• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ungkapan yang Berkaitan dengan Bahasa Rahasia

BAHASA MANGGARAI 3.1 Pengantar

3.2.5 Ungkapan yang Berkaitan dengan Bahasa Rahasia

Berikut ini akan diuraikan contoh ungkapan yang berkaitan dengan bahasa

rahasia.

(50) Bengkar leke cebong

Tempurung kelapa yang dipakai untuk menggayung air waktu mandi

  51

(51) Lerong welu

‘ Membawa kemiri’

Ungkapan (50) dan (51) merupakan idiom yang bermakna bahwa seorang

gadis sudah mulai remaja, ditandai dengan munculnya tanda-tanda keremajaan

(adanya payudara pada dada). Secara leksikal, kata bengkar dalam bahasa

Manggarai berarti mengembang. Leke berarti tempurung kelapa. Kata leke dan welu

diumpamakan sebagai payudara wanita karena bentuknya yang bulat.

(52) Anak bera

‘ Anak haram’

Anak bera merupakan ungkapan untuk menyatakan makna anak yang lahir

karena perselingkuhan antara seorang wanita dengan seorang lelaki di luar

perkawinan resmi. Anak bera sering juga disebut sebagai “anak pe’ang remang”

(anak di semak belukar) karena hubungan yang dilakukan sepasang kekasih tersebut

terjadi di luar rumah tanpa prosedur adat yang berlaku di lingkungan masyarakat.

Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu anak bera ata kopn dan

anak bera ata toe kopn. Anak bera ata kopn yaitu sang ibu tidak dapat menentukan siapa ayah biologis dari anaknya karena jumlah kekasih gelapnya terlalu banyak.

Bila salah satu dari kekasih gelapnya mau bertanggung jawab, maka ia akan

melakukan “taro loma” yaitu membayar tuntutan adat berupa seekor kerbau dan

seekor kuda, sehingga status sang anak sah menjadi miliknya walaupun ia tidak

mengawini ibunya.

Anak bera ata toe kopn yaitu anak yang lahir dari hubungan gelap seorang wanita dengan saudara laki-laki yang masih memiliki hubungan darah, yang berada

dalam satu kampung atau yang berada di luar kampung. Bila hubungan tersebut

diketahui keluarga kedua belah pihak, maka akan diadakan upacara “pana mata

leso” (memanah matahari) atau juga biasa disebut upacara “kepu munak”

(memotong batang pisang) yang bertujuan untuk memutuskan hubungan gelap yang

terjalin di antara keduanya. Dalam upacara tersebut, segala dosa perzinahan dibuang.

Ayah dari anak bera ata toe kopn tidak dapat dituntut untuk melakukan taro loma

karena dapat mengakibatkan putusnya hubungan keluarga di antara kedua belah

pihak. Anak tersebut tetap menjadi anak dari ibunya dan menjadi milik dari keluarga

ibunya. Selanjutnya, anak tersebut menjadi tanggung jawab dari kakek-nenek pihak

ibu. Bila ibunya menikah dengan laki-laki lain, ia akan menjadi anak dari suami baru

ibunya, tergantung kesepakatan antara sang ibu bersama suami barunya ketika

hendak menikah.

Jadi, ungkapan anak bera dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang

sama dengan ungkapan anak haram jadah dalam ungkapan bahasa Indonesia, yaitu

anak yang lahir bukan dari perkawinan yang sah.

(53) Anak ata ba le potang

‘ Anak yang dibawa dalam sangkar ayam’

Ungkapan ata ba le potang merupakan idiom untuk menyatakan makna anak

hasil perselingkuhan antara seorang wanita dengan seorang pria. Sang ayah mau

bertanggung jawab atas anak yang dilahirkan, dan memelihara sang anak walaupun

tidak menikahi ibunya.

(54) Anak lerong

  53

Ungkapan anak lerong merupakan idiom untuk menyatakan makna anak

seorang janda dari suami pertama. Ketika menikah lagi, ia dan anaknya masuk

menjadi anggota keluarga suami barunya. Anak tersebut akan menjadi anak dari

suami baru sang ibu dan diakui sebagai anak yang sah.

