• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTRIK FILSAFAT ISLAM

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 55-60)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

C. KARAKTERISTRIK FILSAFAT ISLAM

Karakteristik adalah ciri khas dari sesuatu, artinya ketika membicarakan karakteristik filsafat Islam maka kita membahas perbedaan antara filsafat Islam dengan filsafat lainnya, baik itu Yunani, Hellenis atau juga Barat. Beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan ini secara tersirat telah diungkapkan dalam keterangan-keterangan diatas. Namun, demi memudahkan pemahaman kita bersama, dilakukan pointer-pointer mengenai hal-hal yang menjadi karakteristik filsafat Islam.

1) Landasan berfikir; filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. Maka sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil rasional (‘aqli)

Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa al- Qur'an dan hadis berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam, ini terlihat dari beberapa ide yang disampaikan oleh filosof- filosof muslim seperti al-Kindi yang membagi lapangan filsafat Islam menjadi tiga bagian yakni ilmu fisika, ilmu matematika dan ilmu

ketuhanan.30 Ilmu ketuhanan yang dikembangkan al-Kindi inilah yang membuatnya mendefinisikan “Sebab Pertama", mirip dengan “Agen Pertama"-nya Plotinus dengan istilah “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab". Dari al-Kindi pula diperkirakan al-Farabi mengembangkan konsep akal pertama yang dapat mentransmisikan “pengetahuan yang paling pasti” tentang Tuhan. Ide ini diperkirakan mengilhami inti doktrin Mu’tazilah mengenai keesaan Tuhan serta pensifatan dan perdebatan mengenai zat/ esensi dalam Mu'tazilah. Konsep akal ini diperbaharui oleh al-Farabi dengan menekankan kekuatan doktrin emanasi itu dengan menyamakan akal Aktif dengan malaikat jibril dan dengan menjelaskan kenabian sebagai hasil daya imajinasi Jiwa.31

Ide-ide filosofis al-Kindi dan al-Farabi hanya sebagian contoh dari sekian ide filosofis lainnya dalam Islam yang berbasis pada al- Our'andan Hadis. Tuhan yang dijelaskan sebagai Yang Esa dan sebab dari segala sebab merupakan inti ajaran dalam surat al-lkhlas, kemahaesaan dan kemahakuasaan Tuhan diperkuat al-Kindi dengan membuat susunan yang membedakan antara alam atas dan alam bawah Alkindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud temporal yang diciptakan. Lebih lanjut, jiwa merupakan wujud spiritual yang tid diciptakan, sementara Materi, Ruang dan Waktu terbatas, diciptak dan jasmaniah. Penciptaan (ibda) dalam konteks Muslim ini adai penciptaan dari ketiadaan dalam (dimensi) waktu.32 Dan kons nubuwwah al-Farabi merupakan bentuk riil bagaimana al-Qur'an d hadis menjadi sumber pengetahuan filosof muslim.

Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indik bahwa filosof muslim melandaskan pembahasannya pada al-Qur’ dan hadis, diantaranya: - Pembahasan mengenai Penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat ditemukan dalam ayat “Sesungguhnya apabila menghend sesuatu. Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah!’’, maka terjadii (kun fayakun)”. Dari doktrin ini para filosof mengkonsentrasik pemahaman mereka tentang “wujud" dan “creatio ex nihilo". K; “kun" menunjukkan identitas wujud tersebut, wujud yang dipahs Ibn Sina lebih dari sekedar kata benda atau keadaan eksister melainkan sebagai kata kerja atau tindakan dari eksisten Perenungan antara doktrin ini dalam kaitannya dengan pemikir Yunani, para filosof Islam mengembangkan doktrin tentang Wuj Murni yang berada di atas -dan tidak bersambung dengan- m< rantai wujud.33

- sebagian filosof lainnya mengembangkan teori “nihilo”, dimana sem tingkat makna yang dimiliki oleh kata “nihilo" ini yang mengarahk para filosof Islam untuk membedakan secara tajam antara Tuh sebagai wujud murni dan eksistensi alam semesta. Termas kemudian Ibn Sina dan al-Farabi mengembangkan teori eman; sebagai sebuah proses penciptaan.34

