• Tidak ada hasil yang ditemukan

Format Penyusunannya

BAB V ANALISIS MODEL TERJEMAH TAFSÎR AL-JALÂLAIN BAHASA MADURA

DAFTAR GAMBAR

D. Gambaran Umum Kitab Tarjamah Tafsîr al-Jalâlain litashîli al-Fikri

2) Format Penyusunannya

Terjemahan Tafsîr Jalâlain karya Kiai „Arifun memuat 114 surah, dari

surah al-Fâti ah sampai surah an-Nâs. Pembahasan di setiap surah di awali dengan penjelasan ciri-ciri surah seperti nama surah, jumlah ayat, serta menyebutkan jenis surah makiyyah atau madaniyyahnya. Penyajian terjemahannya terdiri dari tiga hal. Pertama, teks Tafsîr al-Jalâlain ditulis di bagian atas denganmodel terjemah harfiah model gandul. Kedua, komentar penerjemah ditulis di bawahnya tanpa nomor ayat dan nomor terjemahan dengan diberi syakal. Komentar atau penjelasan tambahan tersebut telah disesuaikan dengan struktur bahasa Madura. Ketiga, ada penjelasan tambahan yang tidak terdapat dalam teks sumber, berupa penjelasan yang diawali dengan kata ’id ,

qi dan q ulu u t ’ l serta keterangan tambahan yang berbentuk catatan kaki. Terjemahan bentuk kedua, diawali dengan kata qauluhu. dan dilanjutkan dengan menyebutkan ayat yang menjadi tafsiran al-Jalâlain. Kiai „Arifun

mengawali penerjemahannya dengan kata artenah yang bermakna “Artinya.”

Penerjemahan yang diawali dengan kata artenah. merupakan terjemahan dari teks lanjutan atas teks sumber al-Jalâlain berdasarkan ayat tertentu. Jika merujuk pada

uraian Mu ammad „Ali al- abuni dalam al- iby n Ul m l-Qu ’ n, ada dua

model terjemahan al-Qur‟ân pertama, terjemahan harfiyyah, yaitu menerjemahkan atau mengalihbahasakan al-Qur‟an ke dalam bahasa selain bahasa Arab terkait dengan lafad, kosa kata, jumlah dan susunannya yang sesuai dengan bahasa sumber. Kedua terjemahan tafsiriyyah yaitu menerjemahkan arti ayat al-Qur‟ân

yang tidak terikat dengan lafadnya.20

20Mu ammad „Ali al- ab ni, al- iby n Ul m l-Qu ’ n: Ik ti Ulumul-Qu ’ n Praktis. Penerjemah Muhammad Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h.333.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa terjemahan Kiai

„Arifun termasuk dalam kedua kategori tersebut. Pertama, penerjemah berusaha

setia mengalihbahasakan dengan cara menerjemahkan perkata dengan model terjemah harfiyyah menggantung dari Tafsîr Jalâlain. Kedua, penerjemah memberikan penjelasan singkat setelah terjemah perkata yang dipilih oleh penerjemah lima sampai enam baris, yakni yang masih berkaitan dengan teks sumber yang diterjemahkan. Setiap awal surah diawali dengan nama surah, kalimat, keterangan turunnya ayat, dan jumlah ayat. Setelah terjemahan model gandul atau antarbaris, ada penjelasan kembali tentang ringkasan keterangan surah dengan menggunakan bahasa Madura.

Terjemahan Basmalah, nama surah, dan keteranagan surah: ada yang diterjemahkan dan ada yang tidak diterjemahkan. Kemudian simbol gramatikal bahasa Arab atau rumus pemaknaan peggu (Arab-Madura), ada penulisan simbol saja tanpa bahasa simbolnya, dan ada penulisan simbol serta bahasa simbolnya.

Untuk penggunaan gaya bahasa, Kiai „Arifun menggunakan dialek Pamekasan

Madura dalam kitab j m r l-J l lain litashîli al-Fikri Bahasa Madura. Karena gurunya Kiai „Abdul „Aziz berasal dari Pamekasan. Jadi ada

keterpengaruhan bahasa yang ditularkan oleh sang guru dalam proses penerjemahannya. Dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Bahasa Madura mempunyai beberapa dialek di antaranya, dialek Kangean, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Probolinggo, Bondowoso, dan dialek Sitobondo. Bahasa Madura juga mengenal tingkatan bahasa di antaranya bahasa kasar, bahasa menengah dan bahasa halus. Bahasa kasar digunakan untuk komunikasi sehari-hari masyarakat.21

21

Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta:PT.Pustaka LP3S Indonesia, 1997), h.163; Menurut Fahrurrazi, Bahasa Madura mempunyai tiga tingkat tutur.

Berdasarkan gambaran umum tentang karya Kiai „Arifun di atas, dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 4: 7 Gambaran Umum Kitab Tarjamah Tafsîr al-Jalâlain litashîli al-Fikri

Bahasa Madura Perspektif Filologis

Jilid Ukuran Kitab Halaman Surah Warna cover kitab

1 P = 20, 9 cm

L =14, 4 cm T =1, 7 cm

1-426

surah al-Baqarah sampai surah Âli „Imrân biru dan putih, tulisannya berwarna putih dan orange

2 P =20, 5 cm

L =14,5 cm T = 1, 7 cm

427-850 lanjutan surah Âli „Imrân sampai surah al

-Mâ‟idah Hijau dan putih, tulisannya berwarna putih dan hitam

3 P = 20, 9 cm

L = 14, 7 cm T = 1, 9 cm

852-1310 lanjutan surah al-Mâ‟idah sampaial-Anfâl merah marun dan putih, tulisannya berwarna hitam dan putih

4 P = 21 cm

L = 14, 8 cm T = 1, 4 cm

1311-1672 lanjutan surah al-Anfâl surah Y suf kuning dan putih, tulisannya berwarna putih dan

hitam

5 P = 20, 9 cm

L = 14, 6 cm T = 1, 9 cm

1673-2110 lanjutan surah Y suf sampai surah al-Kahfi abu-abu dan putih, tulisannya berwarna putih dan

hitam.

