• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dan Manfaat Penelitian

BAB V ANALISIS MODEL TERJEMAH TAFSÎR AL-JALÂLAIN BAHASA MADURA

DAFTAR GAMBAR

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Disamping untuk menambah wawasan penulis tentang literatur terjemahan Ta s r a -Ja lain yang berkembang di Indonesia, penelitian ini juga bertujuan: 1. Untuk mengetahui model terjemah yang digunakan Muhammad „Arifun dalam

terjemahan Ta s r a -Ja lain.

2. Untuk mengetahui isi keterangan tambahan dalam permulaan kata a q a , dan qau u u ta‟a a serta catatan kaki dalam terjemahan dalam terjemahannya.

3. Untuk mengetahui konsistensi penggunaan simbol gramatikal bahasa Arab

Selain berguna untuk memberikan gambaran tentang Tarjamah Tafsîr

al-Ja lain litashîli al-Fikri Bahasa Madura, penelitian ini juga berguna untuk:

1. Menempatkan secara proporsional keberadaan Tarjamah Tafsîr a -Ja lain

litashîli al-Fikri Bahasa Madura karya Kiai „Arifun.

2. Melengkapi persyaratan untuk meraih gelar strata satu Theologi Islam dalam bidang ilmu Tafsir Hadits pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Pustaka

Kajian tentang model terjemahan lokal atas terjemahan al-Qur‟an, tafsir al

-Qur‟an maupun naskah keagamaan, khususnya di Indonesia telah dilakukan oleh

beberapa peneliti. Di antaranya Ali Abu Bakar Basamalah, dalam artikelnya “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren).”28

Dalam tulisannya, ia menyimpulkan bahwa kajian kitab kuning melalui terjemah tradisional memiliki sistem yang baku dengan proses penerjemahannya melalui tahapan, pemahaman teks sumber, pemberian arti leksikal maupun global, evaluasi parsial maupun menyeluruh. Terjemah tradisional yang dilakukan terhadap kitab kuning berbahasa Arab menurutnya menampakkan pesan dan bentuk bahasa sumber, dan di dalamnya ada unsur linguistik, dan ekstralinguistik teks. Kemudian disertai simbol-simbol linguistik, bahasa simbolik serta aturan gramatikal bahasa sumber yang berfungsi sebagai pengontrol. Artikel ini menjadi salah satu rujukan dalam pembuatan kerangka tabel daftar simbol gramatikal Bahasa Arab dan istilah

28Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren),” (Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008). Artikel diakses pada 5 Maret 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id/441

simbolik. Namun perbedaannya adalah terletak pada terjemahan istilah simbolik Madura yang disesuaikan dengan berbagai literatur buku kaidah bahasa Arab dalam bahasa Madura.

Irhamni, dalam artikelnya “Kearifan Lokal Pendidikan Pesantren

Tradisional di Jawa: Kajian atas Praktek Penerjemahan Jenggotan,”29

menfokuskan kajiannya atas praktek penerjemahan jenggotan dalam proses pembelajaran di pondok pesantren tradisional di Jawa. Dalam tulisannya, Irhamni menyimpulkan bahwa terjemahan jenggotan ditopang oleh dua nilai di antaranya, nilai kepesantrenan dan nilai intelektual-akademik.

Iip Dzulkifli Yahya, “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan,” dalam Hendri Chamber Loir, (ed), Sadur Sejarah Terjemahan di

Indonesia dan Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, November

2009).30 Dalam artikelnya, Iip berupaya menghaditrkan tradisi yang dimangkirkan di daerah Sunda yaitu dengan memaparkan sejarah dan praktik ngalogat, serta perkembangan pasar kitab di daerah Jawa Barat. Iip menyimpulkan bahwa tradisi

ngalogat Sunda masih berlangsung di Pesantren Sunda tradisional (salafiyah).

Menurutnya, selama pesantren salafiyyah masih berdiri, tradisi ngalogat di pesantren salafiyyah di berbagai provinsi termasuk Jawa Barat, akan terus berkembang. Artikel ini juga menjadi salah satu rujukan dalam pembuatan kerangka tabel daftar simbol gramatikal Bahasa Arab dan istilah simbolik pada bab dua sub bab c. Perbedaan tabel simbol dan istilah simbolik antara artikel

29Irhamni, “Kearifan Lokal Pendidikan Pesantren Tradisional di Jawa: Kajian atas Praktek Penerjemahan Jenggotan,” Ulumuna Jurnal Studi Keislaman XV, no.1 (1 Juni 2011), h.95-118.

