• Tidak ada hasil yang ditemukan

Go`et (ungkapan tradisional) Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Go`et (ungkapan tradisional) Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi."

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ix   

ABSTRAK

Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua, go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

(2)

x   

Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur.

Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya, go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya.

Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

(3)

xi ABSTRACT

Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian

Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people.

The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.

The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.

(4)

xii

pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.

The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand.

Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people.

(5)

i

( UNGKAPAN TRADISIONAL) MANGGARAI DITINJAU DARI SEGI MAKNA DAN FUNGSI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Maria Sulastri NIM: 064114015

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(6)
(7)
(8)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

(9)

v   

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

atas segala rahmat serta berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul “Go’ét” (Ungkapan Tradisional) dalam

Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi” disusun untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra Indonesia di Universitas Sanata

Dharma.

Dalam proses penyusunan skrispi, ada banyak pihak yang turut membantu

penulis demi kelancaran penyusunan skripsi. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah

membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat

kepada penulis.

2. Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah

membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat

kepada penulis.

3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Drs. Hery Antono, M.Hum. Drs. P. Ari

Subagyo, M.Hum. Drs. F.X. Santosa, M.S. S.E. Peni Adji, S.S,

M.Hum; atas pengetahuan yang telah dibagikan kepada penulis

(10)

vi   

4. Bapak Gaudensius Bombang atas segala kritikan dan sarannya

kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.

5. Buat naca momang (yayang) yang selalu memberikan dukungan,

semangat serta kritikan kepada penulis selama proses penyusunan

skripsi.

6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan

skripsi.

Penulis menyadari bahwa karya ini belum sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca

demi penyempurnaan karangan ini.

Yogyakarta, September 2010

Penulis

(11)
(12)
(13)

ix   

ABSTRAK

Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua, go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

(14)

x   

Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur.

Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya, go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya.

Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

(15)

xi ABSTRACT

Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian

Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people.

The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.

The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.

(16)

xii

pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.

The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand.

Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people.

(17)
(18)
(19)

xv

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisonal) dalam bahasa

Manggarai: tinjauan makna dan fungsi. Go’et merupakan milik masyarakat

Manggarai, namun hanya segelintir orang dalam masyarakat Manggarai yang

benar-benar memahami go’et dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil observasi, go’et umumnya hanya dikuasai dengan baik dan

sempurna oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai (tetua adat,

tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang-orang muda sangat jarang

yang menguasainya apalagi menghafalnya. Go’et sudah lama dikenal masyarakat

Manggarai. Umumnya orang sudah sering mendengarnya ketika diucapkan oleh para

orang tua, baik dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam kehidupan

sehari-hari.

Ungkapan tradisional umumnya berisi pendidikan etik dan moral,

norma-norma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma-norma tingkah

laku bagi setiap anggota masyarakat (Athaillah dkk.1984:1). Selain itu, ungkapan

tradisional pada hakikatnya adalah ide, pandangan, keinginan, sikap, serta perbuatan

yang seharusnya dilakukan ataupun yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai

ungkapan tradisional, go’et mengandung nilai pendidikan, etik, moral, norma-norma

sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi

(21)

selanjutnya. Norma-norma itu harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap

anggota, terutama yang sedang berfungsi atau yang akan menerima fungsi sebagai

pemimpin masyarakat. Generasi muda perlu memahami dan menghayati ungkapan

tradisional dengan baik agar dapat memilah unsur-unsur yang dapat digunakan dalam

pembinaan generasi berikutnya. Dalam masyarakat tradisional, pewarisan nilai-nilai

ini dilakukan melalui jalur pendidikan non-formal yang ada dalam masyarakat.

Berikut ini adalah contoh go’et Manggarai:

(1) Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta

‘ Tuan dan Pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’

(2) Kantis nai rai ati

‘ Mengasah hati dan paru-paru’

Kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta pada contoh (1)

merupakan ungkapan untuk menghormati Tuhan Allah sebagai pencipta alam

semesta, yang diucapkan pada saat upacara keagamaan atau upacara adat. Ungkapan

tersebut menggambarkan kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui Tuhan

sebagai pencipta, sumber dari segala sesuatu yang ada di bumi dan merupakan

kekuasaan tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati pada contoh (2) merupakan idiom

untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja dan berusaha. Ungkapan tersebut

merupakan nasihat dari orang tua kepada generasi muda untuk senantiasa bekerja

keras, memanfaatkan waktu dengan baik agar apa yang dicita-citakan atau yang

diharapkan dapat tercapai.