6 P = 20, 6 cm

L =14, 6 cm T =2, 2 cm

2111-2660 lanjutan surah al-Kahfi sampai Surah al-Furqân biru muda dan putih, tulisannya warna hitam dan putih

7 P = 20, 5 cm

L = 14, 4 cm T = 2 cm

2890-3362 lanjutan surah al-Furqân sampai al-A zâb kurang

biru dan putih, tulisannya berwarna putih dan hitam

8 P = 20, 6 cm

L = 14, 8 cm T = 1, 3 cm

363-3718 lanjutan al-Ahzâb sampai surah az-Zumar ungu dan putih, tulisannya berwarna putih dan

kuning

9 P = 20, 8 cm

L = 14, 5 cm T = 1, 8 cm

3719-4076 lanjutan surah az-Zumar sampai surah al-A qâf ungu dan putih, tulisannya berwarna putih dan kuning

10 P = 20, 5 cm L = 14, 7 cm T = 1,7 cm

4077-4510 surah Muhammad sampai surah al

-Mumta anah hijau dan putih, tulisannya berwarna putih dan kuning

11 P = 20, 6 cm L = 14,5 cm T = 1, 3 cm

4511-4822 Surah as-Saff sampai al-Mursalât coklat dan putih, tulisannya berwarna putih dan

kuning 12 P = 20,7 cm

L = 14,7 cm T =1 cm

1-217 surah al-Fâti ah, an-Nabba sampai an-Nâs merah dan putih tulisannya berwarna biru dan

putih.

Pertama Basa Enjaq-Iya, merupakan tingkat bahasa yang biasa atau ngoko dalam bahasa Jawa. Kedua, Basa Enggi-Bunten, merupakan tingkat varian yang lebih halus dari Basa Enjaq-Iya, dalam bahasa Jawa sama dengan tataran Madya, jenis bahasa ini dipakai oleh sesama kawan dalam situasi pergaulan yang formal; satu sama lain saling menghargai. Ketiga, Basa Enggi Bunten, merupakan tingkat tutur dalam bahasa Madura yang paling tinggi atau halus, dalam bahasa Jawa setingkat dengan kromo; jenis bahasa ini dipakai oleh orang Madura dalam situasi satu sama lain

saling menghormati. Lihat, Fahrurrazi, “Cara memanggil nama panggilan orang di Madura,”

Linguistik Akademika I, no.3 (2012): h.260-273. Artikel ini diakses pada 27 oktober 2014 dari www.linguistikademia.files.wordpress.com.

Keterangan ukuran kitab P = Panjang Kitab L = Lebar Kitab T = Tinggi Kitab

Menurut Islah Gusmian, secara umum tradisi terjemahan kitab kuning di pulau Jawa menggunakan huruf Pegon model gandul. Karakteristiknya pertama, terjemahan ditulis di bawah teks sumber yang ditulis horizontal dan posisinya mengacu pada kata yang diterjemahkan. Kedua, istilah-istilah khusus untuk menunjukkan posisi kata dalam tata bahasa Arab. Menurutnya, istilah utawi untuk menunjukan posisi kata mub t d ’, iku sebagai khabar, kang sebagai n ’t, opo

sebagai ’il dan seterusnya tidak semua tempat digunakan dalam penerjemahan.22

Hal tersebut, sebagaimana dalam terjemahan Kiai „Arifun, yakni tidak semua

simbol dan istilah simbol digunakan dalam terjemahannya .

Terjemahan Tafsîr Jalâlain Bahasa Madura karya Kiai „Arifun, menjadi peran penting dalam proses memahami tafsir al-Qur‟an di Madura, khususnya

para santri di pesantren Darul Ulum al-Ishaqi, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur yang merupakan tempat kediaman penerjemah. Hal tersebut merupakan

motivasi Muhammad „Arifun yang ingin mempermudah para santri dalam

mengkaji Tafsîr Jalâlain sekaligus dijadikan kamus Bahasa Arab-terjemahan Madura yang kemudian juga belajar tata Bahasa Arab di dalamnya.23

22Islah Gusmian, “Karakteristik Naskah Terjemahan al-Qur‟an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta,” Suhuf V, no.1 (2012): h.63-64; Karakteristik terjemahan gandul, menurut Islah Gusmian menjadi keumuman yang terdapat dalam naskah–naskah pesantren yang menggunakan huruf Arab Pegon seperti dalam kitab aIb lim i Qu ’ n A karya Bisri Mustofa dan Ikl l M ’ ni l-Tanzîl kara Kiai Haji Misbah Ibn Zain al-Mustofa yang konsisiten dalam pemakaian istilah kunci dan mempertimbangkan letak kata terjemahan pada posisi di bawah setiap kata yang diterjemahkan. Lihat, Islah Gusmian,

“Karakteristik Naskah Terjemahan al-Qur‟an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung

Surakarta,” h.63-64.

23

77

ANALISIS MODEL TERJEMAH TAFSÎR Al- LAIN BAHASA MADURA