• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Makna Hidup Sony

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 93-117)

2.1 Deskripsi Data Partisipan II 1 Identitas Partisipan

2.1.7 Gambaran Makna Hidup Sony

Sony menjadi Ateis sebelum ia mengetahui istilah Ateis. Istilah tersebut diketahui Sony ketika sedang mengakses situs Reddit, sebuah situs berbasis user

yang memungkinkan penggunanya berdiskusi mengenai topik tertentu. Ia menemukan kata “Atheism” sebagai salah satu subtopik yang paling populer. Sony yang penasaran pun membuka laman tersebut dan membaca isi yang membahas mengenai Ateisme. Akhirnya, ia menyadari bahwa selama ini itulah istilah bagi dirinya, itulah sebutan masyarakat bagi dirinya. Dari situ, ia banyak menemukan cerita-cerita penganut Ateisme lainnya, ia pun menyadari bahwa kata tersebut berkonotasi negatif, terlebih lagi dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama. Menurut Sony, pandangan masyarakat mengenai Ateis timbul karena ketidaktahuan masyarakat mengenai sains dan karena sedari dini telah ditakuti-takuti oleh konsep neraka. Sony menganggap bahwa agama terinternalisasi dalam diri seseorang karena saat masih kecil, seseorang masih membutuhkan orang lain dalam proses pemberian informasi dan pengetahuan, termasuk mengenai agama dan kepercayaan yang dipegang oleh lingkungan tempat seseorang tersebut berada. Meski demikian, nyali Sony tidak menciut. Ia mengaku dirinya adalah tipe independen yang tidak mempersoalkan pendapat orang lain. Yang terpenting bagi dirinya ialah menjadi diri sendiri dan nyaman dengan dirinya tersebut.

“Karena itu tadi, saya merasa ga ada yang salah dan saya juga jadi Ateis itu karena pertimbangan dan pembelajaran yang lama jadi bukan instan itu. Istilahnya saya bisa mempertanggungjawabkan posisi saya gitu. “(W1S2/ma1/b.915-923).

“Aku ga pernah peduli dengan pendapat orang lain sih. Kalo apa yang benar tu benar, dari dulu sampe sekarang. Itu ga pernah jadi salah satu pertimbangan, nanti apa kata orang, nanti apa kata orangtua, nanti bakal diapain, itu ga pernah kupikirkan“ (W3S2/ma5/b.2733-2741).

Sony yang memiliki kepercayaan diri akan identitasnya pun memberitahu ibunya perihal tersebut. Pada awalnya, ibu Sony tidak menyetujui apa yang diyakini Sony. Beberapa kali mereka berdebat mengenai agama, ibunya selalu mengatakan bahwa agama mengajarkan kebaikan serta memberitahu bahwa tidak ada salahnya beragama meskipun ternyata jika nantinya Tuhan tidak ada. Sony pun menyanggah pendapat ibunya dengan mengatakan bahwa tidak masuk akal dan tidak ada bukti mengenai proses penciptaan yang diajarkan oleh agama, ia juga menjelaskan kepada ibunya kesalahan-kesalahan berpikir yang menurutnya dimiliki oleh umat beragama. Akhirnya, setelah melalui beberapa perdebatan panjang, ibunya pun menyerah dan membiarkan Sony memilih pilihannya tersebut. Ibunya tidak ingin lagi memaksa Sony bila bagi Sony, hal tersebut adalah yang terbaik untuk dirinya. Sony merasa beruntung karena akhirnya, ibunya tidak memaksa untuk tetap beragama. Menurut Sony, hal tersebut disebabkan oleh latar belakang agama ibunya yang berbeda sehingga menjadi tidak fanatik dengan agamanya dan toleran pada Sony. Salah satu hal yang menurut Sony memuluskan perdebatan dengan ibunya ialah karena ia mampu menjelaskan alasannya dengan lugas dan tanpa emosi sehingga ibunya akhirnya memahami alasan Sony. Sekarang ini, hubungan Sony dan ibunya cukup baik, tidak ada lagi perdebatan mengenai pilihan Sony dan ia pun dapat menjalani kehidupannya dengan lega dan tenang tanpa dibayangi-bayangi rasa takut akan penolakan keluarga.

