BAHASA MANGGARAI 3.1 Pengantar
3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup
3.2.1.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan
Berikut ini diuraikan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi.
(1) Mori’n agu Ngara’n ata Jari agu Dédék tana wa awang’n eta
‘ Tuan dan pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’
Secara leksikal, kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”, “ketua”.
Seorang atasan biasanya disapa dengan mori, lazimnya didahului kata yang
menyatakan rendahan, yakni yo. Sekali-sekali dipakai juga sebagai sebutan manja
terhadap anak-anak. Dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dédék tana wa
awang’n eta di atas, kata Mori bukan merupakan kata sapaan melainkan berfungsi referensial. Di sini –n adalah sufiks posesif persona ketiga tunggal. Contoh: morin
menambahkan kata penentu, berarti “Tuhan”, “Tuhan tertinggi”. Nyata bahwa –n di
sini menunjukkan hubungan antara Allah dengan sesuatu yang tunggal khususnya
alam semesta (Verheijen, 1991: 34-35).
Agu (dan) dan yang selalu mendapat sufiks posesif –n di belakang Ngara,
adalah nama Allah yang paling banyak dipakai dalam doa-doa yang lebih resmi.
Adapun kata ngara (dalam beberapa dialek : nggara) kira-kira sinonim dengan mori,
sebutan ini umum dan dipakai di seluruh Manggarai. Mori agu Ngara’n dapat
dipandang sebagai nama yang spesifik untuk Wujud Tertinggi. Nama untuk Allah
yang tersebar luas ini terdiri atas dua buah kata kerja. Jari berarti “menjadi”,
“berhasil”, “berjalan baik”, “menjadikan”, dan sebagainya. Dedek berarti “membuat”, “membentuk”, “menempa”, dan lain-lain. Kata ini dipakai untuk
membuat hal perabot, periuk-periuk tanah, cincin, uang, dan lain-lain. Juga hal
melahirkan anak dinyatakan dengan jari dan dédék. Kedua kata ini dipinjam dari
bahasa Makasar (jari dan dédé), tetapi ungkapannya merupakan suatu kekhasan
Manggarai. Ungkapan ini diucapkan dalam doa-doa orang Manggarai. Pada
umumnya Jari agu Dédék dipakai dalam nas-nas yang meriah. Gabungan ini
mengungkapkan pengertian tunggal, paling tepat diterjemahkan dengan “Pencipta”
atau “Pembuat” ( Verheijen, 1991: 36-38).
Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang’n eta
mengandung makna bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Tuhan, yang
memiliki kekuatan melebihi daya jangkauan mereka, yang diyakini sebagai pencipta
31
(2) Imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite-Mori Jari agu Dédék
‘ Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan kita - Tuhan pencipta
dan penjadi’
Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek
mengandung makna bahwa orang Manggarai percaya akan adanya Tuhan sebagai
pencipta dan penjadi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta.
(3) Mori ata pukul par agu kolep
‘ Tuhan yang mengatur dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’
Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep mengandung makna bahwa orang
Manggarai meyakini kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta yang tak terbatas oleh
waktu. Tuhan-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, sejak
matahari terbit hingga terbenam. Wilayah kekuasaannya sangat luas dan tak terbatas.
(4) Mori nipu riwu ongko do
‘ Tuhan mengatur segala-galanya ’
Ungkapan Mori nipu riwu ongko do mengandung makna bahwa orang
Manggarai meyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada
di muka bumi. Hidup, mati, suka dan duka manusia ada dalam tangan-Nya.
(5) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng
de Dédék
‘Kuasa Tuhan tidak dapat dihalang-halangi - kehendak Pencipta tidak
dapat dirintangi’
Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n
tertinggi ada di tangan Sang Pencipta dan manusia tak berdaya menghadapi kuasa-
Nya. Apa pun bila itu menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi.
(6) Suju neka tumpus - ngaji neka caling- ngaji bilang bari kamping Jari
‘Jangan berhenti bersujud - jangan berhenti berdoa - berdoalah ke
hadapan Tuhan setiap hari’
Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping
Jari mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk bersujud dan
berdoa di hadapan Tuhan Sang Pencipta, mengucap syukur atas segala karunia yang
diberikan Tuhan kepada manusia setiap hari.
(7) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dédék
‘ Sembah dan pujilah Tuhan Penguasa - Pemilik dan Pencipta
Ungkapan Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate jari Dédék mengandung
makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menyembah dan memuji Tuhan
Allah sebagai Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan bagi mereka.
