• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.10. Pengelolaan Sumberdaya Tambang Berkelanjutan

Sejak World Commission on Environment and Development (WCED) pada

tahun 1987, mendefinisikan “Pembangunan Berkelanjutan (PB)” sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan dari generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”, hampir semua aktifitas bisnis dunia mendasarkan

pengelolaan operasinya untuk mendukung PB ini, termasuk sektor pertambangan, dimana mereka menjadikan prinsip-prinsip PB sebagai dasar dari pengambilan keputusan operasi dan di beberapa negara telah memasukkannya kedalam regulasi-regulasi pertambangan dan juga dalam regulasi pengelolaan lingkungan hidup secara lebih rinci. Seperti yang dikemukakan Otto dan Cordes (2002) bahwa revolusi sosial-lingkungan hidup secara nyata telah merubah bagaimana pendekatan-pendekatan yang dilakukan industri pertambangan internasional dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan bisnisnya. Menyikapi pengertian PB dari Komisi Bruntland itu, Fauzi (2004) mengatakan secara implisit yang menjadi perhatian konsep itu adalah pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi. Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan generasi mendatang.

Adalah hal yang sangat tidak mungkin membicarakan hubungan pembangunan berkelanjutan dengan pertambangan pada beberapa dekade tahun yang lalu. Namun, saat ini merupakan hal yang sangat wajar dan menjadi kebutuhan, keadaan ini dipicu adanya perkembangan jaman yang dramatik, kemajuan sistem komunikasi dan teknologi, tuntutan bisnis, terbatasnya daya dukung alam, isu-isu lingkungan global (pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan pemanasan global), dan adanya unsur-unsur “global common” yang tidak bisa dihindari lagi menyebabkan dunia dan perusahaan pertambangan dituntut untuk menyesuaikan diri dalam operasi kegiatan bisnisnya. Otto et al. (2006) mengatakan bahwa para politikus mendorong secara terus menerus untuk penyerahan bukti-bukti bahwa sumberdaya mineral dikembangkan dalam kerangka keberlanjutan yang memberikan manfaat pada saat ini dan juga bagi generasi yang akan datang.

Strategi penerapan PB yang disarankan oleh Salim (2005) bagi pembangunan nasional di Indonesia adalah meliputi: (1). “eko-efisiensi” pembangunan dengan maksimalisasi: Pemakaian sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui yang dapat didaur ulang (recyclable non-renewable resources); pemakaian energi yang dapat diperbaharui dan energi yang tidak mengeluarkan karbon (zero carbon energy); teknologi bersih, tanpa limbah dan polusi;dan penghematan ruang dengan nano-teknologi; (2) kembangkan keunggulan daya- saing RI bertumpu pada terresterial dan marine tropical resources dengan bio-

teknologi, marin-teknologi, material-teknologi, nano-teknologi. Contohnya: kepompong kupu-kupu bahan tekstil; minyak ikan untuk obat dan kosmetik; kulit kayu dan minyak kelapa untuk obat; air-liur pacet untuk obat pencairan darah; bunga dan buahan eksotik untuk industri ekspor; (3) sustainable transportasi darat, kereta-api, sungai, laut dan udara (trunkand feeder line); (4) sustainable pertanian organik; (5) sustainable energi dengan mensubstitusi energi BBM dengan gas sebagai jembatan; (6) sustainable Industri dengan teknologi bersih;

(7) sustainable lembaga keuangan menggunakan “prinsip Equator” IFC; dan (8)

strategi reformasi “Good Governance” dengan segi tiga kemitraan Pemeritah, Pengusaha dan Madani (Masyarakat).

Selanjutnya Salim (2005) juga merumuskan untuk mencapai Indonesia 2010 diperlukan beberapa hal penting yakni: (1) keberlanjutan ekonomi memuat pemberantasan kemiskinan, kenaikan produktifitas, pembukaan lapangan kerja penuh, memperkuat ketahanan keuangan dan keunggulan kompetitif bangsa; (2) keberlanjutan sosial memuat terwujudnya “Millennium Development Goals” dan kehidupan masyarakat berkohesi sosial; dan (3) keberlanjutan lingkungan memuat perkayaan ekosistem pendukung kehidupan.

