• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.12. Penutupan Tambang dan Pembangunan Berkelanjutan

PB dalam kontek ekonomi global memerlukan sebuah kesabaran dan keterpaduan (delicate) keseimbangan jangka panjang antara aktivitas manusia dan kemampuan alamiah alam untuk memperbaharui dirinya sendiri (MacNaughton dan Stephens, 2004). ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) memformulasikan bagaimana perusahaan-perusahaan pertambangan terkait dengan penutupan tambangnya untuk mencapai keberlanjutan ekonomi: meningkatkan pengembangan ekonomi setempat melalui ketersediaan barang dan pelayanan (services) di masyarakat atau wilayah yang terkena dampak.

Keberlanjutan ini dapat diukur apabila keputusan atau kebijakan dari perusahaan pertambangan dapat menyebabkan adanya pengaruh positif kepada sistem ekonomi di tingkat lokal, nasional dan global; aliran kapital yang meningkat di antara para pihak yang berkepentingan dan adanya peningkatan kinerja ekonomi serta keberadaan pasar. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan internal yang dibuat haruslah berdampak keberlanjutan ekonomi bagi organisasi itu sendiri dan para pihak yang berkepentingan terkait, termasuk pemerintah dan masyarakat sekitarnya.

2.12.2. Kinerja Keberlanjutan Sosial

ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) memformulasikan bagaimana perusahan-perusahan pertambangan terkait dengan penutupan tambangnya untuk mencapai keberlanjutan sosial, yakni melalui: peningkatan para pekerja tambang untuk kemajuan yang profesional dan meningkatkan kemampuan tehnik mereka, pengurangan pekerja tampak disalurkan ke sektor lain, memberikan peluang dan insentif pada mitra kerja setempat atau lembaga- lembaga pengembangan regional untuk penempatan tenaga kerja pada sektor lainnya, dan memberikan peluang dan insentif untuk konversi ulang fasilitas- fasilitas tambang yang ditutup untuk penggunaan lain.

Keberlanjutan sosial berhubungan erat dengan bagaimana sebuah masyarakat dapat terus hidup berkelanjutan walau tambang sudah ditutup. Oleh karena itu keberlanjutan sebuah masyarakat akan dipengaruhi secara langsung oleh modal dari masyarakat itu sendiri (community capital), yang terdiri dari modal: sumberdaya alam, sifat-sifat fisik, ekonomi, manusia, sosial, dan bentuk budaya. Roseland (2005) memerinci tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam penguatan modal masyarakat untuk keberlanjutan pembangunan

masyarakat, adalah sebagai berikut: a) meminimalkan konsumsi modal sumberdaya alam yang penting, seperti melakukan: konservasi dan peningkatan sumberdaya alam, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, produksi bersih, dan meminimalkan limbah; b) perbaikan modal fisik (infrastruktur), seperti: fasilitas publik, air dan sanitasi, transportasi yang efisien, keamanan, kualitas perumahan, kecukupan infrastruktur, dan telekomunikasi; c) Penguatan modal ekonomi, meliputi: memaksimalkan penggunaan dari sumberdaya yang ada, sirkulasi dollar didalam sebuah masyarakat, mengganti impor, menciptakan sebuah produksi baru, perdagangan yang adil dengan yang lain, dan pengembangan lembaga keuangan masyarakat; d) peningkatan modal manusia, difokuskan pada: kesehatan, pendidikan, nutrisi, literasi (kemampuan membaca dan menulis), dan kohesi (kerukunan) keluarga dan masyarakat; e) mengembang biakkan modal sosial, dengan perhatian pada: efektif dan representatif dari pemerintah daerah, organisasi-organisasi yang kuat, penguatan kemampuan, partisipatif dalam perencanaan, akses kepada informasi, dan kolaborasi dan kemitraan; dan f) peningkatan modal budaya, akan meliputi: memberikan perhatian pada tradisi dan nilai-nilai, warisan dan tempat budaya, kesenian-kesenian, keanekaragaman dan sejarah sosial.

Keberlanjutan ini dapat diukur apabila dengan adanya keputusan atau kebijakan dari perusahaan pertambangan menjamin adanya lapangan dan kenyamanan kerja, penghargaan pada HAM, perlindungan hukum bagi rakyat, menurunnya korupsi, meningkatnya derajat kesehatan, pendidikan dan keterampilan masyarakat, dan terwujudnya kesejahteraan rakyat.

2.12.3. Kinerja Keberlanjutan Lingkungan

Pada Agenda Lokal 21, hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (Juni 1992), dalam pasal 40 disebutkan bahwa “Pembangunan Berkelanjutan merupakan proses yang mana dari pada ekonomi, finansial, perdagangan, energi, pertanian, industri, dan kebijakan lainnya dirancang agar secara ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan”. Selanjutnya berkaitan dengan peranan Pemerintah Lokal, dalam pasal 28 disebutkan bahwa “ berhubung banyak masalah Agenda 21 beserta penyelesaiannya berakar pada kegiatan lokal, keikut-sertaan kerjasama dari pemerintah daerah akan merupakan faktor yang sangat menentukan.

