• Tidak ada hasil yang ditemukan

IBNU MISKAWAIH

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 113-124)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

D. IBNU MISKAWAIH

Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miskawaih atau dikenal juga dengan Abu Ali al-Khazin, lahir di kota Rayy, Iran pada 320 H dan wafat di Asfahan

pada 9 Safar 421 H. Seorang politikus dan filosof ini dikatakan merupakan seorang Majusi sebelum kemudian menjadi seorang muallaf. Namun Yaqut al-Baghdadi menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa yang Majusi adalah neneknya, ayah Ibnu Miskawaih sendiri adalah seorang muslim, ini terlihat dari nama ayahnya; Muhammad.146 Ibnu Miskawaih adalah intelektual muslim dan pejabat kenegaraan yang memperoleh kemajuan pesat di bawah perlindungan dinasti Buwaihiyah (sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-5 Hijriyah/ abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi).147

Ibnu Miskawaih (selanjutnya ditulis Miskawaih) membangun karier politiknya dengan mengabdi kepada al-Muhallabi (w. 325 H), seorang wazir pangeran Buwaihiyah Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al- Muhallabi, ia diterima Ibn al-’Amid, seorang wazir dari saudara Mu’iz al- Daulah, Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Rayy. Disini, Miskawaih ditempatkan untuk menjadi pustakawan, kedudukannya sebagai pustakawan digunakannya untuk menuntut ilmu secara otodidak. Sampai Ibn al-Amid wafat dan digantikan putranya Abu al-Fath, Miskawaih masih tetap menjadi pustakawan, namun saat Abu al-Fath wafat dan digantikan al-Shahih ibn ‘Abbad, Miskawaih meninggalkan Rayy menuju Baghdad untuk kembali mengabdi pada dinasti Buwaih. Di sini, Miskawaih menjadi bendaharawan Negara dan mengaktifkan dirinya pada keilmuan serta memulai penulisan karya-karyanya.148

Tokoh ini diperkirakan hidup sezaman dengan Ibnu Sina dan al-Tauhidi. Ibnu Miskawaih juga dikabarkan belajar pengetahuan dan keilmuan Yunani pada Ibn al-Khammar, seorang pensyarah terkenal karya-karya Aristoteles, dan juga mempelajari al-Kimia pada Thayyib al- Razi. Dalam banyak bidang ilmu pengetahuan, Miskawaih adalah seorang pakar yang sangat aktif. Tulisan-tulisannya dan informasi- informasi tentang dirinya dalam berbagai sumber menjadi saksi tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaran kultur di masanya. Miskawaih dicatat Margouliouth sebagai seorang ahli sejarah dan etika, namun selain dua bidang tersebut, Miskawaih juga memiliki perhatian dan kontribusi lain, dia digambarkan pada masanya sebagai seorang ahli biografi para dokter, dan menulis semacam rangkuman dari berbagai risalah medis, seorang ahli aritmatika, sastra dan memiliki kemampuan yang memukau di bidang retorika, dan menulis beragam antologi puisi.149

Kendati tulisannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, bahasa, sejarah dan filsafat, tetapi ia lebih popular sebagai filosof etika. Tulisan-tulisannya mengenai etika kemungkinan besar dimotivasi dari kondisi masyarakatnya yang kacau, akibat minuman keras, perzinahan dan bermewah-mewahan. Literatur etika ini memperoleh konsep dan metode pembahasannya dari karya-karya etika Yunani yang dikenal oleh para pakar muslim. Seperti karya Aristoteles, Bryson, Galen,Porphyry, Themistius, kaum Naturalis dan Stoic. Di antara semua ini, pengaruh Neo-platonis adalah yang paling kuat dan hasilnya berupa sebuah sistem Neo-platonis yang

terpadu. Tetapi tentu saja, etika muslim juga diupayakan Miskawaih yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis.

