• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Penutupan Tambang dan Perencanaan Pembangunan

Kegiatan penutupan tambang untuk menuju keberlanjutan perlu diselaraskan dengan program pembangunan baik secara nasional dan regional. Menurut UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan terdapat pada prioritas program nomor 3 yang berbunyi: “Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan”. Untuk mencapai tujuan dan sasaran program ini ada tujuh kelompok program dalam percepatan pemulihan ekonomi dan penciptaan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan, adalah sebagai berikut:

a) Menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.

b) Mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagai tulang

punggung sistem ekonomi kerakyatan dan memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

c) Menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan agar tercipta iklim kondusif bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

d) Memacu peningkatan daya saing terutama untuk meningkatkan ekspor

nonmigas, termasuk pariwisata, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

e) Meningkatkan investasi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi, terutama investasi berdasarkan ekuitas dari pada berdasarkan pinjaman.

f) menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi

(transportasi, pos, telekomunikasi, informatika, listrik, energi dan pertambangan, serta pengairan dan irigasi)

g) Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap

memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Menurut Salim (1993) bahwa pembangunan bukanlah hanya kegiatan membangun pabrik, jalan dan lainnya. Pembangunan juga bukan hanya kegiatan pendidikan, kesehatan, sosial dan lainnya. Hakekat pembangunan

Indonesia adalah tertuju pada diri manusia, membangun manusia Indonesia yang utuh, pembangunan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan Maha Pencipta; kedua, keselarasan hubungan manusia dengan masyarakat; ketiga, keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Dengan demikian ciri utama yang ingin dibangun dalam diri Manusia dan Masyarakat Indonesia adalah keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara diri manusia dengan Tuhan, masyarakat dan lingkungan. Dikatakan juga oleh Salim (1993) bahwa pola

pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup, memerlukan

pengetatan penggunaan air dan tanah, serta sumber alam lainnya. Saingan dalam pemakaian air, tanah, dan sumber alam lainnya, mungkin tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar, sehingga disini peranan Pemerintah diperlukan.

Terkait dengan Penataan Ruang, sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007, pada BAB II pasal 2 disebutkan bahwa “Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan azas: (a) keterpaduan; (b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; (c) keberlanjutan; (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e) keterbukaan; (f) kebersamaan dan kemitraan; (g) perlindungan kepentingan umum; (h) kepastian hukum dan keadilan; dan (i) akuntabilitas.

Sesuai dengan Keputusan Menteri PU No. 640/KPTS/1986 BAB III, RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) setidak-tidaknya berisikan hal-hal sebagai berikut: (a) Kebijakan pengembangan penduduk kota, (b) Rencana pemanfaatan ruang kota, (c) Rencana struktur pelayanan kegiatan kota, (d) Rencana sistem transportasi, (e) Rencana jaringan utilitas kota, (f) Rencana kepadatan bangunan, (g) Rencana ketinggian bangunan, (h) Rencana pemanfaatan air baku, (i) Rencana penanganan lingkungan kota, (k) Tahapan pelaksanaan pembangunan, (l) Indikasi unit pelayanan kota.

2.8. Pengelolaan Tailing dan Air Asam Tambang Saat Penutupan Tambang

Tailing adalah sisa batuan alami yang halus sampai sangat halus yang dihasilkan dari proses pengambangan (floating process) untuk mengekstraksi tembaga, emas dan perak dari batuan-batuan tambang yang dihancurkan (Laporan RKL dan RPL PTFI, 2005). Umumnya pengelolaan tailing dikelola melalui beberapa cara seperti ditampung didalam kolam-kolam atau dam-dam

yang dibuat khusus dan bisa langsung dialirkan ke laut dalam, yang dikenal dengan sebutan sub marine tailing deposition.

MAC (the Mining Association of Canada) tahun 1998 memberikan sebuah pedoman pengelolaan tailing yang dipadukan dengan siklus hidup dari penanganan tailing itu sendiri mulai dari: pemilihan tempat dan perancangan, kontruksi, operasi, dan penonaktifan dan penutupan (decommissioning and closing), seperti pada Gambar 6.