“Karna mama udah liat, paling Katolik sama Islam tu dari dalam kayak mana udah liat, jadi lebih toleranlah, kalo orang yang ga pernah tahu agama lain kekmana kan nganggapnya salah. Apapun

yang dibilang nanti walopun aku belum dengar, itu salah. Kan gitu” (W3S2/i8/b.2613-2622).

“Sangat sangat beruntunglah tapi itu juga bukan berarti langsung gampang aja gitu. Kurasa salah satu faktornya yang bikin lebih mulus tu aku pande menjelaskan tanpa emosi. Banyak kasus Ateis tu coming out kan pasti debatnya tu panas kan karna kalo kita dari dulu dari kecil udah beragama, serangan terhadap agama tu kayak serangan ke diri kita sendiri karena itu udah inti dari kita jadi orang pasti panas dan itu diserang bolak-balik apalagi dengan argumen- argumen yang fallacy gitu, rasanya susah untuk tetap tenang, makanya banyak orang yang jadinya berantem dengan orangtua. Itulah yang diusir, yang ga diakui anak lagi, karna dia mengatakan aku benar kamu salah, kalo bertarung kayak gitu, siapa yang menang. Kalo aku lebih bisa menjelaskan dengan tenang karna udah banyak belajar sebelumnya makanya bisa jadi mulus kayak gini (W3S2/ma4/b.2675-2705).

Dalam kehidupan sosial dengan teman-temannya, Sony juga memberitahu mengenai dirinya yang tidak percaya pada Tuhan pada beberapa temannya. Ada beberapa teman-temannya yang tidak nyaman lagi berteman dengannnya hingga menjauhinya, ada pula yang menyindir dirinya ketika mereka bercakap-cakap. Meski demikian, Sony mengaku tidak sedih bila ada teman yang meninggalkan karena ia masih memiliki teman-teman yang mau berteman dengannya. Sony berani terbuka pada orang-orang terdekatnya karena ia yakin apa yang ia lakukan dan ia yakini adalah benar, bahwa Tuhan itu tidak ada.

Sebagai seorang Ateis, Sony menganggap bahwa kepercayaan terhadap agama adalah suatu pembodohan karena menurutnya tidak ada gunanya mempercayai sesuatu yang tidak memiliki bukti nyata. Sony menyayangkan eksistensi ajaran agama yang diterima begitu saja sedari seseorang masih berusia dini tanpa pernah memikirkan hal tersebut dengan logika. Sony menganggap

agama sangat berbahaya karena dapat membuat seseorang melakukan tindakan ekstrim yang merugikan orang lain atas nama agamanya.

“Agama itu paling utamanya mengincar anak-anak, remaja karna mereka masih belum bisa menimbang secara bagus, makanya bisa bahaya, berpotensi bahaya, makanya ada orang yang meledakkan diri hanya demi…karna dia bukan…makanya pernah kubilang kan ada pernah yang nanya kan, jadi menurutmu semua orang yang beragama itu bodoh? Makanya..enggak..enggak bodoh, orang beragama enggak bodoh, tapi masalahnya, kepercayaan itut bodoh. Kepercayaan yang dipegangnya itu bodoh, tapi kemana orang yang pintar bisa percaya dengan kepercayaan bodoh seperti itu? Karna mereka diajarai pada saat mereka masih bodoh, mereka masih anak-anak, mereka masih remaja, masih labil, dicekoki dengan itu ya jadi bisa percaya (W2S2/ba3/b.1873-1899).

Dalam menghadapi masalah hidup, Sony tidak lagi menaruh harapan pada Tuhan melalui doa. Ia mengandalkan kekuatannya sendiri dengan menghadapi masalah tersebut secara langsung, seperti misalnya ketika ia memiliki masalah dengan temannya, ia tidak berdoa untuk mendapat ketenangan, namun ia akan memikirkan solusi untuk meyelesaikan masalah tersebut. Bila masalah sudah selesai, ia tidak akan bersyukur pada Tuhan karena meyakini bahwa tidak ada campur tangan Tuhan dalam hal tersebut.

“Ya misalnya kayak..kalo kita ada salah sama orang, jadi ga ada lagi jalan lagi untuk menebusnya, ga bisa lagi kita berdoa minta ampun, kita harus ya meminta ampun minta maaf sama orangnya langsung. Kita ada salah ya sama orangnya, kalo misalnya masalahnya itu ga bisa diselesaikan lagi, udah memang buntu yaudah pasrahlah” (W3S2/ba5/b.2920-2932).