Kedua contoh di atas mengandung ajaran tentang nilai pendidikan dan nilai

(22)

  3

Selain berisi nilai pendidikan dan nilai moral, kedua contoh di atas juga merupakan

ide, pandangan, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota

masyarakat Manggarai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Nilai

pendidikan yang terdapat dalam kalimat Mori agu Ngara’nata Jari Dedek tana’n wa

awang eta yaitu berisi ajaran agar umat manusia mengakui dan menghormati Tuhan

sebagai Sang Pencipta, asal mula dari segala sesuatu yang ada di bumi, dan sebagai

kekuasaan yang tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati mengandung nilai pendidikan

serta nilai moral mengenai apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mencapai

sebuah kesuksesan yaitu dengan cara bekerja keras dan tekun dalam berusaha. Kedua

ungkapan tersebut merupakan pandangan, keinginan serta sikap masyarakat

Manggarai dalam keseharian di lingkungan masyarakat.

Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti

yang mengumpulkan go’et Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai

makna serta fungsi yang terkandung dalam go’et Manggarai. Kedua, go’et

Manggarai sebagai salah satu bagian dari budaya Manggarai hanya dikuasai dan

dipahami oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Jika

para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’et Manggarai akan hilang

karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

1.2 Rumusan Masalah

(23)

1.2.1 Apakah makna go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat

Manggarai?

1.2.2 Apakah fungsi go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat

Manggarai?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1.3.1 Menjelaskan makna go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai;

1.3.2 Menjelaskan fungsi go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik dan

bidang pragmatik. Dalam bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk

menganalisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’et Manggarai. Dalam bidang

pragmatik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memahami tuturan yang diucapkan

penutur agar dapat dipahami oleh mitra bicara. Secara praktis, hasil penelitian ini

dapat menambah perbendaharaan pustaka, khususnya kebudayaan daerah. Selain itu,

hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pewarisan budaya, menjadi tolak ukur

dalam melakukan penelitian baru dalam bidang kebudayaan dan memperkenalkan

(24)

  5

1.5 Tinjauan Pustaka

Nggoro (2004) dalam bukunya yang berjudul Budaya Manggarai: Selayang

Pandang membahas go’et Manggarai secara sepintas dalam kaitannya dengan

budaya Manggarai mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Hubungan

kekerabatan atau kekeluargaan dapat dipahami sebagai hubungan yang terjalin

karena pertalian darah atau perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan

pergaulan hidup sehari-hari. Dalam kaitannya dengan hubungan kekerabatan, go’et

digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga, yaitu percakapan

antara orang tua dan anaknya. Percakapan tersebut berisi nasihat orang tua kepada

anak, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan

dalam kehidupan bermasyarakat.

Got (2007) dalam tesisnya yang berjudul Makna Adat Istiadat, Leluhur Putri

Nggerang,Budaya dan Pariwisata Manggarai bagi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

membahas go’et secara sepintas dari segi makna adat-istiadat dalam tradisi budaya

dan peristilahan. Tradisi budaya dan seni peristilahan yang dimaksud adalah

mengenai tradisi pesta yang berkaitan dengan adat-istiadat budaya dan agama, yaitu

suatu kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap tahun, dilakukan setelah musim

panen. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menghormati Sang Pencipta yang sering

diungkapkan dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta

(Tuhan Pencipta langit dan bumi) yang dipersonifikasikan dengan melakukan apa

yang disebut taking seki (memberikan sesajian kepada roh-roh nenek moyang) dan

naga golo (makhluk halus) yang diberikan oleh setiap panga (klan) yang menjaga

(25)

dipakai saat upacara adat dalam bentuk doa sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur

atau rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, penelitian mengenai

go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dari segi makna dan fungsi

belum pernah dilakukan.

1.6 Landasan Teori

Lima hal yang digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan masalah

yang terumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah (1) pengertian go’et,

(2) pengertian ungkapan tradisional, (3) pengertian makna, (4) fungsi bahasa dan

kaitannya dengan budaya, (5) tindak tutur.

