BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Kondisi Optimum Adsorpsi
4.2.4 Metode aktivasi adsorben
Kondisi optimum dari masing-masing parameter yang telah ditentukan didapatkan hasil adsorben yang diaktivasi secara fisika merupakan adsorben yang paling baik dalam menyerap ion logam. Hal ini dapat dilihat pada grafik efisiensi adsorpsi masing-masing ion logam. Jika dibandingkan dengan adsorben yang diaktivasi secara kimia hasil efisiensinya tidak optimum dan berbeda jauh dengan aktivasi fisika. Efisiensi yang dihasilkan pada penentuan konsentrasi adsorben pada aktivasi fisika cukup tinggi yaitu ion logam Cu, ion logam Cd dan ion logam Mn mencapai 100%, sehingga adsorben yang diaktivasi secara fisika lebih efisien untuk digunakan.
Penentuan konsentrasi adsorbat ion logam Cu memiliki efisiensi adsorpsi 85,98% sampai 100%, ion logam Cd 79,94% sampai 100% dan ion logam Mn 75,08%. Efisiensi ini lebih besar jika dibandingkan dengan adsorben tanpa aktivasi dan aktivasi kimia. pH adsorbat saat diadsorpsi dengan adsorben aktivasi fisika menghasilkan efisiensi adsorpsi sebesar 41,44% sampai 100% pada ion logam Cu, 41,13% sampai 62,80% pada ion logam Cd dan 21,57% sampai 100% pada ion logam Mn. Hasil efisiensi adsorpsi menunjukan jika adsorben dengan aktivasi fisika merupakan adsorben dengan aktivasi terbaik. Hal ini dikarenakan nilai yang dihasilkan dapat mencapai adsorpsi hingga 100% jika dibandingkan dengan adsorben tanpa aktivasi dan aktivasi kimia.
50 4.2.5 Suhu dan waktu
Sampel yang digunakan pada penentuan suhu dan waktu adalah sampel yang diaktivasi secara fisika. Suhu yang digunakan yaitu suhu 30; 45; 60 dan 75 oC dengan variasi waktu kontak 30; 60; 90 dan 120 menit dengan konsentrasi adsorbat 30 ppm, pada pH 5 untuk ion logam Cu dan Cd, pH 6 ion logam Mn.Proses adsorpsi ion logam pada penentuan kondisi optimum suhu dan waktu dilakukan dalam kondisi suhu yang berbeda, sesuai dengan variasi suhu (oC) yang sudah ditentukan kemudian divariasikan pada setiap perbandingan waktu (menit) untuk masing-masing suhu. Efisiensi adsorpsi mengalami kenaikan seiring dengan ditingkatkannya suhu adsorpsi dapat dilihat pada Lampiran 1. Ion logam Cu pada waktu 30 menit dengan suhu 30 oC memiliki efisiensi sebesar 36,54%, suhu 45 oC sebesar 66,70%, suhu 60 oC sebesar 98,32% dan mengalami penurunan efisiensi pada suhu 75 oC menjadi 66,11%. Efisiensi adsorpsi dapat meningkat dan dapat juga menurun pada setiap suhu dan waktu sampai mencapai titik optimum adsorpsi.
Hasil adsorpsi menunjukan suhu optimum yang didapatkan yaitu 60 oC pada waktu 60 menit dengan nilai efisiensi adsorpsi 100% untuk ion logam Cu dan Cd dan 38,20% untuk ion logam Mn.
Hal ini sejalan dengan penelitian (Nurdila et al., 2015) ion logam Cu optimal diadsorpsi pada suhu 60 oC, namun mengalami penurunan setelah suhu dinaikkan menjadi 120 oC. Hal ini disebabkan pada peningkatan suhu energi dan reaktivitas ion bertambah besar sehingga akan mengganggu ikatan yang telah terbentuk, karena lemahnya ikatan Van Der Walls sehingga ikatannya mudah terputus dan terjadi desorpsi. Nilai efisiensi adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 19, 20 dan 21.
Semakin lama waktu kontak dapat meningkatkan daya serap dari biosorben.
51 Konsentrasi akhir yang dihasilkan tidak sebaik pada waktu kontak 60 menit, hal ini disebabkan karena jumlah ion logam tidak sebanding dengan jumlah partikel dari adsorben sehingga adsorben mencapai titik jenuh dan daya adsorpsinya menurun (Cossisch et al., 2002).
