menyebutkan bahwa untuk dapat memperoleh definisi jika seseorang telah melihat hal-hal yang tampak atau yang dapat diindera dengan cara berhubungan secara khusus dengan jumlah total hal-hal yang tampak dan yang dapat diindera sebagai suatu keseluruhan organik. Pandangan Suhrawardi menegaskan bahwa untuk mengetahui sesuatu melalui esensial- esensialnya, seseorang harus dapat memerikan masing-masing esensial dari sesuatu itu, yang secara eksplisit dituturkan Suhrawardi bahwa mengetahui jumlah total hal-hal yang esensial dengan metode pemerian pun adalah hal yang mustahil. Akhirnya, Suhrawardi menyimpulkan bahwa unsur-unsur pembentuk sesuatu tidak dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri, baik secara “hakiki” maupun secara “fikiran”. Oleh karena itu, suatu definisi esensialis tidak dapat dikonstruksi, karena akan mensyaratkan pemisahan unsur-unsur pembentuk sesuatu ke dalam genus dan diferensia, tetapi mendefinisikan adalah menggambarkan sesuatu sebagaimana yang dilihat, yang kemudian ditentukan realitasnya.

Maka, mendefinisikan dalam illuminasionis adalah menggambarkan sesuatu apa adanya seperti yang “dilihat”, oleh karenanya teori Suhrawardi pada dasarnya eksperinsial. la didasarkan pada perolehan pengetahuan langsung tentang sesuatu yang riil dan yang lebih dahulu ada, yang disamakan dengan “cahaya”. Cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri, dan kita tidak bisa mendefinisikan cahaya meski kita telah melihat dan mengetahuinya, tetapi karena cahaya adalah sesuatu yang telah jelas dengan sendirinya. Sebab tidak ada yang lebih jelas dari pada cahaya, melebihi sesuatu yang lain, sehingga cahaya tidak membutuhkan definisi.

Melalui simbolisme cahaya, pengetahuan iluminasionis yang secara umum dikenal dengan “pengetahuan dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhuri)" turut dielaborasi Suhrawardi. Seperti cahaya yang mampu menelisik ke relung- relung kegelapan terdalam, pengetahuan bagi Suhrawardi sebelum mencapai akal adalah sesuatu yang berhubungan dengan intuisi, pengetahuan itu terasakan, terinderai dalam intuisi, akal bekerja setelah intuisi bekerja. Oleh karenanya pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan dihadirkan dalam intuisi. Maka paradigma Illuminasionis bergantung pada pengalaman yang dirasakan manusia, sebuah ide dan pengetahuan jiwa seperti yang diterangkan Ibnu Sina.

Disebabkan pengetahuan itu dihadirkan, tidak berarti kemudian pengetahuan adalah sesuatu yang tidak diusahakan. Teori intensitas cahaya, yang menunjukkan kedekatan dan kejauhan adalah bukti bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang juga mesti diupayakan. Artinya, kita sendiri perlu memberikan ruang agar cahaya tersebut dapat dengan mudah menelisik ke dalam dan tidak membiarkannya menjadi gelap. Disinilah kemudian Suhrawardi menjelaskan tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan pengalaman.

Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filosof, yakni dengan menghindari kehidupan dunia agar mudah menerima “pengalaman". Tahap kedua adalah tahap illuminasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) cahaya Ilahi. Tahap ketiga atau tahap konstruksi yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yakni pengetahuan illuminasionis dan tahap keempat adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang.

Empat tahapan tersebut adalah penggabungan cara kerja filosof dan mistisisme Islam atau tasawwuf. Dimana tahap pertama merupakan bagian dari maqam yang juga dilakukan oleh sufi dan filosof, tahap ini menggiring langkah selanjutnya pada tahap kedua. Karena di tahap pertama, seseorang yang telah menjauhkan diri dari dunia, membersihkan diri dari hal-hal yang berindikasi kegelapan sehingga cahaya Ilahi dapat memasuki wujud manusia. Hingga kemudian cahaya ini membentuk serangkaian cahaya yang berfungsi sebagai pondasi ilmu sejati. Tahap ketiga adalah tahap mengonstruksi suatu ilmu yang benar. Dalam tahap ini, digunakan analisis diskursif, pengalaman diuji coba dan diterapkan digali kebenarannya dan dipastikan keabsahannya. Setelah diketahui keabsahannya ini, lalu didemonstrasikan pada manusia lainnya dan ini adalah tahap keempat.