Karena pembahasannya yang terkonsentrasi pada etika dan hanya memberikan sedikit perhatian saja pada masalah ketuhanan, Miskawaih seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari filosof muslim. Namun beberapa alasan dapat menjawab segala tuduhan tersebut, pertama, secara praktis setiap filosof berurusan dengan etika, karena ilmu ini merupakan bagian dari filsafat, berdasarkan skema Aristotelian yang digunakan para filosof muslim. Kedua, pembahasan mengenai etika berkaitan erat dengan pembahasan psikology atau ilmu mengenai jiwa, dan jiwa adalah bagian dari tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam. Ketiga, pembahasannya mengenai jiwa secara tidak langsung berhubungan dengan akal, alam dan juga Tuhan. Artinya, meski dalam porsi kecil pembahasan mengenai Tuhan, tetapi pengkajian mengenai jiwa membutuhkan landasan yang kuat dan berhubungan dengan teori ketuhanan.

Selain dikenal sebagai filosof etika, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang sejarahwan. Karyanya Tajarub al-Umam (Pengalaman Bangsa- bangsa), merupakan karya tulis di bidang sejarah yang memaparkan sebuah sejarah universal sampai dengan tahun 369 H, yang khususnya penting bagi periode setelah al-Thabari juga sebagai catatan sejarah yang kaya informasi dari sumber aslinya, dan penjelasan mengenai model- model administrasi, strategi peperangan, perekonomian Negara sampai dengan manuver politik dan dimana, menurut editor dan penerjemah dalam edisi Inggrisnya, D.S. Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih unggul dibandingkan sejarahwan terkemuka sebelumnya.150

1. Filsafat Ibnu Miskawaih Metafisika

Ibnu Miskawaih memang tidak memberikan perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, namun itu tidak berarti ia tidak memiliki pemikiran mengenai hal tersebut. Risalah Ibnu Miskawaih al-Fawz al- Asghar, merupakan risalah yang mengetengahkan uraian tentang ketuhanan, meski dalam porsi kecil. Risalah al-Fawz al-Asghar dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama berkenaan dengan pembuktian adanya Tuhan; bagian kedua tentang ruh dan ragamnya dan bagian ketiga tentang kenabian. Di dalam risalahnya ini, Ibnu Miskawaih menyuguhkan penjelasan mengenai Tuhan dan alam ini dengan teori Neo-platonisme yang dikatakan Oliver Leaman agak tidak lazim.151

Sebelum menjelaskan teori emanasinya, Ibnu Miskawaih terlebih dahulu mengklaim bahwa para filosof Yunani tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak ada pertentangan yang berarti antara pemikiran mereka dengan Islam. Salah satu contohnya, dikutip Ibnu Miskawaih dari teori Aristoteles mengenai sang Pencipta yang merupakan “Penggerak pertama yang tidak bergerak". Ide sang Pencipta Aristoteles ini dikatakan Ibnu Miskawaih sama sekali tidak bertentangan dengan agama.

Dengan demikian Ibnu Miskawaih berusaha menyelaraskan ide-ide filosof Yunani dengan ajaran-ajaran dalam Islam.

Penyelarasan filosofis-religius ini semakin terlihat ketika Ibnu Miskawaih membahas teori Neo-platonismenya atau emanasi. Ibnu Miskawaih sebagaimana filosof pendahulunya yang lain, menggunakan emanasi sebagai deskripsi penting penciptaan dari Pencipta pada ciptaan- Nya. Tetapi emanasinya terlihat berbeda dengan penggambaran filosof lainnya. Menurutnya, Tuhan menciptakan akal aktif, jiwa dan lelangit serta merta,152 yang dalam tradisi Neo-platonisme Islam, emanasi ilahiah ini biasanya muncul agak di bawah tingkatan wujud dan tidak bersamaan. Konsep ini membuat semacam kerancuan antara makna emanasi dan makna menciptakan.

