• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK AL-GHAZAL

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 152-164)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

A. KRITIK AL-GHAZAL

Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-GhazalT, lahir di Thus, Khurasan, Iran pada 450 H. Nama al-GhazalT konon dinisbahkan pada pekerjaan ayahnya sebagai seorang ghazzal yakni tukang pintal benang, riwayat lainnya menyebutkan laqab tersebut dinisbahkan pada ghazalah, kampung kelahiran al-Ghazali. Al-GhazalT lahir di tengah keluarga sufi, ayahnya merupakan seorang sufi yang saleh. Ayahnya meninggal dunia sebelum al-Ghazali dewasa, akan tetapi sebelum wafatnya, ayahnya menitipkannya pada seorang sufi untuk dididik dan dibimbing.3

Rihlah ilmiyyahnya dimulai ketika al-Ghazali didaftarkan bersekolah di Thus oleh sufi yang membimbingnya. Di zamannya, seorang yang menuntut ilmu diberi santunan pendidikan oleh pemerintah, sehingga siapapun dapat dengan mudah bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya. Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini sampai Imam al-Juwaini wafat pada tahun 478 H. Kemudian ia berkunjung ke wilayah Nizam al-Mulk di kota Mu’askan. Di kota inilah, al-Ghazali masuk ke dalam lingkaran istana Nizham al-Mulk dan menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizham al-Mulk mengangkatnya menjadi pengajar fiqh Syafi'iyyah di Madrasah Nizhamiyah Baghdad (484 H).4

Karena kecerdasannya, al-Ghazali menjadi ulama tersohor dan guru yang paling dikagumi di Madrasah Nizhamiyah. Sehingga tak lama setelah diangkat sebagai seorang pengajar, al-Ghazali menjadi intelektual istana dan memiliki hak istimewa untuk berhubungan langsung dengan keluarga Istana. Kedudukannya ini membuatnya melihat secara langsung bagaimana intrik- intrik politik istana dan itu menimbulkan keragu-raguan akan pekerjaan yang ditempuhnya. Sehingga pada tahun 488 H, al-GhazalT memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan berkhalwat di Damsyik. Di kota ini, al-

Ghazali menghabiskan waktunya untuk merenung, membaca, dan menulis, selama kurang lebih 2 tahun dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya.5 Selama masa perenungannya al-GhazalT dikisahkan mengadakan perjalanan ke Palestina dan menunaikan ibadah haji sampai kemudian kembali ke kota kelahirannya di Thus. Di Thus, ia tetap berkhalwat dan beribadah, keadaan itu berlangsung selama 10 tahun sejak dia hijrah ke Damsyik. Dalam masa ini, lahir karya-karya monumentalnya seperti Ihya ’Ulumuddm dan Tahafut al-Falasifah. Melalui karya-karyanya ini, nama al-Ghazali semakin masyhur, dan pemerintah memintanya untuk mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi pekerjaan ini hanya berlangsung selama dua tahun, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan sekolah untuk fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Kiprahnya ini kemudian membuatnya digelari Hujjah al-lslam atau pembela Islam, gelar ini diberikan karena al-Ghazali dianggap telah meletakkan dasar-dasar keilmuan Islam. Al- Ghazali wafat di Thus pada tahun 505 H dalam usia 54 tahun.6

Meski sebagian kalangan menempatkan al-Ghazali sebagai seorang filosof muslim, al-Ghazali sendiri menurut Massimo Campanini tidak menganggp dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filosof Meski begitu sulit bagi kita untuk memungkiri bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof karena ide-idenya dalam Maqashid al-Falasifah membuktikan bahwa al- Ghazali mengasimilasikan filsafat secara mendalam dan menunjukkan bagaimana filsafat juga berbaur dengan model sufinya.