Gambar 19. Pengaruh suhu dan waktu terhadap efisiensi ion logam Cu
Gambar 20. Pengaruh suhu dan waktu terhadap efisiensi ion logam Cd
Gambar 21. Pengaruh suhu dan waktu terhadap efisiensi ion logam Mn
20
52 Sulistyawati (2008) mengatakan bahwa efisiensi adsorpsi berbanding lurus dengan waktu sampai pada titik tertentu sehingga akan mengalami penurunan setelah melewati titik tersebut. Semakin lama waktu kontak adsorpsi maka akan semakin banyak partikel adsorben yang bertumbukan dengan ion logam yang terikat pada pori-pori adsorben sampai dapat mencapai kemampuan optimum.
Namun jika telah mencapai kondisi optimum akan terjadi desorpsi, dimana desorpsi adalah pelepasan kembali adsorbat yang terjadi akibat permukaan adsorben telah jenuh. Hal ini juga terjadi jika suhu yang digunakan terlalu tinggi yang mengakibatkan efisiensi adsorpsinya menurun.
Penelitian Nurlaili et al (2017) menghasilkan waktu optimum pada waktu 60 menit. Menurutnya setelah mencapai adsorpsi optimum, dengan bertambahnya waktu kontak maka daya serap adsorben akan menurun. Hal ini karena adanya faktor pengadukan sehingga adsorben sudah tidak mampu mengikat atau mempertahankan adsorbat lagi dan terlepas dari adsorben (Handayani, 2005).
4.3 Isotherm Adsorpsi
Model adsorpsi yang pada umumnya digunakan untuk menentukan kesetimbangan adsorpsi adalah isotherm Langmuir dan isotherm Freundlich (Baral et al., 2007). Nilai persamaan isotherm adsorpsi didapatkan dari hasil penelitian
dengan menggunakan variasi konsentrasi adsorbat yaitu sebesar 10; 30; 50 dan 70 ppm menggunakan adsorben yang diaktivasi secara fisika dengan konsentrasi adsorbat 30 ppm, pada suhu ruang 30 oC, pH netral dan dalam waktu 1 jam.
Perbandingan konsentrasi adsorbat ini diadsorpsi dengan menggunakan adsorben serbuk kayu meranti dengan massa atau konsentrasi adsorben optimum yang telah
53 didapatkan sebelumnya. Persamaan regresi linier yang didapatkan dari hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 22, 23 dan 24.
(a) (b)
Gambar 22. Kurva adsorpsi ion logam Cu (a) Langmuir dan (b) Freundlich
(a) (b)
Gambar 23. Kurva adsorpsi ion logam Cd (a) Langmuir dan (b) Freundlich
(a) (b)
Gambar 24. Kurva adsorpsi ion logam Mn (a) Langmuir dan (b) Freundlich
y = 0,3252x + 0,7925
54 Hasil dari kurva regresi linear isotherm adsorpsi Langmuir dan Freundlich pada adsorben yang diaktivasi secara fisika pada ion logam Cu, Cd dan Mn adalah isotherm Freundlich. Ketiga ion logam ini memiliki jenis isotherm yang sama ketika dilakukan perhitungan berdasarkan nilai koefisien korelasi (R2) dimana nilai R2 pada isotherm freundlich memiliki nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan isotherm Langmuir yaitu nilai R2 isotherm Freundlich pada ion logam Cu sebesar 0,9242; ion logam Cd 0,9946 dan ion logam Mn 0,9784.
Menurut Ahmad et al ( 2009) jenis isotherm yang cocok untuk serbuk kayu adalah isotherm Freundlich. Hal ini dikarenakan serbuk kayu terdiri dari material heterogen yang kecil (Tahad, 2017). Adsorpsi fisika terjadi karena partikel-partikel adsorbat mendekat ke permukaan adsorben melalui gaya Van Der Walls atau ikatan hidrogen dan molekul terikat secara lemah sedangkan dalam adsorpsi kimia partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia seperti ikatan kovalen (Widayatno et al., 2017).
