• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kebijakan Penutupan Tambang

4.1.1. Perkembangan Kebijakan Pertambangan dan Penutupan Tambang Di Indonesia

Perkembangan kebijakan atau regulasi di sektor pertambangan di Indonesia sangat lambat, termasuk juga regulasi terkait dengan penutupan tambang. Peraturan perundang-undangan utama di bidang pertambangan adalah UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto, Jendral TNI dan Sekretaris Kabinet Ampera Sudharmono S.H., Brig.Jen. TNI. Setelah 42 tahun kemudian, UU ini diperbarui dengan dikeluarkannya UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pada tanggal 12 Januari 2009. Sementara itu, Indonesia baru mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penutupan tambang pada tahun 2008 atau setelah 63 tahun merdeka, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Melihat perkembangan ini, sungguh sangat ironis, Indonesia yang kaya sumberdaya mineral dan batubara tidak mampu mengelola SDA ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanah UUD 1945. Kekosongan kebijakan dan regulasi tentang penutupan tambang inilah yang menjadi salah satu penyebab juga menurunnya investasi pertambangan di Indonesia.

Walaupun demikian, berikut ini secara sistematik adalah regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan pertambangan dan pengelolaan lingkungan di daerah pertambangan:

a. UUD 45 yang telah diamandemen pada perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, pada pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Mengacu kepada pasal itu, jelas bahwa kegiatan penutupan tambang yang juga merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan pertambangan seharusnya diorientasikan menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b. UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada pasal 30, menyebutkan bahwa “Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Pertambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya”. UU ini telah diperbaharui dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Terkait dengan PB, di

dalam UU ini dikatakan bahwa berazaskan “berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan” (BAB II, Pasal 2, Butir d) yang diartikan

sebagai “asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi

,lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan

masa mendatang. Namun kegiatan penutupan tambang sama sekali

tidak diatur secara jelas dan berkelanjutan. Pada pasal 99 – 101, hanya dikatakan bahwa para pemegang izin pertambangan perlu melakukan reklamasi dan pasca tambang dengan menyediakan dana jaminan reklamasi dan penutupan tambang. Dengan demikian, penelitian ini dihasilkan formulasi bagaimana mengintegrasikan ketiga dimensi tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat saat ini dan pada SaPeT serta setelahnya.

c. UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 3 butir a, b, dan c disebutkan bahwa ”Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan

ketahanan nasional dengan: terwujudnya keharmonisan antara

lingkungan alam dan lingkungan buatan; terwujudnya keterpaduan dalam keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang”. Dengan demikian kegiatan penutupan tambang juga perlu dirancang juga untuk mencapai tujuan Penataan Ruang, khususnya mewujudkan ruang wilayah nasional yang berkelanjutan, perlindungan fungsi ruang, dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.

d. UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal 4 butir a, b, c, d, dan e. Pada butir c disebutkan bahwa “ sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan”. Dengan demikian sebuah penutupan tambang juga harus bertujuan sebagaimana disebutkan pada butir c itu.

e. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada BAB VII tentang Perencanaan Pembangunan Daerah, di pasal 150 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa “dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah disusn perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam

sistem perencanaan pembangunan nasional”; “ perencanaan

pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pemerintah propinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Terkait dengan regulasi ini, pemerintah Propinsi Papua dan Kabupaten Mimika memegang peranan penting dalam perencanaan penutupan tambang PTFI kelak. Peranan dan kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota secara jelas diatur juga dalam UU No. 4 tahun 2009.

f. UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada pasal 14 butir c disebutkan bahwa “penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah”.