Bagi Sony, segala hal yang terjadi di dunia merupakan proses alamiah. Ia tidak lagi meyakini bahwa sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan. Menurutnya, Tuhan hanyalah sosok fiktif yang tidak ada gunanya untuk dipercayai.

“Ternyata, gini yang benar. Ternyata, gunung meletus itu memang akan meletus gimana pun ceritanya, memang ga ada campur tangan Tuhan disitu. Turun hujan waktu kita sangat kekeringan, waktu kita minta, itu ga ada hubungannya sama Tuhan karna meman dari dulu ya udah bisa dilihat dari pergerakan awan kalo memang bakal turun hujan “(W4S2/ba7/b.3455-3467).

Ketidakpercayaan pada Tuhan berdampak pada keyakinan Sony mengenai konsep after life, seperti surga-neraka ataupun reinkarnasi Baginya, hal tersebut itu tidak ada karena setelah mati, maka tubuhnya akan kembali ke alam dan jasadnya terolah secara alamiah. Hal ini disebabkan karena Sony meyakini bahwa suatu hal harus dapat dibuktikan dengan benar untuk dapat dipercayai, sementara ajaran agama, misalnya surga-neraka membuat penganutnya mengangap hal tersebut benar hanya karena mereka mempercayainya, meskipun belum ada bukti nyata mengenai keberadaan surga-neraka.

“..jadi..seolah-olah apa yang kita percayai itu yang jadi benar, kan ga kayak gitu caranya. Apa yang benar itu yang kita percayai, kan gitu harusnya. Bukan berarti kita percaya reinkarnasi maka kita akan reinkarnasi” (W2S2/ka2/b.1664-1671).

Sony yang tidak percaya terhadap after life, ingin menjalankan hidup yang hanya berlangsung sekali dengan sebaik-baiknya melalui pencapaian tujuan hidupnya. Ia mengungkapkan bahwa tujuan hidupnya ialah melakukan “revolusi” yang bermanfaat demi menyelamatkan sesama. Ia ingin melakukan hal tersebut atas dasar empati, peduli terhadap sesama. Baginya, rasa empati adalah hal yang penting karena membuat seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain sehingga dapat mendorong keinginan untuk saling membantu. Hal ini muncul dalam dirinya karena ia menganggap masyarakat sekarang ini kurang peduli

terhadap berbagai masalah seperti global warming ataupun kelaparan di berbagai negara.

“Saya merasa bahwa di dunia ini kurang banyak oang yang peduli dengan orang lain, kurang banyak orang yang peduli dengan masalah-masalah di manusia, misalnya kayak global warming yang udah dinyatakan, ga bisa diberhentikan karna kebanyakan orang ga tahu global warming apa, hanya pernah dengar aja. Ya baru kayak orag di Afrika kelaparan, hal-hal yang jauh gimana gitu. Sistem negara yang kita hidup ni, sistem sosial,membuat kita ga terlalu peduli dengan sesama. Kita tu kayak di ternak, hanya bekerja, hidup disitu-situ aja dan menghasilkan uang untuk orang yang berkepentingan. Jadi saya merasa bahwa ini hal yang benar untuk

dilakukan. Ga perlu agama untuk berempati kan” (W1S2/v3/b.982-

1011).

Rasa empati yang dimiliki Sony merupakan nilai yang diyakini dan dihayatinya. Melalui nilai tersebut, ia berusaha mewujudkan tujuannya untuk berguna bagi sesama Sony yakin bahwa dengan memiliki rasa empati, ia mampu memahami apa yang dirasakan orang lain sehingga hal tersebutlah yang mendorongnya untuk berguna bagi sesama, yang bukan didasari oleh ajaran agama.

“Hal yang paling penting…mungkin…hal yang paling penting itu mungkin empati, yang kita bisa mengerti orang lain, dari situ kita bisa peduli dengan orang lain.” (W1S2/v2/b.741-747).

“Karena itu yang membuat kita bisa berbuat baik. Kita apa namanya…gimana ya..empati tu kan kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dengan itu..itu sumbernya kita bisa tahu mana

yang benar dan mana yang buruk” (W3S2/v5/b.2792-2797).