- masalah seputar “kebaruan" (huduts) dan “kekekalan" (qidar, Persoalan ini menghubungkan antara filosof dan Mu’tazilah, terutar yang berkaitan dengan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikul Isu tersebut

diilhami oleh ayat al-Qur'an: “Tidak luput di pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarah (atom) di bumi ataup di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih bes itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata” (Q.S. Yuni 61). Penegasan al-Qur'an tentang kemahatahuan Ilahi itulah ya: menempatkan masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia, dals konsep inilah doktrin “ilmu laduni” mempunyai signifikansi sentr baik bagi filsafat maupun tasawuf teoritis.35

- Dari ayat di atas, masalah ini juga terkait dengan signifikansi filosofis “wahyu”. Para filosof Islam seperti Ibn Sina mencoba mengembangkan sebuah teori dengan meminjam -dalam beberapa hal, tetapi tidak seluruhnya- teori-teori Yunani tentang intelek dan daya-daya jiwa. Atau juga mengilhami al-Farabi untuk mengembangkan fisafat nubuwwah

- Eskatologi adalah pembahasan utama filosof muslim yang nyata- nyata terinspirasi dari al-Qur’an dan hadis. Eskatologi -yang dikenal luas di kalangan rumpun Ibrani- merupakan tema yang sama sekali tidak dikenal di dunia filsafat kuno. Konsep-konsep seperti campur tangan Ilahi yang menandai titik akhir sejarah, kebangkitan jasmani, berbagai peristiwa eskatologis ini diterima filosof muslim dengan iman. Beberapa filosof mencoba meramunya secara peripatetik, atau juga dalam prinsip-prinsip theosofi transenden. Penggarapan soal eskatologi ini dikaji secara luas oleh Mulia Shadra.36

2) Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada prinsip-prinsip rasional tetapi juga spiritual

Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam berbagai diskursus yang dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang dikembangkan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan bahwa al- Farabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dikisahkan, dalam kitab metafisik tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam pandangan Islam merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan, hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Lebih persisnya lagi bagaimana dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka.37

Lebih spiritual lagi, misalnya adalah konsep aliran llluminasionis oleh Suhrawardi al-Maqtul. Filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif ('Irfanir), sebagai pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensistesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘Irfani dalam sebuah sistem pemikiran yang solid dan holistik.38

Bagi Suhrawardi, pencari kebenaran -filosof- ke dalam tiga kelompok: a). Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para sufi- tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; b). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif,

tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam dan c). Mereka yang di samping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif.39

Spiritualitas ini mendorong para filosof untuk mensistensiskan filsafat dan agama. Filosof rasional-spiritual juga terlihat dari kepribadian- kepribadian mereka yang menarik. Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan banyak filosof lainnya merupakan orang-orang yang memiliki kesalehan luar biasa. Pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman dan tingkat “kepasrahan” mereka sangat tinggi. Ibn Sina biasa pergi ke masjid dan shalat saat menghadapi masalah pelik dan Ibnu Rusyd adalah qadhi, penulis kitab fiqh; Bidayah al-Mujtahid. Atau juga gerakan sufi al- Farabi.

3) Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis para filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang Islam

Selain karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat semakna dengan filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini berlangsung pada masa kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi “Dinasti" tertentu. Kedua, para filosof tidak seluruhnya merupakan orang Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al-Farabi bahkan adalah seorang Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar wacana bagaimana para filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada ketegangan antara deskripsi al- Our’an tentang keesaan dan apa yang kaum Muslim kaji dari sumber- sumber Yunani.

Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim sebagai subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna tersendiri dalam perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya “penafsiran" atau “perluasan makna" dari al-Qur’an dan hadis dan rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif yang hanya filosof muslim saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim. Perbenturan pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof muslim.

Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji filsafat tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an, seorang mufassir, seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas keilmuan mereka di berbagai bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam adalah sebuah kesatuan antara Iman, Islam dan amal.

4) Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang mencakup bidang fisik seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan dengan bidang metafisis.

Karena metodologis filsafat yang berkaitan dengan ontologis (asal-usul hakikat), epistemologis (paradigma pengetahuan) dan aksiologis (persepsi nilai) memungkinkan seorang filosof melakukan telaah terhadap berbagai bidang keilmuan. Itu sebabnya seorang filosof muslim seperti al-Razi adalah seorang theolog, dokter, ahli kimia, ahli fisika, mufassir dan juga seorang filosof terkemuka. Namun, untuk menspesialisasi objek-objek kajian ini perlu ditelaah terlebih dahulu “tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam". Tema disini dimaknai dengan kecenderungan yang diteliti oleh para filosof muslim. Dari pengetahuan tentang tema ini akan didapati substansi yang diteliti sebagai sebuah objek kajian filosof muslim.

Amsal Bakhtiar misalnya menunjuk emanasi, jiwa/ruh, akal, teori kenabian, eskatologi, kebaikan kejahatan,alam antara kekal dan baharu, pengetahuan Tuhan, hukum kausalitas, ruang dan waktu, etika.40 Lebih global, Mulyadhi Kartanegara mengikhtisarkan tema tersebut yakni kajian mengenai Tuhan, alam dan manusia.40 Tiga komponen dasar ini-lah menurut Ibrahim Madkur yang kemudian melahirkan beragam kajian diantaranya adalah emanasi, jiwa/ruh dan lainnya41 - sebagaimana yang disampaikan Amsal Bakhtiar-. Salah satu contoh misalnya adalah kajian mengenai manusia, dimana manusia dilihat dari segi pengetahuan mereka terhadap Tuhan yang kemudian melahirkan analisis mengenai nubuwwah. Ketika menelaah konsep “nubuwwah" muncul beragam asumsi-asumsi yang berubah menjadi hipotesis seperti “apa perbedaan antara nubuwwah dan filosof?', “signifikansi wahyu dan akal", “nubuwwah itu sesuatu yang ditetapkan atau sesuatu yang dapat diupayakan ?".42

Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen tersebut. Dan untuk menspesialisasikan bidang kajian - karena pembahasan mengenai tiga objek tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya- ditetapkan beberapa tema yang hanya para filosof muslim saja yang membahasnya dan tidak menjadi pembahasan di bidang keilmuan lainnya.

5) Bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah terhellenisasi, artinya mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani, tetapi kemudian berkembang menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan Henry Corbin dengan “theosophy".

Sebagaimana kata aslinya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang diterima Islam dari Yunani dan dunia hellenis. Meski jika dikaji secara metodologis, Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an telah mengisyaratkannya namun karena pengembangan dan ketetapannya sebagai sebuah disiplin ilmu oleh Yunani. Maka, filsafat menjadi “hak paten" bangsa Yunani.

Wajar jika kemudian Islam sebagai pewaris “tunggal’’ filsafat Yunani di awal penelaahannya mengkaji pemikiran-pemikiran dalam filsafat Yunani. Setelah pengkajian itu, dilakukan semacam penyaringan atau kounterisasi dari pemikiran-pemikiran Yunani yang dirasa kurang “pas’’. Arah pembaruan

inilah yang secara perlahan menggeser tema- tema kajian yang awalnya berkarakter Yunani menjadi karakter Islam. Oleh karena itu, kata filsafat yang merupakan bahasa transliterasi dirubah dengan bahasa Arab yang diperkirakan memiliki makna sama yakni “hikmah".

Semakin jauh perkembangan filsafat Islam berjalan, al-Qur’an dan hadis semakin melandasi pemikiran-pemikiran filosof muslim. Secara perlahan karakteristik Yunani mulai berkurang dan Islam menunjukkan identitasnya. Bahkan sebagaimana yang dikatakan A.

Epping, filsafat skolastik yang dikembangkan oleh St. Thomas Aquinas merupakan hasil produksi pemikiran filosof muslim.44

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 55-60)