g. KepMen PE No 1211.k/008/M.PE/1995, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum. Pada BAB IV tentang Pasca Tambang. Pada pasal Pasal 26 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa “ pengusaha pertambangan wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Dirjen mengenai rencana penutupan tambang selambatnya 1 tahun sebelum operasi berakhir; “kewajiban pada ayat 1 berlaku juga bagi rencana pengembalian seluruh/ sebagian wilayah usaha pertambangan tahap eksploitasi/operasi produksi”. Pada pasal 27 disebutkan bahwa “ dalam laporan rencana penutupan tambang tersebut pada pasal 26 ayat 1, juga memuat tentang adanya dampak lingkungan yang perlu dikelola pada

pasca tambang dan pelaksanaan pengelolaan dampak lingkungan yang dimaksud. Sedangkan pada pasal 28 menyebutkan bahwa “batas waktu tanggung jawab pengusaha pertambangan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada pasca tambang ditetapkan oleh Dirjen”. Dalam KepMen ini sangatlah jelas bahwa penutupan tambang hanya diartikan dan dilaksanakan secara sempit, hanya bagaimana mengelola dampak lingkungan pada saat pasca tambang. Keberlanjutan sosial dan ekonomi secara lebih rinci tidak “diharuskan” untuk dimasukkan dalam sebuah RPT. Walaupun pada akhirnya pemerintah melalui Peraturan Mentri ESDM mengeluarkan Peraturan Mentri Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan tambang. Namun belum dapat dijadikan acuan yang jelas dan terukur dalam melakukan penutupan tambang yang berkelanjutan.

h. PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan. Pada pasal 1 dan 2 disebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup seperti pengubahan bentuk lahan dan bentang alam wajib memiliki AMDAL. Sehingga rencana penutupan tambang juga telah dimasukkan dalam pembuatan AMDAL sebelum kegiatan/usaha itu dimulai.

i. PP No 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 tahun 69. Pasal 46 ayat 4 disebutkan bahwa “ sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum”.

j. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2006 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Pasal-pasal yang mengatur penutupan tambang telah secara detil mengatur tata cara penutupan, jaminan biaya penutupan, pelaporan dan lainnya. Namun tidak ada pasal yang memberikan standar dan kriteria tentang tata cara untuk menciptakan keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi pada saat penutupan dan pasca tambang. Selain itu, sebelum peraturan ini diberlakukan penutupan tambang di Indonesia hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan PPK dalam menetapkan standar-standar,

indikator kinerja dan kriteria-kriteria dan diidentifikasikan bahwa pemerintah lemah dalam memberikan instruksi dan pedoman-pedoman mengenai penutupan tambang dan butir-butir kriteria akhir yang menjadi tanggung jawab perusahaan. Seperti yang terjadi pada penutupan tambang Mt. Muro tahun 2002, Gosowong dan Kelian tahun 2004 (Cesare dan Maxwell, 2003). Juga saat penutupan tambang Kelian Equatorial Mining (KEM) yang selesai tahun 2004 dilaksanakan hanya berdasarkan standar-standar, indikator kinerja, dan kriteria-kriteria yang dihasilkan dari kesepakatan semua PPK disana melalui pembentukan Komite Pengarah Penutupan Tambang (Kunanayagam, 2006)

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat secara nyata bahwa telah terjadi kekosongan kebijakan penutupan tambang di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang. Apabila semua regulasi pertambangan terkait dengan penutupan tambang seperti seperti yang diatur pada: (a) UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan pada pasal 30 yang telah diperbarui dengan UU No 4 Tahun 2009, (b) Kep Men No. 1211.k/008/M.PE/1995 tentang Penanggulangan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum pada Bab IV- Pasca Tambang, (c) PP 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32 tahun 1969, dan (d) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang di tentang Pelaksanaan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dijadikan dasar kebijakan dalam melakukan kegiatan penutupan tambang belumlah memadai untuk mewujudkan penutupan tambang berkelanjutan. Karena keberlanjutan manfaat-manfaat sosial-ekonomi dan perlindungan lingkungan belum diatur secara jelas dan rinci. Regulasi tersebut hanyalah mengatur bagaimana melaksanakan penutupan tambang secara fisik saja.

