• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Terjemahan lokal

BAB V ANALISIS MODEL TERJEMAH TAFSÎR AL-JALÂLAIN BAHASA MADURA

DAFTAR GAMBAR

C. Model Terjemahan lokal

Kata model secara etimologi bermakna acuan, ala, bentuk, cara, cermin, contoh, corak, cara, ideal, jenis, pola, ragam, tipe, tiruan, dan versi.37 Secara istilah kata model adalah suatu yang dirancang secara fisik atau simbolik untuk mewakili fenomena konkrit dengan istilah-istilah abstrak yang dapat diterapkan lebih dari satu kasus dan lebih dari satu kali.38 Kata terjemahan bermakna suatu salinan bahasa, dan hasil dari menerjemahkan.39 Kata lokal berarti setempat, lingkup daerah, kedaerahan, dan ruang atau kamar.40 Jadi dapat dipahami bahwa Model terjemahan lokal adalah suatu bentuk, tipe atau pola terjemahan yang dihasilkan oleh masyarakat setempat untuk mewakili fenomena konkrit.

Berkenaan dengan model terjemah lokal, menurut „Abd.Syahatah, seperti dikutip Fathullah Munadi, bahwa model terjemah tafsîriyyah menjadi pilihan beberapa ulama yang membuat tafsir lokal agar makna al-Qur‟an lebih mudah dipahami umat Islam lokal. Lanjut Fathullah Munadi, dari segi sumber atau objek telaahnya, terjemah tafsir lokal terdiri dari dua bagian yaitu tarjamah tafsîriyyah al-Qu ’ n dan tarjamah tafsîr al-Qu ’ n.41 Jika tarjamah tafsîriyyah al-Qu ’ n

objeknya adalah al-Qur‟an secara langsung akan tetapi diterjemahkan dengan metode terjemah tafsîryyah, sedangkan tarjamah tafsîr al-Qu ’ n objeknya adalah karya tafsir al-Qur‟an yang diterjemahkan secara harfiyyah. Fathullah Munadi,

mencontohkan model pertama seperti Terjemah al-Qu ’ n Dep g dan lain lain.

37

Tim Penyusun Depdiknas, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2009), h.386.

38

Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional (Surabaya:Alumni Surabaya, t.t.), h.412.

39

Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h.1452.

40

Ibid., h.375.

41

Fathullah Munadi, “Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Konteks Kajian al

Qur‟an di Nusantara,” (Tesis Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Sedangkan contoh model kedua, adalah terjemah karya tafsir selain Tarjumân al-Mustafîd yaitu tafsir era modern, seperti Tafsîr al-Bayân karya Hasbi as-Shiddiqy.42

Berbicara tentang penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia, Abdul Munip,43 mengklasifkasikan jenis terjemahan kitab Bahasa Arab ke dalam dua bentuk: (1)Terjemahan yang berpihak kepada teks bahasa sumber (2)Terjemahan yang berpihak kepada bahasa sasaran. Berikut uraian masing-masing terjemahan tersebut:44 Terjemahan yang berpihak kepada teks sumber terdiri dari dua bentuk yaitu: (1)Terjemah harfiah gandul tanpa penjelasan dan (2)Terjemah harfiah gandul disertai penjelasan.

Terjemah harfiah gandul tanpa penjelasan adalah suatu bentuk atau model terjemahan harfiah gandul ditandai dengan dicantumkannya naskah Arab asli yang lengkap dengan syakalnya. Sedangkan naskah terjemahannya ditulis menggantung dibawahnya dengan pola kemiringan 30-45 derajat ke arah kiri. Naskah terjemahan juga ditulis dengan huruf Arab (pegon), ada yang dilengkapi dengan syakal dan ada pula yang tidak disertai dengan syakal. Sedangkan terjemah harfiah gandul disertai penjelasan adalah jenis terjemahan harfiah gandul yang banyak ditemui di Jawa yang disertai dengan penjelasan penerjemah mengenai murâd. Terjemahan tersebut, bentuknya bisa berupa catatan kaki, dan komentar penerjemah.45 Sedangkan terjemahan yang berpihak kepada teks bahasa sasaran

42

Ibid., h.24-27.