(55) Ine wina loce kambu de kraeng

‘ Perempuan yang tidur dengan tuan / kraeng

Secara leksikal, kata loce dalam bahasa Manggarai adalah tikar yang terbuat

dari pandan, dipakai sebagai alas tidur atau diletakkan di lantai sebagai pengganti

kursi. Orang Manggarai menggunakan loce sebagai kiasan untuk seorang istri, teman

tidur di malam hari yang selalu memberikan kehangatan. Ungkapan ine wina loce

kambu de kraeng merupakan idiom untuk istri simpanan seorang bangsawan selama

dalam sebuah perjalanan. Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, sama seperti

umumnya para bangsawan (raja), mereka memiliki istri lebih dari satu orang.

Sebagai seorang bangsawan, ia menguasai beberapa wilayah / daerah. Daerah-daerah

tersebut sering dikunjunginya untuk mengontrol perkembangan serta kemajuan

daerah yang berada di bawah kekuasaannya. Pada acara kunjungan tersebut, pejabat

setempat selalu menyiapkan seorang gadis yang diinginkan sang raja untuk

menemani tidurnya. Hal tersebut juga terjadi di tempat yang lain ketika sang raja

berkunjung ke daerah tersebut.

(56) Tombo ata ba de buru

‘ Cerita yang dibawa angin’

Ungkapan tombo ata ba de buru merupakan idiom untuk menyatakan makna

dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan kabar angin dalam

ungkapan bahasa Indonesia, yaitu kabar yang belum pasti.

(57) Tu’us wa - cangkem eta - donggo mata olo - dongge mata one ‘ Lutut di bawah - dagu di atas - mati secara hina’

Ungkapan tu’us wa cangkem eta - donggo mata olo - dongge mata one

merupakan idiom bagi sepasang pengantin yang menikah karena adanya rasa belas

kasihan dari orang tua calon pengantin wanita. Hal tersebut terjadi karena

ketidakmampuan calon pengantin laki-laki membayar belis. Belis dalam perkawinan

ini tidak dibayar tuntas, hanya membawa seekor kuda atau dua ekor babi sebagai

pengganti kuda. Sang gadis benar-benar mencintai laki-laki pilihannya, dan orang

tuanya sangat menghargai keputusan anak gadisnya, sehingga menikahkan anaknya

dengan laki-laki yang dicintainya. Perkawinan tersebut dinyatakan sah, namun pihak

anak rona (orang tua pengantin wanita) tidak mengizinkan anaknya untuk podo

(diboyong) ke kampung sang suami. Setelah menikah, sepasang pengantin tersebut

tinggal di rumah orang tua pengantin wanita, sampai sang suami dapat membayar

belis pernikahan kepada pihak anak rona ( pihak pemberi istri / keluarga mempelai

wanita). Sang suami diharapkan dapat menjadi penolong bagi keluarga sang istri. Ia

bagaikan seorang pemuda yang bekerja mencari kayu api untuk mertuanya dan

bagaikan kerbau yang akan mati di tengah keluarga istrinya.

Pasangan seperti ini harus bekerja keras agar dapat menyelesaikan urusan

adat perkawinan. Menurut adat Manggarai, jika suatu hari nanti pasangan tersebut

mempunyai seorang anak gadis yang akan menikah, maka belisnya diterima oleh

  55

ayah di masa silam. Melalui cara ini sang ayah dianggap sudah memenuhi hukum

adat perkawinan, dan tidak dianggap lagi sebagai orang miskin yang tidak mampu

membayar belis. Jika segala urusan adat perkawinan telah diselesaikan, maka pihak

anak rona akan melaksanakan upacara adat seperti biasanya, yaitu umber atau wagal.

(58) Kawe woja wole - latung coko

‘ Mencari bulir padi yang besar - jagung besar yang panjang’

(59) Long bombo - kawe mbaek

‘ Berkebun di tempat yang jauh - mencari bulir padi yang panjang’

(60) Long latung coko - kawe woja mbaek

‘ Mengejar jagung besar - mencari padi berbulir panjang’

Kalimat woja wole dan latung coko pada ungkapan nomor (58) merupakan

kiasan hidup yang penuh kemakmuran. Woja wole dan latung coko tumbuh pada

tanah yang subur. Kesuburan adalah lambang atau simbol kemakmuran. Kalimat

long bombo - kawe mbaek pada ungkapan nomor (59) dan long latung coko - kawe

woja mbaek pada ungkapan (60) merupakan kiasan bagi orang yang merantau.

