• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR)

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk melakukan penentuan jenis gugus fungsi suatu senyawa organik, mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dan dapat pula digunakan untuk penentuan struktur molekul suatu senyawa anorganik dengan membandingkan pada daerah sidik jarinya.

Radiasi inframerah mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat oleh mata. Pita absrobsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau jenis gugus fungsi. Infra merah merupakan suatu teknik yang sangat sesuai untuk mengidentifikasi bahan secara kuantitatif (Bernath, 1995).

27 Gambar 5. Skema kerja FT-IR

Mekanisme yang terjadi pada alat FT-IR (Gambar 5) dimulai dari sinar yang datang dari sumber sinar akan diteruskan, dan kemudian akan dipecah oleh pemecah sinar menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling berinteraksi, kemudian dari pemecah sinar sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan sebagian menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan sinar yang sampai pada detektor akan berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin memiliki jarak yang sama terhadap detektor, dan akan saling melemahkan jika kedua cermin memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar yang sampai pada detektor ini akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Interferogram ini akan diubah menjadi spektra IR dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Tahid, 1994). Pencirian dengan menggunakan FT-IR memiliki beberapa kelebihan, diantaranya dapat mendeteksi sinyal yang lemah, dapat menganalisis sampel pada konsentrasi yang sangat rendah, serta dapat mempelajari daerah antara 950-1500 cm-1 untuk larutan senyawa (Coates, 2000).

28 2.8 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat yang digunakan untuk

mempelajari topografi secara keseluruhan. Keuntungan menggunakan SEM yaitu preparasi sampel tidak menghabiskan banyak tenaga maupun waktu. Keterbatasan resolusi membuat teknik ini terbatas bagi kristal yang lebih besar dari 5 nm. Diatas level ini, bentuk, ukuran, dan distribusi ukuran mudah untuk dilakukan. Investigasi SEM telah dibuat pada banyak sistem dan berguna juga untuk studi struktur pori (Nasikin et al., 2010).

Tipe sinyal yang dihasilkan oleh SEM dapat meliputi elektron sekunder, sinar-X karakteristik dan cahaya (katodaluminisens). Sinyal tersebut datang dari hamburan elektron dari permukaan unsur dan berinteraksi dengan sampel atau di dekat permukaannya. SEM dapat menghasilkan gambar dengan resolusi yang sangat tinggi dari permukaan sampel, menampakkan secara lengkap dengan ukuran 1-5nm. Agar menghasilkan gambar yang diinginkan, maka SEM mempunyai sebuah lebar fokus yang sangat besar (biasanya 25-250.000 kali pembesaran). SEM dapat menghasilkan karakteristik bentuk 3-dimensi yang berguna untuk memahami struktur permukaan dari suatu sampel.

29 Gambar 6. Skema kerja SEM (Hanke, 2001)

Gambar 6 memperlihatkan sebuah pistol elektron memproduksi berkas elektron dan dipercepat pada anoda. Lensa magnetik kemudian memfokuskan elektron menuju sampel. Berkas elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh kumparan pemindai. Ketika elektron mengenai sampel, maka sampel akan mengeluarkan elektron yang baru yang akan diterima oleh detektor (Hanke, 2001).

30 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 8 bulan yang dilaksanakan dari bulan Desember 2017 – Juli 2018. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Laboratorium Penelitian Kimia, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium pengujian QLab Universitas Pancasila, BATAN dan Laboratorium SEM ITB.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometri serapan atom Analyst 700 Perkin Elmer (SSA), Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR) (IRPrestige-21-Shimadzu), Scanning Electron Microscopy

(SEM) (Carl Zeiss-EVO), shaker batch, ayakan dengan ukuran partikel 180 µm Retsch, neraca analitik, pH meter, penangas, furnace, oven, kertas saring whattman, blender, mortar, dan alat gelas lainnya.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk gergaji kayu meranti dari toko mabel yang sudah diberikan perlakuan sebelumnya, HCl, HNO3, Na2EDTA, senyawa CuSO4.5H2O, MnSO4.H2O, CdSO4.8H2O, larutan buffer pH 4, 5, 6 dan 7 dan akuades.