Beberapa tulisannya memang ditujukan untuk mengkritik "rasionalitas" yang saat itu digaung-gaungkan para filosof dan teolog- teolog muslim. Kritiknya terhadap rasionalitas bukan tanpa penelitian mendalam, al-Ghazali mengaku melakukan pencarian kepastian dan kebenaran selama bertahun-tahun. Pencarian kebenaran ini awalnya dia serahkan pada kemampuan indera, kemudian pada penalaran atau akal, kemudian dia mengikuti ajaran-ajaran imam-imam atau ulama- ulama. Tetapi dari sekian pencariannya, al-Ghazali tidak menemukan kebenaran yang diharapkannya, sampai kemudian al- Ghazali berkhalwat dan menggunakan hatinya untuk menemukan kebenaran. Sebuah langkah yang ditempuh kaum sufi, yakni dengan menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya.8

Idenya mengenai epistemologi intuisi (qalb) menurut Nasr kemudian mengarahkan filsafat di dunia muslim ke arah tasawwuf. Lahirnya Ibnu 'Arabi dengan aliran 'irfani dan Suhrawardi dengan aliran illuminasionis membuktikan bahwa al-Ghazali tidak mematikan gairah pemikiran di dunia muslim, sebaliknya memberikan warna baru terhadap filsafat Islam yang sebelumnya didominasi oleh peripatetik.

1. TahafutAl-Falasifah; Kritik Al-Ghazal!

Kritik yang disampaikan al-Ghazali terhadap filsafat dikemukakannya dalam Tahafut al-Falasifah. Kekeliruan para filosof menurut al-Ghazali terdapat dalam 20 hal, 16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika. Dalam

17 soal mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga soal lainnya mereka dinyatakan sebagai kafir, karena fikiran-fikiran mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin.

Dua puluh perkara yang dimaksud adalah:9

1. Pendapat bahwa alam tidak bermula atau qadim 2. Pendapat bahwa alam, masa dan gerak adalah abadi

3. Penjelasan mengenai bagaimana cara Tuhan menciptakan alam ini, dalam hal ini al-Ghazali mengkritik teori emanasi sebagai jalan dalam menciptakan alam ini

4. Analogi-analogi mengenai keberadaan Tuhan sebagai pencipta

5. Argumen akan kemustahilan adanya Tuhan selain Allah, termasuk di dalamnya argumen mengenai wajib al-wujud, mumkin al-wujud dan mumtani’ al-wujud

6. Argumen mereka dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan

7. Argumen para filosof mengenai Tuhan yang tidak dapat dibagi dengan genus dan differensia

8. Asumsi para filosof mengenai wujud Tuhan yang sederhana, murni tanpa kuiditas atau esensi

9. Asumsi para filosof bahwa Tuhan tidak ber-jism

10. Penjelasan mengenai pencipta dan yang diciptakan, termasuk di dalamnya pengg/yasan keabadian antara pencipta dengan yang diciptakan 11. Penjelasan mengenai pengetahuan Tuhan dan bagaimana Tuhan mengetahui hal yang partikular dan universal

12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diriNya sendiri dengan pengetahuanNya; dengan esensiNya

13. Penolakan para filosof bahwa Tuhan mengetahui hal-hal partikular 14. Penjelasan mengenai langit dan bintang yang bergerak dengan kehendak

15. Penjelasan mengenai tujuan dari gerakan langit dan bintang

16. Penjelasan bahwa setiap bagian langit mengetahui dan berkuasa terhadap wilayahnya atau jenis-jenisnya

17. Penolakan pandangan mereka bahwa mustahil terdapat sesuatu yang sifatnya mu’jizat

18. Asumsi para filosof mengenai jiwa sebagai esensi yang ada sendiri, tanpa jasad dan tidak terikat dengan ruang dan tubuh

19. Pendapat yang menyatakan bahwa jiwa sifatnya abadi

20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani termasuk di dalamnya keberadaan surga dan neraka

Dari dua puluh perkara ini terdapat tiga perkara yang menurut al-Ghazali dapat menyebabkan seorang filosof dihukumi kafir, tiga perkara tersebut adalah:

1. Filosof yang berpendapat bahwa alam ini adalah qadim dalam arti tidak bermula

2. Filosof yang berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular

3. Filosof yang mengingkari kebangkitan jasmani dan menolak keberadaan surga dan neraka

Memperhatikan dua puluh perkara yang disampaikan al Ghazali, dapat disimpulkan empat maksud yang hendak diperkarakan oleh al-Ghazali. Pertama, persoalan penciptaan Tuhan; kedua, persoalan mengenai pengetahuan dan sifat-sifat Tuhan; ketiga, persoalan mengenai qadim dan baharu dan keempat, persoalan mengenai kebangkitan jasmani.10