“…Sistem negara yang kita hidup ni, sistem sosial,membuat kita ga terlalu peduli dengan sesama. Kita tu kayak di ternak, hanya bekerja, hidup disitu-situ aja dan menghasilkan uang untuk orang yang berkepentingan. Jadi saya merasa bahwa ini hal yang benar untuk dilakukan. Ga perlu agama untuk berempati kan” (W1S2/v4/b.998-1010).

Bagi Sony, empati yang dimilikinya menjadi bukti bahwa ia memiliki moral, meskipun tidak mempercayai ajaran agama. Menurutnya, moral tidak berhubungan dengan agama karena telah ada sejak dahulu kala, bahkan sebelum adanya konsep agama. Sony sendiri menganut paham moral utilitarianisme yang tidak menilai suatu tindakan tabu atau tidak berdasarkan tradisi tertentu, melainkan seberapa besar dampak tindakan tersebut terhadap kesejahteraan dirinya maupun kelompok.

“Moral telah dimiliki manusia sejak spesies manusia menjadi makhluk sosial. Agama tidak memiliki monopoli terhadap moral. Moral ditemukan pada tiap society baik yang beragama maupun tidak karena sumber moral bukanlah agama, melainkan manusia itu sendiri. Kita bermoral karena kita memiliki empati dan akal. Penelitian terbaru menunjukkan moral adalah hasil dari evolusi” (W4S2/v6/b.4490-4502).

“..Atau mereka adalah psikopat yang kalau tidak karena dihentikan agama, maka dia akan membunuh, memperkosa, mencuri, dan berbuat semaunya. Dan dipikirnya semua orang sama dengan dia , itu namanya projection fallacy.Wah, maaf ya, tidak semua orang perlu dikekang untuk tidak berbuat imoral. Bagi saya empati, rasa bersalah dan akal sehat sudah cukup untuk membuat saya tidak melanggar hak orang lain”. (W4S2/v7/b.4514-4527).

Dalam mencapai keinginan untuk membantu sesama, salah satu hal yang ingin Sony lakukan ialah memiliki pekerjaan yang memungkinkan dirinya untuk tetap berkecimpung dalam dunia keilmuwan, khususnya Psikologi karena ia ingin membagikan pengetahuan yang dimilikinya kepada generasi penerus sambil mendapat dana untuk mengembangkan riset-riset di dunia Psikologi. Ketika ia berhasil menjadi tongkat estafet ilmu, baginya itu merupakan salah satu cara untuk menjadi berguna bagi sesama. Profesi yang mendekati impiannya tersebut

adalah menjadi dosen sehingga itulah yang menjadi idamannya saat ini. Sony memang menyukai bidang Psikologi karena baginya sangat menarik untuk mengetahui bagaimana pikiran manusia bisa dipengaruhi oleh lingkungannya. Meski demikian, Sony merasa profesi dosen kurang kompetitif, ia juga menginginkan profesi yang memungkinkan dirinya untuk berkompetisi dan mencapai kemenangan karena ia mengaku bahwa dirinyaa adalah orang yang memiliki keinginan kompetitif yang tinggi dan selalu menginginkan kemenangan. Untuk sekarang ini, profesi dosenlah yang menurutnya memungkinkan ia untuk tetap berada dalam bidang Psikologi.

“…Aku rasa yang paling kuingin itu aku pengen meneruskan ilmu, maksudnya kayak menyambung eee..estafet ilmu pengetahuan kita. Ilmu pengetahuan kita kan hasil akumulasi dari usaha nenek mpyangkita kan gitu. Jadi udah diketahui sampe sini abistu dioper obornya, dilanjutkan lagi, kan gitu. Aku pengen itu, aku pengen menerukan obor itu, mengembangkan ilmu, menemukan ilmu baru di bidang Psikologi ini” (W3S2/th2/b.2893-2906).

“...apa namanya..meneliti, membuat teori. Jadi dosen itu bisa kita sekalian melakukan itu sekalian dibayar, tapi masih ada satu apasih yang kurang jadi dosen itu ga ada sisi kompetitifnya, kalo aku masih pengen..masih mikir juga sebenarnya, belum fix kali tapi itu udah yang jelasnya sekarang, mau nyari pekerjaan yang kayak gitu, yang dia bisa perlu kedalaman ilmu juga tapi kita bisa menang disitu. Aku ada kebutuhan untuk kemenangan itu..apa namanya..kompetitif.” (W3S2/th3/b.2979-2996).

