Penjabaran lokasi penelitian berfungsi untuk menjelaskan keadaan wilayah
lokasi penelitian yang meliputi keadaan topografi dan demografi. Topografi adalah
kajian atau penguraian terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah atau
suatu kawasan tertentu. Demografi adalah uraian atau gambaran politis dari suatu
bangsa dilihat dari sudut sosial penduduk; ilmu kependudukan.
2.2 Topografi
Manggarai berasal dari kata mangga dan rai. Dalam bahasa Bima, mangga
berarti jangkar, dan rai yang berarti lari. Jadi, Manggarai berarti jangkar yang dibawa
lari. Nama Manggarai diberikan oleh pasukan Bima yang diutus Sultan Bima untuk
menghukum rakyat Cibal karena dianggap melawan perintah kesultanan Bima
(Hemo, 1988: 45).
Pada abad XVI Manggarai berada di bawah kekuasaan Gowa. Hubungan antara
Manggarai dan Gowa pada mulanya merupakan hubungan perdagangan. Pada abad
XVII Gowa meningkatkan hubungannya dengan daerah Manggarai menjadi
hubungan yang bersifat politik. Sebelum Gowa masuk ke daerah Manggarai, ada
beberapa pemerintahan suku yang berkuasa atas wilayah-wilayah di Manggarai.
Pemerintahan suku yang mendominasi saat itu adalah Cibal, Todo, Lamba Leda, dan
Bajo. Keempat kekuasaan tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan masing-
terangan kerajaan Gowa melepaskan daerah Manggarai dari pengaruh
kekuasaaannya. Secara tiba-tiba dan secara sepihak kesultanan Bima mengaku
sebagai penguasa di daerah Manggarai. Wakil Sultan Gowa yang berada di Reok
(nama salah satu wilayah di Manggarai) maupun keempat dalu (penguasa) yang
berkuasa di Manggarai tidak mengetahui bila Bima telah menguasai Manggarai.
Kehadiran orang Bima menimbulkan ketegangan karena kehadiran mereka ditolak
oleh Wakil Sultan Gowa serta keempat dalu (penguasa) di Manggarai. Hal itu
disebabkan karena mereka masih tunduk kepada Sultan Gowa sebagai penguasa
(Hemo, 1988: 41).
Mundurnya Gowa dari daerah Manggarai disebabkan beberapa hal, di antaranya
adalah perang Makasar melawan VOC tahun 1666 yang dimenangkan oleh VOC.
Tahun 1667 Raja Hasanuddin diminta untuk menandatangani perjanjian Bongaya.
Isi perjanjian Bongaya antara lain Makassar harus melepaskan daerah-daerah
bawahannya. Setelah Makasar ditaklukan VOC, satu per satu kerajaan kecil lainnya
termasuk Gowa ditaklukkan. Raja-raja tersebut, termasuk raja Gowa menandatangani
perjanjian dan melepaskan daerah-daerah bawahannya ( Hemo, 1988: 42).
Walaupun Gowa tidak secara terang-terangan melepaskan daerah Manggarai,
Cibal pasti tidak akan menerima siapa saja selain Gowa. Sikap Cibal yang menolak
kehadiran Bima membuat Sultan Bima marah. Ia mengirimkan pasukan untuk
menghukum rakyat Cibal. Pasukan Bima menyampaikan pesan kepada dalu Cibal
bahwa pasukan Bima telah menguasai daerah Cibal. Apabila kedaluan Cibal tidak
mengakui kekuasaan sultan, rakyat Cibal akan dihukum. Pesan yang disampaikan
21
para pemimpin pasukan Cibal sepakat untuk menghadapi pasukan Bima agar mereka
tidak seenaknya memasukkan pengaruhnya di daerah kekuasaannya. Peperangan
tidak dapat dihindari. Kedua pasukan saling saling beradu di medan pertempuran.