Kebijakan dan Komitmen Tinjauan Manajemen untuk Perbaikan Berkesinambungan Pengecekan dan Tindakan Koreksi Implemetasi Rencana Perencanaan Pemilihan Tempat dan rancangan Kontruksi Operasi Penyerahan dan Penutupan

Gambar 6. Aplikasi dari kerangka pengelolaan tailing melalui siklus hidup (MAC, 1998)

Tempat penampungan tailing adalah menggunakan areal yang luas, dengan demikian dampak pada lingkungan juga akan meluas dan berat, pada SaPT daerah ini memerlukan penanganan yang terpadu dan komprehensif agar tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup di sekitarnya. Menurut Balkau (1998) terkait dengan pengelolaan tailing maka akan memunculkan isu- isu seperti: kualitas air, binatang liar, penutupan dan reklamasi, cianida dan kesiapan penanganan keadaan bahaya. Seperti yang digambarkan oleh ICMM (2006) yang mengklasifikasikan beberapa dampak potensial dari daerah pengendapan tailing kepada lingkungannya, khususnya yang terkait dengan keragaman hayati, yakni sebagai berikut:

a. Dampak pada keragaman terrestrial: kehilangan dari ekosistem-ekosistem dan habitat-habitat; kehilangan species-species yang jarang dan langka; dan berpengaruh pada species-species yang sensitive.

b. Dampak pada keragaman hayati akuatik dan dampak dari buangan-buangan: merubah rezim hidrologi; merubah rezim hydrogeologi; meningkatnya logam berat, keasaman dan pencemaran; meningkatnya kekeruhan; dan resiko pada kontaminasi air bawah tanah.

c. Dampak pada kualitas air terkait dampaknya pada keragaman hayati: meningkatnya partikel-partikel ambien(TSP); meningkatnya ambien sulfur diosida (SO2); meningkatnya ambien oksida-oksida nitrogen (NOx) dan

meningkatnya ambien logam-logam berat.

d. Dampak pada kegiatan sosial terkait keragaman hayati: kehilangan akses ketempat sumber ikan; kehilangan akses pada sumber tanaman buah- buahan dan obat-obatan; kehilangan akses pada lahan pertanian dan padang pengembalaan; dan terbatanya akses pada sumber-sumber keragaman hayati.

Pada saat penutupan tambang kondisi-kondisi fisik, kimia dan biologi dari potensi udara, air dan lahan di daerah pengendapan tailing perlu dilakukan pemulihan. Seperti yang dikemukakan oleh Australian Goverment-Department of Industry Tourisme and Resources / AGDITR (2006) bahwa isu dari penutupan tambang berkelanjutan perlu ditujukan sejak dalam tahap perencanaan kegiatan operasi pertambangan yang dilakukan untuk meminimalkan masalah-masalah yang akan datang. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam “Lokakarya Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Penutupan Tambang” pada 20 Februari – 2 Maret 2006 di Bandung, bahwa tujuan penutupan tambang adalah mencegah atau meminimalkan dampak jangka panjang; dan membentuk ekosistem alami yang berkelanjutan (self-sustaining) atau tataguna lahan pasca tambang yang disepakati.

Masalah lingkungan utama lain dari pertambangan yaitu air asam batuan (AAB) atau acid mine drainage, kadang disebut juga sebagai acid rock drainage. AAB ini memerlukan waktu ratusan sampai ribuan tahun untuk dilakukan penanganan sampai dapat dikatakan aman bagi lingkungan hidup. Kempton (2003) menginformasikan sebuah tambang di Montana (USA), Zortman- Landusky Mine memerlukan waktu penanganan 300 tahun. Demikian juga

sebuah tambang di California, Iron Mountain Mine malah memerlukan waktu 3000 tahun.

Menurut AGDITR (2006) sumber-sumber dari AAB ini adalah: tumpukan limbah batuan (waste rock piles),timbunan bijih (ore stockpiles), fasilitas penempatan tailing (tailing storage fasilities), lubang tambang terbuka (pits and

open cuts), tambang bawah tanah (underground mines), hamparan pelindian

bijih (heap leach pads), dan timbunan lindi (leach piles). Penanganan AAT ini haruslah dilakukan terus-menerus selama siklus hidup tambang, baik sejak mulai eksplorasi, kontruksi, operasi, dan sampai penutupan tambang.

2.9. Rehabilitasi dan Reklamasi pada Tanah Tailing

Kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya degradasi tanah atau lahan. Degradasi tanah merupakan hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan tanah yang tidak dapat diganti. Degradasi tanah diperbaiki melalui rehabilitasi baik berupa reklamasi maupun restorasi. Reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu untuk beberapa penggunaan, sedangkan restorasi merupakan perlakuan perbaikan kembali ke penggunaan awal (Sitorus, 2004b). Tambunan (2006) menyatakan bahwa secara teknis prinsip penutupan tambang akan meliputi: aman dan stabil, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, memenuhi peraturan pemerintah, dan memperbaiki lahan bekas tambang. Secara non- teknis prinsip penutupan tambang akan meliputi, bertanggung jawab secara sosial, mengutamakan partisipatif dan bijaksana dalam keuangan. Menurut Balkau (1998) setelah penutupan tambang, seluruh area termasuk tempat penimbunan tailing harus ditinggalkan dalam kondisi stabil baik secara fisik maupun secara kimiawi. Kestabilan ini sebaiknya sudah menjadi karakteristik intrinsik dari rancangan akhir area yang akan ditutup, dan disana sebaiknya hanya memerlukan sedikit untuk pengawasan/penjagaan dan intervensi.