Salah satu “revolusi” yang diinginkan Sony adalah agar masyarakat memiliki pengetahuan mengenai berbagai manfaat ganja yang selama ini menurutnyaa telah dipropaganda oleh pemerintah. Sony berkata bahwa sebenarnya ganja dapat berfungsi untuk mengobati penyakit kanker, asma, flu, bahkan dapat berfungsi sebagai bahan baku kertas sehingga dapat mengurangi

pemanasan global karena tidak menebangi pohon. Selain itu, Sony mengatakan bahwa sebenarnya biji ganja juga dapat menjadi bahan pangan karena memiliki protein yang tinggi.

Memiliki tujuan hidup, membuat Sony melakukan usaha untuk mewujudkannya. Saat ini ia berusaha mengembangkan pribadinya agar menjadi lebih baik lagi dengan berusaha belajar sebaik mungkin untuk mendapat pendidikan dan karir yang bagus. Sony berusaha memperdalam keahlian komunikasinya untuk menunjang keinginannya menjadi dosen dengan mengikuti berbagai lomba debat. Usahanya tidak sia-sia karena ia berhasil menjuarai sebuah lomba debat mewakili kampusnya. Selain itu, Sony saat ini juga telah mengiuti gerakan pelegalan ganja untuk mendalami kebenaran mengenai ganja.

“Usahanya…ya kalo sekarang sebenarnya membangun pribadi dulu, belum bisa melakukan yang besar kalo kita belum jadi apa- apa kan tapi kalo usaha yang mungkin bergerak ke arah situ misalnya saya ikut gerakan untuk melegalkan ganja” (W1S2/rth1/b.642-651).

Banyak orang mungkin berpendapat bahwa membantu sesama dapat dilakukan melalui charity (amal), namun Sony tidak setuju terhadap hal tersebut, terlebih lagi pada orang yag melakukan charity untuk menimbun pahala agar masuk dalam surga. Baginya, charity tidak dapat menyelesaikan masalah yang dialami orang yang dibantu tersebut. Charity memang meringankan beban, namun tidak menyelesaikan akar permasalahannya, demikian menurut Sony. Menurut Sony, charity digunakan agar pihak yang dibantu merasa penderitaannya terangkat sehingga tidak akan melakukan revolusi. Sony menganggap bahwa pemberian melalui charity bagaikan merendam katak dalam air hangat, katak

tersebut merasa nyaman hingga akhirnya saat suhu air meningkat, ia sudah terlanjur lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam analogi tersebut, Sony menggambarkan charity sebagai air hangat, hal tersebut juga berlaku pada agama.

“…Kalo airnya langsung panas, dia langsung lompat, ya kan? Jadi hangat-hangat. Dia belum lompat, jadi begitu dia sadar ini udah terlalu panas, dia udah lemas gitu kan. Jadi kayak gitulah istilahnya charity dan agama itu, meringankan beban dan memuluskan penindasan ekonomi yang ada..jadi dia ga terlalu sakit, bisa terus menjalani hidup orang miskin dan orang menderita itu. Dia meringankan beban mereka itu supaya jangan sampe mereka melakaukan revolusi. Makanya agama itu dibilang salah satu opium masyarakat untuk sebagai alat oleh penguasa..ada yang berfilosofi kayak gitu dan aku salah satu penganutnya, bukan karena Ateisme dan lain-lain” (W3S2/ba4/b.2866-2888).