Pasukan Bima memperhitungkan bahwa pasukan Cibal dapat dikalahkan dengan
mudah,tetapi dugaan mereka meleset. Pasukan Cibal ternyata lebih unggul dan
memenangkan perang. Karena semakin terdesak oleh serangan pasukan Cibal,
pemimpin pasukan Bima meminta pemimpin pasukan Cibal untuk menghentikan
serangan. Permintaan tersebut diterima oleh kepala pasukan Cibal, lalu ia
memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan serangan. Beberapa tokoh dan
pemimpin kelompok pasukan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kepala
pasukan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan memutuskan tali-tali jangkar
perahu pasukan Bima dan jangkar-jangkar tersebut diambil oleh anggota pasukan
Cibal. Melihat tindakan pasukan Cibal, anak buah perahu pasukan Bima berteriak:
“ Manggarai, manggarai, manggarai” (artinya jangkar dibawa lari) (Hemo, 1988:
45).
Manggarai adalah salah satu kabupaten yang berada di pulau Flores,
Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 7.136,4 km2. Kondisi geografis
daerah Manggarai terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan dataran tinggi yang
diselang-seling oleh dataran rendah. Secara geografis, sebelah timur Kabupaten
Manggarai berbatasan dengan Kabupaten Ngada di Wae Mokel, Wae Mapar, dan
Laut Flores. Sebelah barat berbatasan dengan Provpinsi Nusa Tenggara Barat di
Selat Sape. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan
antara 8º30’-8º50 lintang selatan dan antara 119º30’-120º50’ bujur timur (Hemo,
1988: 1).
Secara pemerintahan wilayah Manggarai terdiri dari tiga kabupaten, yaitu
kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai
Timur. Pada tahun 2003, Kabupaten Manggarai Barat terbentuk. Wilayahnya
meliputi daratan Pulau Flores bagian barat dan beberapa pulau kecil sekitarnya,
diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya
Kecil, Pulau Bidadari, dan Pulau Longgos. Pada tanggal 17 Juli 2007, Kabupaten
Mangarai Timur terbentuk dengan ibu kota Borong. Luas wilayahnya 2.643,41 km2.
Walaupun Manggarai terbagi menjadi tiga kabupaten, namun tetaplah menjadi “satu
kesatuan” dengan kabupaten Manggarai sebagai kabupaten induk (http: // www. Pos-
Kupang.com).
2.3 Demografi
Dalam tradisi lisan, nenek moyang orang Manggarai dikisahkan sebagai
makhluk berbulu, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Mereka belum mengenal api
(metaforik) sehingga mereka makan makanan mentah (Dami N. Toda via Nggoro,
2004:26).
Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa sub-klan
yang nenek moyangnya berasal dari luar daerah Manggarai, antara lain dari Bima,
Bugis, Goa, Serang, Makasar, Sumba, Boneng Kabo. Itu artinya bahwa nenek
moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Oleh karena
23
berdasarkan suku asalnya. Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai
kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa / Makasar / Bugis). Hal
tersebut dapat dlihat dari segi bahasa yang mempunyai beberapa kesamaan.
Misalnya istilah yang merujuk pada sebutan untuk bangsawan. Di Manggarai
dikenal dengan kata keraeng dan di Makasar dikenal dengan istilah karaeng. Berikut
ini contoh beberapa unsur bahasa yang memiliki kesamaan dengan suku-suku yang
disebutkan di atas (Nggoro, 2004: 27) :
Bugis Goa / makasar Manggarai Indonesia
Manuk Lipa Kasiasi _ _ _ _ Bembe _ Lipa _ Somba opu Lampa Karaeng Nyarang Bembe Manuk Lipa / towe Kasiasi Somba opu Lampa Keraeng Jarang Bembe, mbe Ayam Sarung Miskin Menghormati leluhur Jalan / melangkah Bangsawan Kuda Kambing
Dari uraian di atas, asal-usul dan penghuni pertama daerah Manggarai tidak
diketahui secara pasti akibat tidak adanya sumber tertulis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa penghuni pertama daerah Manggarai datang dari barat sesuai
dengan teori penyebaran penduduk di Indonesia pada umumnya di masa lampau.