Pengetahuan esensialistik adalah modus pengetahuan yang tidak pernah berubah, karena tidak adanya perubahan objek-objeknya, mengingat perubahan pada suatu pengetahuan mengikuti perubahan pada objek pengamatan, sehingga jika objeknya tidak berubah, pengetahuan tersebut tidak berubah. Objek-objek ini antara lain adalah Sang Pencipta, Intelek, jiwa-jiwa, bintang kosmik dan seluruh universalia dari unsur-unsur elementer dan esensi-esensi terstruktur. Pengetahuan esensialistik ini juga merupakan pengetahuan-pengetahuan teoritis, seperti juga pengetahuan spekulatif yang didasarkan pada akal.

Tetapi, pengetahuan-pengetahuan teoritis menurut Suhrawardi harus didasarkan pada pengalaman intuitif atau pengalaman mistik.

Yakni pengalaman langsung melihat realitas sejati, sehingga “objek" penelitian “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus ini disebut “ilmu hudhuri" yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli", di mana objek penelitian diperoleh tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah representasi, baik itu berupa simbol atau konsep. Kelebihan epistemologi Suhrawardi inilah yang menjadi kelebihan dari filosof lainnya, di mana intuisi berperan penting begitu pula akal. Hubungan antara intuisi dan akal ini ditujukan Suhrawardi untuk menegasikan ungkapan-ungkapan syatahat dari seorang sufi. Bahkan kemampuan seorang filosof untuk mengungkap pengalaman mistik secara diskursif ini merupakan kriteria dari benar atau tidaknya pengalaman mistik tersebut. Dengan kata lain, pengalaman mistik harus diuji kebenarannya justru lewat bahasa diskursif.

Hikmah al-lsyraq, telah memperkenalkan kita pada metode yang tidak hanya logis tapi juga spiritualis. Dimana ketika kita hendak memperoleh kebenaran

yang beremanasi dari pencahayaan-Nya, kita harus menjadi “cahaya” bagi diri kita sendiri. Caranya, ialah dengan mengenal diri kita sendiri bahwa kita secara esensial diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati, rasionalitas spiritualitas, untuk mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Bahwa “diri” kita adalah cahaya, atau cerminan dari Cahaya- Nya, akhirnya, hanya dengan “diri yang bercahaya” ini, kita dapat memeluk kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tak habis-habisnya memberi kedamaian di muka bumi.

2. Emanasi Kosmologi Cahaya

Ciri khas lainnya dari illuminasionis adalah bagaimana kemajemukan makhluk dan materi alam ini dinisbahkan melalui pemancaran cahaya yang bergerak dari sumber cahaya menuju entitas cahaya lainnya. Melalui teori emanasi illuminasionis, Suhrawardi mendeskripsikan bagaimana alam semesta memancar dari Tuhan. Namun teori ini lebih ekstensif dari teori emanasi kaum peripatetik. Dalam teori emanasi Suhrawardi, selain terdapat istilah-istilah yang berbeda terdapat juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Suhrawardi membahasakan Wajib al- Wujuddengan Nural-Anwar, Cahaya dari segala cahaya, karena sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya lainnya. Disebut juga dengan al-Ghani (yang independen) dilihat dari kemandirian-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakir (berbanding dengan mumkin al wujud-nya Ibnu Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan.

Selain perbedaan istilah, teori emanasi illuminasionis juga berbeda dalam strukturnya, jika dalam peripatetik, alam semesta dibagi ke dalam dua bagian; langit dan dunia bawah bulan (bumi). Maka dalam skema kosmik illuminasionis, di atas langit ditambah lagi satu wilayah di dunia spiritual murni, yang disebut dengan Masyriq -timur-, sedangkan langit dan bumi disebut Maghrib -barat-, dimana langit disebut barat tengah dan bumi disebut barat saja.

Seperti alegori yang ditimbulkannya mengenai isyraq yakni cahaya, dan gharb sebagai kegelapan. Suhrawardi menyebutkan bahwa di dunia timur, hanya ada entitas-entitas murni yang tidak tercampur dengan kegelapan, di dunia timur inilah, cahaya dan malaikat bersemayam dan bergerak memperbaharui energi mereka. Sedangkan barat tengah adalah tempat bercampurnya cahaya dan kegelapan, kemurnian cahaya di sini mulai meredup, bintang-bintang dan matahari adalah sesuatu yang termanifestasikan di dunia ini. Adapun dunia barat, adalah dunia kegelapan berupa benda-benda material, yang menjadi gelap karena jauhnya dari cahaya lllahi.

Suhrawardi pun berhasil melogikakan bagaimana kegelapan yang merupakan lawan dari sifat cahaya dengan sempurna. Kegelapan diartikan Suhrawardi

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 185-200)