Adsorpsi dapat terjadi secara fisika dan kimia dan adsorpsi pada penelitian ini lebih mendekati pada adsorpsi secara fisika. Menurut Martell & Hancock (1996), adsorpsi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme:
1. Mekanisme adsorpsi fisika
Karbon aktif merupakan adsorben yang kaya akan pori sehinga dimungkinkan untuk mengadsorpsi ion logam dengan menjebaknya dalam pori-pori. Mekanisme ini akan terjadi apabila ukuran pori dari adsorben lebih besar daripada ukuran ion yang akan diadsorpsi. Reaksi kesetimbangan dinamis dapat terjadi bila reaksi yang terjadi merupakan reaksi bolak-balik. Reaksi tidak pernah berhenti karena komponen zat tidak pernah habis.
55 2. Mekanisme adsorpsi kimia
Pada adsorpsi kimia terjadi pembentukan dan pemutusan ikatan, sehingga energi adsorpsinya berada pada kisaran yang sama dengan reaksi kimia. Ikatan antara adsorben dengan adsorbat cukup kuat sehingga tidak terjadi spesiasi, karena zat yang teradsorpsi menyatu dengan membentuk lapisan tunggal dan relatif ireversibel. Batas minimal suatu adsorpsi dikategorikan sebagai kemisorpsi adalah memiliki harga energi adsorpsi sebesar 20,92 kJ/mol (Adamson, 1990).
Proses adsorbsi dapat digambarkan sebagai proses dimana molekul meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben akibat kimia dan fisika (Reynolds,1982). Pada proses adsorpsi terbagi menjadi 4 tahap yaitu : 1. Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film
yang mengelilingi adsorben.
2. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion process).
3. Difusi zat terlarut yang teradsopsi melalui kapiler/pori dalam adsorben (pore diffusion process).
4. Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan adsorben (proses adsorpsi sebenarnya) (Reynolds, 1982).
4.4 Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi merupakan salah satu faktor penting dalam proses adsorpsi karena menunjukkan tingkat kecepatan penyerapan adsorben terhadap adsorbatnya.
Kemampuan penyerapan dapat dilihat dari laju adsorpsinya dalam hal ini pengujian terhadap laju adsorpsi yang dilakukan melalui penentuan orde reaksi secara eksperimen (Widihati, 2012). Orde reaksi yang digunakan yaitu orde nol, orde satu
56 dan orde dua. Pada penentuan orde reaksi ini ditentukan melalui pengaruh variasi suhu dan waktu. Suhu yang digunakan adalah 30; 45; 60 dan 75 oC dengan variasi waktu selama 30; 60; 90 dan 120 menit dengan konsentrasi adsorbat 30 ppm, pH 5 untuk ion logam Cu dan Cd serta pH 6 ion logam Mn. Kurva regresi linear menghubungkan antara perbandingan waktu dan konsentrasi akhir (CA). Pada orde nol sumbu y merupakan nilai konsentrasi akhir, pada orde satu nilai y merupakan nilai ln dari konsentrasi awal dibagi konsentrasi akhir dan pada orde dua nilai y merupakan nilai 1/konsentrasi akhir. Nilai perbandingan koefisien korelasi (R2) masing-masing ion logam dapat dilihat pada Tabel 2 dan grafik dapat dilihat pada Lampiran 6.
Tabel 2. Nilai rata-rata R2
Ion logam Nilai rata-rata R2
Orde nol Orde satu Orde dua
Cu 0,2734 0,1091 0,1442
Cd 0,7869 0,5928 0,5091
Mn 0,4510 0,4360 0,4205
Hasil dari perhitungan orde reaksi dengan menggunakan variasi suhu dan waktu pada ion logam Cu menunjukan bahwa ion logam Cu mengikuti alur orde nol, dimana nilai R2 yang dihasilkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai R2 orde satu dan orde dua. Nilai R2 yang dihasilkan pada orde nol, orde satu dan orde dua secara berturut-turut adalah 0,2734; 0,1090 dan 0,1442.
Ion logam Cd menghasilkan orde reaksi yang sama dengan ion logam Cu, dimana nilai rata-rata koefisien korelasi yang dihasilkan pada orde nol lebih tinggi jika dibandingkan dengan orde satu dan orde dua. Nilai R2 pada orde nol sebesar 0,7869 sedangkan pada orde satu sebesar 0,5928 dan pada orde dua sebesar 0,5091.
