• Tidak ada hasil yang ditemukan

IBNU SINA

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 124-152)

BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM

E. IBNU SINA

Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah, dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya Abdullah, berasal dari Balkh, ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian diangkat menjadi gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina memperoleh pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasan luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan mengenal berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas tahun, Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik. Bahkan menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan belas tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.176

Bila al-Kindi dan karya-karyanya memperindah istana Khalifah al-Mu'tashim Billah dan al-Farabi dengan pemikiran-pemikirannya menghiasi istana Saif al-Dawlah, al-Razi mewarnai pemerintahan Mansyur ibn lshaq, Ibnu Sina menyemarakkan daulah Bani Buwaih. Masyarakat yang hidup pada masa itu, yaitu pada akhir abad keempat dan awal abad kelima hijriyah mengenal Ibnu Sina dengan julukan al-Syaikh.

Bahkan karena kecerdasannya, Sultan Mahmud Ghaznawi meminta Ibnu Sina untuk tinggal di istananya di Afghanistan, tetapi Ibnu Sina menolaknya, ia memilih tinggal di Persia. Meski beberapa tahun kemudian ia pergi meninggalkan Persia (Bukhara) menuju istana Sultan 'Ali ibn al-‘Abbas di Khawarizmi (Turkistan). Tujuan keberangkatannya adalah untuk menemui ahli ilmu di kota itu, di sana ia bertemu banyak ulama dan kaum cendekiawan seperti Abu Raihan al-Biruni; seorang ahli falak, Abu Sahi al-Masihi dan Abu al-Khair al-Khammar; seorang ahli kedokteran.177 Setelah orang tuanya meninggal dunia, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara dan pergi ke Jurjan untuk bekerja di Istana Pangeran Ali ibn al-Ma’mun. Selanjutnya, ia pindah ke Hamdan dan selama disana ia pernah diangkat dua kali menjadi Menteri di Istana Syams al-Dawlah. Tetapi karena terlibat dalam urusan politik, ia kemudian dipenjara namun kemudian melepaskan diri dengan menyamar sebagai sufi dan melarikan diri ke Isfahan. Di Isfahan, ia bekerja di istana A’la al-Dawlah sampai akhir hayatnya pada tahun 1037 M.178

Menurut Abu 'Ubaid al-Juzjani, Ibnu Sina sibuk menulis baik sewaktu dalam penjara maupun dalam perjalanan. Karya tulisnya baik berupa risalah atau berupa buku berjumlah kurang lebih dua ratus, kebanyakan dalam bahasa Arab dan sebagian kecil dalam bahasa Persia. Karya fenomenalnya, al-Qanun fi al-Thibb dan al-Syifa’. Al-Qanun (The Canon), suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin di abad kedua belas masehi dan untuk masa lima ratus tahun menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa. Al- Syifa merupakan ensiklopedi tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahan- tambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri. Ringkasan dari isi al-Syifa’ terkandung dalam buku lain dengan nama al-Najah, buku-buku penting Ibnu Sina lainnya adalah ‘Uyun al-Hikmah,al-lsharat wa al-Tanbihat, Mantiq al- Masyriqiyah dan lainnya.179

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina), karena kemasyhurannya sebagai filosof, ia pun digelari "The Prince of The Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Rais”, pemimpin utama (dari filosof-filosof).180

1. Filsafat Ibnu Sina

Teori Emanasi dan Filsafat Wujud

Salah satu pemikiran terpenting bagi Ibnu Sina ialah emanasi, emanasi adalah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al-wujud (zat yang mesti ada; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan “teori urut-urutan wujud". Teori emanasi Ibnu Sina diperkirakan merupakan pengembangan selanjutnya dari teori emanasi gurunya, al-Farabi. Dalam salah satu karyanya al-lsyarat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina merumuskan teori emanasi dengan menerangkan bahwa “emanasi adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain, dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantara materi, instrument ataupun waktu. Tetapi, suatu yang didahului oleh non- eksistensi dalam waktu tanpa membutuhkan

perantara, tindakan emanasi karenanya mempunyai derajat yang lebih tinggi dari tindak penciptaan dan kontingensi”. Sistem emanasi menjelaskan bahwa seluruh alam, dengan semua kejamakan khasnya telah beremanasi dari dan tereduksi kepada Tuhan sebagai prinsip pertama eksistensi. Setiap wujud emanatif dicirikan Ibnu Sina keadaannya sebagai efek immanen, atau aksi emanatif prinsipnya tersendiri.181