43

Abdul Munip adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat, Abdul Munip, Problematika Bahasa Arab Ke Bahasa Indonesia; Suatu Pendekatan Error Analysis. Artikel ini diakses pada tanggal 19 November 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id/8008.

44

Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia;Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010), h.294-308.

45

terdiri dari dua bentuk: (1)Terjemah harfiah non gandul dan (2)terjemahan harfiah tanpa menyertakan teks aslinya.

Terjemah harfiah non gandul, adalah model penerjemahan yang masih menyertakan teks asli. Naskah terjemahannya ditulis terpisah, ada dibawah garis yang memisahkan antara teks asli dan teks terjemahan. Seperti yang ada pada kitab Lubâb al-M ’ ni fî Tarjamah al-Lujjan al- ani fî Manâqib Sayyid Syaikh

Abd al-Qadîr al-Jailani Karya Ja‟far al-Barzanji yang diterjemahkan oleh Abu Muhammad (Menara Kudus, 1953). Sedangkan terjemahan harfiah tanpa menyertakan teks aslinya adalah corak penerjemahan harfiah yang tidak menyertakan teks aslinya, seperti terjemahan al-Hikam karya Kiai Shaleh Darat tahun 1298.46

Ada perbedaan pendapat tentang istilah karakteristik terjemahan model gandul. Martin van Bruinnessen menyebut format umum kitab kuning47 yang dipelajari di pesantren adalah “Format jenggotan.” Karena terjemahan sela baris yang ditulis moncong dengan tulisan lebih kecil dibawah teks Arab. Selain itu, menurutnya ada tambahan terjemahan dan atau komentar yang lebih bebas, dan secara umum karakter fisik lain dari kitab klasik adalah mengandung makna simbolik.48 Berbeda dengan Azyumardi Azra, ia menyebut model terjemahan kitab kuning dengan “Terjemahan antar baris,” karena bahasa sumbernya (Arab) tetap ditulis seutuhnya. Kemudian bahasa lokalnya ditempatkan dibawah baris-baris teks yang berbahasa Arab. Terjemahan antar baris-baris tersebut, menurutnya mempunyai dua aktifitas dalam penerjemahannya. Pertama, menerjemahkan teks

46

Ibid., h.293-309.

47

Penamaan istilah kitab kuning dikarenakan kertas buku yang berwarna kuning dibawah yang dibawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh. Lihat, Martin van Bruennessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h.132.

48

Arab yang bersifat harfiyyah. Kedua, menuliskan komentar-komentar atau tafsir singkat atas pembahasan teks di halaman yang bersangkutan.49 Lanjut Azyumardi Azra, model terjemah harfiah model gandhul mempunyai beberapa karakteristik di antaranya. Pertama, penggunaan huruf Arab yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Suku Sunda dan Jawa menamakan istilah tersebut dengan pegon.50 Banyuangi disebut peggu.51 Sedangkan di Madura tulisan Arab yang menggunakan Bahasa Madura disebut peggu.52 Kedua, pencantuman simbol-simbol posisi kata. ketiga, Istilah-istilah kunci dalam terjemahan harfiahnya.

Menurut Titik Pudjiastuti, istilah pegon berasal dari Bahasa Jawa ”Pego

yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab, sehingga menjadi aneh ketika diucapkan. Kemudian menurutnya teks Jawa yang ditulis dengan huruf Arab disebut “Teks pego” (sesuatu yang menyimpang). Sedangakan pegon mempunyai dua macam variasi tulisan, yaitu pegon tanpa harokat dan pegon berharakat.53 Menurut Titik Pudjiastuti, istilah kata pegon berasal dari pesantren, yaitu ketika seorang murid belajar membaca

49Azyumardi Azra, “Naskah Terjemahan Antarbaris Kontribusi Kreatif Dunia Islam Melayu Indonesia, dalam Hendri Chamber Loir,ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h.440-441.