57 Sehingga dapat disimpulkan jika ion logam Cd mengikuti orde nol. Hal ini sejalan dengan penelitian Hajar et al (2016) menjelaskan tentang efektivitas adsorpsi logam Cd dengan hasil alur kinetika adsorpsinya mengikuti orde nol. Logam Cu pada penelitian Hidayati et al (2013) menghasilkan persamaan kinetika adsorpsi mengikuti orde satu.
Hasil perhitungan menggunakan kurva regresi linear pada ion logam Mn menunjukan bahwa nilai R2 yang dihasilkan memiliki nilai tertinggi pada orde nol.
Hal ini dapat dilihat dari masing-masing nilai R2 yang dihasilkan pada orde nol sebesar 0,4510, sedangkan jika dibandingkan dengan orde satu dan orde dua yaitu 0,4360 dan 0,4205. Berdasarkan data yang didapatkan dapat dilihat bahwa kinetika adsorpsi pada ion logam Mn juga mengikuti orde nol meskipun angka yang dihasilkan tidak menunjukan perbedaan yang cukup signifikan. Orde nol yang dihasilkan menunjukan jika besarnya laju adsorpsi tidak dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi pereaksinya. Berapapun peningkatan konsentrasi pereaksi tidak akan mempengaruhi besarnya laju adsorpsi (Hidayati et al., 2013). Pemilihan orde masing-masing kinetika adsorpsi tersebut didasarkan pada nilai koefisien korelasi tertinggi, dimana semakin tinggi nilai koefisien korelasi maka kelinieritasan kurva semakin baik (Hajar et al, 2016).
Energi aktivasi (Ea) merupakan energi yang harus dimiliki oleh molekul sehingga dapat bereaksi. Energi aktivasi yang lebih tinggi mengimplikasikan bahwa reaktan memerlukan lebih banyak energi untuk memulai reaksi daripada reaksi yang berenergi aktivasi lebih rendah (Suwaidah et al., 2014). Ea dan faktor frekuensi (A) diperoleh dengan menggunakan persamaan Arrhenius yang
58 diturunkan menjadi bentuk persamaan garis lurus (regresi linear). Kurva regresi linear dapat dilihat pada Gambar 25, 26 dan 27.
Gambar 25. Kurva regresi linear ion logam Cu
Gambar 26. Kurva regresi linear ion logam Cd
Gambar 27. Kurva regresi linear ion logam Mn
y = -555,3x + 11,662
0,0028 0,0029 0,003 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034
ln k
0,0028 0,0029 0,003 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034
ln k
0,0028 0,0029 0,003 0,0031 0,0032 0,0033 0,0034
ln k
1/T (K)
59 Interpretasi Ea memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh temperatur terhadap reaksi. Besarnya Ea diperoleh dari plot kurva ln k terhadap suhu (1/T) (Putra et al, 2014). Nilai R2 pada plot yang dihubungkan antara suhu (1/T) dengan konstanta laju (ln k) pada ion logam Cu sebesar 0,0259, pada ion logam Cd sebesar 0,5859 dan pada ion logam Mn 0,0788. Persamaan regresi linear diperoleh nilai slope dari masing-masing kurva regresi ion logam sehingga didapatkan nilai energi aktivasi sebesar 4,616 kJ/mol untuk ion logam Cu, 19,17 kJ/mol untuk ion logam Cd dan pada ion logam Mn sebesar 6,291 kJ/mol. Menurut Castellan (1983) Molekul terikat sangat lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika relatif rendah yaitu <20 kJ/mol. Ea yang rendah menunjukan jika adsorpsi ini tidak memerlukan katalis. Hasil ini sejalan dengan jenis isotherm Freundlich yang dihasilkan dimana jenis adsorpsinya adalah adsorpsi fisika.
Adsorpsi fisika umumnya terjadi pada temperatur rendah dan dengan bertambahnya temperatur jumlah adsorpsi berkurang dengan signifikan. Nilai faktor frekuensi (A) dari masing-masing orde dari ion logam Cu; Cd dan Mn sebesar 116,075 R2 = 0,2734; 3,566x10-35 R2 = 0,7869 dan 6,321x10-12 R2 = 0,4510.