31 3.3 Diagram Alir Penelitian

Preparasi sampel serbuk gergaji kayu meranti

Penentuan Isotherm Adsorpsi

Tanpa Aktivasi Aktivasi Fisika Aktivasi Kimia

Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR Penentuan

Kinetika Adsorpsi

Analisis morfologi molekul menggunakan SEM

Gambar 7. Diagram Alir Penelitian Regenerasi adsorben

Analisis penyerapan

logam menggunakan

SSA Konsentrasi adsorben

Konsentrasi adsorbat

pH adsorbat

Waktu dan suhu adsorpsi Adsorben kondisi

optimum

32 3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Preparasi serbuk gergaji kayu Meranti (Koleangan, H. S. J, 2008)

Serbuk gergaji kayu meranti dicuci bersih dengan air yang mengalir, setelah itu dikeringkan di bawah sinar matahari selama 1 minggu kemudian dihaluskan dengan blender dan dikeringkan kembali menggunakan oven selama ± 3 jam pada suhu 110 oC.

3.4.2 Aktivasi Serbuk Gergaji Kayu Meranti 3.4.2.1 Tanpa aktivasi

Serbuk gergaji kayu meranti sebanyak 100 gram yang telah dipreparasi kemudian diayak dengan pengayak menjadi ukuran partikel <180 μm dan disimpan dalam desikator. Adsorben tanpa aktivasi selanjutnya digunakan untuk penentuan kondisi optimum.

3.4.2.2 Aktivasi secara fisika (Nurhasni et al., 2014)

Serbuk gergaji kayu meranti sebanyak 100 gram yang telah dipreparasi dimasukan dalam furnace dan diaktivasi secara fisika dengan cara diarangkan pada suhu 250 oC hingga menjadi serbuk arang selama 2,5 jam. Setelah itu diayak dengan pengayak menjadi ukuran partikel <180 μm dan disimpan dalam desikator.

Adsorben selanjutnya digunakan untuk penentuan kondisi optimum.

3.4.2.3 Aktivasi secara kimia (Nurhasni et al., 2012)

Serbuk gergaji kayu meranti sebanyak 100 gram yang telah dipreparasi diayak dengan pengayak menjadi ukuran partikel <180 μm. Kemudian diaktivasi secara kimia dengan cara direndam dalam reagen HCl 4 M dengan perbandingan 1:5 selama 24 jam, selanjutnya disaring dan dinetralkan dengan akuades. Adsorben

33 yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 110 oC selama 3 jam, lalu disimpan dalam desikator. Adsorben selanjutnya digunakan untuk penentuan kondisi optimum.

3.4.3 Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Tanpa Aktivasi 3.4.3.1 Konsentrasi adsorben

Adsorben dengan ukuran partikel <180 µm ditimbang dengan variasi konsentrasi adsorben (1,25; 2,5; 3,75; dan 5%) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dengan masing-masing larutan ion logam konsentrasi awal 10 ppm sebanyak 20 mL. Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 200 rpm pada temperatur ruang selama 1 jam. Campuran kemudian dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan diukur dengan SSA. Nilai konsentrasi masing-masing larutan uji dimasukkan ke dalam rumus efisiensi penyerapan (E) dan kapasitas adsorpsi (Q) (Persamaan 1 dan 2).

3.4.3.2 Konsentrasi adsorbat

Adsorben dengan massa optimum berukuran <180 µm ditimbang kemudian dimasukkan dalam Erlenmeyer. Larutan ion logam dengan konsentrasi (10; 30; 50;

dan 70 ppm) dimasukkan sebanyak 20 mL. Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 200 rpm pada temperatur ruang selama 1 jam.

Campuran kemudian dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan diukur dengan SSA. Nilai konsentrasi masing-masing larutan uji dimasukkan ke dalam rumus efisiensi penyerapan (E) dan kapasitas adsorpsi (Q) (Persamaan 1 dan 2).