Jika dalam emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina, Tuhan memancarkan dengan proses berfikir dan memunculkan akal pertama sampai dengan akal kesepuluh (akal aktif). Menurut Ibnu Miskawaih entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal fa’al (yang oleh al-Farabi diletakkan menjadi akal sepuluh), artinya akal fa’al atau akal aktif adalah yang pertama mewujud dari pancaran Tuhan, akal aktif ini karena muncul tanpa perantara lainnya kecuali pancaran Tuhan membuatnya kekal, sempurna dan tidak berubah-ubah. Dari akal aktif ini timbul jiwa, yang dari perantara jiwa timbul planet-planet. Pencaran secara terus menerus dari Tuhan ini yang memelihara tatanan di alam ini, dan sekiranya pancaran Tuhan tersebut berhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini. Teori emanasi ini dikatakan Oliver Leaman sebagai emanasi nirputus Neoplatonisme karena perbedaannya dengan pemikiran filosof lainnya.153

Penciptaan itu sendiri dikatakan Ibnu Miskawaih tercipta dari ketiadaan, dan akal aktif serta jiwa adalah abadi. Tetapi keabadian akal aktif dan jiwa adalah berbeda, akal aktif menjadi kekal, sempurna dan tidak berubah karena pemancaran Tuhan terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sumber pemancaran itu adalah kekal. Untuk menjelaskan keabadian jiwa, Ibnu Miskawaih mengutip pendapat Plato dengan menjelaskan esensi ruh yakni gerak. Gerak ini terdiri dari dua macam, pertama; gerak ke arah inteligensi dan kedua; gerak ke arah materi, yang pertama diterangi dan yang kedua menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati akal aktif yang merupakan ciptaan pertama dan melalui gerak kedua, ruh beresensi dari dirinya. Sehingga pada gerak pertama, ruh mendekati Tuhan dan pada gerak kedua ruh menjauhi Tuhan dan mendekati materi.154

Meski beberapa teorinya terkesan rasionalis, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang religius sejati. Pertama karena ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan dan kedua pemikirannya mengenai Tuhan yang disimbolkan dengan simbol penegatifan. Simbol penegatifan ini juga adalah teori al-Kindi dan mutakallim mu’tazilah. Tuhan harus disimbolkan dengan penegatifan karena Tuhan berbeda dari segala yang ada di dunia ini. Tuhan

bersifat abadi dan non-materi, Tuhan secara mutlak terbebas dari materi, terbebas dari entitas-entitas apapun yang tunduk kepada hukum perubahan. Karena perbedaan Tuhan dengan entitas- entitas yang tunduk kepada hukum perubahan, maka Tuhan hanya dapat dikenal proposisi negatif dan tidak bisa dikenai dengan proposisi positif, karena menisbahkan proposisi positif sama dengan menyamakan Tuhan dengan ciptaanNya.155

Emanasi Ibnu Miskawaih dari Tuhan sampai dengan alam ini dideskripsikan Ibnu Miskawaih sebagai berikut; Kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal aktif, akal aktif ini sempurna dan kekal tetapi ia tidak sesempurna Tuhan, karena keberadaannya bergantung pada pancaran Tuhan. Dari akal aktif ini timbullah ruh, ruh memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan untuk mengikuti akal aktif. Ruh juga kekal dan sempurna dibandingkan dengan benda-benda alam, benda-benda alam ini mewujud dari ruh langit. Dan karena benda-benda alam jauh tidak sesempurna ruh maka benda-benda ini memerlukan gerak fisik yang terikat dalam ruang dan waktu. Lingkungan benda-benda alam ini bergerak dalam ketetapan Tuhan, dan manusia adalah evolusi dari benda-benda alam ini. Rantai perantara yang panjang ini membuat manusia adalah fana.156

Menariknya, Ibnu Miskawaih juga mengakui evolusionisme. Evolusi tersebut terdiri dari empat tahapan, pertama; evolusi mineral, merupakan kombinasi substansi-substansi primer di alam ini dan merupakan kehidupan pertama. Kedua; tumbuh-tumbuhan, adalah bentuk kehidupan yang jauh lebih tinggi dari kehidupan sebelumnya, dan diduga merupakan kombinasi dari mineral- mineral yang tersusun. Ketiga; hewan, disini Ibnu Miskawaih mengungkapkan terdapat beberapa tumbuhan yang menyentuh dunia hewan seperti misalnya saja koral/ batu karang yang tidak hanya tumbuhan tetapi juga memiliki cirri-ciri hewaniah. Keempat; manusia, seperti teori evolusi Darwin, teori evolusi belakangan, Ibnu Miskawaih telah berpendapat bahwa manusia “mungkin" berasal dari hewan. Beberapa indera hewan yang juga ada dalam diri manusia dan bentuk struktur tubuh hewan yang ada dalam manusia menurut Ibnu Miskawaih membuktikan evolusi tersebut.157