50

Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsîr Indonesia (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.85.

51

Titik Pudjiastuti, Seri Kajian Filologi; Naskah dan Studi Naskah (Akademia:Bogor, 2006), h.44-45.

52

Edi Sedyawati, dkk., (ed.), Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum (Jakarta: Pusat Bahasa Balai Pustaka, 2001), h.84; Berdasarkan penelitian Fahrurrazi dalam “Cara memanggil nama

panggilan orang di Madura,” di bagian pembahasan karakteristik Tata Bahasa Madura,bahwa di

Madura sama halnya dengan di Jawa, ditemukan prasasti yang beraksara Pallawa. Serta menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa kuno. dapatlah dimengerti jika kemudian bahasa madura juga dituliskan dengan aksara Anacaraka yang disebut dengan Carakan Madura. Aksara tersebut menurut Fahrurrazi semula diajarkan pada anak-anak sekolah di akhir xix di Madura. Kemudian lambat laun digantikan dengan huruf latin. Berdasarkan penelitian Fahrurrazi juga dijelaskan bahwa di kalangan pesantren juga ada pengembangan penggunaan huruf Arab untuk menuliskan Bahasa Madura yang disebut dengan peghu. Lihat, Fahrurrazi, “Cara memanggil nama panggilan orang di Madura,” Linguistic Akademika I, no.3 (2012), h.264. Artikel ini diakses pada 27 Oktober 2014 dari www.linguistikademia.files.wordpress.com.

53

kitab kepada gurunya, kemudian seorang murid mencatat dan memberikan terjemahan dan penjelasan dari teks Arab yang dipelajarinya.54

Menurut Islah Gusmian, penggunaan huruf pegon dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda digunakan pada abad ke-16 M. Pada masa itu, dimungkinan terjadi pembahasa-lokalan Islam di wilayah Nusantara misalnya huruf Arab yang digunakan dalam tafsir Tarjumân al-Mustafîd, dan naskah anonim seperti kitab Farâid al-Qu ’ n, dan naskah surah al-Kahfidan naskah anonim lainnya.55

Di Madura, sama halnya dengan di daerah Sunda dan Jawa, yaitu mempunyai istilah khusus untuk tulisan yang beraksara Arab dalam bahasa Madura yaitu peggu. Menurut Moch.Ali, Peggu adalah tulisan aksara Arab bahasa Madura, karena teksnya ditulis dengan mengadaptasi aksara pegon (Arab-Jawa) yang kemudian dilengkapi dengan tanda diakrtik yang disesuaikan dengan lafad Madura, khususnya diksi-diksi Madura. Berdasarkan hasil penelitian Moch.Ali, menyatakan bahwa dibalik istilah peggu ada semacam “Penciptaan

budaya baru” yang sekaligus sebagai refleksi “Identitas lokal” yang menyiratkan

beberapa hal di antaranya Pertama, penegasan eksistensi aksara Arab-Madura sebagai symbol of identity yang banyak diapakai di pesantren Madura yang justru berkoeksistensi dengan aksara Arab-Jawa. Ketiga, penegasan identitas kesusastraan Madura yang sejajar dengan kesusastraan Jawa. Keempat, penegasan ideology kultural Madura yang berkoeksisitensi dengan ideology kultural Jawa.

54

Ibid., h.44-45.

55

Islah Gusmian, Khazanah Tafsîr Indonesia; dari Hermenetika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h.61.

Meskipun pola ini berakar pada konsep “Peniruan kebudayaan Jawa” tetapi dalam ranah budaya hali ini sifatnya natural.56