Dalam tujuh belas perkara di luar tiga perkara yang menyebabkan kekafiran, menurut al-Ghazali merupakan perkara-perkara yang memiliki kedekatan faham dengan pemikiran mu’tazilah. Karenanya para filosof yang berpendapat mengenai tujuh belas hal tersebut tidak perlu dikafirkan, disebabkan pendapat-pendapatnya masih dapat ditolerir dalam Islam. Meskipun sebenarnya bagi al-Ghazali pendapat-pendapat mereka kurang sesuai dengan ajaran Islam karena banyak dipengaruhi ide-ide Yunani. Selain itu, ide-ide filosof yang senada dengan faham mu’tazilah berpotensi menggiring kaum awam pada kekafiran sehingga al-Ghazali menyarankan untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran filsafat ini. Atas alasan-alasan tersebut al-Ghazali beranggapan bahwa pemikiran mereka adalah bid’ah, sehingga sebaiknya dijauhi.11

Al-Ghazali mengakui bahwa dirinya sulit menerima penjelasan yang disampaikan filosof khususnya mengenai bagaimana Tuhan menciptakan alam ini. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia menegaskan bahwa para filosof mendemonstrasikan penciptaan Tuhan karena dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiranYunani, seperti Aristoteles dan Plato. Ide-ide Aristoteles dan Plato dituding al-Ghazali banyak menolak detail-detail agama dan mengandai- andaikan penciptaan dengan menggunakan akal. Sedangkan dalam Islam, Tuhan adalah wujud tertinggi yang memiliki kuasa mutlak, Tuhan berkehendak untuk melakukan apa saja yang dikehendakiNya.12

Penekanan al-Ghazali pada kehendak Tuhan ini menjadi landasan utama kenapa ia membid’ahkan sekaligus mengkafirkan para filosof. Selain karena pada pemikiran para filosof, Tuhan menjadi kurang berkehendak, al-Ghazali juga tidak meyakini silogisme fikiran yang berbasis sebab akibat. Dengan kuasa mutlak Tuhan, sebab akibat adalah sesuatu yang dapat dihilangkan selama Tuhan hendak menghilangkannya.

Dalam pengungkapan kritiknya, al-Ghazali menggunakan metode dialog, sebuah metode yang diimbangkannya untuk menjawab hal-hal filosofis. Al- Ghazali berpendapat bahwa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat, seseorang seyogyanya mengetahui dan memahami bagaimana metode yang digunakan dalam berfilsafat dan landasan penalaran para filosof tersebut. Maka, ketika menyampaikan kritiknya al-Ghazali menekankan rasionalitas yang lebih besar dari pandangannya sendiri. Al-Ghazali menyadari bahwa

melemahkan filsafat dengan menggunakan wahyu illahi tidak mungkin dapat dipertemukan.13

Wilayah kerja filsafat ditetapkan al-Ghazali melingkupi enam bidang; matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan akhlak. Bidang matematika tidak terkait dengan persoalan keagamaan dan tidak ada larangan mempelajarinya. Namun karena sifat matematika sebagai ilmu pasti serta diperlukan pembuktian dalam setiap teorinya, ilmu ini tidak bisa diterapkan pada hal-hal yang bersifat metafisis. Metafisika sendiri merupakan ilmu spekulatif, kepastiannya tidak serta merta dapat dibuktikan secara empiris tetapi membutuhkan intuisi dan keyakinan untuk memahaminya.14

Seperti halnya matematika, logika mengandalkan cara berfikir menurut silogisme yang menuntut adanya premis, term, syarat-syarat pembuktian dan susunannya. Dan fisika membicarakan tentang langit, planet-planet, unsur- unsur materi seperti air, tanah, udara dan api, termasuk di dalamnya unsur- unsur fisik yang terdapat dalam binatang, tumbuhan, barang tambang baik dari aspek perubahan maupun percampurannya. Keseluruhan ilmu filsafat di atas menurut al-Ghazali mengandalkan metode demonstrasi (burhan) sebagaimana logika. Adapun ketika membahas hal-hal metafisis, metode demonstrasi tidak serta merta dapat digunakan sehingga jika tetap digunakan akan menyebabkan pembahasannya menyimpang dari maksudnya, al-Ghazali memastikan untuk membahas hal-hal metafisis seyogyanya melandaskan pada ajaran-ajaran agama.15