4.5 Regenerasi adsorben
Regenerasi adsorben merupakan proses desorpsi atan pelepasan kembali adsorbat yang sudah diserap dan terperangkap didalam adsorben. Hal ini bertujuan untuk dapat memanfaatkan dan menggunakan kembali adsorben yang telah digunakan sehingga lebih efisien. Proses pelepasan kembali adsorbat dari adsorben dilakukan menggunakan eluen EDTA 0,01 M, HNO3 0,5 M dan H2O dengan direndam selama satu hari. Eluen EDTA memiliki kemampuan yang baik untuk
60 menarik ion logam dan HNO3 mampu merusak ikatan yang terjadi antara adsorben dan ion logam karena sifatnya yang destruktif. Adsorben yang didesorpsi mengandung kadar ion logam yang tinggi karena telah digunakan untuk menyerap ion logam. Perendaman bertujuan agar ion logam yang terdapat pada adsorben dapat terlepas sehingga larutan yang digunakan memiliki konsentrasi ion logam yang besar akibat pelepasan ion logam selama perendaman.
Adsorben yang digunakan untuk menyerap ion logam direndam menggunakan larutan EDTA 0,01 M dan diuji dengan AAS menghasilkan efisiensi desorpsi sebesar 92,78; 89,81 dan 63,45% (Tabel 3). Hal ini menunjukan jika larutan EDTA dapat melepaskan adsorbat atau ion logam berat yang terperangkap didalam adsorben sehingga adsorben dapat digunakan kembali (Gambar 28).
Gambar 28. Mekanisme desorpsi menggunakan EDTA (Day &
Underwood, 2002)
61 Hal ini dikarenakan EDTA merupakan kompleksan atau senyawa pembentuk komplek dengan ion logam sehingga dapat menarik ion logam dengan kuat. Simbol M yang terikat pada kompleks EDTA adalah ion logam. Mekanisme desorpsi ion logam oleh EDTA terjadi karena gugus ion logam yang terdesorpsi berikatan dengan gugus –O- pada EDTA membentuk senyawa kompeks. EDTA bertindak sebagai ligan seksidendat yang dapat berkoordinasi dengan sebuah ion logam melalui gugus dua nitrogen dan empat karboksilnya membentuk sebuah kompleks EDTA oktahedral (Day & Underwood, 2002).
Begitupun dengan menggunakan larutan HNO3 dapat melepaskan adsorbat meskipun tidak sebesar yang dihasilkan jika menggunakan larutan EDTA.
Konsentrasi larutan ion logam Cu, Cd dan Mn yang terperangkap pada biosorben sebesar 13,3203; 21,478 dan 4,9906 ppm. Kemudian adsorben yang digunakan diregenerasi kembali dengan larutan HNO3 0,5 M dan melepaskan ion logam Cu, Cd dan Mn dari adsorben dengan efisiensi desorpsi sebesar 95,76; 78,86 dan 50,28% (Tabel 3). Hasil analisis yang didapatkan menunjukan jika larutan HNO3
juga dapat digunakan untuk melepaskan kembali adsorbat.
Tabel 3. Regenerasi adsorben
eluen Efisiensi Desorpsi (%)
Cu Cd Mn
H2O 6,46 6,96 16,34
HNO3 0,5 M 95,76 78,86 50,28
EDTA 0,01 M 92,78 89,81 63,45
Pelepasan kembali adsorbat atau proses desorpsi juga dilakukan dengan menggunakan akuades atau H2O. Akuades tidak dapat melepaskan ion logam dari adsorben karena hasilnya tidak menunjukan penurunan yang signifikan. Menurut
62 Nurhasni (2007) hal ini disebabkan karena ion logam yang terserap oleh adsorben terikat kuat sehingga tidak mudah untuk dilepaskan kembali. Efisiensi desorpsi ion logam Cu, Cd dan Mn yang terlepas dari adsorben sebesar 6,46; 6,96 dan 16,34%.
Hal ini menunjukan jika H2O tidak dapat menarik ion logam seperti EDTA dan HNO3 dalam mendesorpsi ion logam dari adsorben.
4.6 Analisis gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
Analisis gugus fungsi adsorben dilakukan dengan uji Fourier Transform Infrared (FTIR). Uji FTIR menunjukkan keberadaan gugus fungsi dengan
merepresentasikan melalui peak besar serapan spektrum transmitan (sumbu Y) yang terbentang pada suatu angka gelombang (sumbu X). Setiap jenis gugus fungsi memiliki bentang angka gelombang tersendiri. Penentuan jenis gugus fungsi dapat ditentukan dengan lokasi peak serapan spektrum transmitan (%) yang terdapat pada suatu angka gelombang. Gugus fungsi yang diperlukan dalam adsorpsi ion logam adalah gugus fungsi hidroksil (-OH) (Mandasari, 2016).