Berkenaan dengan istilah peggu yang diadaptasi dari pegon (Arab-Jawa) erat kaitannya dengan sejarah masuknya Islam ke pulau Madura. Titik Pudjiastuti

dalam artikelnya “Madura” sebagaimana dikutip dari Pigeaud dan De Graff,

Madura telah menjadi Islam sejak abad ke 16, ketika putra mahkota kerajaan Madura Barat yang bernama Pratanu yang kemudian terkenal sebagai Panembahan Lemah Duwur dari Arosbaya (Bangkalan) yang masuk Islam dan mengakui Sultan Demak sebagai maharaja. Pada masa penyebaran kebudayaan pesisir pada abad ke-16 dan ke-17, Madura di perintah oleh dinasti yang diduga mempunyai keturunan darah Jawa yang mempunyai peran penting dalam kancah politik Jawa. Maka dari itu menurut Titik Pudjiastuti, pengaruh Jawa cukup besar bagi Madura khususnya dalam hal sastra. Berdasarkan penelitian Titik Pudjiastutik, menyatakan bahwa kebanyakan naskah Madura adalah terjemahan atau adaptasi dari karya sastra Jawa.57

Berdasarkan sejarah dan legenda, sebagaimana hasil penelitian Titik Pudjiastutik, para penyiar agama Islam di pulau Madura umumnya berasal dari Jawa. Hal ini menurutnya menjadi salah satu faktor pengaruh Jawa terhadap Madura cukup besar. Misalnya dapat dilihat bahwa untuk pendidikan formal, hampir di sepanjang jalan dari Kabupaten Bangkalan sampai ke ujung Kabupaten Sumenep terdapat pesantren-pesantren yang mengajarkan aktivitas tulis menulis.58

56Moch Ali, “Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah “Careta Qiyamat.”

Artikel ini diakses pada tanggal 19 November 2013 www.http//eprints.uny.ac.id/id 57

Edi Sedyawati, dkk., (ed.), Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, h.83.

58

Menurut Fahrurrazi, islam masuk ke Madura dimulai sejak paruh abad ke-15, pertama kali di daerah sekitar Pantai Selatan Sumenep. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. Menurut Fahrurrazi, seperti dikutip dari Schrieke (1955), penyebar Islam yang pertama ialah pedagang yang berasal dari India (Gujarat), Malaka, dan Sumatera (Palembang). Kemudian sebagaimana dikutip Fahrurrazi dari De Graaff dan Pigeaud (1974), bahwa setelah penyebar agama Islam tersebut, disusul oleh pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil Surabaya dan Grersik. Kemudian sebagaimana dikutip Fahrurrazi dari Abdurrahman (1971), bahwa menurut cerita turun menurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel menetap di Desa Pasudan dekat Ibukota Sumenep. Oleh karena itu, pengislaman penduduk di Madura meluas setelah raja-raja dan diperkirakan pada pertenghan abad-16, memeluk agama Islam dan mendorong penyebarannya.59

Berdasarkan hasil penelitian Titik Pudjiastutik, dalam naskah Madura yang teksnya berisi ajaran Islam biasa ditemukan naskah tulisan dengan tiga bahasa, yaitu teks asli dalam Bahasa Arab, terjemahannya dalam bahasa Jawa, dan penjelasannya Bahasa Madura. Menurutnya Bahasa Jawa bukan saja menjadi sarana untuk memahami ajaran Islam melainkan juga merupakan alat untuk menuangkan rasa keindahan para santri di pesantren Madura.60

59

Pada pertengahan abad lalu, sebagaimana dikutip Fahrurrrazi dari Hegeman (1858), di Sumenep terdapat 2.120 ulama Islam yang jumlahnya lebih banyak dari pada Madura Barat dan Pamekasan. Hal tersebut menurut Fahrurrazi dikarenakan Sumenep menjadi kawasan perdagangan

yang paling ramai, sehingga menjadi daerah Islam yang penting. Lihat, Fahrurrazi, “Cara memanggil nama panggilan orang di Madura,” Linguistic Akademika I, no.3 (2012): h.264. Artikel ini diakses pada 27 Oktober 2014 dari www.linguistikademia.files.wordpress.com

60

Di Madura tradisi penerjemahan kitab berbahasa Arab sama halnya dengan penerjemahan kitab di Jawa, yaitu ada kosa kata yang digunakan untuk menerjemahkan struktur sintaksis Bahasa Arab. Istilah khusus yang disimbolkan satu huruf Arab seperti mubt d ’ diistilahkan dengan kata dining, simbolnya

“M m”; khabar diistilahkan dengan kata panika simbolnya “K ”; fa il diistilahkan dengan kata pasirah simbolnya fa` panjang, dan ponapah simbolnya

pendek.