Mengoperasionalkan konsep PB kedalam sebuah kegiatan adalah tidaklah mudah. Terkait dengan hal itu Perman et al. (1996) mengelaborasi konseptual keberlanjutan ini dengan mengajukan lima alternatif pengertian: (1) Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas diperoleh masyarakat tidak

berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-

declining consumption); (2) Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang.; (3) Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining); (4) Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam; (5) Keberlanjutan adalah kondisi di mana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (reselience) ekosistem terpenuhi.

Selain definisi operasional di atas, Harris (2000) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintah dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak

produksi pertanian dan industri; (b) Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk katagori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Pentingnya PB pada pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya tambang dalam hal ini, juga dikemukakan oleh Sitorus (2004a): (1) terbatasnya cadangan-cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui; (2) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi; (3) terbatasnya lahan yang dapat ditanami; dan (4) terbatasnya produksi persatuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan mengandung aspek-aspek: (1) keberlanjutan ekologi (ecological sustainability). Terkait dengan sektor pertambangan, hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya tambang hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama; (2) keberlanjutan sosial-ekonomi (sosioeconomic sustainability). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan di sektor pertambangan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya tambang pada tingkat individu; (3) keberlanjutan masyarakat (community sustainability). Hal ini berarti bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi

komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan

pertambangan yang berkelanjutan; dan (4) keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability). Hal ini terkait bagaimana tetap menjaga keberlanjutan kelembagaan dengan memelihara kesehatan finansial dan penyelenggaraan administrasi yang merupakan prasyarat dari ketiga pilar pembangunan berkelanjutan yang disebutkan sebelumnya.

Robertson (1990) merumuskan ada enam prinsip dari pertambangan berkelanjutan, yakni: a) perencanaan untuk kebutuhan sumberdaya dari pertambangan berkelanjutan adalah sebuah kemendesakan secara global; b) keberlanjutan dari manfaat-manfaat sosial dan ekonomi distimulasi saat tambang masih aktif beroperasi adalah sebuah tujuan antara dari keberlanjutan dan

perencanaan suksesi di daerah tambang; c) penentuan dari dampak-dampak potensial dan optimalisasi dari pengembangan tambang, operasi dan reklamasi untuk meminimalkan dampak-dampak tersebut adalah sebuat persyaratan untuk pertanggungjawaban yang baik; d) perencanaan dan penyediaan untuk pengelolaan penggunaan lahan berkelanjutan pada pasca tambang dan menjaga terjadinya suksesi adalah kebutuhan; e) keterlibatan semua stakeholder di dalam perencanaan, eksekusi, dan proses-proses suksesi adalah sangat penting; f) pencapaian sebuah keputusan kesepakatan pada perencanaan tambang mensyaratkan platform untuk perubahan secara teknis dan informasi sosial dan sudut pandang-sudut pandang (untuk mencapai pengertian yang universal dan komprehensif) dan sebuah prosedur akunting (pembuatan keputusan) bahwa mengikuti semua dasar-dasar penilaian.

Moore dan Noller (2000) pertambangan pada masa yang akan datang tergantung pada kemampuan industri untuk memelihara keseimbangan antara keuntungan dan perlindungan terhadap lingkungan. World Bank dan IFC (2002) merumuskan sebuah konsep bahwa keberlanjutan setelah penutupan tambang dapat dicapai dengan sukses bila: a) pengelolaan lingkungan hidup menjadi prioritas selama masa hidup tambang, sehingga pengelolaan lingkungan hidup pada saat penutupan akan lebih mudah dikelola dan lebih murah; b) konsultasi dengan masyarakat setempat dapat terjadi dan hubungan dengan PPK dibangun sebelum dan selama masa hidup tambang, sehigga disana telah terjadi sebuah dasar yang solid untuk melakukan konsultasi dalam perencanaan di sekitar isu- isu penutupan tambang; c) sumberdaya keuangan telah disisihkan, sehingga rencana penutupan tambang dapat dilaksanakan dan masyarakat setempat dapat lebih baik mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang akan datang; dan e) kemitraan telah dibangun dan dilaksanakan selama operasi, sehingga kesempatan untuk pemindahan penanganan aset-aset untuk digunakan masyarakat dan untuk memelihara pelayanan sosial setelah penutupan akan lebih sukses terjamin. Sementara itu, The Chamber of Minerals and Energy of Western Australia Inc. (2000) menetapkan bahwa perencanan penutupan tambang untuk pembangunan perlu mempertimbangkan: a) kesehatan masyarakat dan keamanan; b) persyaratan-persyaratan regulasi; c) Kestabilan secara geoteknik dari pembentukan lahan akhir; d) keberlanjutan dari area-area yang telah direvegatasi; e) prioritas pada flora dan fauna; f) indikator

