• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 52-55)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

B. ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

Tiga konteks yang seringkali diperdebatkan konstelasi hubungannya ini, ilmu, filsafat dan agama mampu menjelaskan lebih gamblang kedudukan filsafat Islam, filsafat dan Agama atau filsafat Agama dalam struktur keilmuan. Dikotomisasi makna pada tiga kata di atas yang kini menginspirasi lahirnya proses integrasi keilmuan antara agama, sains dan filsafat. Hampir seluruh sarjana menyepakati perpaduan antara ilmu -diidentifikasi dengan sains- dan filsafat, tapi tidak dengan agama. Agaknya pengalaman muram hubungan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abad kegelapan kristen atau juga dalam hubungannya dengan “mihnah" dalam diskursus Islam membawa semacam “trauma" tersendiri untuk mendudukkan agama bersama dengan filsafat dan sains.

Untuk mempertegas proses pengkajian, ilmu pengetahuan kami setarakan maknanya dengan sains. Alasannya adalah karena perkembangan sains seringkali dijadikan indikasi untuk melihat kemajuan peradaban dari suatu bangsa. Islam dikatakan mencapai keemasannya di zaman Abbasiyah disebabkan oleh berkembangnya sains baik astronomi, kedokteran, arsitektur dan sebagainya. Kini, ketika Barat menjadi figur kemodernan, kebangkitan dan panutan peradaban juga karena kemajuan sains mereka yang berada di atas rata-rata yang berkembang di wilayah lainnya. Maka, tak ada penjelasan definitif mengenai ilmu pengetahuan atau juga sains.

Karena pertemuan filsafat dan sains tidak menemukan kendala yang berarti, maka titik problem yang dipertaruhkan dalam setiap akulturasi pemikiran itu adalah agama. John F. Haught menerangkan empat persepsi terhadap relasi antara agama dan sains, pertama, mereka yang berpendapat bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains atau bahwa sains membatalkan agama; kedua, mereka yang berfikiran bahwa agama dan sains sangat berbeda satu sama lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik atau hubungan di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid, tetapi tetap terpisahkan satu sama lainnya; ketiga, yang mengatakan bahwa walaupun agama dan sains jelas berbeda, toh sains selalu mempunyai implikasi- implikasi bagi agama; demikian juga sebaliknya. Sains dan agama niscaya berinteraksi satu sama lain; karena itu, agama dan teologi pun tidak boleh

mengabaikan perkembangan-perkembangan baru dalam sains; dan keempat, yakni yang melihat relasi itu sebagaimana relasi ketiga, tetapi lebih halus, karena golongan ini melihat bagaimana agama dapat berperan positif dalam mendukung petualangan ilmiah mencari penemuan; mengupayakan cara- cara yang dapat ditempuh agama, tanpa sama sekali mencampuri sains, untuk dapat meretas jalan bagi beberapa ide, dan bahkan merestui penyelidikan ilmiah akan kebenaran, yang disebut Haught dengan konfirmasi.20

Dan karena definisi agama yang sangat beragam, dimulai dari produk budaya, sampai dengan kewahyuan. Maka, disini kami menyajikan Islam sebagai fokus analisis, meski beberapa pembahasan mengenai makna agama secara umum tak terhindarkan. Pemilihan sikap menjadi “sekular" demi perkembangan ilmu pengetahuan dan atau melepaskan simbol-simbol agama seperti di Turki demi kemodernan mempertontonkan sebuah kegalauan apakah agama atau dalam hal ini Islam dapat merespon rasionalisasi atau kebebasan berfikir sebagai perangkat peradaban.

Ilmu, filsafat dan agama adalah tiga institut kebenaran, ketiga cara ini mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan didapati dari hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian atau segala sesuatu yang dapat diselidiki (alam, manusia dan mungkin juga agama) dengan menggunakan daya pemikiran manusia dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.21

Senada dengan ilmu (sains), filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal-budinya untuk memahami dan menyelami hakikat dari segala sesuatu. Artinya sains dan filsafat memiliki landasan yang sama, yakni “rasionalitas". Tetapi agama (pada umumnya) berlandaskan pada crec/o; tata keimanan atau tata keyakinan terhadap sesuatu di luar manusia, juga berlandaskan pada sistem ritus (tata peribadatan) dan sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, seluruh sistem agama ini berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab yang diwahyukan. Prosedur wahyu yang berimplikasi pada penetapan halal dan haram ini dituding oleh ilmuwan dan filosof sebagai pembatas potensi kebebasan berfikir akal.22

Di dunia Barat, filsafat-khususnya metafisika- telah dilepaskan dari sains atau ilmu-ilmu alam. Karena, menurut August Comte, filsafat dalam bentuk metafisika adalah fase kedua perkembangan manusia, sebagaimana agama adalah fase pertamanya. Adapun fase terakhir (ketiga) dari perkembangan tersebut tercapai pada sains -yang bersifat positivistik (yang dapat diserap oleh indera lahir manusia). Dan karena sains merupakan perkembangan terakhir, maka manusia modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya - religius-teologis dan metafisis- filosofis- kalau kita ingin dipandang sebagai manusia modern.23

Vaclav Havel, mantan Presiden Republik Czech yang pada tahun 1994 dianugerahi Philadelpia Liberty Medal di Amerika Serikat, mencari jawaban baru dalam batas-batas ilmu pengetahuan dan menemukannya pada perlunya transendensi diri, yang oleh banyak orang, dilihat sebagai persoalan agama. Walaupun tidak menyinggung Islam, pengembaraan Havel adalah inspirasi dan pengantar penting bagi perdebatan seputar hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.24