nenek moyang yang menurunkan warga wa’u. Namun dari cerita tersebut tidak
dapat ditentukan bahwa nenek moyang tertentu sebagai penghuni pertama daerah
Manggarai. Apalagi cerita itu diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi,
berbeda-beda serta bervariasi. Terlebih ada kebiasaan melarang menyebutkan nenek
moyang, jika bukan pada saat upacara tradisi yang sudah ditetapkan sejak nenek
moyang pertama, seperti upacara penti, hang rani, dan cepa. Pada upacara tersebut
para orang tua boleh menceritakan pengalaman nenek moyang mereka. Mereka
menyebut nama nenek moyangnya, tempat-tempat yang disinggahi, bahkan tentang
binatang yang mengantar nenek moyang ke suatu tempat atau cerita tentang binatang
yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Binatang itu kelak menjadi
binatang yang dianggap suci atau dikenal sebagai ceki/ mawa. Ceki adalah larangan
untuk membunuh dan memakan daging binatang menurut cerita lisan yang
diturunkan dari generasi ke generasi merupakan binatang yang telah meluputkan
nenek moyang dari bahaya. Menurut kepercayaan masyarakat Manggarai, apabila
larangan (ceki) dilanggar maka yang bersangkutan akan menderita sakit yang
berkepanjangan atau cacat mental. Tiap wa’u mempunyai ceki atau mawa masing-
masing. Ceki atau mawa sesungguhnya merupakan lambang setiap wa’u (Hemo,
1988: 8).
Seperti telah disebutkan bahwa asal-usul dan penghuni pertama daerah
Manggarai belum diketahui, maka sulit untuk menentukan wa’u (klan) manakah
sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Seorang pastor SVD, Dr. P.J. Glinka
mengadakan penelitian tentang prasejarah perkembangan kehidupan masa lampau
25
penelitian, P.J. Glinka menggunakan metode berdasarkan indeks kepala, wajah,
hidung dan tinggi kepala. Hasil penelitian Dr. P.J. Glinka S.V.D berhasil
mengungkapkan tipe penduduk Nusa Tenggara timur yang terdiri dari tiga tipe.
Ketiga tipe tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tipe europoid yang mirip ras
mediteran di sekitar Laut Tengah, India sampai Polinesia. Kedua, tipe pacifid yang
termasuk golongan mongoloid yang menyebar di Jepang, Taiwan, Filipina dan
Polynesia. Tipe ketiga adalah tipe negroid. Di daerah Manggarai, ketiga tipe
penduduk tersebut ada, yakni Eouropoid 42,1 %, Pasifid 22,6 % dan Negroid 35,3%
(Hemo, 1988: 9).
Seorang linguis yang pernah mengadakan penelitian di Manggarai adalah Jilis
AJ Verheijen, S.V.D, seorang misionaris berkebangsaan Belanda. Berdasarkan
penelitian Verheijen, bahasa yang digunakan di Manggarai adalah bahasa Manggarai
dengan dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah. Seluruh masyarakat Manggarai
merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap
perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat (http : //
kraengadhy.blogspot.com).
Penggunaan bahasa daerah Manggarai mempunyai sistem yang dapat dibedakan
menurut maksud serta tujuan penggunaan bahasa, terdiri dari bahasa percakapan
sehari-hari, bahasa upacara adat, doa-doa upacara yang mempunyai nilai religius,
bahasa tanda atau bahasa sandi, bahasa lambang atau simbol, ungkapan dan syair.
Bahasa tanda adalah suatu cara mengungkapkan suatu maksud tanpa diucapkan
berupa kata-kata, melainkan dengan menggunakan benda atau tanda tertentu.
orang lain tanpa izin pemilik kebun karena kebutuhan mendesak, maka orang
tersebut akan memberikan tanda berupa ranting atau daun-daunan. Bahasa simbol
atau bahasa lambang adalah suatu sistem menyampaikan maksud dengan
menggunakan kata-kata simbol atau lambang. Misalnya istilah untuk meminang
seorang gadis dikenal dengan istilah taeng kala rana (taeng= meminta, kala=sirih,
rana= buah, daun yang pertama kali digunakan). Ungkapan dalam bahasa daerah
Manggarai mempunyai makna dan arti bagi kehidupan manusia, sehingga dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Ungkapan-ungkapan
tersebut mengandung pesan untuk diteladani manusia dalam bertindak, bersikap, dan
27 BAB III
MAKNA DAN FUNGSI GO’ET (UNGKAPAN TRADISIONAL) DALAM
BAHASA MANGGARAI