30Iip Dzulkifli Yahya, “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan, dalam Hendri Chamber Loir, ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, h.373-374.

tersebut dengan skripsi ini adalah terletak pada terjemahan istilah simbolik bahasa Madura yang disesuaikan dengan buku kaidah bahasa Arab dalam bahasa Madura yang menjelaskan rumus-rumus atau simbol pemaknaan kitab di Madura.

Abdul Munip, dalam bukunya yang berjudul Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia; Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab

di Indonesia 1950-2004 (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010),31

menfokuskan kajiannya pada dinamika kegiatan penerjemahan buku berbahasa Arab tahun 1950. Menurutnya tahun 1950 merupakan bagian dari sejarah tradisi intelektualisme di Indonesia. Kemudian menurutnya tahun 1950 adalah awal di mulainya kegiatan penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia. Objek penelitiannya adalah kitab-kitab berbahasa Arab yang diterjemahakan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Abdul Munip menyimpulkan dalam penelitiannya: Pertama, dinamika kegiatan penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia di klasifikasikan menjadi empat periode yaitu (1) Periode rintisan yang berlangsung sejak tahun 1940-an, (2) Periode pertumbuhan, yang berlangsung sejak tahun 1950-an sampai tahun 1970-an, (3) Periode percepatan, yang berlangsung sejak tahun 1980-an sampai tahun 1998, dan (4) Periode kebebasan, yang berlangsung sejak 1999 sampai sekarang. Masing-masing periode tersebut menurutnya memiliki corak atau karakteristik sendiri. Kedua, ada sejumlah motivasi yang melatarbelakangi penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia di antaranya motivasi religius, motivasi edukatif, motivasi ideologis, motivasi ekonomis, dan motivasi stimulatif-provoaktif. Ketiga, menurutnya jenis terjemahan yang digunakan oleh penerjemah

31

Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia; Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010).

dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu terjemahan yang setia kepada teks bahasa sumber, yakni jenis terjemahan harfiah yang memiliki beberapa variasi. Kedua, terjemahan yang lebih memperhatikan bahasa sasaran, yakni jenis terjemahan bebas sampai dengan terjemahan yang sangat bebas. Buku karya Abdul Munip tersebut menjadi salah satu rujukan dalam menganalisi jenis terjemahan Ta s r a -Ja lain Bahasa Madura Karya Muhammad „Arifun yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini.

Islah Gusmian, “Karakteristik Naskah Terjemahan al-Qur‟an Pegon

Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta” Jurnal Kajian al-Qur`an dan

Kebudayaan V, no.1, (Juni, 2012).32 Dalam artikelnya, Islah Gusmian

menfokuskan kajiannya pada aspek karakteristik lokalitas naskah terjemhan

al-Qur‟an pegon koleksi Masjid Agung Surakarta, meliputi struktur teknik penulisan

dan karakteristik terjemahan al-Qur‟an. Ia menyimpulkan beberapa hal, pertama,

naskah terjemahan al-Qur‟an pegon koleksi Masjid Agung Surakarta menjadi salah satu bukti historis tentang hubungan yang intens antara Islam dan keraton di Surakarta. Kedua, naskah tersebut didedikasikan untuk para santri Mamabaul Ulum sebagai bahan ajar, dengan adanya bahasa Jawa ngoko yang digunakan.

Ketiga, dari segi model khat dan teknik penerjemahannya, naskah tersebut

menunjukkan proses adaptasi dan adopsi. Bentuk terjemahan bersifat

a„nawiyyah. Keempat, dalam hal kategori penulisan terjemahan dan tafsir

al-Qur‟an aksara pegon, naskah Terjemahan al-Qur‟an Pe on (1346 H/1927 M)

lahirnya lebih awal dari pada tafsir al-Ibrîz karya Bisri Mustofa yang diterbitkan oleh Menara Kudus pada tahun 1960.

32Islah Gusmian, “Karakteristik Naskah Terjemahan al-Qur‟an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta,” Suhuf V, no.1 (2012): h.51-70.