Ungkapan (58), (59), dan (60) merupakan idiom bagi orang yang meninggalkan

kampung halamannya untuk merantau demi merubah nasib.

(61) Cawi neho wuas - dole neho ajos

‘ Terpilin laksana rotan - terpintal bagai tali ajo ( sejenis tali hutan)’

Ungkapan cawi neho wuas - dole neho ajos merupakan idiom untuk

menyatakan makna persatuan suami-istri yang kuat dan kokoh atau perkawinan

(62) Reba racang ngis - molas cerep ngis

‘ Pemuda dan pemudi memotong gigi’

Ungkapan reba racang ngis - molas cerep ngis merupakan idiom bagi pria

dan wanita yang dianggap telah mencapai masa remaja atau usia kawin. Masa remaja

menurut adat Manggarai dimulai ketika usia “ngo duat” (bekerja di kebun) baik pria

maupun wanita. Pria dan wanita bekerja di kebun atas kemauan sendiri tanpa dipaksa

oleh orang tua. Khusus untuk wanita, ia sudah menunjukkan ciri-ciri keremajaan

yang disebut bengkar leke cebong yang ditandai dengan adanya payudara pada dadanya. Selain tanda tersebut, ciri-ciri keremajaan yang lain adalah kepet uwa

(mendapat tamu bulanan). Seiring dengan itu, baik pria maupun wanita akan

memotong giginya, karena itu disebut reba racang ngis - molas cerep ngis. Untuk

acara potong gigi tidak ada upacara khusus. Pria dan wanita yang menganggap

dirinya telah dewasa, akan pergi ke tukang gigi (dukun) untuk memotong giginya.

Selain memotong gigi, tanda-tanda kedewasaan lainnya adalah, untuk pria, ia

sudah pecing pasesapu - selek kope (tahu cara mengikat destar dan mengikat parang di pinggang), bisa bekerja di kebun sambil membuat pagar di sekeliling kebun,

makan sirih pinang, ikut bermain caci pada kesempatan-kesempatan tertentu, serta

mengikuti kegiatan kesenian. Wanita yang menginjak usia remaja sudah tahu cara

berdandan, bisa mengatur kehidupan rumah tangga mencontohi ibunya, mengurus

para pekerja di kebun, mampu berdialog dengan sesama kaum wanita, sudah

mengenal tata tertib kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya.

(63) Nggepo kebor - dael tange

  57

(64) Kemu nggencung - nggepo kebor

‘ Memeluk lesung - memeluk sendok’

Ungkapan (63) dan (64) merupakan idiom bagi seorang gadis yang datang ke

rumah sang pacar, menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri tanpa melalui prosedur

adat. Dalam bahasa kasarnya disebut ine wai ata mai ngai ( perempuan yang datang

atas kemauan sendiri tanpa melalui prosedur adat). Hal tersebut dapat terjadi karena

wanita tersebut telah mengandung anak dari sang pacar. Ungkapan nggepo kebor -

dael tange dan kemu nggencung - nggépo kébor dalam bahasa Manggarai memiliki

makna yang sama dengan rumput mencari kuda dalam idiom bahasa Indonesia.

(65) Ine wai roto tong - beka lenga

‘ Wanita bagaikan keranjang penadah terbuka’