Dalam melontarkan kritiknya al-Ghazali menggunakan metode argumentatif,16 sehingga setiap kritik yang disampaikannya diargumentasikan alasan dan kebenarannya. Berikut argumen al-Ghazali pada tiga pendapat filosof yang dikafirkannya;

1. Mengenai qadim-nya alam dalam arti tidak bermula atau pernah ada sebelumnya tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab dalam Islam, Tuhan adalah Pencipta yang menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Jika disebut alam adalah sesuatu yang qadim yang tidak bermula atau berawal mengindikasikan bahwa alam tidak diciptakan, ada dengan sendirinya dan sudah ada tanpa membutuhkan pencipta. Al-Qur’an jelas menolak pendapat itu, al Our’an dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang menciptakan segala sesuatu, Tuhan juga berkuasa untuk menghentikan dan menghancurkan segala sesuatu sehingga tak ada satu hal pun dapat disebut sebagai qadim selain Tuhan. Menggaof/mkan sesuatu bersamaan dengan Tuhan sama artinya menawarkan kemusyrikan karena menyamakan Tuhan denga makhlukNya, sebaliknya menetapkan alam sebagai sesuatu yan tidak bermula dapat mengindikasikan atheisme karen meniadakan peran Tuhan sebagai pencipta. Untuk itu, merek yang berfikiran alam ada dengan sendirinya, qadim sebagaiman Tuhan dihukumi sebagai kafir, disebabkan pendapat-pendapatny telah keluar dari ajaran Islam.17 Lebih lanjut al- Ghazali berkomenta bahwa Tuhan memiliki kehendak yang tak terbatas. Kapan pu Tuhan menghendaki sesuatu Tuhan dapat mewujudkannya, artiny

tak ada keterbatasan bagi Tuhan untuk memutuskan sesuati Secara etimologis kehendak Tuhan menurut al-Ghazali tida semakna dengan berkuasa tetapi menunjukkan suatu hal yan! mengarah pada suatu tujuan. Maka, ketika Tuhan memilih wakt' penciptaan pada saat tertentu bukan saat yang lain, tanpa peri ditanyakan sebabnya karena sebab adalah kehendak-Nya it sendiri.18 Kalau ditanyakan sebabnya berarti kehendak Tuha terbatas, tidak lagi bebas. Disini kehendak menentukan hal tersebu Adapun kekuasaan adalah perbuatan pada saat terlaksanany; kehendak.19

2. Mengenai pengetahuan Tuhan; dimana para filosof berpendapc bahwa Tuhan mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kec kecuali dengan cara umum (kulliyat, universal). Di masanya perdebatan mengenai pengetahuan Tuhan sedang rama diperbincangkan, argumen filosof tentang pengetahuan Tuhan yani menyatakan bahwa pengetahuan mengikuti pada yang diketahu apabila berubah yang diketahui, berubah pengetahuan. Jik; pengetahuan berubah, maka pasti yang mengetahui juga berubah sedangkan perubahan dalam diri Allah adalah kemustahilan. Konsei para filosof ini dicontohkan dengan gambaran pengetahuan manusi; mengenai gerhana matahari. Gerhana matahari mengalami tig; keadaan, yaitu gerhana belum ada dan dinantikan adanya, gerhan; sudah berlangsung dan gerhana telah lewat, tetapi pernah terjadi Dari tiga keadaan tersebut, pengetahuan kita pun berada dalam tig; kondisi tersebut, berbeda-beda dan bergantian seiring dengai perubahan yang terjadi, sebab jika seseorang mengatakan bahw; gerhana telah terjadi sedangkan ketika itu baru terlihat gejalany; maka, itu adalah kebodohan karena dirinya belum menerim;