34 3.4.3.3 pH ion logam

Adsorben dengan massa optimum berukuran <180 µm ditimbang kemudian dimasukkan dalam Erlenmeyer. Larutan ion logam dengan konsentrasi optimum dimasukkan sebanyak 20 mL dan ditambahkan variasi pH (4; 5; 6; dan 7) yang diatur menggunakan pH meter. Larutan pH buffer dibuat dari senyawa C6H8O7.H2O konsentrasi 0,1 M dan Na2HPO4.2H2O konsentrasi 0,2 M. Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 200 rpm pada temperatur ruang selama 1 jam. Campuran kemudian dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan diukur dengan SSA. Nilai konsentrasi masing-masing larutan uji dimasukkan ke dalam rumus efisiensi penyerapan (E) dan kapasitas adsorpsi (Q) (Persamaan 1 dan 2).

3.4.3.4 Waktu dan suhu adsorpsi

Adsorben dengan massa optimum berukuran <180 µm ditimbang kemudian dimasukkan dalam Erlenmeyer. Larutan ion logam konsentrasi optimum dimasukkan sebanyak 20 mL dengan penambahan pH optimum ke dalam Erlenmeyer yang telah berisi adsorben. Larutan kemudian dipanaskan pada variasi suhu (30; 45; 60; dan 75 oC) dengan variasi lama pemanasan (30; 60; 90; dan 120 menit). Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 200 rpm.

Campuran kemudian dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan diukur dengan SSA. Nilai konsentrasi masing-masing larutan uji dimasukkan ke dalam rumus efisiensi penyerapan (E) dan kapasitas adsorpsi (Q) (Persamaan 1 dan 2). Adsorben yang diaktivasi secara fisika dan kimia

35 penentuan kondisi optimum adsorpsi dilakukan dengan prosedur yang sama yaitu dengan prosedur 3.4.3.

3.4.4 Analisis Gugus Fungsi dengan Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR) (ASTM E1252-98)

Analisis gugus fungsi adsorben terbaik yaitu adsorben yang diaktivasi fisika (sebelum dan sesudah adsorpsi) dengan menggunakan Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR). Sebanyak 10 gram KBr digerus kemudian ditambahkan

sampel adsorben dengan komposisi 10:1 sampel. Kemudian campuran digerus hingga homogen. Kemudian diletakkan pada sampel holder. Diketahui grafik puncak-puncak gugus fungsi yang muncul pada layar. Hasil pengukuran dianalisis dan dicetak.

3.4.5 Analisis Morfologi Permukaan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) ( ASTM E1508)

Analisis permukaan dan tekstur adsorben terbaik yaitu adsorben yang diaktivasi fisika (sebelum dan sesudah adsorpsi) dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Sampel adsorben yang akan dianalisis diletakkan

sangat tipis merata pada plat alumunium yang memiliki dua sisi. Kemudian dilapisi dengan lapisan emas dengan waktu coating ± 30 detik. Sampel yang telah dilapisi, kemudian diamati menggunakan SEM dengan tegangan 20 kV dan perbesaran 5.000x dan 30.000x. dari gambar berupa foto SEM yang diperoleh, morfologi dan distribusi ukuran nanosfer dianalisis dengan menggunakan metode statistik.

36 3.4.6 Penentuan Isotherm Adsorpsi

Hasil penentuan variasi konsentrasi ion logam (adsorbat) berupa konsentrasi akhir (Ce) dan kapasitas adsorpsi (Q) diplotkan dengan menggunakan persamaan regresi linier. Nilai koefisien korelasi yang besarnya mendekati 1 setelah dibuat persamaan isotherm Langmuir dan isotherm Freundlich maka akan menentukan jenis isotherm adsorpsi yang terjadi pada proses adsorpsi ion logam tersebut.

3.4.7 Penentuan Kinetika Adsorpsi

Kinetika adsorpsi dihitung dengan melihat perubahan kondisi konsentrasi sebagai fungsi waktu. Kemudian ditentukan orde reaksi diantara orde 0, 1, dan 2 menggunakan Persamaan 9, 12, dan 15. Konstanta laju reaksi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan Arrhenius pada Persamaan 16.