(8) Hiang Hia te pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau- awang’n eta - tana’n wa'
‘ Hormatilah Dia yang menguasai alam semesta - langit dan bumi - Dia
telah menciptakan segala mahluk dan Dia yang menguasai waktu dari
terbitnya matahari hingga terbenamnya’
Ungkapan Hiang Hia te pukul par’n awo - agu kolep’n sale - ulun le -
wa’in lau - awang’n eta - tana’n wa mengandung makna bahwa manusia harus menghormati Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Tuhan-lah
33
Dalam tradisi Manggarai, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi tersirat dan
tersamar dalam setiap upacara adat. Tempat diadakan upacara adat bervariasi, seperti
dalam mbaru gendang (rumah adat), dalam rumah pribadi, di compang (mesbah /
altar) yang terletak di tengah kampung, di ladang, di mata air, di pekuburan, dan
sebagainya ( Janggur, 2008: 5).
(9) Mori Keraéng
Sebutan Mori Keraéng tersebar di seluruh Manggarai. Sebutan ini dapat
dianggap sebagai nama Allah yang paling lazim dipakai bila orang berbicara
mengenai Wujud Tertinggi. Pemakaian nama Mori Keraéng dimajukan oleh
pengaruh agama Katolik, sebab misionaris yang pertama mengangkat sebutan ini
sebagai nama yang utama untuk Allah. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa
nama ini sedikit saja dijumpai dalam doa-doa persembahan yang komunal dan
panjang-panjang tetapi sering terdapat dalam doa-doa yang bersifat pribadi
(Verheijen, 1991: 37).
(10) Ronan éta mai - winan wa mai
‘ Suaminya di atas - istrinya di bawah’
Secara leksikal, kata rona dan wina dalam bahasa Manggarai masing-masing
berarti “suami” dan “istri”. Sufiks posesif –n ‘nya’ menunjukkan hubungan timbal
balik. Rona dan wina dalam kalimat di atas adalah sebutan orang Manggarai untuk
menyebut Wujud Tertinggi. Sebutan untuk Wujud Tertinggi ini dijumpai antara lain
di wilayah Ruteng, Todo - Pongkor, dan di wilayah Kolang. “pria di atas” adalah
sinonim dengan “langit”, “bentangan langit”, dan “wanita di bawah” sinonim dengan
bentangan langit, sebab hujan berasal dari bentangan langit, turun dan mengenai
bumi. Dari itu bumi adalah istri dari langit. Air hujan, cairan tubuh langit, turun ke
bumi sehingga tanaman-tanaman bertumbuh dan menjadi besar. Dari uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa “suami di atas-istrinya di bawah” merupakan sinonim
“langit dan bumi”; jadi sebagai nama metonimis untuk wujud tertinggi. Hal ini sering
kali cocok dengan pengucapan sastra. Bahwa orang menempatkan atribut “di atas”
dan “di bawah” pada “langit “ dan “bumi” sudah sewajarnya. Dalam hubungan ini
dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnya orang berpikir Mori Keraéng bertahta
di atas, dan dari atas Ia memandang kita. Orang menganggap langit sebagai atribut
bagi Wujud Tertinggi ( Verheijen, 1991 : 43-45).
(11) Amé rinding mané - iné rinding wié
‘ Ayah pelindung di malam hari - ibu pengayom di tengah malam’
Ungkapan amé rinding mané - iné rinding wié mengandung makna yang
sama dengan ungkapan amé éta - iné wa, yaitu sebagai nama metonimis untuk
Wujud Tertinggi.
(12) Pong dopo ngalor masa
‘ Daerah angker berawa-rawa; palungan air yang kering’
Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, masyarakat Manggarai
menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu
kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami suatu tempat (pohon, batu, gunung, dan
sebagainya). Dinamisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai
35
sampai saat ini, daerah berawa-rawa dihuni oleh mahluk halus, diyakini dapat
membawa kebaikan; kesejahteraan sekaligus bencana.
(13) Hau muing be sina - ami muing be ce’e
‘ Engkau bagian sana - kami bagian sini’
Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan idiom untuk
menyatakan makna bahwa tidak ada hubungan lagi antara orang yang sudah mati
dengan yang masih hidup. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang diucapkan
pemimpin adat pada upacara kematian, agar yang meninggal tidak mengganggu
keluarganya yang masih hidup.
(14) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung
‘ Semoga engkau menjadi penghalang di depan penutup di bagian
belakang’
Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan
idiom untuk menyatakan harapan agar orang yang sudah mati menjadi pelindung
bagi yang masih hidup dari musibah, baik yang datang dari depan maupun belakang.
(15) Boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong
Ungkapan boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong
merupakan sebuah doa yang diucapkan tetua adat ketika memberikan persembahan
berupa sesajen kepada arwah para leluhur (empo) pada saat upacara penti agar
mereka tidak mencari atau mengambil sendiri dari tengah-tengah keluarga yang
masih hidup. Orang Manggarai menyakini bahwa para arwah bisa saja mengambil