Ungkapan ine wai roto tong - beka lenga merupakan idiom bagi wanita tuna susila. Secara leksikal, kata roto dalam bahasa Manggarai berarti keranjang yang

terbuat dari ruas-ruas bambu berukuran kecil, yang dianyam menjadi sebuah

keranjang. Roto biasa dibawa oleh para ibu atau para gadis di desa ketika berangkat

ke ladang. Roto tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk

menyimpan bekal makanan dari rumah untuk dibawa ke ladang atau untuk

menyimpan hasil panen dari kebun untuk dibawa pulang. Orang Manggarai

menggunakan roto sebagai kiasan bagi wanita tuna susila. Hal tersebut disebabkan

karena bentuk roto yang bulat dan terbuka untuk memudahkan para ibu menyimpan

hasil panen tanpa harus menurunkan roto ke tanah. Ungkapan iné wai roto - tong

béka lénga dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan idiom

(66) Anak cir wua labe agu wua conco

‘ Anak yang dilahirkan seperti buah ara dan buah conco

Ungkapan anak cir wua labe agu wua conco merupakan idiom untuk anak yang lahir karena hubungan perselingkuhan. Bila ayahnya membawa seekor kuda

untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka anak tersebut mempunyai

seorang ayah walaupun tidak menikahi ibunya. Bila ayahnya tidak mau bertanggung

jawab, maka anak tersebut akan menjadi tanggung jawab sang ibu dan bila ibunya

menikah dengan laki-laki lain, maka anak tersebut sah menjadi anak dari suami baru

ibunya.

(67) Ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau

‘ Wajahnya bagaikan irisan nanas - pipinya bagaikan irisan buah

mangga’

Secara leksikal, frasa lasar pandang dan lasar pau dalam bahasa Manggarai

berarti irisan buah nanas dan irisan buah mangga. Buah nanas dan buah mangga yang

sudah diiris adalah buah yang sudah matang atau yang berwarna kuning. Irisan

nanas dan mangga berbentuk panjang dan kecil. Buah nanas dan mangga yang

matang diumpamakan sebagai wajah seorang perempuan. Irisan nanas dan mangga

diumpamakan sebagai bentuk hidung seorang wanita yang cantik, yaitu kecil dan

tirus. Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau merupakan idiom

untuk pria yang cakep / wanita yang cantik tetapi lebih sering digunakan untuk

memuji kecantikan seorang wanita. Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacun

neho lasarpau memiliki makna yang sama dengan idom sirih kuning dalam bahasa

  59

(68) Cikat kina - wagak kaba

‘ Membelah kepala babi dan memotong kerbau’

Ungkapan cikat kina-wagak kaba merupakan idiom yang bermakna bahwa

perkawinan adat yang dilaksanakan sudah lengkap (resmi) karena semua belis / mas

kawin dapat dibayar lunas oleh pihak pengantin laki-laki. Dalam adat masyarakat

Manggarai, dikenal tiga jenis peresmian perkawinan. Pertama, perkawinan masuk

atau kawin masuk, dalam bahasa adatnya disebut pumpuk ulu - rami wa’i ; tu’us wa-

cangkem eta ; donggo mata olo - donggé mata one. Kawin masuk terjadi karena

ketidakmampuan pihak laki-laki untuk membayar belis atau karena sesuatu yang

sangat mendesak. Belis dalam perkawinan tersebut tidak dibayar tuntas, paling tinggi

hanya membawa seekor kuda atau dua ekor babi sebagai pengganti kuda.

Selanjutnya, menurut adat Manggarai pasangan tersebut tidak dapat melakukan

upacara podo (boyongan) yaitu mengantar istri ke kampung suaminya. Sepasang

pengantin tersebut akan tetap tinggal di rumah orang tua pengantin wanita sampai

belis dapat dibayar lunas oleh keluarga pengantin laki-laki.

Jenis peresmian perkawinan yang kedua disebut umber. Belis dalam

perkawinan umber tidak dibayar tuntas melainkan sesuai dengan kemampuan

keluarga pengantin laki-laki. Belis yang dibayar hanya setengah dari jumlah belis

yang ditetapkan oleh keluarga pengantin wanita, sedangkan sisanya akan dibayar

oleh sepasang pengantin setelah hidup berkeluarga dan memperoleh kehidupan yang

layak. Sesudah menikah, si istri dapat diboyong ke kampung suaminya dan masuk

menjadi anggota keluarga suku (wa’u) suaminya. Dengan demikian sang istri dapat

meresmikan perkawinan adat (umber) keluarga pihak laki-laki harus membawa

seekor kerbau, yang disebut “kaba ute”. Kerbau tersebut akan dibunuh dan

dagingnya akan dibagi-bagikan kepada anggota keluarga, diantaranya diberikan

kepada keluarga ibu pengantin wanita (anak rona sa’i/ anak rona ulu), seluruh

anggota suku dari ayah (asé - ka’é de ema) dan kepada seluruh warga kampung

(pa’ang olo - ngaung musi). Daging kerbau tersebut merupakan saksi bahwa

sepasang pengantin tersebut telah meresmikan perkawinannya menurut adat

Manggarai yang disebut umber.