Demi memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi Ibnu Sina, perlu dipahami terlebih dahulu filsafat wujud Ibnu Sina. Ibnu Sina membagi wujud menjadi tiga kategori; yang mesti ada (wajib al-wujud), yang mungkin ada (mumkin al-wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud). Yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud) dan Yang mesti ada (wajib al-wujud), tidak pernah tidak ada di masa lampau dan tidak akan pernah tidak ada di masa depan, la selamanya ada, keberadaannya tidak mempunyai permulaan dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir, la terus menerus ada, keberadaannya tidak mempunyai sebab. Sedangkan yang mungkin ada (mumkin al-wujud), pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan dapat tidak ada kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan dalam zaman dan juga mempunyai akhir, ia bermula dari tiada dan berakhir dengan tiada.182

Dari kategori wajib ai-wujud dan mumkin al-wujud, Ibnu Sina berpendapat bahwa wajib al-wujud adalah sebab dari segala sesuatu dan mumkin al-wujud adalah efek atau yang keberadaannya berasal dari wajib al-wujud. Dan setiap yang maujud terdiri dari dua elemen yakni bentuk dan materi.183 Bentuk menurut Aristoteles adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang dapat diuniversalkan yang membentuk definisinya, adapun materi pada setiap sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi.184 Tetapi teori ini dipertanyakan Ibnu Sina, karena pertama, bentuk yang digambarkan Aristoteles menunjukkan bahwa bentuk adalah universal, bentuk sendiri adalah hal yang abstrak sehingga mendekati tidak ada, demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni menjadi tidak ada, karena materi hanya dapat terwujud melalui bentuk. Sedangkan bentuk itu sendiri abstrak dan universal.185

Ibnu Sina kemudian berkeyakinan jika hanya dari materi dan bentuk saja, tidak akan didapati eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensi kebetulan. Bentuk dan materi itu baru akan bereksistensi jika ada campur tangan esensi yang dapat menyatukan keduanya. Diterangkannya eksistensi yang tersusun tidak hanya dapat disandarkan pada bentuk dan materi saja, tetapi harus ada hal lain, yang disebut Ibnu Sina dengan “kejadian". Disini, Ibnu Sina berpendapat eksistensi sesungguhnya bukan penyerahan bentuk pada materi, tetapi merupakan hubungan yang terjalin dengan Tuhan.186

Bagi Ibnu Sina, eksistensi lebih utama dari esensi, esensi hanyalah sesuatu yang abstrak dan hanya bisa berada di dalam akal saja. Esensi tidak mewujud

menjadi gabungan materi dan bentuk, sedangkan eksistensi nyata, berwujud dan dapat bermanifestasi di luar akal. Filsafat wujud Ibnu Sina ini membawanya berkesimpulan bahwa wujud (eksistensi) lebih penting dari esensi, dengan bahasa yang lebih sederhana; “eksistensi adalah lebih utama dari esensi’’.187 Oleh karena itu, timbul pendapat bahwa eksistensialisme (suatu aliran filsafat yang muncul dan popular pada abad kedua puluh) telah lebih dahulu dikemukakan oleh Ibnu Sina pada abad kesembilan masehi.