Sony yang sedang berusaha mengembangkan dirinya sebaik mungkin serta mengikuti gerakan pelegalan ganja merupakan bukti bahwa ia berkomitmen pada tujuan hidupnya agar hal tersebut biar ia capai dalam hidupnya. Demi mewujudkan tujuan hidup untuk menyelamatkan manusia, ia tentu tidak bisa melakukannya sendiri karena ia merasa bahwa ia juga membutuhkan bantuan sesama individu Ateis. Oleh karena itu, Sony ingin sesama Ateis lainnya untuk berani membuka jati diri mereka agar masyarakat sadar bahwa memang ada sudut pandang lain yang berbeda dari yang mereka miliki selama ini. Selain itu, Sony yakin bahwa sebenarnya jumlah massa Ateis cukup banyak sehingga sangat mungkin bila mereka dijadikan kekuatan politik demi tercapainya perubahan yang merubah mindset bahwa sesuatu tidak harus dilakukan karena berlandaskan agama. Ia juga mulai mempromosikan sains, menjelaskan apa itu Ateis, fenomena sains dan sebagainya kepada keluarga, teman-temannya hingga dalam forum internet yang membahas seputar masalah tersebut.

“Ateis ini sebenarnya jumlahnya cukup banyak, yang diam-diam ini banyak. Jadi kalo seandainya ini digerakkan, dibuat sebagai suatu kekuatan politik, saya rasa bisa membuat perubahan yang nyata, misalnya kita bisa…perubahan kayak kalo kita di negara ini kan dalam kekuatan hukum apa namanya..membuat tantanganlah untuk sistem yang ada sekarang, gunanya untuk orang berpikir kembali, mempertimbangkan kembali bahwa ternyata ada pandangan yang berlawanan dengan yang selama ini“ (W2S2/ha1/b.1268-1290).

“Ya berjuang terus untuk mengedukasi masyarakat dengan cara menjelaskan kepada masyarakat dengan cara yang gampang dimengerti tentang isu-isu sosial, agama, baru apa Ateis itu sebenarnya karna kebanyakan kan stigma buruk tentang Ateis itu karna mereka salah paham, ga mengenal apa itu Ateis” (W2S2/ka1/b.1873-1899).

Sony menyadari bahwa hidup hanyalah sekali sehingga ia sangat menghargai hidupnya, baik dalam keadaan suka maupun duka. Baginya, kebahagiaan dapat tercapai ketika kebutuhan dasar terpenuhi, seperti tempat tinggal dan makanan serta dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya maupun ketika ia dapat melakukan hal yang ia sukai dalam hidupnya. Saat ini, hal-hal tersebut sudah ia miliki sehingga ia merasa cukup bahagia. Sony juga mengaku bahagia dengan kehidupannya kini karena ia memiliki keluarga dan beberapa teman yang menghomati identitasnya menjadi Ateis. Ia mencoba membuat hidupnya bermakna dengan menjalani hidupnya apa adanya sambil berusaha untuk mewujudkan tujuan hidupnya.

“Jalani aja hari ke hari. Yang buat bermakna kan kita bisa mencapai impian kita yang buat makna hidup kita kan kita melalui impian kita, apa yang kita capai. Ya aku sama. Impianku ya yang udah aku ceritakan hari tu-lah trus menyelamatan bumi dari manusia sendiri

dengan salah satunya…melawan propaganda ganja trus

mempromosikan sains jadi sains ga keliatan serem, susah” (W4S2/mha4/b.1873-1899).

Sony mengaku kehidupannya sudah terasa bermakna meski tujuan-tujuan besar dalam hidupnya, belum tercapai secara penuh, namun ia merasa bahagia dengan apa yang telah ia miliki kini karena ia menghargai hidup yang hanya sekali. Bahkan, menurutnya rasa sakit atau duka dalam hidup juga merupakan sesuatu yang menyenangkan karena membuat ia menyadari bahwa ia juga memiliki kelemahan dan itu lebih baik daripada tidak pernah merasakan kesedihan. Sony menganalogikan hal ini sebagai kryptonite yang dimiliki oleh Superman. Hal ini membuktikan bahwa Sony mulai memiliki kehidupan yang bermakna karena ia merasa bahagia dengan tidak lagi terikat pada ajaran agama serta lebih menikmati hidup karena menghargai bahwa hidup hanyalah berlangsung sekali tanpa perlu menjalaninya demi masuk ke dalam surga, meskipun impian besar dalam hidupnya masih berada dalam proses pencapaian.

“…Kayak superman, tahu cerita superman kan? Ada cerita waktu dia kena batu kryptonite, dia kan ga tahu kalo itu kelemahan dia. Tiba-tiba dia jadi bisa terluka dan dia senang bukan main tentang itu. Akhirnya dia bisa terluka. Artinya, kalo kita ga pernah

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 93-117)