informasi mengenai gerhana tersebut.20 Dari prinsip dasar ini, al Ghazali menganalogkan pengetahuan ini dengan pengetahuan Tuhan pada umatnya dalam konteks syari’at. Misalnya, Tuhan tidak mengetahui apakah Zaid mematuhi-Nya atau tidak lantaran Tuhan tidak mengetahui peristiwa- peristiwa yang baharu karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai individu. Tuhan hanya mengetahui ada manusia yang beriman dan ada yang kafir, karena tersebut adalah pengetahuan universal-Nya. Jika Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, maka Tuhan tidak mengetahui juga bahwa Muhammad mengumumkan kenabiannya, akibatnya adalah tidak perlunya syari’at dan ketentuan-ketentuan Allah. Sebab setiap individu tidak diketahui Tuhan amalannya secara terperinci, sehingga Tuhan tidak memiliki standar seseorang dapat seseorang dapat masuk sorga dan tidak. Dengan analoginya ini, al-Ghazali membantah konsep pengetahuan Tuhan yang dikemukakan para filosof. Menurut al- Ghazali, Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang sedang terjadi; dan setelah terang, pengetahuan ini adalah tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan tersebut hanya merupakan relasi yang tidak mengubah esensi pengetahuan atau yang mengetahui. Jika seseorang yang ada di sebelah kanan anda pindah ke sebelah depan anda, lalu ke sebelah kiri, maka keadaan itu adalah relasi yang melewati anda secara bergantian. Dengan demikian

orang itu yang berubah secara teratur bukan Anda, dengan ini al- GhazalT memastikan bahwa Tuhan mengetahui sesuatu dengan ilmu satu, dulu, sekarang dan selamanya diri-Nya tidak akan berubah.21 Pendapat ini sekaligus memperjelas pemikirannya di luar mu’tazilah, artinya al-Ghazali mengakui bahwa Tuhan memiliki sifat dan sifat itu adalah tambahan bagi Tuhan. Berbeda dengan mu’tazilah yang mempersepsikan sifat tersebut dengan zat Tuhan sendiri, ketika berubah sifat berubah zat-Nya. Pendapat al- Ghazali ini meneguhkan konsep bahwa Tuhan transenden dan immanen,22 berbeda dengan pendapat para filosof yang lebih memilih mentransendenkan Tuhan. Usaha transendesi Tuhan ini sebenarnya tidak ditujukan untuk menghilangkan nilai-nilai immanensi Tuhan, tetapi untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak dapat disandingkan dan dibandingkan dengan makhluk- Nya. Implikasi dari pendapat para

filosof ini, menurut al-Ghazali adalah “peniadaan syariat”, seperti diungkapkan Amsal Bakhtiar, pemikiran transendensi ini memunculkan keengganan untuk melakukan ibadah yang telah disyari'atkan Allah. Mereka menganggap akal telah mampu berhubungan dengan Tuhan, sehingga ibadah tidak diperlukan lagi.23

3. Mengenai kebangkitan jasad di akhirat, sebenarnya tidak ditolak oleh filosof, yang dikritik al-Ghazali adalah bentuk kebangkitan yang diutarakan oleh para filosof. Menurut filosof, kebangkitan yang lebih utama adalah kebangkitan jiwa, sedangkan kebangkitan jasmani adalah pemahaman bagi orang awam. Manusia disebut sebagai manusia bukan karena fisiknya, tetapi karena jiwanya, sehingga kelezatan jiwa lebih tinggi dari pada kelezatan jasad.24 Adapun al- Ghazali tidak sependapat dengan prinsip filosof ini karena al-Qur'an secara jelas menerangkan adanya kebangkitan jasad di akhirat. Menurut tinjauan filosof, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam material. Pemikiran antara jiwa dan jasad ini dipicu oleh pemikiran mereka yang membedakan antara alam materi dan alam ruhani. Secara tersirat ide tersebut memang disampaikan dalam al- Qur’an, al- Ghazali sendiri tidak menolak pandangan tersebut, bahwa sesungguhnya alam ruhani adalah berbeda dari alam jasmani.25 Namun, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan dapat menghidupkan kembali manusia artinya menghidupkan secara ruh dan jasadi.26 Jadi, al-Ghazali berusaha menguraikan pemikiran yang menyebutkan ruh adalah qadim, dan jasad adalah fana’. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ghazali tidak mengakui kegad/man selain pada Tuhan, meski qadim tersebut dimaknai sebagai qadim yang berbeda dengan keqadiman Tuhan. Menariknya, al-Ghazali mengargumentasikan jasad sebagai alat yang kembali pada manusia setelah dipisahkan dalam kematian. Jika alat itu telah dikembalikan pada manusia, maka memungkinkan manusia untuk dapat merasakan kembali kelezatan atau kepedihan jasmani. Tanpa jasad, mustahil manusia merasakan kelezatan dan kepedihan yang dirasakannya selama di dunia.27