Teori “kejadian” yang diartikan sebagai hubungan dengan Tuhan menunjukkan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat special dan tidak biasa. Karena jika kejadian tersebut adalah kejadian yang biasa, maka seseorang dapat memikirkannya sesaat saja lalu tetap melanjutkan fikiran lainnya dengan terus berargumen tentang obyeknya persis sebagaimana ia dapat melakukannya untuk kejadian- kejadian lain. Hal yang spesial ini diargumentasikan Ibnu Sina dengan penekanan bahwa ketiadaan adalah juga wujud, yakni mumtani' al-wujud. Sebuah pemahaman yang ditolak oleh banyak kalangan, karena ketiadaan diartikan tidak ada, tidak maujud dan bukan bagian dari wujud.188 Dari ketiadaan inilah, Tuhan menyatukan bentuk dan materi menjadi eksistensi.

Untuk menerangkan ketiadaan adalah juga wujud, dijelaskan Ibnu Sina dengan logika. Menurut Ibnu Sina, setiap manusia seringkali membicarakan sesuatu yang tidak ada atau tidak maujud. Dalam hal ini manusia menggunakan imajinya untuk menggambarkan ketiadaan demi ketiadaan sehingga membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena kita mengadakan objek-objek ini di dalam fikiran kita. Misalnya, makhluk ruang angkasa, yang tidak diketahui keberadaanya, tetapi fikiran membuat gambaran-gambaran tertentu sehingga seakan-akan makhluk ruang angkasa itu ada/ berwujud. Tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh manusia bukan obyeknya (makhluk ruang angkasa) melainkan suatu kumpulan sifat.189

Dari teori kejadian dan pembagian wujudnya, Ibnu Sina kemudian berpendapat bahwa wajib at-wujud yakni Tuhan adalah wujud yang niscaya, Tuhan ada karena diriNya sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan pun menjadi Tuhan karena keberadaan zat lainnya meski begitu tidak berarti bahwa Tuhan bergantung dan membutuhkan zat lain itu. Meski memiliki dua kemungkinan, Tuhan adalah satu-satunya wajib al-wujud lidzatihi, karena segala sesuatu kecuali Tuhan, yang esensiNya adalah Tunggal dan Maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain. Itu sebabnya meski keberadaanNya diakui melalui keberadaan lain, tetapi tidak bergantung dan membutuhkan zat lain tersebut. Pembagian Wajib al-wujud menjadi wajib al- wujud lidzatihi (wujud actual karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujud lighairihi (wujud actual karena yang lain) ini yang menjadi dasar teori Ibnu Sina untuk membedakan Tuhan dan peran manusia serta perubahan manusia dari mumkin al-wujud menjadi wajib al-wujud.190

Karena wajib al-wujud dibaginya menjadi wajib al-wujud lidzatihi dan wajib al-wujud lighairihi, maka Ibnu Sina berpendapat bahwa mumkin al-wujud berpotensi untuk berubah menjadi wajib al-wujud. Ibnu Sina mengilustrasikan teorinya ini dengan menjelaskan eksistensi pembakaran adalah niscaya, tetapi bukan karena pembakaran itu sendiri, melainkan karena bertemunya dua hal, yang satu adalah secara alamiah dapat membakar dan yang lainnya secara alamiah dapat terbakar. Dengan demikian, eksistensi dapat berarti niscaya jika terdapat eksistensi yang mungkin, atau eksistensi tidak bisa menjadi niscaya dari dalam dirinya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, sesuatu dapat bereksistensi niscaya jika ada penyebab yang mungkin, kebakaran dapat terjadi karena ada eksistensi yang dapat membakar dan yang dapat terbakar. Dan eksistensi kebakaran adalah keniscayaan atau keharusan yang terjadi, sedangkan jika kedua mumkin al-wujud itu tidak ada, maka tidak terdapat eksistensi atau yang disebut Ibnu Sina dengan mumtani’ al-wujud. Namun, Ibnu Sina juga menegaskan adanya eksistensi yang niscaya karena dirinya dan tidak bergantung pada eksistensi-eksistensi lainnya yakni Tuhan.191