Teori evolusi ini menjadi pijakan Ibnu Miskawaih untuk menjelaskan teorinya tentang moral dan kenabian. Ibnu Miskawaih menekankan sebuah “pelayanan", antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, misalnya saja manusia melayani hewan dan tumbuhan begitupun sebaliknya, semakin banyak melayani semakin besar kesempatan untuk menuntut (meminta) lebih banyak. Jika sedikit melayani, sedikit pula ia dapat meminta dan menerima. Konsep ini adalah konsep mengenai kedudukan manusia sebagai Khalifah di muka bumi, itu sebabnya bagi Ibnu Miskawaih, kenabian adalah pencapaian manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, tempat dimana dia memberi pelayanan terbaiknya bagi alam ini, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.158

Seperti al-Farabi, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal

aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat juga diperoleh oleh filosof, namun terdapat perbedaan dalam cara memperolehnya, filosof berupaya mendapatkannya dari efektifitas penggunaan daya inderawi menuju ke daya khayal dan naik lagi ke daya fikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Tetapi Nabi menerima seluruh hakikat kebenaran sebagai rahmat Tuhan. Artinya hubungan filosof dengan akal aktif adalah dari bawah ke atas, dan Nabi dari akal aktif sampai ke Nabi.159

Pemikirannya mengenai kenabian ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan Nabi dan filosof bisa jadi tidak bertentangan. Karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal dan filosof menggunakan akal sebagai landasan berfikirnya. Tetapi, menurut Ibnu Miskawaih dalam beberapa hal, seperti memahami Tuhan, tidak ada jalan rasional. Hanya dengan mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandangan- pandangan umum komunitas religius, seseorang dapat memahami Tuhan dan mengetahui Tuhan dengan lebih baik.160

2.. Filsafat Etika

Ide-ide Miskawaih tentang etika dituangkannya dalam risalah Tahdzib al- Akhlaq, sebuah risalah yang kini telah dijadikan rujukan baik di Timur dan Barat, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dan tampaknya karyanya ini menempati posisi sentral dalam tradisi etika filosofis muslim. Ini terlihat dari pengaruh karyanya terhadap tulisan-tulisan intelektual muslim lainnya setelah Miskawaih. Misalnya saja, Akhlaq-i Nashiri karya Nashir al-Din al-Thusi (±672 H) dan Akhlaq- i Jatah karya Jalai al-Din al- Dawwani (+_908 H) yang juga bergantung pada karya Thusi, juga pada Ihya’ ’Ulum al-Dirmya al-Ghazali, teolog Islam besar, yang juga besar pengaruhnya pada tradisi pemikiran Sunni.

Inti ajaran etika Ibnu Miskawaih adalah ilmu tentang jiwa (,psikology), jiwa menurut Miskawaih adalah entitas yang berdiri sendiri, bukan bagian dari tubuh. Analoginya adalah lilin, jika lilin dicairkan untuk kemudian dibentuk menjadi lukisan maka lilin tersebut kemudian merubah bentuk menjadi lukisan tetapi identitas dirinya adalah lilin tidak hilang karena ia hanya diberi bentuk. Jiwa juga demikian, jiwa hanya diberi bentuk karena ada jasad atau tubuh tetapi entitas dirinya adalah jiwa yang berbeda dengan tubuh.161