1.6.1 Pengertian Go’et

Menurut Verheijen ( Kamus Manggarai-Indonesia, 1967: 143) go’et adalah

sajak, pantun, seloka, (ii) tutur bahasa.

Go’et adalah tutur bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari

berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, dalam upacara adat, dan upacara

keagamaan dalam lingkungan masyarakat Manggarai, berupa bahasa kiasan. Go’et

berisi pesan yang mengandung ajaran moral, disampaikan oleh para orang tua kepada

para generasi muda, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak

boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Go’et tidak dapat ditafsirkan

secara harafiah tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks pemakaian bahasa ketika go’et

(26)

  7

Menurut Bruno Agut (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah,

perumpamaan (dalam bahasa Indonesia) berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama.

Contoh : kantis nai-rai ati. Pada kalimat kantis nai-rai ati terdapat persamaan bunyi

yang sama, yaitu pengulangan vokal [i].

Menurut Petrus Janggur (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah,

petuah yang mengandung nasihat, teguran untuk memberi motivasi dari orang tua

kepada generasi muda. Selain sebagai petuah, go’et merupakan ungkapan yang

penuh dengan makna simbolis.

Go’et dalam penelitian ini adalah ungkapan, perumpamaan, berupa kalimat

atau bunyi-bunyi yang sama, yang mengandung pesan tertentu dan digunakan untuk

berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.6.2 Pengertian Ungkapan Tradisional

Hutomo via Suarjana dkk (1994:15) menyebutkan bahwa ungkapan

tradisional adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan

suatu maksud dengan arti kiasan yang sehalus mungkin, tetapi mudah dimengerti.

Ungkapan tradisional itu terdiri dari berbagai jenis, yaitu:

(1) Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup;

(2) Ungkapan yang berkaitan dengan pertandingan atau permainan;

(3) Ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan;

(4) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan;

(5) Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang;

(27)

(7) Ungkapan yang berkaitan dengan ejekan;

(8) Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.

Gaffar (1990:20) menyatakan bahwa ungkapan tradisional atau peribahasa

adalah bahasa kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi

buah bibir banyak orang.

Ungkapan tradisional dalam penelitian ini adalah ungkapan atau ekspresi

seorang individu dalam usahanya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta

emosinya dalam bentuk satuan kebahasaan tertentu yang dianggap paling tepat,

dengan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan masyarakat setempat,

yang berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.

1.6.3 Pengertian Makna

Makna dibagi atas dua jenis, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna

primer terdiri dari makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal, sedangkan

makna sekunder terdiri dari makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal

(Wijana, 1998:9). Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya,

makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang

sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna denotatif sering juga disebut makna

denotasial, makna konseptual, atau makna kognitif yaitu makna yang sesuai dengan

hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau

pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual

(28)

  9

Makna literal atau makna lugas adalah makna yanga harafiah yaitu makna kata yang

sebenarnya berdasarkan kenyataan (Chaer, 1989 : 62-68).

Makna konotatif merupakan makna tambahan dari makna denotatif yang

berasal dari masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu,

dapat juga peristiwa sejarah atau adanya pembedaan fungsi sosial dalam masyarakat.

Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk berbagai

tujuan etis (moral), estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dan sebagainya. Makna

gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti

proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer,1989 : 62-71).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna denotatif, makna

leksikal, dan makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa

tanpa bantuan konteks. Makna satuan bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan

konteks disebut makna primer. Makna konotatif, makna figuratif, dan makna

gramatikal hanya dapat diidentifikasi oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks,

yaitu melalui konteks pemakaian bahasa yang dipakai penutur bahasa. Makna

kesatuan bahasa yang hanya dapat diidentifikasi lewat konteks pemakaian bahasa

disebut makna sekunder.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat

disimpulkan bahwa go’et Manggarai mengandung makna literal dan makna figuratif.

Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang

sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang

dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom

(29)

kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal

unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom

tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya,

maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan

leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan

tersebut (Chaer, 1989:76-77).

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah

makna satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang “menyimpang”

dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya.