3.4.8 Regenerasi adsorben

Ion logam yang telah terserap dalam material adsorben serbuk gergaji kayu meranti pada kondisi optimum dilepaskan kembali atau dielusi dengan cara menambahkan larutan HNO3 0,5 M, Na2EDTA 0,01 M dan H2O sebanyak 20 mL pada masing-masing adsorben. Kemudian filtrat dipisahkan dengan adsorben dengan menggunakan kertas saring. Selanjutnya konsentrasi ion logam didalam filtrat ditentukan kembali dengan spektrofotometer serapan atom (SSA).

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Adsorben Serbuk Gergaji Kayu Meranti

Pembuatan adsorben serbuk kayu meranti yang digunakan untuk menyerap ion logam dilakukan dalam 3 (tiga) bentuk perlakuan, yaitu tanpa aktivasi, aktivasi fisika dan aktivasi kimia. Serbuk kayu meranti yang didapatkan dari hasil limbah buangan toko mabel kayu ini sebelumnya dibersihkan dengan menggunakan air mengalir untuk menghilangkan pengotor-pengotor yang terdapat di dalam serbuk seperti pasir, tanah, batu-batuan kecil dan lain sebagainya. Serbuk kayu meranti dijemur dibawah sinar matahari selama satu minggu untuk mengurangi kadar air yang ada dalam serbuk kayu meranti agar serbuk kayu meranti menjadi kering.

Serbuk kayu meranti juga dihaluskan dengan menggunakan blender agar bentuk serbuk kayu meranti menjadi semakin kecil sehingga lebih mudah untuk dihaluskan. Kemudian serbuk kayu meranti dikeringkan kembali dengan menggunakan oven pada suhu 110 oC selama ± 3 jam. Suhu 110 oC membuat kandungan air yang ada pada serbuk kayu meranti akan menguap seluruhnya.

Adsorben tanpa aktivasi, aktivasi fisika, dan aktivasi kimia menghasilkan warna fisik yang berbeda pada ketiganya (Gambar 8). Sampel tanpa aktivasi memiliki warna coklat muda sedangkan sampel aktivasi kimia berwarna coklat gelap dan sampel aktivasi fisika berwarna hitam sebab sampel telah menjadi karbon aktif. Warna lebih gelap atau pucat pada aktivasi kimia disebabkan karena adanya reaksi hidrolisis yaitu pemecahan rantai polisakarida menjadi monosakarida (Kirk

& Othmer, 1983).

38 (a) (b) (c)

Gambar 8. (a) Aktivasi fisika (b) aktivasi kimia (c) tanpa aktivasi Serbuk kayu meranti tanpa aktivasi tidak diberikan perlakuan apapun hanya memperkecil ukuran partikelnya yaitu menjadi <180 µm. Serbuk kayu meranti diperkecil ukuran partikelnya agar ukuran partikel adsorben memiliki luas permukaan yang besar. Luas permukaan adsorben yang semakin besar akan membuat kapasitas adsorpsi suatu adsorben dalam mengadsorpsi suatu adsorben juga semakin besar (Nurhasni, 2012). Aktivasi secara fisika serbuk kayu diarangkan pada suhu 250 oC selama 2,5 jam (Nurhasni, 2014). Proses karbonasi pembuatan arang aktif ini dilakukan dengan menggunakan furnace. Penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi (250 oC) dikarenakan pada suhu tersebut (<250 oC) serbuk kayu meranti sudah menjadi arang dan terjadi pengurangan volume, sedangkan jika suhunya >250 oC akan menyebabkan serbuk kayu terbakar menjadi abu dan menjadi sangat mudah hancur (Hendra et al., 2015). Ukuran partikelnya kemudian diperkecil sampai menjadi <180 µm. Aktivasi fisika ini dilakukan dengan membuka pori-pori dari adsorben melalui proses karbonasi sehingga pori-porinya semakin

39 besar dan memungkinkan untuk ion logam terperangkap didalam pori-pori adsorben tersebut.