Dengan demikian, jiwa adalah tetap, tidak berubah meski ia menerima beragam bentuk. Tetapi tubuh mengalami setiap perubahan, tubuh dapat menjadi semakin tua, semakin rapuh tetapi jiwa tetap. Ibnu Miskawaih mencoba menerangkan identitas tubuh dengan keberadaan indera, karena indera adalah sistem pengenal yang dimiliki tubuh. Tubuh membutuhkan indera untuk memenuhi kebutuhan jasadinya seperti keinginan untuk menjadi pemenang, keinginan untuk balas dendam. Secara garis besar, setiap apa yang dapat ditangkap indera, tubuh akan merasa senang, karena tubuh seakan mendapatkan eksistensinya. Adapun jiwa semakin jauh dari kebutuhan- kebutuhan jasadi itu semakin sempurna dan semakin terbebas dari indera, dan

semakin kuatlah jasad untuk menangkap ma’qulaf yang terpancar dari akal aktif.162

Fakta bahwa jiwa melepaskan kebutuhan-kebutuhan jasadi ini diketahui ketika manusia melakukan perenungan atau yang kita kenal dengan meditasi. Dalam proses perenungan ini akan diketahui bahwa jiwa mempunyai prinsip lain dan tingkah laku lain yang sama sekali bukan indera. Jika indera cuma mengetahui obyek yang diinderai, jiwa mampu mengetahui sebab-sebab yang harmonis dan bertolakbelakangnya hal- hal yang dapat diinderai tadi. Sebab- sebab ini merupakan hal yang dapat dilihat jiwa tanpa bantuan tubuh, artinya jiwa memiliki kekuatan untuk dapat mengendalikan tubuh. Karena jiwa dapat memutuskan bahwa indera itu benar atau salah, karena indera tidak memiliki kemampuan untuk menentang dirinya dari apa yang diterimanya.163 Contohnya, ketika indera cium melakukan kesalahan ketika mencium benda busuk, apalagi jika baunya berubah-ubah, akal menolak penginderaan ini, mempertanyakannya lalu mencari sebabnya dan membuat penilaian- penilaian yang benar.

Secara garis besar, akal adalah esensi dan substansi jiwa, dengan begitu, jiwa itu tahu, karena ia mengetahui dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal. Dan itu berarti, bahwa ia tidak membutuhkan sesuatu untuk mengetahui kecuali dengan dirinya sendiri Maka, akal, dan yang berfikir dan yang obyek yang difikirkan adalah jiwa. Karena perbedaannya dengan indera maka jiwa memiliki pembawaan tersendiri yakni kebajikan.164 Dan kecenderungan manusia pada jiwa dan indera dapat dideteksi melalui kebajikan yang terpancar dari dirinya, semakin kuat kecenderungan jiwa semakin kuat kebajikan dan keutamaan terpancar dan sebaliknya semakin kuat kecenderungan indera atau jasad semakin menipis kebajikan yang terpancar.165

Kebutuhan jiwa dan indera pada manusia ini telah membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya, karena jiwa pada manusia memiliki bakat atau tindakan tertentu yang berbeda dengan yang terdapat pada hewan dan tumbuhan. Ini tidak berarti bahwa jiwa dalam makhluk lainnya tidak berpembawaan kebajikan, tetapi karena dalam indera manusia pun ditempatkan indera berfikir yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Yang pengefektifan indera berfikir ini adalah dengan melatih jiwa, dan sebenarnya pada hewan dan binatang kemampuan tersebut ada dengan porsi yang kecil. Misalnya saja seekor kuda, dianugerahkan bakat dan tindakan untuk dapat bergerak dengan cepat, jadi kuda yang baik adalah kuda yang paling cepat geraknya, yang paling cepat dan gesit larinya. Begitu pula manusia, manusia yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat bagi dirinya, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya, yang membedakan dirinya dari seluruh benda alam yang ada.166

Dengan demikian, manusia perlu mengupayakan kebaikan yang merupakan kesempurnaan dirinya. Tetapi karena kebaikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan

mampu mencapai semuanya sendiri, maka harus ada sejumlah individu yang bersatu dan bersama-sama mencapai kebahagiaan bersama ini. Untuk tujuan ini, maka manusia harus saling mencintai karena setiap individu akan mendapatkan kesempurnaan dari individu lainnya.167