Azyumardi Azra, “Naskah Terjemahan Antarbaris Kontribusi Kreatif Dunia Islam Melayu Indonesia,” dalam Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia

dan Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009). Dalam artikelnya,

Azra menfokuskan kajiannya pada tradisi terjemahan antarbaris di wilayah Melayu-Indonesia, dengan mengambil dua contoh bahasa terjemahan Melayu dan Jawa. Dalam tulisannya, Azra menyimpulkan bahwa tradisi terjemahan antar baris telah menjadi produk lokal di dunia Melayu, termasuk Indonesia ketika masyarakatnya menerima dan selanjutnya mengembangkan Islam dalam masyarakat setempat. Menurut Azra, fenomena terjemahan antarbaris, mengasumsikan bahwa penulisnya adalah murid-murid pesantren di lembaga pesantren Islam yang sedang belajar dengan membutuhkan penjelasan dari gurunya dan kemudian terjemahan tersebut, digunakan untuk kepentingan belajar mengajar bahasa Arab dengan murid-muridnya. 33

Saifuddin,“Tradisi Penerjemahan al-Qur‟an ke dalam Bahasa Jawa; Suatu

Pendekatan Filologis.” Suhuf VI, no.2. (November 2013). Dalam artikelnya, Saifuddin menyimpulkan beberapa hal, pertama, sebelum abad ke-20 tradisi penerjemahan al-Qur‟an sudah berkembang secara massif di berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dengan corak umum menggunakan terjemahan Bahasa Jawa yang ditulis antarbaris, baik ditulis secara lengkap 30 juz, 15 juz ataupun beberapa surah-surah penting saja. Kedua, terjemahan antarbaris yang digunakan hanya al-Qur‟an di Jawa ditulis secara horizontal, tidak sebagaimana teknik yang biasa digunakan untuk teks-teks Arab lainnya. Adapun metode penerjemahannya, sebagaian besar menggunakan metode terjemah harfiyyah.

33Azyumardi Azra, “Naskah Terjemahan Antarbaris Kontribusi Kreatif Dunia Islam

Melayu Indonesia,” dalam Hendri Chamber Loir,(ed), Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h.435-442.

Ketiga, ciri-ciri penerjemahan yang dilakukan pesantren-pesantren ataupun lembaga pendidikan lainnya menggunakan Bahasa Jawa ngoko.34

Islah Gusmian, “Bahasa Aksara Tafsir al-Qur‟an di Indonesia dari tradisi, hierarki hingga kepentingan pembaca.” Tsaqafah VI, no.1 (April 2010).35 Dalam artikelnya, Islah menfokuskan kajiannya terhadap proses adaptasi dan adopsi terkait dengan pemakaian bahasa dan aksara di dalam proses penulisan tafsir

al-Qur‟an di Nusantara. Ia menyimpulkan bahwa keragaman bahasa dan aksara yang

dipakai dalam penulisan karya tafsir di Nusantara telah diketahui peran latar sosio-kultural, adanya hierarki pembaca dan kepentingan sosialisasi kandungan kitab suci al-Qur‟an. Menuurt Islah, keragaman bahasa dan aksara yang dipilih dalam penulisan tafsir al-Qur‟an di Nusantara, mempunyai ruang pembaca yang beda serta menunjukkan karakter dan hierarki pembaca yang berbeda-beda pula.

Berikutnya beberapa karya berupa buku, artikel, skripsi dan tesis yang membahas tentang penerjemahan al-Qur‟an dan penerjemahan tafsir al-Qur‟an dalam bahasa daerah. Di antaranya Howard Federspiel, dalam buku Popular

In ones an L terature o t e Qur‟an yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kajian al-Qur‟an In ones a oleh Tadjul „Arifin. Dalam tulisannya, Howard mengakaji tentang literatur tafsir, ilmu tafsir, terjemah

al-Qur‟an, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan al-Qur‟an.36

Karya berikutnya adalah Literatur Tafsir Indonesia, karya Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum

34Saifuddin, “Tradisi penerjemahan al-Qur‟an ke dalam Bahasa Jawa:suatu pendekatan filologis,” Suhuf VI, no.2 (November 2013): h.225-247.

35Islah Gusmian, “Bahasa Aksara Tafsir al-Qur‟an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki

hingga Kepentingan Pembaca,” Tsaqafah VI, no.1 (April 2010): h.1-23.

36

Howard M.Federspiel, Kajian al-Qur‟an In ones a: ar Ma u Yunus n a

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011).37 Dalam tulisannya, Mafri Amir menghimpun 14 profil kitab beserta profil penulisnya baik berupa terjemahan tafsir al-Qur‟an maupun terjemahan al-Qur‟an yang ada di Indonesia baik yang menggunakan bahasa Melayu, bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Jajang A.Rohmana, dalam artikelnya “Kajian al-Qur‟an di tatar Sunda; sebuah penelusuran awal, Suhuf VI, no. 2, (November, 2013), 38 menyimpulkan bahwa beragam kajian al-Qur‟an menunjukkan secara jelas kreatifitas lokal dalam merespon tradisi pengkajian al-Qur‟an di Nusantara. Hal tersebut menrutnya memiliki kontribusi penting dalam proses indigenisasi Islam dan peneguhan identitas Islam lokal di tatar Sunda. Sebuah proses keberagamaan yang membumi dengan mengedepankan sisi adaptasi budaya yang tidak terjebak pada aspek formalitas-simbolik yang lebih menonjolkan Arabisme daripada jiwa lokalitas kesundaaannya. Dalam artikelnya, Jajang juga membahas tentang vernakularisasi. Menurutnya, vernakularisasi merupakan upaya pembahasalokalan ajaran Islam