Dengan demikian dampaknya keberlanjutan yang diharapkan sesuai azas UU No 4 Tahun 2009 tidak akan dapat diwujudkan. Absennya hukum tentang penutupan tambang, berarti absennya tangggung jawab, kriteria dan standar untuk kegiatan rehabilitasi yang mesti dilaksanakan dan dikelola oleh perusahaan, pemerintah, dan masyarakat (Hoskin, 2002). Terkait dengan pembuatan kerangka hukum pada sektor pertambangan, Batista (2000) mengatakan bahwa pertambangan dalam kontek pembangunan berkelanjutan

(PB) harus memadukan kriteria keberlanjutan kedalam seluruh fase dari proyek

pertambangan mulai dari eksplorasi sampai pada pengembangan,

pengoperasian, dan ekstraksi, penutupan dan setelah tambang berakhir. Pedoman-pedoman Berlin (the Berlin Guidelines, 1999), menyatakan bahwa jika PB adalah didefinisikan sebagai keterpaduan dari pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, kemudian sebuah projek pertambangan yang dibangun atau dikembangkan, dioperasikan dan ditutup dalam kerangka yang dapat diterima dari sisi lingkungan hidup dan sosial maka dapat dinilai bahwa proyek itu telah berkontribusi kepada PB. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) bahwa absennya kebijakan penutupan tambang yang berorientasi pada PB di Indonesia dan belum selesainya RUU Mineral dan Batu Bara (MINERBA) sebagai payung hukum kegiatan pertambangan di Indonesia menjadi penyebab utama rendahnya tingkat eksplorasi pertambangan di Indonesia. Hal ini dikemukkan sebelum disahkan UU No. 4 Tahun 2009 itu. Sementara itu, PWC (2006) mengemukakan bahwa sampai Bulan Desember 2005, Indonesia tidak ada kemajuan baru yang signifikan terkait dengan prioritas memperbaiki kondisi investasi yang dicanangkan pemerintah tahun 2004, khususnya dalam hal menjamin keadilan dalam investasi kepemilikan asing dan ketentuan-ketentuan penutupan tambang.

Dengan demikian, masalah-masalah lemahnya kebijakan atau regulasi itulah yang menjadi penyebab rendahnya investasi di sektor pertambangan dibandingkan dengan potensi cadangan tambang yang potensial di Indonesia, yang tertera pada Gambar 10. Bahkan belum memadainya kebijakan penutupan tambang, telah menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah sosial dan ekonomi bahkan politik pada saat penutupan tambang PTNMR di Sulawesi Utara pada tahun 2004. Masyarakat disana melakukan protes karena kesehatan mereka terganggu dan diisukan seperti penyakit Minamata. Bahkan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH)memperkarakan PTNMR ke pengadilan, walau akhirnya KLH kalah dalam sidang gugatannya. Walaupun akhirnya Peraturan Menteri ESDM No 18 Tahun 2008 dan UU No 4 Tahun 2009 telah disyahkan namun belum dapat digunakan dalam menuju penutupan tambang yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis patok duga (benchmarking) dengan menggunakan negara target patok duga Australia dan

Kanada untuk mengidentifikasikan atau menentukan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang di kedua negara tersebut yang dikembangkan dan merupakan praktek-praktek terbaik penutupan tambang yang perlu diterapkan di Indonesia menuju keberlanjutan setelah tambang berakhir dioperasikan.

Gambar 10. Perbandingan potensi kebijakan dan potensi mineral Indonesia di antara negara-negara lain (Basri, 2007)

4.1.2. Kebijakan-Kebijakan Penutupan Tambang di Negara Lain

Desakan global agar kegiatan pertambangan menerapkan prinsip-prinsip PB selama siklus hidup tambangnya makin gencar. Lembaga-lembaga internasional yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pertambangan, lingkungan hidup, dan pembangunan seperti World Bank, UNEP, IISD, ICMM, MAC, dan lainnya, juga berpegang pada prinsip-prinsip PB dan mendesak perusahaan-perusahaan dunia untuk memasukkannya dalam kebijakan operasional perusahaan. Sebagai contoh IFC (International Finance Coorporation) dari World Bank Group, pada tanggal 30 April 2006 telah mengesahkan sebuah dokumen yang disebut sebagai “Performance Standards on Social and Environmental Sustainability” yang berisi delapan standar kinerja,