Berlandaskan dari pembagian wujudnya ini, Ibnu Sina mengembangkan teori emanasi al-Farabi. Berbeda dari al-Farabi, yang berpendapat bahwa akal pertama berfikir mengenai dua objek, yakni Tuhan dan dirinya sendiri. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal berfikir mengenai tiga objek, yaitu Tuhan sebagai wajib al-wujud linafsihi, akal sebagai mumkin al-wujud linafsihi dan akal sebagai wajib al-wujud lighairihi (yang actual karena sebab yang lain), maka akibat yang muncul dari pemikiran akal-akal tersebut adalah juga tiga macam. Dan Tuhan tidak hanya berfikir mengenai diri-Nya tetapi juga berfikir mengenai dua objek; wajib al-wujud linafsihi (dirinya sendiri) dan wajib al-wujud lighairihi. Itu sebabnya dari Tuhan timbul Akal pertama dan Malaikat Utama atau cherub, sedangkan versi al-Farabi hanya melimpahkan akal pertama, sebagai wujud tsani.192 Dan dari akal pertama, yang memikirkan tiga objek melahirkan tiga limpahan. Berikut bagan emanasi Ibnu Sina193:

Tuhan = Wujud Niscaya t f

Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama AI-‘Aql al-Awwall Malaikat utama atau cherub

akal pertama berfikir tentang Tuhan (wajib al-wujud lidzatihi) =

Akal Kedua Hasil memikirkan waiib al-wuiud liphairihi = Jiwa/ Malaikat langit pertama

^ Hasil memikirkan mumkin al-wujud= Tubuh langit pertama

► Akal Ketiga

I ► Jiwa/ Malaikat langit kedua

Tubuh langit kedua Bintang-bintang tetap atau tanda-tanda zodiac L*. Akal Keempat ► Jiwa/ Malaikat langit ketiga Tubuh langit ketiga

Akal Kelima

I ^ Jiwa/ Malaikat langit keempat Tubuh langit keempat (Yupiter) !-► Akal Keenam Jiwa/ Malaikat langit kelima Tubuh langit kelima (Mars)

Akal Ketujuh ► Jiwa/ Malaikat langit keenam Tubuh langit keenam (Matahari)

Akal Kedelapan Jiwa/ Malaikat langit ketujuh Tubuh langit ketujuh (Venus)

( Akal Kesembilan Ls— ► Jiwa/ Malaikat kedelapan) Tubuh langit kedelapan (Mercury)

Akal Kesepuluh l ^ Jiwa/ Malaikat lanait kesembilan- Pemberi bentuk (wahib al-shuwar)\ Malaikat Jibril

^ Tubuh langit kesembilan (Bulan)

Dunia yang fana (generation and Corruption)

Menurut Ibnu Sina, rasul dan nabi diberi Tuhan akal materil yang luar biasa kuatnya, sehingga tanpa latihan dapat berhubungan dengan akal kesepuluh. Akal materil yang serupa itu mempunyai daya suci (qudwah qudsiah) dan ini merupakan bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan itu hanya diperoleh oleh nabi-nabi dan rasul-rasul.194

Sebagaimana pendahulunya al-Farabi, Ibnu Sina juga membahas filsafat kenabian. Perlu diketahui, pada zaman kedua filosof ini, ada orang-orang non-lslam yang tidak senang dengan kekuasaan politik Islam di negeri mereka dan mengungkapkan rasa ketidaksukaannya itu dengan mengkritik ajaran-ajaran Islam diantaranya soal kenabian.195 Dengan filsafat pancaran (emanasi atau al-faidh) yang berasal dari filsafat Yunani inilah Ibnu Sina dan al-Farabi membawa argument filosofis bahwa kenabian tidak bertentangan dengan rasio. Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing mempunyai planet untuk diatur. Akal terakhir, akal kesepuluh adalah akal yang mengatur bumi. Akal kesepuluh meneruskan pancaran Tuhan ke manusia di permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu dan ilmu ini dapat ditangkap oleh akal perolehan filosof. Disini terdapat kontak antara akal filosof dan akal kesepuluh.