(al-Qur‟an) yang diterjemah dan ditulis ke dalam bahasa dan akasara lokal (Jawi

Pegon). Hal tersebut menurut Jajang dilakukan melalui penerjemahan lisan

kutipan-kutipan pendek al-Qur‟an, pengadaptasian tulisan Arab dalam terjemah antar baris atau catatan pinggir (sebagian atau keseluruhan teks), hingga penulisan literaratur berbahasa Arab oleh penulis lokal yang pada gilirannya diterjemahkan ke dalam bahasa lokal (Arabisasi bahasa lokal).

Ismail Lubis, dalam bukunya berjudul Falsifikasi Terjemahan al-Qur‟an

Depaertemen Agama edisi 1990, menfokuskan penelitiannya atas

37

Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum L teratur Ta s r Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011).

38Jajang A.Rohmana, “Kajian al-Qur‟an di Tatar Sunda; Sebuah Penelusuran Awal,”

kesalahan dalam kalimat terjemahan yang ada dalam Terjemahan al-Qur‟an

Depaertemen Agama edisi 1990 meliputi: (1)Kata yang berlebihan dalam kalimat

terjemahan ayat atau pleonasme;(2)Penyalahgunaan preposisi “Daripada” dalam terjemahan ayat; (3)Makna ganda (rancu), salah, dan penggunaan kata tidak baku atau bahkan belum dikenal bahasa indonesia; (4)Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim digunakan dalam bahasa penerima karena ada unsur yang tertinggal.39

Berikutnya ada beberapa kajian yang membahas tentang karya terjemahan

Tafsîr al-Jalâlain dan beberapa kajian yang membahas tentang karya terjemahan

al-Qur‟an maupun tafsir al-Qur‟an yang menjadikan Tafsîr al-Jalâlain sebagai

sumber rujukan. Di antaranya Eri Hariyanto, “Respon Peluang dan Tantangan Terjemah Al-Qur‟an Berbahasa Madura “Annual Conference On Islamic Studies Acis no.18 Bangkabelitung, 10–13 Oktnober 2011. Dalam artikelnya, Eri Hariyanto berkesimpulan bahwa respon terhadap “Al-Qur‟an Tarjamah Basa

Madhura,” datang dari masyarakat maupun kalangan terdidik dari kaum

akademisi maupun ulama. Menurut Eri, mereka sangat bersemangat menyambut kelanjutan juz yang akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Madura. Upaya penerjemahan memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi karena pentashih

al-Qur‟an akan berhadapan dengan kaidah dan nilai–nilai yang terdapat pada

penulisan bahasa, kaidah penulisan Bahasa Madura, nilai budaya, dan sistem sosial masyarakat. Sedangkan tantangan dan problem terjemahan al-Qur‟an Bahasa Madura terletak pada tiga pembahasan pokok yaitu terkait konsep

39

Ismail Lubis, Falsifikasi al-Qur‟an Departe en a a E s 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001).

terjemah (tarjamah), problem terkait Bahasa Madura dan problem terkait pembahasan.40

Imam Zaki Fuad, dalam skripsinya berjudul “Kajian atas Kitab Hâsyîah

al-S w „al Tafs r al-Jal lain,”41

menfokuskan kajiannya atas kitab-kitab syarah Hâsyîah dari Tafsîr al-Jalâlain yang terdapat di Timur Tengah maupun di Nusantara. Secara spesifik beberapa permasalahan yang dijawab dalam penelitian ini adalah mengenai metode dan sistematika yang di gunakan al-Sâwî dalam kitab Hâsyîah, sehingga kitab tersebut menjadi pilihan bagi banyak pesantren di Nusantara serta menjelaskan keistimewannya. Namun, yang menjadi sorotan penulis atas kajian Imam Zaki Fuad adalah mengenai pembahasan bab dua sub bab c, yaitu tentang apresiasi ulama Nusantara terhadap tafsir Ja lain. Dalam sub bab tersebut, Imam Zaki menyebutkan kitab-kitab yang diterjemahkan dari Tafsîr