The Commonwealth Government–Australia” (1990) mewujudkan keterlibatan mereka secara lokal dengan merumuskan sebuah dokumen yang bernama “Ecological Sustainable Development (ESD)” dan didifinisikan sebagai: ‘pemanfaatan/penggunaan, konservasi dan peningkatan sumber-sumber daya masyarakat sehingga proses-proses ekologi yang terjadi dimana kehidupan itu bergantung dapat terpelihara, dan total kualitas hidup, masa sekarang dan yang akan datang dapat ditingkatkan.

Prinsip-prinsip ESD yang dikembangkan oleh Pemerintah Australia (1992) adalah sebagai berikut:

a) Perlindungan keanekaragaman hayati dan keutuhan ekologis (conservation of biodiversity and ecological integrity). Perlindungan terhadap keanegaragaman hayati dan keutuhan ecologis dari suatu ekosistem, spesies-species dan keanekaragaman genetic diantara species-species perlu dipelihara. Hal ini merupakan sumber kesejahteraan bagi umat manusia. b) Perlindungan keanekarangaman budaya (conservation of cultural

diversity). Prinsip pada nomor satu di atas dapat diaplikasikan juga pada keanekaragaman budaya. Hal ini termasuk pengetahuan tradisional tentang keanekaragaman hayati perlu dipelihara. Kehilangan budaya tradisional juga berpengaruh pada tersedianya sumber-sumber tradisional bagi sumber kesejahteraan manusia.

c) Perbaikan kesejateraan individu dan masyarakat (improvement of individual and community well-being). Tujuan dari prinsip ini adalah perbaikan kesejahteraan individu dan masyarakat mengikuti keadaan dari kemajuan ekonomi tanpa mengganggu atau merusak kesejahteraan bagi generasi mendatang (Hawke, 1991).

d) Keadilan antar generasi (intergenerational equity). Generasi saat ini diharuskan juga untuk memelihara sumberdaya alam yang saat ini mereka kuasai untuk dipergunakan oleh generasi yang akan datang sesuai dengan tingkat sumber daya alam yang saat ini dinikmati. Komponen kunci dari prinsip ini adalah sebagai berikut: (a) masyarakat antara satu generasi dengan generasi berikutnya adalah mitra, (b) generasi sekarang tidak memberikan beban eksternalitas pembagunan kepada generasi mendatang, (c) setiap generasi mewarisi kekayaan sumber alam serta kualitas habitat yang kurang lebih ekivalen secara fisik, ekologis, sosial dan ekonomi.

e) Keadilan didalam satu generasi (intragenerational/social equity). Prinsip ini memfokuskan kepada keadilan diantara satu generasi, termasuk didalamnya keberhasilan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, atau tidak terdapatnya kesenjangan antara individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat mengenai kualitas hidup.

f) Pencegahan dini (precautionary). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa apabila terdapat ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, tidak ada alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan kerusakan tersebut . Dalam menerapkan prinsip ini para pengambil keputusan harus dilandasi oleh: (a) evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dan (b) melakukakan penilaian (assessment) dengan melakukan analisis resiko dengan menggunakan berbagai pilihan-pilihan.

g) Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan (community participation in decision-making). Dalam prinsip ini, keterlibatan atau partisipasi masyarakat diberikan akses dalam proses pengambilan keputusan, termasuk keterlibatan dalam pembahasan tentang kerusakan lingkungan sekitar, dampak kesehatan, kesempatan kerja dan lainnya.

h) Penghilangan/peniadaan dan pencantuman (omissions and inclusions).

Dalam prinsip diakui bahwa adanya dimensi global dalam permasalahan lingkungan, seperti pemanasan global, penipisan lapisan ozon, penggurunan dan polusi pada air, sungai dan lautan, yang berbatasan secara nasional maupun secara regional.

ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) memformulasikan bagaimana perusahan-perusahan pertambangan terkait dengan penutupan tambangnya untuk mencapai keberlanjutan lingkungan hidup, melalui: penutupan tambang yang berdasarkan pada rencana reklamasi, menciptakan habitat, keragaman hayati, dan area-area yang dilindungi, dan selalu melakukan pemantauan dan pelaporan.

Keberlanjutan ini dapat diukur apabila keputusan atau kebijakan dari perusahan pertambangan dapat menyebabkan keberlangsungan pada sistem- sistem alami dari makluk hidup dan non-makluk hidup termasuk ekosistem, lahan atau tanah, air dan udara. Ia juga perlu mengelola keberlanjutan terhadap masukan lingkungan seperti bahan baku, energi dan air dan juga out put kepada lingkungan seperti emisi-emisi, limbah cair dan limbah. Termasuk juga

bagaimana pengaruh keputusan dan kebijakan yang dibuat pada keragaman hayati, biaya-biaya bagi perlindungan lingkungan, dan bagaimana ketaatan terhadap hukum-hukum lingkungan baik lokal, nasional, regional dan global.