Menyimpangnya makna idiomatikal didukung oleh usaha penutur untuk

menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk satuan-satuan bahasa

tertentu yang dianggap paling tepat dan mengena (Chaer, 1989:78). Untuk dapat

memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa

yang diucapkan penutur, berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan digunakan.

Jadi, makna adalah maksud ujaran penutur dalam menyampaikan pesan atau

informasi berdasarkan kenyataan dengan menggunakan bahasa yang sederhana

sehingga langsung dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar), ataupun

menggunakan bahasa yang menyimpang dari arti sebenarnya untuk tujuan etis dan

estetis. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui

pemakaian bahasa yang diucapkan penutur berdasarkan situasi dan kondisi ketika

(30)

  11

1.6.4 Fungsi Bahasa dan Kaitannya dengan Budaya

Bahasa merupakan salah satu bagian dari segi kebudayaan. Sebagai salah satu

segi kebudayaan, bahasa merupakan dasar dari kebudayaan. Kebudayaan sama

tuanya dengan manusia, begitu juga bahasa, hanya corak dan bentuknya yang

berbeda. Seperti halnya dengan manusia, bahasa dan kebudayaan juga berkembang.

Hal ini dapat dilihat dari riwayatnya dan bila kita bandingkan bahasa sekarang

dengan dahulu, jauh bedanya. Khazanah kata-kata pada setiap bahasa zaman

sekarang, lebih-lebih bahasa yang luas pemakaiannya, bukan main banyaknya dan

luas pula pengertiannya (Mahjunir, 1967:84).

Bahasa bukanlah warisan biologis, tetapi diperoleh melalui proses belajar dan

pengalaman sejak kecil. Dengan demikian, bahasa merupakan ciptaan manusia yang

berfungsi sebagai alat penghubung. Sebagai alat penghubung, bahasa memungkinkan

manusia untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Selain itu,

bahasa juga digunakan dalam proses pewarisan budaya, yaitu diwariskan secara

turun temurun kepada generasi berikutnya yang diperoleh dengan cara belajar, yang

dimulai dari lingkungan keluarga. Tanpa bahasa, kebudayaan tidak dapat

berkembang. Bahasa dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan dan

meneruskan kebudayaan, di samping alat-alat lain. Tanpa bahasa, manusia tidak

dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa timbul sesuai

dengan kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bahasa seperti halnya dengan segi-segi

kebudayaan lain merupakan ciri yang membedakan manusia dengan hewan

(31)

Keraf (1987: 3) mengatakan bahwa fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar

dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu

dalam garis besarnya dapat berupa:

(1) Untuk menyatakan ekspresi diri;

(2) Sebagai alat komunikasi;

(3) Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial;

(4) Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial.

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa digunakan sebagai

sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan serta emosi kita ketika berhadapan

langsung dengan orang lain dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai alat

komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan

kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama anggota

masyarakat. Bahasa mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan,

merencanakan, dan mengarahkan masa depan kita. Bahasa juga memungkinkan

manusia menganalisa masa lampau untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi

masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan

adaptasi sosial, bahasa memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain

yang berbeda kebudayaan dengan kita. Bahasa merupakan sarana untuk belajar dan

memahami situasi di lingkungan sekitar kita dan memampukan kita untuk menjalin

suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Sebagai alat untuk mengadakan

kontrol sosial, bahasa mengatur cara berpikir dan bertindak dalam berinteraksi di

(32)

  13

Bahasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sesuai dengan

perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya manusia sebagai hasil

dari kemajuan intelektual itu sendiri. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia,

maka bahasa yang digunakan pun akan semakin meningkat dan berkembang. Oleh

karena itu, bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu masyarakat.

Uraian mengenai fungsi bahasa serta kaitannya dengan budaya berfungsi

untuk menjelaskan posisi serta fungsi go’et di lingkungan masyarakat Manggarai,

yaitu sebagai media bahasa yang digunakan dalam upacara-upacara tradisional

maupun dalam berbagai situasi lain dalam kehidupan sehari-hari.

1.6.5 Tindak Tutur

Searle dalam Wijana (1996: 17) mengemukakan bahwa secara pragmatis

setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang

penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan

tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk

menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something.

Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu,

dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur

yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing

something.

Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya

pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau

(33)

penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi

lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the act of affecting

someone (Wijana, 1996: 19-20).

Tindak tutur digunakan untuk menganalisis maksud ujaran penutur go’et

sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar). Dari hasil analisis yang

dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam go’et

Manggarai terdapat tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur

perlokusi.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni : (i) pengumpulan data atau

penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan

diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap penelitian.

1.7.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semantik.

Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur

sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

1.7.2 Tahap Penyediaan Data

Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa

Manggarai. Objek penelitian dalam data berupa ujaran atau tuturan masyarakat

(34)

  15

atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak atau penyimakan

dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Mahsun,

2005:90). Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap, yaitu

penggunaan bahasa dari sumber tertulis yaitu dari buku referensi yang berkaitan

dengan kebudayaan Manggarai, dan data lisan diperoleh dari hasil wawancara

berupa ujaran masyarakat pemakai go’et. Metode cakap atau percakapan yaitu

metode berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan

penutur selaku nara sumber (Sudaryanto, 1993:137). Metode cakap diwujudkan

melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya adalah teknik pancing

karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya

dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan

untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun,

2005:94). Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan dalam teknik lanjutan, yaitu

teknik cakap bertemu muka. Teknik selanjutnya yang digunakan adalah dengan

teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan

merekam penggunaan bahasa. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan

mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45).

Dalam penelitian ini, teknik cakap bertemu muka digunakan ketika peneliti

melakukan wawancara dengan nara sumber. Teknik rekam digunakan untuk

merekam penggunaan bahasa / tuturan nara sumber. Teknik catat digunakan untuk

mencatat hasil rekaman tuturan nara sumber pada kartu data ketika hendak menyusun

(35)

1.7.3 Tahap Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah

metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa

(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,1993:13). Metode padan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis.

Metode padan translasional adalah adalah metode padan yang alat penentunya

berupa bahasa lain. Bahasa lain yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang

diteliti (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan

bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Sebagai

contoh, kata Mori dalam bahasa Manggarai tidak teridentifikasi dalam bahasa

Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, Mori berarti Tuhan atau Sang Pencipta.

Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan

atau mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya satuan

kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau

mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara.

1.7.4 Tahap Penyajian Hasil analisis Data

Setelah data dianalisis, maka dilakukan tahap penyajian hasil analisis data.

Data yang sudah dianalisis disusun secara sistematis. Penyajian hasil analisis data

terhadap objek penelitian go’et Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi

(36)

  17

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dijabarkan menjadi empat bab, yaitu: (i) Pendahuluan,

(ii) Gambaran Umum Lokasi Penelitian, (iii) Pembahasan, (iv) Penutup. Bab I berisi

pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik

penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi pernyataan atau

penjelasan singkat mengenai topik penelitian, alasan pemilihan topik penelitian serta

aspek yang akan dibahas dari topik penelitian. Tujuan penelitian merupakan uraian

mengenai tujuan yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan

pustaka berisi ulasan tentang kajian yang telah dilakukan tentang objek penelitian,

atau penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Landasan teori adalah kerangka

berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah penelitian. Metode

dan teknik penelitian berisi uraian mengenai metode dan teknik dalam melakukan

sebuah penelitian. Sistematika penyajian berisi uraian mengenai metode penelitian,

hasil dari penelitian yang dilakukan.

Bab II menguraikan tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yaitu

mengenai topografi dan demografi lokasi penelitian. Topografi adalah pemetaan

yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada daerah tertentu, yang meliputi luas

wilayah, keadaan geografis, letak astronomi berdasarkan garis lintang dan garis

bujur. Demografi adalah ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan

(37)

Bab III berisi pembahasan topik penelitian yang meliputi makna dan fungsi go’et

(ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Pada bab ini, penulis akan

melakukan transkrip bahasa, yaitu dari bahasa Manggarai ke bahasa Indonesia.