Jenis peresmian perkawinan yang ketiga adalah wagal atau nempung. Wagal

atau nempung adalah pesta terakhir dalam rangka pernikahan. Belis dalam jenis

perkawinan ini dibayar tuntas, demikian pun uang sebagai penyerta belis. Upacara

cikat kina - wagak kaba dilakukan pada perkawinan ini, yang menandai resminya

sebuah perkawinan adat. Dalam upacara cikat kina - wagak kaba, babi dan kerbau

yang dibawa oleh keluarga pengantin laki - laki didoakan. Hal tersebut bertujuan

untuk mengikat kedua pengantin baru agar menjadi “satu” serta memohon rahmat

dan berkat Tuhan untuk segala karya atau usaha sepasang pengantin untuk

mendukung kesejahteraan keluarga di masa mendatang, dijauhkan dari segala mara

bahaya yang dapat mengganggu kehidupan berumah tangga serta kelak akan

diberikan keturunan. Bagi keluarga berada, wagal atau nempung akan dimeriahkan

oleh permainan caci. Caci adalah tarian atau permainan tradisional Manggarai yang

dimainkan oleh dua orang pria dewasa dengan cara saling memukul atau

mencambuk. Permainan caci berlangsung selama satu atau dua hari, sesuai

  61

Bagian terakhir dari seluruh rangkaian peresmian perkawinan adat

Manggarai adalah podo. Podo adalah upacara mengantar pengantin wanita dari

kampung asalnya ke kampung suaminya. Podo dilaksanakan sesudah umber atau

wagal. Pada acara podo, anak rona (keluarga pengantin wanita) membawa semua

barang - barang yang telah diberikan orang tua pihak perempuan kepada anak dan

suaminya, yang disebut widang atau wida. Selain membawa wida, pihak anak rona

juga membawa seekor babi yang disebut “ela pentang pitak” yang akan digunakan

untuk upacara pembersihan yaitu membersihkan si istri dari segala keterikatannya

dengan keluarga asalnya. Setelah upacara pentang pitak, akan dilanjutkan dengan

upacara gerep ruha (menginjak telur) yang dilakukan di depan mbaru gendang.

Dengan adanya upacara pentang pitak dan upacara gerep ruha si istri resmi menjadi

anggota keluarga suaminya dan mengikuti segala tatanan kehidupan adat - istiadat

suaminya (lut ceki de ronan).

(69) Cehi ri’i - wuka wancang-radi ngaung

‘ Membuka alang-alang dan pelepah bambu- memasang tangga bambu

dari kolong rumah’

Ungkapan cehi ri’i - wuka wancang - radi ngaung merupakan idiom yang bermakna bahwa perkawinan yang diadakan belum lengkap, belum sampai pada

wagal, karena belis belum dibayar lunas oleh pihak anak wina (keluarga pihak laki-

laki).

(70) Neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina

Ungkapan neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina merupakan

idiom yang bermakna meminta keluarga anak wina segera melunasi belis.

(71) Pase sapu - selek kope - weda rewa - tuke mbaru

‘ Memakai destar- masuk rumah melalui pintu’

Ungkapan pase sapu-selek kope weda rewa-tuke mbaru merupakan idiom

yang bermakna bahwa calon pengantin laki-laki datang meminang gadis secara resmi

melalui upacara pongo (lamaran).

(72) Anak pencang wa - ende lomes kole

‘ Anak dibiarkan tak terurus - ibu sibuk berdandan’

Ungkapan anak pencang wa - ende lomes kole merupakan idiom untuk

menyindir seorang ibu (janda) yang tidak mengurus anaknya dengan baik karena

sibuk mencari perhatian laki- laki untuk menikah lagi.