Dalam filsafat Ibnu Sina, Nabi mempunyai akal potensial yang dayanya jauh lebih tinggi dari daya perolehan filosof, sehingga tanpa usaha, seorang Nabi dapat dengan langsung berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah Jibril. Yang menurut al-Farabi, kontak terjadi melalui imajinasi Nabi. Disini letak perbedaan antara al-Farabi dan Ibnu Sina, bagi al-Farabi hubungan antara Nabi dan akal kesepuluh adalah imajinasi, sedangkan bagi Ibnu Sina, hubungannya dapat dilakukan dalam berbagai cara, karena Nabi dan akal kesepuluh diberi akses untuk berkomunikasi. Bagi al-Farabi dan Ibnu Sina perbedaan antara Nabi dan filosof adalah bahwa filosof dalam kontak dengan akal kesepuluh atau Jibril sebagai upaya menerima ilmu, sedangkan Nabi selain ilmu juga menerima wahyu.196 Dengan filsafat kenabian inilah al-

Farabi dan Ibnu Sina menentang serangan-serangan musuh-musuh Islam pada zaman lampau saat itu.

2. Filsafat Manusia, Jiwa dan Akal

Ibnu Sina memandang manusia sebagai benda alam (natural matter) yang mempunyai bentuk (yang disebut “jiwa”) yang merupakan kesempurnaan yang pertama. Jiwa adalah titik pemusatan fungsi manusia dan tak terpisahkan dari jasmaninya. Bagi Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua substansi yaitu jiwa dan raga, substansi jiwa bersifat kekal dan substansi raga terbatas, keduanya meski berpadu menjadi satu subjek yakni manusia, namun keduanya adalah berbeda, terpisah, terutama setelah manusia mati.197

Tentang substansi jiwa, Ibnu Sina menampilkan tiga dalil pembuktian. Pertama, pada saat seorang manusia merenungkan diri, dia akan mengetahui bahwa ada esensi di dalam dirinya; kedua, bila manusia menumpahkan seluruh perhatiannya pada suatu persoalan, tanpa disadarinya, dia menghadirkan zatnya dan seakan-akan berkata “aku akan berbuat begini begitu atau begitu". Dalam keadaan itu, dia lupa pada semua anggota tubuhnya. Fokusnya tertuju pada jiwanya dan tidak pada raganya; ketiga, bila manusia berkata “aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan tanganku, aku berjalan dengan kakiku”, maka itu menunjukkan bahwa pada manusia memiliki sesuatu yang menghimpun semua penglihatan dan perbuatan yang dilakukannya, itulah jiwa manusia.198

Jiwa dibagi ke dalam beberapa bagian dan di setiap bagian terdapat daya- daya yang tercakup padanya. Pembagian jiwa menurut Ibnu Sina terdiri dari; (1) Jiwa tumbuhan dengan daya-daya; makan, tumbuh dan berkembang, (2) Jiwa binatang dengan daya-daya; gerak, menangkap, representasi/ indera penggambar, imaginasi/ indera penggerak, estimasi/ indera penganggap, rekoleksi/ indera pengingat, (3) Jiwa manusia, dengan dua daya; praktis dan teoritis.199

Ketiga jiwa tadi secara menyeluruh tercakup dalam diri manusia, dengan demikian jika tumbuh-tumbuhan hanya memiliki satu komponen daya yaitu daya dari dirinya sendiri, binatang memiliki dua komponen daya, yaitu komponen pertama dari tumbuhan dan komponen kedua dari dirinya sendiri (jiwa binatang), dan manusia memiliki tiga komponen daya, dari tumbuhan, binatang dan manusia.200

Daya-daya dalam jiwa binatang201 adalah;

1. daya penggerak; berbentuk nafsu serta amarah dan gerakan fisik dari satu tempat ke tempat lainnya

2. daya menangkap; terdiri dari dua bagian; dari luar dengan panca indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan lidah dan perasaan tubuh. Dan dari dalam; indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya, daya ini bertempat di bagian depan dari otak.

3. representasi; atau indera penggambar berkemampuan menyimpan segala apa yang diterima indera bersama (daya menangkap dari dalam),

melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya, daya ini juga terdapat di bagian depan otak.