Berkenaan dengan model terjemahan lokal, ada beberapa peneliti tentang naskah pegon model terjemahan jenggotan atau antarbaris, memberikan istilah atas huruf-huruf yang biasa dicantumkan untuk menunjukkan posisi kata di antaranya Muhammad Mujtabi Thaifur, dalam Kaifiyah al-Rumzi al-M ’ ni li al-Madâris wa al-M ’ id l-Islâmiyyah,menyebut huruf tersebut dengan al-rumzu atau rumus.61 Abdul Khaliq, dalam M t n l-Ju miyy li l-Im m l- on ji

dan Terjemahannya dan Penjelasannya, juga menyebut huruf tersebut dengan kata “Rumus.”62

Iip Dzulkifli yahya, dalam “Ngalogat di Pesantren Sunda

Menghadirkan yang dimangkirkan, menyebut dengan “Huruf,” Sedangkan Ali

Abu Bakar Basmalah, dalam “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan

Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren),”

menyebut huruf tersebut dengan simbol bacaan.63

61

Muhammad Mujtabi Thaifur, Kaifiyatu Rumzi al-M ’ ni li l-Madâris wa al-M ’ id al-Islâmiyyah (Kediri:T.pn., t.t.), h.1-2; Dalam kamus al-Munawwir, lafaz al-ramzu meruapakan masdar dari lafaz ramaza bermakna “Tanda, isyarat”. Bentuk mufrad atau tunggalnya al-ramzu yaitu al-rumzu atau al-ramazu, jamaknya rumûzun. Sedangkan lafaz al-ramziyyu bermkna

simbolik (sebagai lambang). Lihat, Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia

(Surabaya:Pustaka Progressif, 1997), h.532.

62

Abdul Khaliq, Matan al-Jurûmiyyah li al-Imâm l- on ji d n e jem nny d n Penjelasannya (Pamekasan: Pondok Pesantren Darussalam, t.t.), h.28.

63

Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren),” (Perpustakaan Digital UIN Sunan

Berikut ini daftar simbol dan bahasa simbolik dalam Bahasa Madura yang diidentifikasi dari sejumlah sumber:64

Tabel 2: 2 Daftar Simbol dan Istilah Simbolik Terjemahan Madura

Simbol Maksud I’rab Tempat Variasi Tata Bahasa Penempatan struktur Bahasa simbolik

Madura Indonesia

م tamyîz Nas ab di atas tanda tamyîz املع م ديز رثك dari ara-ara apanya

اح âl Na ab di atas tanda l اسلاجاح بلاطلاأرق hale dalam keadaan

رظ m n Na ab di atas tanda سيم ارظورمع موصي edalĕm pada

مظ m k n Na ab di atas tanda ةرجشلا ت مظتسلج edalĕm di

فم m l bi Na ab di atas tandam ȗlbih اًذيزفم تبرض

ىفخأو رسلا ملعي ها

d ’ kepada

خ khabar

di atas

tanda khabar تاذب ةمدق ةفصخ ةاي ا panika adalah اف il qil di atas tanda ’il untuk

makhluk berakal ماق

اف

ديز pasirah siapa

ف il g i u

qil di atas tanda makhluk il tidak berakal untuk dan benda

رسيت

ف

ةرايسلا ponapah apa

م mubt d ’ di atas tanda mubt d ’ ها ةردقب ةعفاددابعلا لاعفأ عيم م Dining adapun

ج jawâb Mukhtalif di atas tandajawâb ححتتج ده نإ Maka maka

ص il Mukhtalif di atas tanda i ةفص نع ز ا هدم ا

ص

ثود ا

Se yang

ب badal mukhtalif di bawah tandabadal فصنب فيغرلا تلكأ Ropanah yakni

مج j m ’ j m ’ di atas tanda j m ’ مولعلامج تملعت bany ’-banynya’/

pan barampan

beberapa

www.digilib.uin-suka.ac.id/441; Kata simbol secara etimologi bermakna ikon, karakter, kiasan,, lambang, logo, representasi, sinyal, tanda, atribut, cap dan emblem. Lihat, Tim Penyusun Depdiknas, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2009), h.543.

64Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional

(Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren),” (Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008), h.61-62. Artikel ini diakses pada tanggal 5 Maret 2013 dari

www.digilib.uin-suka.ac.id/441; Iip Dzulkifli yahya, “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan, dalam Hendri Chamber Loir, ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia,November 2009), h.373-374; Abdul Hannan Tibyan, al-Iktisyâf fi Tadrîbi Qirȃ’ Kutubi l-Salaf li al-Mubt d'i’ȋn (Pamekasan:Puncak Daru Salam, t.t.), h.17; Muhammad Mujtabi Thaifur, Kaifiyatu Rumzi M ’ ni li l-Madâris wa M ’ id l-Islâmiyyah (Kediri:T.pn., t.t.), h.1-2; Lihat, Abdul Khaliq, Matan Jurûmiyyah li al-Imâm l- on ji d n e jem nnya dan Penjelasannya (Pamekasan: Pondok Pesantren Darussalam, t.t.), h.28; Syaikh Abdul Hamid Ahmad Mahfudz Ziyadi & Tim Penyusun, dkk, Nubdah al-B y n i l li M i Q w ’id Siy qi K l m A l I n; P og m Ak ele i B c Kitab Kuning Bagi Pemula dan Santri Kecil (Pamekasan:Tim Penyusun “Nuba” Palduding

Berdasarkan tabel di atas, ada beberapa daftar simbol dan istilah linguistik yang digunakan penerjemah Madura. Tabel tersebut diadaptasi dari tabel simbol dan istilah linguistik bahasa Jawa disesuaikan dengan bahasa simbolik Madura yang diidentifikasi dari beberapa buku kaedah bahasa Arab terjemahan Madura.65 Adapun ciri-ciri model terjemah lokal, khususnya Madura sama dengan model terjemah pegon Jawa yaitu terdiri dari dua bentuk yakni (1)ada simbol yang kemudian oleh Ali Abu Bakar Basmalah disebut “Simbol gramatikal bahasa Arab”; (2)ada bahasa istilah yang kemudian dalam penelitian Ali Abu Bakar Basmalah disebut “Bahasa simbolik66

Selain simbol dan bahasa simbolik di atas, terjemahan Madura juga memiliki kosa kata baku untuk menerjemahkan beberapa huruf berupa kata depan, kata sambung, dan kata isyarat. Menurut Syaibah, seperti dikutip M.Syarif Hidayatullah, arf terdiri dari tiga bagian (1) arf yang

65

Kerangka tabel tersebut diadaptasi dari tulisan Ali Abu Bakar Basmalah yang berjudul

“Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional

Terjemahan Pondok Pesantren).” Dalam artikelnya tersebut menyajikan tabel berupa simbol -simbol linguistik, bahasa -simbolik, dan contoh kalimat Bahasa Arab yang disertai -simbol--simbol sesuai posisi katanya. Perbedaan tabel di atas dengan tabel Ali Abu Bakar Basmalah adalah terletak pada simbol-simbol yang dicantumkan penulis telah disesuaikan dengan simbol dan

bahasa simbolik Madura yang ada. Lihat, Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning

melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren),”

h.61-62. Artikel ini diakses pada tanggal 5 Maret 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id/441;

Selanjutnya tabel tersebut juga diadaptasi dari tulisan Iip Dzulkifli Yahya dalam “Ngalogat di

Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan. Dalam artikel tersebut menyajikan tabel yang menunjukkan kata-kata (Jawa) dan huruf Arab simbol tersebut serta arti gramatikalnya dalam Bahasa Arab dan Indonesia. Perbedaannya tabel di atas dan tabel yang disajikan Iip adalah terletak

pada Bahasa dan penyajian contohnya. Lihat, Iip Dzulkifli yahya, “Ngalogat di Pesantren Sunda