Demi mendapatkan kesempurnaan individual ini, manusia perlu mengetahui watak dari jiwa. Ibnu Miskawaih membagi watak jiwa pada tiga bagian yakni berfikir, marah dan nafsu syahwat

Namun, sebelum membahas etika Ibnu Miskawaih, kita perlu memahami konsep manusia menurut Miskawaih terlebih dahulu. Menurut Ibnu Miskawaih, penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi, dan jiwa ada di antara keduanya. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pencaran Tuhan, jiwa berfikir ini yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jiwa dikatakan Miskawaih dengan mengutip pemikiran Plato, adalah entitas atau substansi yang berdiri sendiri, jiwa tegas Ibnu Miskawaih dapat dipandang berbeda dari badan, karena jiwa dapat mendorong manusia untuk memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar secara terorganisasi dan tersistem. Karenanya jiwa bukan aksiden, jiwa mempunyai kekuatan untuk berhubungan dengan entitas immaterial dan abstrak. Jika jiwa adalah aksiden maka jiwa terikat dengan badan dan ruang lingkupnya akan terbatas seperti aspek-aspek fisik. Jiwa adalah substansi independen yang mengendalikan jiwa dan bersifat kekal, itu sebabnya jiwa tidak mati meski badan/jasad hancur binasa. Tetapi karena esensinya yang tidak mati ini, jiwa berada dalam gerak abadi, gerak yang memungkinkan jiwa untuk memilih untuk melebur bersama materi dan memuaskan hasratnya bersama materi, atau menuju akal, dan memuaskan hasratnya bersama akal. Semakin dekat jiwa pada akal, semakin kekal dan semakin sempurna posisinya, dan semakit dekat jiwa dengan materi, semakin rapuh dan binasa ia, karena ia dikendalikan oleh materi.

Teori jiwanya ini ditujukan Ibnu Miskawaih untuk menjawab pendapat kaum materialis yan beranggapan bahwa hanya ada satu tubuh saja dan menafikan keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa diargumentasikan Miskawaih dengan bukti-bukti sebagai berikut; pertama, Ibnu Miskawaih menerangkan bahwa dalam diri manusia ada indera dan ada mental intuisi/ kognisi. Indera berkaitan dengan fisik dan intuisi adalah bagian dari jiwa, indera dapat mempersepsi suatu rangsangan dengan kuat, tapi cara kerja indera hanya pada satu arah, ketika menerima rangsangan kuat, indera dapat mengabaikan rangsangan-rangsangan lemah lainnya. Misalnya saja, orang yang kurang pendengarannya sulit untuk kemudian membangkitkan kemampuan bicaranya, karena indera bergerak dengan aturan-aturan yang mesti. Tetapi intuisi dapat menerima rangsangan dari manapun dalam bentuk apapun meski indera sudah tidak dapat digunakan, dan ini membuktikan bahwa jiwa

terdapat dalam tubuh kita. Argumen kedua adalah bahwa seseorang yang telah rapuh fisiknya, tidak dapat mempengaruhi kekuatan mentalnya, bisa jadi mentalnya menjadi semakin kuat dan bisa jadi fisiknya menguat tetapi mentalnya menjadi lemah. Argumen ketiga dalam pembuktian jiwa, adalah hasrat manusia untuk mengisi dahaga spiritualnya dengan merenungkan sesuatu yang kemudian dengan segala daya upaya berusaha menjauhkan materi, misalnya saja seseorang yang berusaha keras menutup matanya, menjauhkan pendengarannya dari kebisingan dan memejamkan matanya untuk dapat menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya. Usaha ini yang sekarang dikenal dengan “meditasi” membuktikan bahwa jiwa adalah entitas yang berbeda, karena jika jiwa adalah materi maka jiwa tidak perlu melepaskan identitas-identitas materi, tidak perlu menutup mata dan menjauh dari kebisingan, tetapi karena jiwa berbeda dan harus berbicara dengan zat

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 113-124)