Aktivasi kimia dilakukan dengan melakukan penambahan zat kimia ke dalam sampel serbuk kayu meranti. Sampel adsorben yang digunakan sudah dihaluskan ukurannya menjadi ukuran <180 µm. Modifikasi sampel ini dilakukan dengan menggunakan larutan asam yaitu direndam menggunakan HCl 4 M (Nurhasni, 2012). Reaksi yang terjadi pada senyawa didalam adsorben dengan HCl adalah reaksi hidrolisis. Hidrolisis merupakan proses pemutusan rantai atau pemecahan suatu senyawa menggunakan air. Selulosa yang terdapat pada adsorben terhidrolisis menjadi monomer glukosa (Gambar 9). Reaksi pada air dan karbohidrat berlangsung lama sehingga dibutuhkan katalisator atau aktivator yaitu asam klorida untuk mempercepat reaksi (Mastuti, et al., 2010).

Gambar 9. Mekanisme reaksi hidrolisis asam pada selulosa (Fengel &

Wegener, 1995).

Aktivasi bertujuan untuk memperluas volume rongga atau pori-pori adsorben sebab molekul-molekul pengaktif yang ada akan teradsorpsi oleh bahan adsorben yang melarutkan pengotor yang berada dalam pori seperti mineral anorganik (Miftah et al, 2009). Penggunaan HCl dikarenakan HCl lebih dapat melarutkan

40 pengotor sehingga proses penyerapan adsorbat menjadi lebih maksimal pada saat proses adsorpsi hal ini disebabkan pori-pori permukaannya yang beraturan dan lebih banyak terbentuk dibandingkan jika menggunakan larutan asam lainnya seperti H2SO4 (Nurhasni, 2012).

4.2 Kondisi Optimum Adsorpsi 4.2.1 Konsentrasi Adsorben

Penentuan kondisi optimum dari konsentrasi adsorben dilakukan dengan membandingkan empat variasi konsentrasi adsorben sebesar 1,25; 2,50; 3,75; dan 5% dimana masing-masing massa biosorben sebesar 0,25; 0,5; 0,75 dan 1 g. Suhu yang digunakan adalah suhu ruang 30 oC, pada pH netral dalam waktu 1 jam.

Konsentrasi adsorbat Cu, Cd dan Mn yang digunakan sebesar 10 ppm dan volume 20 mL. Konsentrasi 10 ppm digunakan karena pada perairan rata-rata kandungan maksimum ion logam berat adalah <2 ppm (Sofarini et al., 2010). Adsorben yang dikontakkan dengan absorbat di shaker dengan kecepatan 200 rpm. Adsorben dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan penurunan konsentrasi adsorbat yang dapat dilihat pada Gambar 10, 11 dan 12. Kondisi optimum pada masing-masing logam mengalami perbedaan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah ukuran jari-jari atom. Jari-jari atom logam yang lebih kecil dari ukuran jari-jari atom adsorben maka akan sangat mudah ion logam terserap dan terperangkap didalam sisi aktif adsorben. Ukuran jari-jari atom yang lebih besar dari jari-jari adsorben maka ion logam tidak dapat melekat pada dinding adsorben sehingga menyebabkan efisiensinya tidak optimum dalam adsorpsi (Amri, 2008).

Logam Mn yang memiliki jari-jari atom yang lebih besar jika dibandingkan dengan

41 logam Cu dan Cd yaitu sebesar 137 pm dan logam Cu sebesar 128 pm sedangkan logam Cd sebesar 109 pm (Surbakti et al., 2016). Hal ini menyebabkan efisiensi adsorpsi pada logam Mn lebih kecil jika dibandingkan dengan logam lainnya.

Gambar 10. Pengaruh konsentrasi adsorben terhadap ion logam Cu

Gambar 11. Pengaruh konsentrasi adsorben terhadap ion logam Cd

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi adsorben terhadap ion logam Mn

0

42 Hasil penentuan konsentrasi adsorben optimum pada ion logam menunjukan hasil efisiensi adsorpsi yang berbeda-beda pada setiap logam. Adsorben tanpa aktivasi yang dibutuhkan untuk mengadsorpsi ion logam Cu sebesar 3,75%, sedangkan adsorben dengan aktivasi fisika sebesar 2,5% dan adsorben dengan aktivasi kimia sebesar 2,5%. Adsorben tanpa aktivasi, aktivasi fisika dan aktivasi kimia yang dibutuhkan untuk mengadsorpsi ion logam Cd sebesar 1,25%. Adsorben tanpa aktivasi yang dibutuhkan untuk mengadsorpsi ion logam Mn sebesar 1,25%, sedangkan adsorben yang diaktivasi fisika sebesar 3,75% dan adsorben yang diaktivasi kimia sebesar 5%.