Argumen-argumen al-Ghazali meski diupayakan sedemikian rupa mengikuti alur logika filosof muslim, namun sesungguhnya tetap menekankan alasan- alasan syar’i. Dengan sangat kuat, al-Ghazali melandaskan argumen- argumennya pada al-Qur'an. la mengkritik asumsi para filosof yang menyebutkan al-Qur'an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang diungkapkan secara analogis untuk memudahkan manusia memahami maksud-maksudnya. Bagi al-Ghazali al-Qur'an tidak hanya bersifat analogis, tetapi juga memiliki kepastian maksud, artinya tidak semua maksud al-Qur'an sifatnya analog.28 Itu sebabnya dalam beberapa ayat, al-Ghazali tetap mempertahankan makna langsung dari suatu ayat, tanpa menakwilkan lebih jauh karena ayat- ayat tersebut menurutnya telah mengandung kepastian. Esensi kritik al-Ghazali yang umum ini, dicurigai hanya untuk mengendurkan semangat berfilsafat, karena al-Ghazali tidak menunjuk literatur atau pendapat salah seorang filosof. Tuduhan ketidakilmiahan tulisan al-Ghazali, dibantah Sulayman Dunya, Sulayman mencoba memperbandingkan keterangan al-Ghazali dengan pemikiran yang disampaikan Ibnu Sina dan al- Farabi. Sulayman menemukan fakta bahwa apa yang dimaksud al-Ghazali dalam soal kebangkitan memiliki kesamaan lafadz dan makna dengan tulisan Ibnu Sina dalam Risalah Adlhuwiyyah fiAmral-Ma’ad, sebuah risalah yang khusus membahas tentang persoalan kebangkitan. Menariknya, Sulayman Dunya mengemukakan bahwa Ibnu Rusyd hakikatnya tidak membantah pendapat al-Ghazali, sebaliknya mengkritik pencampuradukkan ajaran Aristoteles dengan Neo-Platonisme dengan ajaran Islam, sehingga memudahkan al-Ghazali melihat kelemahan mereka.29

Prinsip-prinsip seperti keesaan Tuhan (Tauhid) dan realitas sifat- sifat Ilahi yang harus dibedakan dari esensi (zat) Tuhan yang disampaikan al-Ghazali memiliki kedekatan faham dengan ide-ide yang berkembang di dunia Asy’ariyah. Al-Ghazali meyakini ayat-ayat antromorphis al-Our’an mengenai Tuhan, bahwa Tuhan memiliki penglihatan, pendengaran dan anggota- anggota badan sekalipun tidak diketahui mekanismenya. '" Al-Ghazali berhasil mempopulerkan teologi Asy’ariyah dengan meletakkan pondasi- pondasi fahamnya melalui penjelasan-penjelasan yang mematikan lawan- lawan kalamnya. Diakui, pasca tulisan al-Ghazflli, perkembangan teologi Asy’ariyah berkembang cepat bahkan mendominasi, menghapus dominasi Isma’iliyah Syi’ah yang di zaman al-Ghazali berada di masa keemasannya. Hingga kini pun, teologi Asy’ariyah adalah teologi yang dominan di kalangan umat Islam dunia.

Konon, di zamannya, krisis agama sudah menimpa orang banyak. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ketika itu jiwa keislaman sudah merosot dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya serta pengamalan ajaran- ajarannya sudah mengendur. Keadaan ini, menurut penglihatan al-Ghazali disebabkan kebanyakan orang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf dengan serampangan tanpa arah yang jelas dan pasti. Orang-orang juga mempertalikan dirinya kepada syi’ah bathiniah yang mengandalkan taqlid

buta pada ulama- ulama yang disebutnya sebagai ulama-ulama ma’shum. Di sisi lain, ulama-ulama fiqh dan ahli-ahli kalam hanya mengajarkan sesuatu yang bersifat lahiriah saja, dan mengabaikan nilai-nilai filosofis dari syari’at. Dengan kondisi ini, al-Ghazali menawarkan epistemologi kebenaran yang berbeda dari yang ada, dan mencoba mengarahkannya dengan sistematisasi epistemologi kebenarannya.

2. Epistemologi Al-Ghazali

Jika kita menyepakati bahwa filosof adalah para pencari kebenaran, dalam konteks pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, al- Ghazali dapat

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 152-164)