(73) Hi nana lelo tana - hi enu lelo awang

‘ Laki-laki melihat bumi - perempuan melihat langit’

Ungkapan hi nana lelo tana - hi enu lelo awang merupakan idiom sindiran

bagi pasangan yang melakukan hubungan seks di luar nikah (sebelum menikah

resmi) Jika tidak ada halangan menurut adat, maka keduanya harus dinikahkan. Bila

berhalangan menurut adat maka diadakan upacara pemutusan hubungan keduanya

yang disebut pana mata leso (memanah matahari) atau juga yang biasa disebut kepu

munak (memotong batang pisang). Dalam upacara ini diadakan upacara tobat dari

kedua insan yang berdosa itu harus melakukan upacara tobat dihadapan semua

  63

(74) Loma wina data

‘ Berzinah dengan isteri orang’

Ungkapan loma wina data merupakan ungkapan untuk menyindir seorang

laki-laki yang berzinah dengan istri orang. Bila sang suami memergoki istrinya

sedang berzinah, secara adat ia dibenarkan bila membunuh istri dan selingkuhannya

asalkan langsung di tempat terjadinya perselingkuhan. Bila tidak tertangkap basah,

tetapi sang suami dapat membuktikan bahwa si istri benar-benar melakukan

perselingkuhan dan dikuatkan oleh saksi, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama,

si istri dikembalikan kepada orang tuanya (podo kolenggerone anak rona) atau dengan kata lain, diceraikan melalui upacara “saung leba”. Kedua, si istri

dikembalikan kepada orang tuanya dan pihak orang tua wanita (anak rona) datang

memohon ampun kepada suaminya, yang disebut dengan upacara “ somba rona” dan

dilanjutkan dengan upacara pembersihan diri wanita yang disebut dengan upacara

cebong”. Ketiga, suami menceraikan istrinya dan si istri dinikahkan dengan

selingkuhannya.

(75) Pana mata leso

‘ Memanah matahari’

(76) Kepu munak

‘ Memotong batang pisang’

Ungkapan (75) dan (76) merupakan idiom untuk upacara pembersihan diri

dari sepasang kekasih yang melakukan perselingkuhan.

(77) Jarang pentang majung

Ungkapan jarang pentang majung merupakan idiom untuk seorang laki-laki

yang menikahi seorang janda. Menurut adat Manggarai, laki-laki tersebut harus

menyerahkan seekor kuda kepada keluarga sang janda sebagai tanda penghormatan

kepada almarhum suaminya.

(78) Lage loce toko de rona

‘ Melewati tikar tidur suami’

Ungkapan lage loce toko de rona merupakan idiom untuk seorang istri yang

berzinah dengan lelaki lain di kamarnya sendiri.

(79) Polis wisi loced ga

‘ Sudah bentang tikar’

Ungkapan polis wisi loced ga merupakan idiom untuk sepasang kekasih yang

telah mendapat restu dari kedua orang tua untuk menikah secara adat.

(80) Api toe caing-wae toe haeng

‘ Sudah tidak dapat menyalakan api di dapur dan tak sanggup lagi

mengambil air’

Ungkapan api toe caing - wae toe haeng merupakan idiom untuk seorang ibu

yang menikahkan anaknya karena sang ibu sudah tidak sanggup lagi melaksanakan

tugasnya untuk bekerja di dapur. Ia menikahkan anak laki-lakinya dengan anak

perempuan dari saudara laki-lakinya. Dalam bahasa Manggarai, perkawinan antara

anak laki-laki dari saudari dengan anak perempuan dari saudara disebut tungku.

(81) Hang toe tanda - inung toe nipu

  65

Ungkapan hang toe tanda - inung toe nipu merupakan idiom bagi orang yang

melanggar susila.

(82) Tepi tana - mbokang wae

‘ Ibarat anak menampi tana dan memercik air lalu mengencinginya’

Ungkapan tepi tana-mbokang wae merupakan idiom bagi orang yang

melanggar susila.

(83) Neho anak wara ata toe di loda putes

‘ Seperti bayi yang belum jatuh tali pusarnya’