antara lain: sistem pengelolaan dan penilaian sosial dan lingkungan hidup, dan konservasi keragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Juga, GRI (2006) yang didukung oleh LSM besar dan berpengaruh, seperti Sierra Club, Friends of the Earth, WWF (World Wildlife Fund) dan perusahaan besar mengeluarkan ‘Sustainability Reporting Guidance’ yang memuat bagaimana perusahaan menghasilkan sebuah laporan yang menggambarkan kesuksesan dalam mencapai keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.

Pengaruhnya adalah pemerintah dari banyak negara penghasil tambang dan perusahaan-perusahaan tambang besar dunia menanggapinya secara positif dan mulai penerapan PB pada perumusan kebijakan pertambangan dan kegiatan bisnis mereka. Pemerintahan seperti Australia, Kanada, Afrika Selatan, Amerika Latin, Amerika Serikat dan sebagian negara-negara Eropa telah mengembangkan PB pada sektor pertambangannya. Misalnya, Australia pada tahun 1991 melalui Kelompok Kerja ‘Ecologically Sustainable Development’ merumuskan PB pada sektor pertambangannya seperti:

“... memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan bahan mentah mineral untuk masyarakat (society) terpenuhi, tanpa mengorbankan kemampuan dari masyarakat yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau dari lingkungan alam untuk berkelanjutan secara tidak terbatas pelayanan kualitas lingkungan hidup (seperti sistem iklim), keragaman biologi, dan integritas ekologis”

Begitu juga Placer Dome Inc., perusahaan tambang Kanada ini pada tahun 1998 telah mengadopsi kebijakan berkelanjutan pada kegiatan pertambangannya (McAllister, 1999), dengan rumusan sebagai berikut:

“... keberlanjutan berarti eksploirasi, desain, kontruksi, operasi, dan penutupan tambang dalam rangka menghormati dan menyikapi kebutuhan-kebutuhan sosial, lingkungan hidup dan ekonomi dari generasi saat ini dan mengantisipasi kebutuhan dari generasi yang akan datang di masyarakat dan negara-negara dimana kami berkerja. Kami berkomitmen untuk mendemontrasikan bahwa melalui kebijakan ini kami dapat berkontribusi kepada perbaikan-perbaikan jangka panjang pada kualitas hidup dan bertindak sebagai pelayan untuk lingkungan”.

ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) menyatakan bahwa pelingkupan instrumen-instrumen kebijakan dan hukum dapat menjadi alat-alat untuk meningkatkan kontribusi dari sektor pertambangan kepada PB. Keberlanjutan dalam sektor mineral ini termasuk promosi kegiatan-kegiatan industri pertambangan, penciptaan kondisi-kondisi yang kondusif untuk

pertumbuhan industri pertambangan dan keberlanjutan secara jangka panjang, konversi dari sumberdaya tidak terbarukan dan penghabisan-penghabisan modal sumberdaya alam kedalam keberlanjutan modal manusia, sosial dan modal keuangan. Penutupan tambang harus menjadi bagian yang terpadu dengan siklus hidup penambangan secara keseluruhan dan penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) pada sebuah kebijakan dan perangkat hukum pertambangan telah dilakukan oleh negara-negara tambang di Afrika Selatan (ICMM, 2006).