4. imajinasi; indera penggerak yang menyusun apa yang telah disimpan dalam representasi, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memilah-milahnya kemudian menghubungkannya satu sama lain, daya ini terletak di bagian tengah otak.

5. estimasi; atau indera penganggap yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing yang melihat serigala, kambing menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran yang diterima, daya ini terletak di bagian tengah otak. 6. rekoleksi; atau indera pengingat yang menyimpan hal-hal abstrak yang disusun oleh estimasi, bertempat di bagian belakang otak.

Adapun dalam jiwa manusia terdapat daya praktis dan daya teoritis, disamping seluruh daya yang ada di binatang. Daya praktis ialah daya yang tersimpan dalam jiwa manusia, yang berhubungan dengan badan dan materi, daya ini menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat seperti pada jiwa binatang. Sedangkan Daya teoritis ialah daya yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak, menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan malaikat.202

Pembagian terinci tentang jiwa dan daya-dayanya ini murni pemikiran Ibnu Sina dan tidak akan kita jumpai dalam filsafat Aristoteles dan filosof-filosof Yunani lainnya. Melalui pembagian daya jiwa, filsafat Ibnu Sina menjelaskan bagaimana kesan-kesan atau gambaran- gambaran berdimensi diabstrakkan menjadi arti.

Sistem kerjanya adalah sebagai berikut; seluruh kesan dan gambaran yang diterima jasad/ badan atau materi diproses oleh daya penganggap atau wahmiyah dari otak binatang (terdapat pada binatang dan manusia) untuk diabstraksikan menjadi arti ke panca indera dalam. Berarti daya penganggap inilah yang mentransfer gambaran-gambaran yang diberikan panca indera luar kepada panca indera dalam.

Sampai di panca indera dalam, jiwa binatang tidak memproses apapun lagi, tetapi pada jiwa manusia terdapat daya berfikir yang disebut akal. Akal hanya bisa menarik yang abstrak dan tidak dapat menangkap yang berdimensi. Proses penerimaan pengetahuan ke dalam akal dimulai dari dilepaskannya arti-arti atau definisi-definisi yang berupa kumpulan sifat dari suatu materi oleh daya penganggap yang kemudian diteruskan oleh daya pengingat ke akal manusia. Akal manusia mempunyai empat tingkatan; akal potensial, akal bakat, akal actual dan selanjutnya menjadi akal perolehan. Dengan akal perolehan inilah seseorang menjadi filosof.203

Filsafat jiwa Ibnu Sina bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa tubuh manusialah yang membutuhkan jiwa. Bagi Ibnu Sina yang membutuhkan bukanlah tubuh kepada jiwa, tetapi sebaliknya jiwa yang membutuhkan tubuh. Ibnu Sina mengilustrasikan kebutuhan tersebut

dengan keberadaan janin dalam tubuh seorang ibu. Janin ini tidak meminta jiwa, tetapi diberikan jiwa, sehingga dalam perspektif Ibnu Sina, jiwalah yang membutuhkan tubuh, tanpa tubuh jiwa tidak dapat bereksistensi. Bersama dengan tubuh pula, jiwa berevolusi dan berkembang. Dengan bantuan panca indera luar dan dalam yang terdapat pada tubuh, daya jiwa meningkat dari potensial menjadi bakat, actual dan selanjutnya menjadi perolehan.204

Seperti telah disebutkan daya berfikir (jiwa rasional) mempunyai dua bagian, akal praktis; yang memiliki kapasitas untuk bertindak dan akal teoritis; yang potensinya baru akan dieksplorasi jika jiwa bertemu dengan badan. Akal praktis terletak konsentrasinya pada badan, dengannya seseorang dapat membedakan antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan juga hal-hal particular yang baik dan buruk. Akal ini disempurnakan melalui kebiasaan dan pengalaman Sedangkan yang kedua, akal teoritis, mengarah pada dunia ilahiah dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel.205 Akal teoritis jika dihubungkan dengan nafsu binatang akan menimbulkan

Dalam dokumen Filsafat Islam (Halaman 124-152)