Ja lain maupun kitab tafsir dan terjemahan al-Qur‟an yang menjadikan Tafsîr

Ja lain sebagai sumber rujukan. Kitab “Tarjamah Tafsîr a -Ja lain litashîli

al-Fikri Bahasa Madura karya Muhammad „Arifun yang menjadi objek dalam

skripsi ini belum termasuk dalam kajian skripsi Imam Zaki Fuad tentang apresiasi ulama Indonesia terhadap Tafsîr al-Jalâlain pada sub bab c. Oleh karenanya,

pembahasan tentang “Model terjemah tafsir al-Qur‟an berbahasa lokal (Analisis

terjemahan Tafsîr a -Ja lain Bahasa Madura karya Muhammad ‟Arifun),” akan melengkapi kajian tentang apresiasi ulama Indonesia terhadap Tafsîr al-Jalâlain.

Berikutnya adalah beberapa karya yang membahas tentang naskah keagamaan bahasa Madura di antaranya, Titik Pudjiastuti dalam tulisannya

40

Eri HariyantoRespon Peluang dan Tantangan Terjemah al-Qur‟an berbahasa

Madura.” Artikel diakses pada 19 April 2013 dari

http://dualmode.kemenag.go.id/acis11/file/dokumen/KumpulanMakalahPresentedPapers.pdf#pag6 41Imam Zaki Fuad, “Kajian atas Kitab Hâsyîah al-S w „a Ta s r a -Jalâlain,” (Skripsi

tentang “Madura”42

menyimpulkan bahwa saat ini naskah-naskah Madura tersebar di berbagai tempat penyimpanan di antaranya Keraton Sumenep, Museum Mpu Tantular Surabaya, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Depok, Universitas Bibliotheek Leiden, India Office Library London, British Library London, Britsh Library London, Perpustakaan Unversitas John Rylands Inggris, Perpustakaan Royal Asiatic Society Inggris, Perpustakaan School of Oriental And African Studies London, Inggris, para pemilik perorangan, dan took-toko barang-barang antik di Madura dan Jakarta. Menurut Titik Pudjiastuti, karya-karya sastra di Madura menunjukkan bahwa tradisi tulis menulis di Madura tidak terlepas dari pengaruh Jawa. Lahirnya terjemahan Tafsîr a -Ja lain Bahasa Madura karya Muhammad „Arifun yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini merupakan contoh sebagai bukti bahwa masih terjaganya tradisi tulis menulis dan penerjemahan naskah keagamaaan di Madura.

Moch Ali dalam artikelnya “Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam

Naskah Careta Qiyamat.”43

menyimpulkan bahwa, pertama, naskah “Careta

Q a at” yang menggunakan bahasa Jawa-Kitabi dialek Madura merupakan

salah satu bentuk hasil penerjemahan Islam ke dalam budaya lokal, khususnya Sumenep. Hal tersebut menurutnya mengindikasikan proses Islamisasi di Madura yang mendorong munculnya kontak intelektual (belajar-mengajar) antara guru dan murid, dan memunculkan adanya teks sumber dan teks terjemahan atau saduran. Menurut Moch Ali, berdasarkan kontak intelektual keagamaan tersebut,

42

Edi Sedyawati, dkk., (ed), Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum (Jakarta: Pusat Bahasa Balai Pustaka, 2001), h.83.

43Moch Ali, “Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah Careta Qiyamat.” Artikel

memunculkan adanya dua kategori naskah religi yaitu naskah berbahasa Jawa-Kitabi dan naskah berbahasa daerah Madura (bahasa Madura-Jawa-Kitabi). Kedua,

munculnya kosa kata Madura-Sumenep sebagai bukti adanya “Campur kode” yang berada dalam naskah “Careta Q a at” sebagai identitas lokal bahasa Madura yang belum mapan. Ketiga, bahasa Jawa-Kitabi yang digunakan dalam manuskrip merupakan bahasa bentuk peralihan sebelum dimapankannya bahasa Madura-Kitabi.

Berdasarkan hasil penelusuran referensi yang ada, penelitian atas model terjemah tafsir al-Qur‟an berbahasa lokal yang secara khusus menganalisis terjemahan Ta s r a -Ja lain Bahasa Madura karya Muhammad ‟Arifun, sejauh pengamatan penulis hingga saat ini belum ada yang mengkajinya. Oleh karena itu, penulis akan mengangkat masalah tersebut dalam penelitian berbentuk skripsi.

E.Metodologi Penelitian