Dengan demikian jelas bahwa kebijakan dan hukum tentang penutupan tambang yang tepat akan sangat berkontribusi bagi terlaksananya PB dari sektor ini. Bila dikaitkan dari jumlah investasi (pengeluaran eksplorasi), Afrika pada tahun 2004 jumlah pengeluaran eksplorasinya adalah 16,1 % dari total pengeluaran eksplorasi dunia. Indonesia kurang dari 1,5 % dan selengkapnya untuk negara-negara lain seperti tertera pada Gambar 3 di Bab Tinjauan Pustaka. Beberapa negara yang telah menerapkan PB pada kebijakan dan kerangka hukum pada sektor pertambangannya seperti tampak pada Gambar 11. Afrika Selatan adalah negara yang paling tinggi dalam menerapkan kebijakan, kerangka hukum, dan regulasi lain yang relevan untuk mencapai PB dibandingkan empat negara lainnya yang disurvei, yakni: Zimbabwe, Tanzania, Namibia, dan Botswana.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh ketiga lembaga itu juga menyebutkan bahwa kerangka kebijakan dan hukum supaya bekerja mendukung PB, perlu juga dilengkapi oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan penyediaan-penyediaan: persyaratan dari penyediaan pelayanan- pelayanan, keadilan lapangan pekerjaan, pelatihan dan pengembangan keterampilan-keterampilan, dan terkait dengan beberapa instrumen yang tercipta untuk mempromosikan pertumbuhan sosial dan ekonomi pada tingkat lokal dan regional. Sebagai contoh, Afrika Selatan dalam peraturan pertambangannya yang dibuat tahun 2002, yakni: ‘Mining and Petroleum Resources Development Act” mengakui kebutuhan pemerintah:

“Untuk mempromosikan pembangunan daerah dan pedesaan dan peningkatan sosial dari masyarakat yang terkena dampak dari tambang” Tujuan utama adalah memastikan bahwa para pemegang hak pertambangan dan produksi berkontribusi pada pembangunan sosial- ekonomi di daerah dimana mereka beroperasi

Persentase Pencakupan

Kebijakan Pertambangan (%)

Hukum Pertambangan (%)

Regulasi Lain Terkait (%)

Gambar 11. Tingkat penerapan PB pada kerangka hukum dan kebijakansektor pertambangan di beberapa negara (ESMAP et al., 2005).

Tanpa sebuah kerangka hukum yang baik untuk penutupan tambang, perusahaan tambang tidak mengetahui kewajiban-kewajiban dan kesanggupan tanggung jawab mereka yang akan datang, dan masyarakat tidak mengetahui hak atau tanggung jawab-tanggung jawabnya. Kekosongan (absence) sebuah kerangka hukum yang komprehensif untuk penutupan tambang dapat juga menyebabkan ketidakefisienan dan kebingungan diantara menteri-menteri dan bagian-bagian pemerintah di tingkat pusat, regional dan daerah (World Bank dan IFC, 2002).

Terkait adanya perbedaan pendekatan penutupan tambang yang dilaksanakan oleh negara maju dan berkembang pada saat ini. Kunanayagam (2006) mengatakan bahwa di negara maju penutupan dilakukan sesuai pendekatan penutupan tambang yang diatur dalam regulasi yang berlaku, sedangkan di negara berkembang regulasi penutupan tambang belum ada. Sebagai contoh di Indonesia, Brasil, Afrika Selatan dan Namibia regulasi tentang penutupan tambang hanya sebatas tahap embrio dan persyaratan dari pemerintah harus kadangkala dinegosiasikan sebelum menyelesaikan rencana penutupan tambang). Singam et al. (2006) juga menginformasikan bahwa sampai saat ini di India tidak pedoman penutupan tambang yang ilmiah.

Bentuk pemerintahan juga akan mempengaruhi bagaimana seharusnya sebuah kebijakan, termasuk regulasi dalam penutupan tambang itu disusun. Untuk itu World Bank dan IFC (2002) menyatakan bahwa pada negara-negara dengan sistem federal, seperti Amerika, Kanada, Australia, Brasil, dan Argentina, atau pada negara-negara yang mempertimbangkan kewenangan desentralisasi, seperti Indonesia, regim regulasi perlu untuk menetapkan secara jelas batas-batas antara kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Hal ini diperlukan untuk menentukan garis kewenangan dan tanggungjawab melakukan pemantauan pada saat tahap penutupan selesai.