Sampel yang dianalisis menggunakan FTIR adalah sampel yang diaktivasi secara fisika yaitu sampel sebelum adsorpsi dan sesudah adsorpsi. Hasil analisis menunjukan beberapa peak pada frekuensi (cm-1) dan intensitas tertentu. Spektrum gugus fungsi sebelum dan sesudah adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 28.
Frekuensi tertinggi yaitu 3450,65 cm-1 menunjukan adanya gugus hidroksil (–OH) intensitas sedang. Gugus –OH terletak pada rentang frekuensi 3300-3600 cm-1. Gugus –OH merupakan salah satu gugus fungsi pada selulosa yang terkandung didalam adsorben yang dapat berikatan dengan ion logam. Frekuensi 3072,60 cm-1 intensitas sedang merupakan gugus fungsi C-H stretching terletak pada daerah
63 2853-3095 cm-1. Daerah frekuensi 1714,72 cm-1 adalah gugus fungsi C=O stretching dengan intensitas tajam. Gugus karbonil ini berada pada frekuensi 1600-1820 cm-1.
Gambar 29. Spektrum gugus fungsi adsorben
Frekuensi 1604,77 cm-1 merupakan gugus alkena (C=C stretching) yang berada pada intensitas sedang-lemah yang berada pada frekuensi 1600-1680 cm-1, sedangkan pada frekuensi 1438,90 cm-1 merupakan C-H bending yang memiliki puncak yang rendah, sedangkan gugus C-O berada pada frekuensi 1259,52 cm-1. Frekuensi bilangan gelombang dan gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Gugus fungsi adsorben
Frekuensi bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
3450,65 cm-1 -OH stretching
3072,60 cm-1 C-H stretching
1714,72 cm-1 C=O stretching
1604,77 cm-1 1438,90 cm-1
C=C stretching C-H bending
1259,52 cm-1 C-O bending
594,08 cm-1 Senyawa lainnya
O-H
C=O
C-O
64 Menurut Sastrohamidjojo (1992) gugus karbonil (gugus C=O) yang berasal dari senyawa asam dan senyawa anhidrat, yang teridentifikasi di daerah 1800-1530 cm-1. Sementara, gugus -OH yang berasal dari senyawa alkohol memberikan puncak serapan yang lebar pada 4000-3200 cm-1 (Hermanto, 2009). Frekuensi pada hasil analisis serbuk kayu meranti dengan menggunakan FTIR menunjukan serapan pada daerah yang sama. Hasil analisis gugus fungsi menunjukkan adanya situs-situs aktif dalam serbuk kayu yang dapat berperan pada proses adsorpsi sebagai adsorben terutama gugus hidroksil (–OH) yang membuktikan adanya kandungan selulosa didalam sampel adsorben. Hasil dari analisis kedua adsorben hanya memiliki perbedaan panjang gelombang yang tidak terlalu signifikan.
4.7 Morfologi Permukaan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) Analisis karakteristik distribusi morfologi permukaan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM) yang bertujuan untuk menganalisis seberapa besar tingkat pori-pori yang ada pada sampel adsorben. Sampel yang dianalisis merupakan sampel yang memiliki daya serap ion logam terbaik yaitu sampel adsorben yang diaktivasi secara fisika.
Perbandingan morfologi antara sampel sebelum adsorpsi dan sesudah adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 30.
(a) (b)
Gambar 30. Permukaan adsorben aktivasi fisika sebelum adsorpsi (a) sesudah adsorpsi (b) perbesaran 5000x
65 Sampel yang diaktivasi secara fisika dianalisis morfologi permukaan sampel sebelum diadsorpsi dengan ion logam dan sampel setelah diadsorpsi dengan ion logam. sampel diidentifikasi menggunakan SEM dengan perbesaran objek 5000 kali dan 30.000 kali dapat dilihat pada Lampiran 12. Hasil dari analisis menggunakan SEM menunjukkan bentuk morfologi pada sampel sebelum diadsorpsi berongga dan bersih sedangkan pada sampel sesudah adsorpsi bentuk morfologi memadat berongga dan bergelombang. Hal ini membuktikan jika sampel yang telah digunakan untuk mengadsorpsi zat-zat ion logam menghasilkan bentuk yang semakin memadat karena ion logam yang terperangkap didalam sampel adsorben. Hasil analisis adsorben menggunakan SEM yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda (Gambar 31).