khusus setempat; g) ekspektasi dari para stakeholder; dan i) tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang.

Strongman (2002), mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan yang

tunggal tentang definisi pembangunan berkelanjutan untuk industri

pertambangan. Walaupun demikian, ia berpendapat ada lima elemen kunci untuk proyek pembangunan pertambangan berkelanjutan, yaitu: dapat hidup terus secara keuangan (financially viable); perduli kepada lingkungan hidup (environmentally sound); bertanggungjawab secara sosial (socially responsible); diimplementasikan dengan tata kelola yang baik dan sehat baik didalam perusahaan, tetapi juga di masyarakat dan pemerintah; dan mempunyai keberlangsungan nilai (have lasting value). Hal ini juga dikemukakan oleh Roper (2000) yang menyatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir ini banyak perkembangan yang dilakukan oleh industri pertambangan, mineral dan metal, yakni antara lain: konsentrasi yang lebih besar dari perusahaan-perusahaan ke dalam industri; pergerakan untuk mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup, sosial dan ekonomi kedalam penyelenggaraan bisnis didasarkan pembangunan berkelanjutan; permintaan untuk dan provisi dari peningkatan tranparansi operasi-operasi perusahaan; keterlibatan yang lebih

besar dari para pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki

kepentingan pada industri; dan adanya pendirian GMI (Global Mining Initiative)- sebuah program dimulai oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, mineral dan metal untuk merespon terhadap perubahan-perubahan ekspektasi dari masyarakat.

Terkait tentang definisi sebuah bisnis untuk pembangunan berkelanjutan, IISD (the International Institute for Sustainable Development) pada tahun 1992 mendefinisikan bisnis untuk pembangunan berkelanjutan adalah:

“untuk bisnis perusahaan, pembangunan berkelanjutan berarti

mengadopsi strategi dan aktifitas-aktifitas bisnis yang dapat memenuhi kebutuhan perusahaan dan para pemangku kepentingan saat ini dengan tetap menjaga perlindungan, keberlanjutan, dan peningkatan sumber daya manusia dan alam yang diperlukan untuk masa yang akan datang” Dengan demikian keberlanjutan disini ditujukan bagaimana membangun dan mendisain sebuah keberlanjutan untuk bisnis itu sendiri dan semua pihak yang berkepentingan dengan bidang pertambangan, seperti masyarakat lingkar tambang, pendapatan ekonomi, kondisi sosial dan kondisi lingkungan hidup

didaerah itu saat ini dan tanpa mengurangi kemampuan dari generasi yang akan datang untuk memanfaatkannya.

Nash (2000) mengatakan bahwa manfaat-manfaat dari memadukan pertimbangan-pertimbangan aspek-aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi

kedalam proses pembuatan keputusan pada perusahaan-perusahaan

pertambangan saat ini makin meningkat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengelolaan pertambangan tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan aspek-aspek lingkungan dan sosial dimana tambang itu beroperasi.