AGDITR (2006) menyatakan bahwa sebuah penutupan atau penyelesaian tambang akan menetapkan aspirasi dan arahan tingkat tinggi yang diperlukan oleh perusahaan untuk penutupan tambang. Biasanya, kebijakan ini memuat tentang proses penutupan, keterlibatan PPK (stakeholders), minimalisasi resiko terhadap lingkungan, memenuhi persyaratan peraturan, aspirasi sosial dan masyarakat, serta upaya penyempurnaan yang berkesinambungan.

World Bank dan IFC (2002) juga merumuskan bahwa sebuah kerangka hukum dan peraturan untuk penutupan tambang harus memenuhi:

 Menjelaskan isu-isu terkait dengan rencana penutupan sebagai bagian dari proses persetujuan.

 Menentukan prosedur-prosedur penutupan tambang, persyaratan dan standar-standar lingkungan hidup, dan tanggung jawab dan kewenangan institusi, termasuk:

o Persyaratan-persyaratan dan prosedur untuk memastikan

konsultasi yang efektif dan bermanfaat terselenggara dengan masyarakat setempat sebagai bagian dari persiapan dan perencanaan penutupan tambang.

o Tanggung jawab pada pemantauan dan pengelolaan yang

sedang berlangsung jika kewajiban-kewajiban lingkungan diberlakukan.

 Mensyaratkan memperbaharui secara teratur rencana penutupan

tambang selama masa hidup tambang

 Mengalokasikan tanggung jawab-tanggung jawab untuk menyediakan keuangan yang cukup dalam menutupi biaya-biaya penutupan.

Bagaimana Indonesia? Sebenarnya di Indonesia telah diberlakukan perlunya menyusun rencana penutupan tambang pada saat membuat AMDAL.

Ketentuan rinci seperti di atas di Indonesia telah dirumuskan sebelumnya seperti yang dilaporkan oleh Cesare dan Maxwell (2003) bahwa telah dibentuk konsorsium dari perusahaan tambang dalam bentuk Komite Pengendali Penutupan Tambang Industri (the Industry Mine Closure Steering Committee) yang bermitra dengan Departemen Sumber Daya Energi dan Mineral untuk menyusun kebijakan tentang tambang. Tim ini berhasil menyusun sebuah pedoman penutupan tambang yang lebih rinci dengan memfokuskan pada aspek-aspek kunci: keterlibatan PPK (stakeholders), perencanaan, penyediaan keuangan, pelaksanaan, standar-standar kriteria rancangan penutupan dan penyerahan (relinquishment). Dalam perkembangannya pedoman tersebut sampai pada bulan Mei 2003 baru berbentuk usulan konsep dengan yang diberi nama “Reklamasi Dan Penutupan Tambang”, namun hingga tahun 2007 tidak kunjung disahkan dan diberlakukan. Akibat dari kekosongan regulasi ini, kasus seperti saat penutupan tambang Kelian Equatorial Mining (KEM) pada tahun 2004 seharusnya tidak terjadi. Karena ketidak adaan regulasi penutupan

tambang, KEM membentuk Komite Pengarah Penutupan Tambang (Mine

Closure Steering Committee) yang terdiri dari unsur pemerintah pusat, provinsi

dan daerah, masyarakat setempat, dan wakil perusahaan. Komite inilah yang menetapkan standar-standar, indikator kinerja, dan kriteria yang diperlukan untuk pelaksanaan penutupan tambang perusahaan itu (Kunanayagam, 2006).

Di negara seperti Australia, semua negara bagian dan daerah (Territory)

mempunyai kebijakan penutupan tambang dimana rencana-rencana

pembangunan tempat operasi-pasca–rehabilitasi tambang dari setiap

perusahaan tambang diperlukan persetujuan dari lembaga pertambangan yang relevan (World Bank dan IFC 2002). Australia juga memberlakukan bahwa isu- isu penutupan tambang adalah sebuah pertimbangan penting saat melakukan penilaian terhadap usulan penambangan. Di Indonesia kegiatan penutupan tambang harus dimasukkan dalam dokumen AMDAL sebagai syarat