Arogansi ilmu pengetahuan yang berlebihan hakikatnya menurut Havel menimbulkan ketakutan tersendiri bagi pelakunya. Sains modern diketahui gagal menghubungkan dirinya dengan alam realitas yang paling instrinstik dan dengan pengalaman manusia yang paling natural. Tak dapat dipungkiri, sains modern memperkenalkan kita pada kemudahan-kemudahan tak terkira, hubungan lintas benua, lintas dunia atau bahkan kloningisasi bibit-bibit makhluk hidup. Tetapi manusia menjadi limbung akan tujuan dan arah, mempertanyakan apa yang akan terjadi pada diri kita di hari esok, ketakutan dengan arah kemana setelah hidup, dunia pengalaman manusia tampak kacau (chaos), mengalami keterputusan dan membingungkan. Oleh karena itu, dewasa ini, manusia bekerja dengan statistik; di sore harinya berkonsultasi pada astrolog dan menakuti-kuti diri dengan hantu dan drakula. Jurang antara yang rasional dan spiritual, yang eksternal dan internal, yang obyektif dan subyektif, yang teknikal dan moral, yang universal dan yang unik terus- menerus semakin dalam.25

Sesungguhnya terdapat titik persamaan antara ilmu (sains), filsafat dan Agama; penjelasan yang menarik tentang hubungan antara agama dan filsafat atau juga sains adalah deskripsi yang disampaikan Ibn Thufail dalam novelnya Hayy bin Yaqzhan. Novel tersebut bercerita tentang seorang bocah laki-laki bernama Hayy yang terdampar ke sebuah pulau, dan dipelihara oleh seekor rusa. Namun, setelah rusa itu mati, Hayy berusaha hidup sendiri di pulau itu. Bukan itu saja, ia pun telah mulai menggunakan akalnya untuk melakukan perenungan. Akhirnya, dari merenungkan benda-benda alam yang ada di lingkungannya, Hayy berhasil -setelah usaha yang panjang dan gigih- menemukan Tuhan, pencipta alam semesta. Selain tentang Tuhan, Hayy juga dikatakan dapat mengetahui tentang kebaikan dan keburukan, melalui akalnya, la juga mengerti tentang kewajiban untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan.26

Suatu hari, datanglah seorang sufi nan shalih yang bernama Absal. Pertemuan Absal dan Hayy menghubungkan pembicaraan mereka sampai pada soal hubungan akal dan wahyu, filsafat dan agama.

Novel tersebut selanjutnya mengatakan bahwa ternyata kebenaran filosofis yang dicapai Hayy dengan ajaran-ajaran agama, sebagaimana dipahami dan diterima Absal, tidaklah berbeda atau bertentangan, kecuali metode pencapaian. Jadi, bukan kandungannya, karena kandungan keduanya pada dasarnya sama. Meskipun begitu, Hayy mengerti bahwa filsafat memang tidak selalu cocok dengan pendapat umum. Dan ini disadarinya, ketika Absal

mengajaknya bertemu dengan Salaman dan masyarakat yang dipimpinnya. Pemahaman Hayy dan Absal tidak dimengerti masyarakat, bahkan dengan kepicikan dan kefanatikannya, Hayy dan Absal malah diserang, keduanya kembali ke pulau dan menjalani hidup kontemplatif sampai akhir hayatnya. Proses ini menurut Mulyadhi, menunjukkan bahwa pencarian dan penemuan akal sebenarnya tidak mesti berbeda dengan keterangan agama dan wahyu, ketika dipahami secara benar dan mendalam. Namun, karena kebanyakan umat memahami agama mereka hanya pada kulit luarnya saja dan tidak memahami esensinya, maka kebenaran filsafat tidak mereka pahami. Akibatnya, mereka memusuhi filsafat dan memandang filsafat bertentangan dengan agama.27 Begitu pula sebaliknya, kebanyakan saintis atau pun ahli filsafat memandang agama sebagai doktrin-doktrin yang kaku dan tidak fleksibel. Padahal agama sebagaimana diungkapkan Ibnu Rusyd justru malah mewajibkan atau setidaknya menganjurkan pengkajian ilmu pengetahuan. Berkali-kali Allah berfirman dalam al-Qur’an untuk menggunakan akal sebagai fasilitas untuk memahami ciptaannya. Berkali-kali pula Allah meminta umatnya untuk menjelajah setiap komponen di alam ini sampai dengan komponen terkecil sekalipun. Oleh karena itu, Ismail Faruqi meyakini benar, malapetaka yang menimpa dunia Islam adalah akibat persepsi terbelahnya ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan keislaman dan ilmu pengetahuan sekuler Barat. Pemisahan itu telah membuat umat Islam kehilangan identitas dan visinya.28

Itulah sebabnya, seorang filosof besar seperti Ibnu Sina, Mulia Sadra, al- Farabi dan lainnya menguasai bukan hanya filsafat, tapi juga ilmu-ilmu saintifik dan keagamaan, lebih dari itu, mereka menjadikan Islam ruh dari setiap keilmuan yang mereka kaji dan mereka pahami. Prosedur ini sebagaimana dianjurkan oleh Fajlul Rahman, ialah dilakukannya kajian epistemologi Islam sebagai landasan filsafat ilmu pengetahuan.29

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 52-55)