Menghadirkan yang dimangkirkan, dalam Hendri Chamber Loir, ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, h.373-374; Selanjutnya dalam artikelnya Saefuddin, yang berjudul

“Tradisi penerjemahan al-Qur‟an ke dalam Bahasa Jawa; suatu pendekatan filologis.” merupakan tradisi terjemahan al-Qur‟an dalam Bahasa Jawa. Dalam tulisannya ini juga menyajikan kosa kata

tulisan tentang bahasa simbolik yang biasa digunakan kitab Bahasa Arab terjemahan Jawa. Lihat,

Saifuddin, “Tradisi penerjemahan al-Qur‟an ke dalam Bahasa Jawa; suatu pendekatan filologis.”

Suhuf VI, no.2 (November 2013): h.243-244.

66

Bahasa simbolik adalah kosa kata bahasa Madura atau Jawa khas yang menunjukkan variasi gramatikal bahasa sumber yaitu bahasa Arab. Maksud dari bahasa Madura Jawa khas adalah bahwa bahasa tersebut tidak seperti bahasa Madura atau Jawa yang digunakan sehari-hari.

Lihat, Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional

(Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren),” (Perpustakaan Digital UIN Sunan

Kalijaga: Yogyakarta, 2008). Artikel diakses pada 5 Maret 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id/441

mendampingi ism; (2) arf yang mendampingi fi il; (3) arf yang mendampingi isim dan fi„il. arf yang mendampingi isim biasanya berfungsi sebagai preposisi ( arf al-Jarr); arf al-nid ’,”P tikel vok ti ” dan partikel akusataif (nâ ib) seperti anna “Bahwa,” ka’anna “Sepertinya,” lakinna “Tetapi,” laita “Andai

saja.” Sementara itu, arf yang mendampingi i il biasanya merupakan partikel akusatif, seperti „an “Bahwa,” lan “Tidak” kai “Agar,” idzan “Jadi”; arf yang merupakan jusif, seperti lam “Belum,” la “Jangan,” in (pada klausa kondisional),

“Andai.” Berbeda dengan isim yang bisa mendampingi isim dan i il biasanya

berupa konjungsi ( arf l- af) dsb.67 Berikut ini terjemahan arf al-jar Bahasa Madura dan Bahasa Indonesia.68

Tabel 2:3 Terjemahan Huruf Jer dalam Bahasa Madura dan Indonesia

67

M.Syarif Hidayatullah, Pengantar Linguistik Arab Klasik Moderen (Jakarta: lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 ), h.83-84.

68

M.Tata Taufik, “Problematika Kebahasaan Terjemah,” h.167-169; M.Syarif

Hidayatullah, Tarjim al-An; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia (Tanggerang: Dikara 2010), h.103-106; Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia, h.297-298;

Muhammad „Arifun, Tarjamah Tafsîr al-Jalâlain litashîli al-Fikri Bahasa Madura, h.1-4821. arf Fungsi Terjemahan Madura Terjemahan Indonesia

ب - kalaĕn di; dengan; bersama; sebagian; di atas; kata penguat, demi (sumpah)

نم - dari dari (kata pembatas tempat, waktu); sebagian; di antara; karena dari(keterangan tambahan), kata penguat berarti ada; menggantikan; di; sebab, karena; tentang

ىإ - d ’ kata pembatas tujuan simpati; bersama; bagi atau untuk

ّتح - mpe’ sampai; hingga

ع

ن - dari dari;sesudah; di atas; sebab; atau alasan; kata pengganti

ىلع atas di atas; di saat; alasan atau sebab; bersamaan; dari; namun, dengan,

ي idalĕm di (tempat, waktu); karena bersama dengan; di atsa; kata perbandingan; dengan; sampai

ك - akadih seperti (tperumpamaan); sebab; di atas; kata penguat;

ل - ik ndi’, d ’ memiliki; kepunyaan; milik; hanya untuk; bagi;ku-mu; alasan atau