Untuk itu ICMM (2003), merumuskan dan mengesahkan “ICMM Sustainable Development Framework” yang terdiri dari 10 buah prinsip tentang PB dan pada prinsip yang kedua dikatakan: ‘integrate sustainable development considerations within the corporate decision- making process’. Begitu juga sembilan CEO dari perusahaan pertambangan terbesar didunia pada tahun 1999 memformulasikan sebuah proyek yang diberi nama Pertambangan, Mineral dan

Pembangunan Berkelanjutan (the Mining, Minerals and Sustainable

Development atau MMSD) dan mereka mempublikasinya “Tujuh Pertanyaan

untuk Keberkelanjutan” (Seven Questions to Sustainability). Pertanyan- pertanyaan itu adalah sebagai berikut: a) keikutsertaan Apakah proyek itu telah

dijelaskan kepada masyarakat yang berkepentingan melalui proses

penyampaian yang adil?; b) masyarakat/penduduk sekitarnya. Apakah struktur sosial dan budaya masyarakat setempat telah dimengerti dan dihormati?; c) lingkungan (environment). Apakah pengaruh-pengaruh secara pontensial (pada lingkungan) telah dimengerti dan dihormati?; d) ekonomi. Apakah pengaruh- pengaruh ekonomi telah diprediksikan secara cukup atau benar pengaruhnya di tingkat lokal setempat dan di tingkat regional?; e) tradisional dan bukan kegiatan pemasaran (traditional and non-market activities). Apakah ada kegiatan-kegiatan lain yang tidak berhubungan di dalam daerah itu dan secara regional dipengaruhi dan melalui “cara” apa?; f) rancangan dan tata kelola kelembagaan (institutional arrangement and governance). Apakah regulasi-regulasi dan institusi-institusi pemerintah disiapkan secara cukup untuk pemerintah bertindak sebagai hakim yang adil selama proses pembuatan regulasi?; dan g) sintesa/perpaduan dan pembelajaran yang terus-menerus (synthesis and continuous learning). Apakah mempunyai efek yang menyeluruh dari proyek yang telah dinilai dalam pandangan keseimbangan dan keadilan yang jangka panjang dan manfaat yang

terus menerus? Proyek dari MMSD ini juga digerakkan dengan empat tujuan akhir, yaitu:

a. Mengakses penggunaan tambang dan mineral global dalam rangka transisi kepada pembangunan berkelanjutan – catatan risalahnya pada masa lalu dan kontribusinya saat ini dan pengurangan dari kemakmuran ekonomi, kesejahteraan manusia, kesehatan ekosistem dan pembuatan keputusan yang dapat dipertanggunggugatkan (ecosystem health and accountable decision-making).

b. Mengidentifikasi jika dan bagaimana pelayanan disediakan oleh sistem mineral dapat memenuhi sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dalam masa yang akan datang

c. Mengajukan elemen-elemen kunci dari rencana aksi untuk perbaikan dalam sistem-sistem mineral; dan

d. Membangun sebuah program atau kebijakan organisasi (platform) untuk analisis dan perjanjian pada kerjasama yang sedang berjalan dan jejaring kerja diantara semua masyarakat yang tertarik.

The Mining Assosiation of Canada (MAC) juga mengembangkan konsep

PB untuk pertambangan yang berjudul “Menuju Pertambangan yang Berkelanjutan” (Toward Sustainable Mining), konsep itu terdiri dari prinsip-prinsip

sebagai berikut: melibatkan masyarakat; menggunakan dialog (engaging

dialogue); bertanggungjawab pada pengawalan/pembinaan sumberdaya

(responsibility to stewardship); transparansi dan pertanggunggugatan

(transparancy and accountability); pembinaan lingkungan (environmental

stewardship); terus melanjutkan perbaikan (continuous improvement); melindungi hak azasi (protection of human rights); menghormati pada budaya dan adat/kebiasaan (respect for cultures and customs); hukum dan etika (legal and

ethical conduct); mendukung masyarakat (community support); dan respon pada

prioritas-prioritas masyarakat di semua tahap dari selama masa hidup tambang (response to community priorities at all stages of mine life)

Soelarno (2005) mengatakan bahwa pada saat pasca tambang terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup, kegiatan ekonomi dan penurunan kegiatan sosial adalah merupakan sebuah kondisi yang sangat tidak dikehendaki. Kemungkinan terjadinya penurunan pada kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi adalah sangat mungkin terjadi. Namun untuk aspek lingkungannya tidak terjadi, sebab lingkungan yang terganggu sudah selesai sehingga daerah-daerah bekas

tambang dapat melakukan pengembangan sendiri (suksesi alami) asal tidak terdapat bahan-bahan yang berbahaya bagi fauna dan flora disana.