ICMM (2006) menjelaskan beberapa terminologi tentang rehabilitasi didaerah bekas tambang, yakni: a) reklamasi: proses secara umum dimana permukaan lahan dikembalikan kepada berbagai bentuk yang dapat dimanfaatkan kembali; b) pemulihan (restoration): reklamasi yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ekologi dan mempromosikan penutupan dan penyembuhan sesuai keterpaduan ekologis; pengembalian kembali dari

ekosistem asli (sebelum penambangan) kepada semua aspek dari fungsi-fungsi dan struktur-strukturnya; c) rehabilitasi: proses kemajuan menuju pengembalian kembali kepada ekosistem asli; dan d) penggantian (replacement): penciptaan ekosistem alternatif kepada ekosistem yang asli. Didefinisikan pula bahwa pemulihan secara ekologi (ecological restorasi) adalah serangkaian besar tentang aktifitas-aktifitas, seperti: peningkatan, perbaikan, dan rekontruksi dari ekosistem yang terdegradasi, dan mengenai pengoptimalan pengembalian keragaman hayati, yang dapat tercermin dari pemantapan kembali kemampuan dari suatu lahan untuk menangkap dan memelihara serta menahan sumberdaya- sumberdaya yang fundamental, seperti energy, air, nutrisi dan species-species. Tibbet (2005) mengatakan keberhasilan dari rehabilitasi, biasanya ditentukan oleh kualitas dari tanah atau lahan yang telah direkontruksi dan penutupan tanaman-tanamannya. Hal ini memerlukan interaksi atau keterlibatan dari insinyur-insinyur geoteknik, ahli hidrologi, ahli botani, dan skateholder setempat untuk menentukan tipe-tipe yang cocok dalam penggunaan lahan dan perencanaan species yang akan di bibitkan atau semaikan. Rekontruksi ekosistem yang berkelanjutan memerlukan dari proses-proses yang cocok baik di bawah permukaan tanah dan di atas tanah sehingga dengan demikian memerlukan manipulasi yang cermat dari komponen-komponen biotik dan abiotik.

Mulligan (2003) memformulasikan strategi rehabilitasi, dari hasil studinya pada industri batu bara di Australia, yakni meliputi: kestabilan bentuk lahan (landform stability), kestabilan ekosistem, kondisi-kondisi yang toleran untuk pertumbuhan (tolerable conditions for growth), komposisi spesies, siklus nutrisi, kemampuan reproduktif, penerimaan dan ketahanan pada gangguan-gangguan (resillence to disturbance), dan kriteria yang lengkap. Tongway dan Hindley (2003) merumuskan indikator untuk keberhasilan rehabilitasi ekosistem melalui verifikasi dari indikator-indikator EFA (Environmental Function Analysis), yang terdiri dari kriteria: kestabilan, infiltrasi, pernafasan tanah (soil respiration), dan ukuran kelompok makanan (nutrient pool size). Randall (2004) mendifinisikan EFA sebagai sebuah proses monitoring lapangan yang menggunakan indikator- indikator sederhana untuk menilai bagaimana sebuah landsekap bekerja dengan baik sebagai sebuah sistem ekologi.

Gambar 7. Konsep pemanfaatan ModADA PTFI tahap pasca tambang (PT Freeport Indonesia, 2006)

Konsep reklamasi yang dikembangkan di daerah pengendapat tailing PTFI (ModADA PTFI) dengan melalui dua pendekatan yakni: pertama, suksesi alami tanaman-tanaman yang berada pada daerah-daerah baru yang sudah tidak aktif, dipelihara terus berkembang menjadi hutan klimak. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai-nilai ekologis dari suksesi alami itu. Kedua, mengkonversi daerah-daerah baru yang sudah tidak aktif untuk kegiatan pertanian (perikanan dan perternakan) dan penanaman tanaman hutan untuk agroforestri. Pendekatan ini bertujuan untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil reklamasi dan penanaman tahaman hutan. Akhirnya konsep ini oleh PTFI diperbarui, dimana pada saat pasca tambang daerah ModADA itu akan memberikan fungsi secara ekologi, sosial dan ekonomi seperti tampak pada Gambar 7 (PT Freeport Indonesia, 2006).