Konsentrasi adsorben yang ditingkatkan akan menghasilkan efisiensi penyerapan ion logam yang diserap juga akan meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11 seperti adsorben yang diaktivasi kimia efisiensi adsorpsinya terus meningkat dari konsentrasi adsorben 1,25% sebesar 50,67%, 2,5% sebesar 68,74%, 3,75% sebesar 84,62% dan 5% sebesar 96,74%. Meningkatnya konsentrasi adsorben akan menyebabkan luas permukaan adsorben menjadi lebih banyak tersedia sehingga terjadi peningkatan bidang aktif adsorben (Anggriawan, 2015).

Pemilihan konsentrasi adsorben terbaik dapat ditentukan dari kemampuan adsorben dalam menurunkan konsentrasi ion logam dalam adsorbat. Konsentrasi adsorbat 10 ppm dapat diserap hampir 100% oleh ketiga jenis adsorben sehingga jika konsentrasi adsorbat ditingkatkan kemungkinan adsorben masih dapat menyerap ion logam yang ada pada adsorbat.

Konsentrasi adsorben optimum rata-rata berada pada konsentrasi 1,25%

sampai 3,75%. Hal ini dapat dilihat pada grafik efisiensi adsorpsi pada Gambar 10, 11 dan 12 yang menunjukan jika efisiensi terbesar pada ion logam terjadi pada

43 konsentrasi adsorben 1,25%-3,75%. Hal ini terjadi pada penelitian yang dilakukan Irawan et al (2015) yang menghasilkan massa optimum 2,5% dan efisiensi adsorpsi relatif konstan dan menurun ketika massa adsorben dinaikan >2,5% menggunakan adsorben abu layang. Penurunan ini disebabkan konsentrasi ion logam yang terserap pada permukaan adsorben lebih besar dibanding yang tersisa pada larutan.

Perbedaan konsentrasi tersebut menyebabkan ion logam yang sudah terikat akan terdesorpsi kembali ke dalam larutan.

Kapasitas adsorpsi pada penentuan kondisi optimum adsorben terjadi penurunan seiring dengan meningkatnya efisiensi adsorpsi (Lampiran 1). Logam Cu pada konsentrasi adsorben 1,25% kapasitas adsorpsinya sebesar 0,6172 mg/g, 2,50% sebesar 0,3173, 3,75% sebesar 0,2178 mg/g dan 5% sebesar 0,1633 mg/g.

Hal ini disebabkan dalam kondisi konsentrasi adsorbat tetap terjadi peningkatan sisi aktif justru akan meningkatkan penyebaran adsorbat, sehingga kapasitas adsorpsi lebih rendah dibandingkan dengan jumlah sisi aktif yang lebih sedikit (Irawan, et al., 2015).

4.2.2 Konsentrasi Adsorbat

Konsentrasi adsorbat dapat mempengaruhi daya adsorpsi dari biosorben.

Variasi konsentrasi yang digunakan yaitu 10; 30; 50; dan 70 ppm dengan suhu yang digunakan adalah suhu ruang 30 oC, pada pH netral dalam waktu 1 jam. Hasil setelah proses adsorpsi menunjukkan konsentrasi adsorbat yang paling rendah 10 ppm memiliki nilai efisiensi adsorpsi yang paling tinggi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 13, 14 dan 15. Ketika konsentrasi ditingkatkan, nilai efisiensi adsorpsi semakin menurun. Hal ini terjadi karena pada konsentrasi tinggi jumlah adsorbat tidak sebanding dengan jumlah partikel adsorben serbuk kayu meranti sehingga

44 adsorben mengalami titik jenuh dan tidak lagi dapat menyerap adsorbat. Apabila adsorben sudah mencapai titik jenuh konsentrasi zat yang diserap tidak akan berubah atau berkurang karena terjadi kesetimbangan antara zat yang teradsorpsi dengan zat yang tersisa.