(a) (b)
Gambar 31. Morfologi permukaan pembanding sebelum adsorpsi (a) dan sesudah adsorpsi (b) (Surbakti et al., 2016)
Penelitian menggunakan serbuk kayu karet ini memiliki tekstur yang rata dan berongga dan setelah adsorpsi menjadi lebih padat terisi. Gambar tersebut juga menunjukkan adanya serbuk yang berwarna keputihan yang menyebar pada permukaan adsorben. Menurut Surbakti et al (2016) pori-pori menunjukkan bahwa beberapa makropori dihasilkan pada permukaan luar karbon selama proses aktivasi.
66 BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Serbuk gergaji kayu meranti yang diaktivasi secara fisika memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih baik dalam menyerap ion logam.
2. Kondisi optimum adsorpsi (aktivasi fisika) didapatkan pada konsentrasi adsorben 2,50% (logam Cu), 1,25% (logam Cd) dan 3,75% (logam Mn), konsentrasi adsorbat optimum 10 ppm, pH optimum Cu dan Cd pada pH 5 dan pH 6 pada Mn, waktu dan suhu adsorpsi pada 60 oC selama 60 menit.
3. Jenis isotherm adsorpsi pada penyerapan ion logam biosorben serbuk gergaji kayu meranti adalah isotherm Freundlich.
4. Orde reaksi penyerapan ion logam Cu, Cd dan Mn menggunakan serbuk gergaji kayu meranti adalah orde nol dengan persamaan kinetika yang didapatkan k = 116,075 e-4.616/RT R2 = 0,2734 (Cu), k = 3,566x10-35 e-19.17/RT R2 = 0,7869 (Cd), k = 6,321x10-12 e-6.291/RT R2 = 0,4510 (Mn).
5.2 Saran
Penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut dengan aktivasi kimia menggunakan larutan basa untuk mengetahui kemungkinan meningkatkan daya adsorpsi. Selain itu, proses regenerasi adsorben dapat ditingkatkan konsentrasi larutan EDTA dan HNO3 untuk mendapatkan nilai efisiensi desorpsi lebih tinggi dan diaplikasikan terhadap limbah yang mengandung ion logam untuk mengetahui efektivitas adsorpsi.
67
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, A. W. (1990). Physical Chemistry of Surface (Fifth Edit). New York:
John Willey and Sons.
Ahmad, A., Rafatullah, Mohd., Sulaiman, O., Ibrahim, M.H., & Siddique, B.M.
(2009). Removal of Cu (II) and Pb (II) Ions from Aqueous Solutions by Adsorption on Sawdust of Meranti Wood. Desalination, 4(2), 300-310.
Alam, Z. (2006). Biosorption of Basic Dye Using Sewage Treatment Plant Biosolid.
Desalination, 164–176.
Amri, A., Supranto, & Fakhrurozi, M. (2004). Kesetimbangan Adsorpsi Optional Campuran Biner Cd(II) dan Cr(II) dengan zeolit alam terimpregnasi 2-merkaptobenzotiazol. Jurnal Natur Indonesia, 6 (2), 111–117.
Anggriawan, A. (2015). Penyisihan Kadar Ion logam Fe Dan Mn Pada Air Gambut Dengan Pemanfaatan Geopolimer Dari Kaolin Sebagai Adsorben. Jurnal Teknik Lingkungan, 4 (3), 20-25.
ASTM E1508. (2012). Standard Guide for Quantitative Analysis by Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive Spectroscopy.
ASTM E1252-98. (2013). Standard Practice for General Techniques for Obtaining Infrared Spectra for Qualitative Analysis.
Atkins, P. W. (1997). Kimia Fisika (Alih bahasa: Dra. Irma I. K). Jakarta: Erlangga.
Bakkara, L. (2007). Karakteristik cuka kayu hasil pirolisa limbah serbuk gergajian kayu karet pada kondisi vakum. Palembang.
Bakkara, L. (2007). Karakteristik cuka kayu hasil pirolisa limbah serbuk gergajian kayu karet pada kondisi vakum. Palembang.