Gambar 13. Pengaruh konsentrasi adsorbat terhadap ion logam Cu

Gambar 14. Pengaruh konsentrasi adsorbat terhadap ion logam Cd

Gambar 15. Pengaruh konsentrasi adsorbat terhadap ion logam Mn

0

45 Efisiensi adsorpsi pada perbandingan konsentrasi adsorbat semakin menurun ketika konsentrasi ion logam semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada ion logam Cu tanpa aktivasi, aktivasi fisika dan aktivasi kimia konsentrasi adsorbat optimum terjadi pada 10 ppm dengan efisiensi 100%, begitupun dengan ion logam Cd dan Mn. Hal ini dikarenakan konsentrasi adsorbat yang rendah sehingga adsorben dapat menyerap adsorbat secara optimal. Semakin besar konsentrasi dari adsorbat maka semakin tinggi jumlah molekul yang terdapat dalam larutan sehingga akan meningkatkan laju adsorpsi antara molekul adsorbat dan adsorben (Barros et al., 2003).

Semakin tinggi efisiensi adsorpsi mengindikasikan jumlah molekul ion logam yang terjerap pada sisi aktif semakin besar. Konsentrasi optimum dari masing-masing ion logam pada 10 ppm (konsentrasi rendah) dengan efisiensi mencapai 100%. Hal ini membuktikan jika adsorbat terserap seluruhnya oleh adsorben. Hal yang sama terjadi pada penelitian Yu et al (2003) pada konsentrasi rendah perbandingan jumlah mol dari ion logam menyebabkan permukaan situs aktif menjadi lebih luas dan adsorpsi dipengaruhi oleh konsentrasi awal yang rendah sehingga efisiensi adsorpsinya optimum. Berbeda dengan kapasitas adsorpsi yang meningkat seiring dengan ditingkatkannya konsentrasi adsorbat (Lampiran 1).

Logam Cu pada konsentrasi 10 ppm memiliki kapasitas adsorpsi sebesar 0,2179 mg/g, pada 30 ppm sebesar 0,6051, pada 50 ppm sebesar 1,1066 mg/g dan pada 70 ppm sebesar 1,8450 mg/g. Perbandingan kapasitas adsorpsi dapat dilihat pada Lampiran 2. Hal ini karena jika terjadi peningkatan adsorbat maka jumlah ion adsorbat yang terikat pada adsorben semakin banyak sehingga kapasitas adsorpsinya semakin besar (Irawanto, et al., 2015).

46 Mekanisme adsorpsi ion logam melalui proses perpindahan adsorbat pada permukaan pori-pori dalam butiran adsorben yang terjadi karena adanya interaksi antara ion logam dengan sisi aktif permukaan adsorben. Perpindahan adsorbat dari cairan ke permukaan butir kemudian berdifusi dari permukaan butir menuju ke dalam butir melalui pori-pori yang tersedia. Hal ini terjadi karena adanya energi permukaan dan gaya tarik menarik pada permukaan adsorben (Indrasti, et al., 2006).

4.2.3 pH ion logam

pH atau potensial hidrogen merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam menentukan kondisi optimum proses adsorpsi ion logam dengan adsorben serbuk kayu meranti. Pada penentuan kondisi optimum pH ion logam digunakan konsentrasi ion logam sebesar 30 ppm dengan suhu yang digunakan adalah suhu ruang 30 oC dalam waktu 1 jam. Hal ini dikarenakan pada kondisi optimum konsentrasi ion logam yaitu 10 ppm ion logam pada adsorbat dapat

pH atau potensial hidrogen merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam menentukan kondisi optimum proses adsorpsi ion logam dengan adsorben serbuk kayu meranti. Pada penentuan kondisi optimum pH ion logam digunakan konsentrasi ion logam sebesar 30 ppm dengan suhu yang digunakan adalah suhu ruang 30 oC dalam waktu 1 jam. Hal ini dikarenakan pada kondisi optimum konsentrasi ion logam yaitu 10 ppm ion logam pada adsorbat dapat