Bab IV berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang

dimaksud adalah kesimpulan tentang makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional)

dalam bahasa Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat. Saran yang dimaksud

(38)

19  BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Pengantar

Penjabaran lokasi penelitian berfungsi untuk menjelaskan keadaan wilayah

lokasi penelitian yang meliputi keadaan topografi dan demografi. Topografi adalah

kajian atau penguraian terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah atau

suatu kawasan tertentu. Demografi adalah uraian atau gambaran politis dari suatu

bangsa dilihat dari sudut sosial penduduk; ilmu kependudukan.

2.2 Topografi

Manggarai berasal dari kata mangga dan rai. Dalam bahasa Bima, mangga

berarti jangkar, dan rai yang berarti lari. Jadi, Manggarai berarti jangkar yang dibawa

lari. Nama Manggarai diberikan oleh pasukan Bima yang diutus Sultan Bima untuk

menghukum rakyat Cibal karena dianggap melawan perintah kesultanan Bima

(Hemo, 1988: 45).

Pada abad XVI Manggarai berada di bawah kekuasaan Gowa. Hubungan antara

Manggarai dan Gowa pada mulanya merupakan hubungan perdagangan. Pada abad

XVII Gowa meningkatkan hubungannya dengan daerah Manggarai menjadi

hubungan yang bersifat politik. Sebelum Gowa masuk ke daerah Manggarai, ada

beberapa pemerintahan suku yang berkuasa atas wilayah-wilayah di Manggarai.

Pemerintahan suku yang mendominasi saat itu adalah Cibal, Todo, Lamba Leda, dan

Bajo. Keempat kekuasaan tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan

(39)

terang-terangan kerajaan Gowa melepaskan daerah Manggarai dari pengaruh

kekuasaaannya. Secara tiba-tiba dan secara sepihak kesultanan Bima mengaku

sebagai penguasa di daerah Manggarai. Wakil Sultan Gowa yang berada di Reok

(nama salah satu wilayah di Manggarai) maupun keempat dalu (penguasa) yang

berkuasa di Manggarai tidak mengetahui bila Bima telah menguasai Manggarai.

Kehadiran orang Bima menimbulkan ketegangan karena kehadiran mereka ditolak

oleh Wakil Sultan Gowa serta keempat dalu (penguasa) di Manggarai. Hal itu

disebabkan karena mereka masih tunduk kepada Sultan Gowa sebagai penguasa

(Hemo, 1988: 41).

Mundurnya Gowa dari daerah Manggarai disebabkan beberapa hal, di antaranya

adalah perang Makasar melawan VOC tahun 1666 yang dimenangkan oleh VOC.

Tahun 1667 Raja Hasanuddin diminta untuk menandatangani perjanjian Bongaya.

Isi perjanjian Bongaya antara lain Makassar harus melepaskan daerah-daerah

bawahannya. Setelah Makasar ditaklukan VOC, satu per satu kerajaan kecil lainnya

termasuk Gowa ditaklukkan. Raja-raja tersebut, termasuk raja Gowa menandatangani

perjanjian dan melepaskan daerah-daerah bawahannya ( Hemo, 1988: 42).

Walaupun Gowa tidak secara terang-terangan melepaskan daerah Manggarai,

Cibal pasti tidak akan menerima siapa saja selain Gowa. Sikap Cibal yang menolak

kehadiran Bima membuat Sultan Bima marah. Ia mengirimkan pasukan untuk

menghukum rakyat Cibal. Pasukan Bima menyampaikan pesan kepada dalu Cibal

bahwa pasukan Bima telah menguasai daerah Cibal. Apabila kedaluan Cibal tidak

mengakui kekuasaan sultan, rakyat Cibal akan dihukum. Pesan yang disampaikan

(40)

  21

para pemimpin pasukan Cibal sepakat untuk menghadapi pasukan Bima agar mereka

tidak seenaknya memasukkan pengaruhnya di daerah kekuasaannya. Peperangan

tidak dapat dihindari. Kedua pasukan saling saling beradu di medan pertempuran.

Pasukan Bima memperhitungkan bahwa pasukan Cibal dapat dikalahkan dengan

mudah,tetapi dugaan mereka meleset. Pasukan Cibal ternyata lebih unggul dan

memenangkan perang. Karena semakin terdesak oleh serangan pasukan Cibal,

pemimpin pasukan Bima meminta pemimpin pasukan Cibal untuk menghentikan

serangan. Permintaan tersebut diterima oleh kepala pasukan Cibal, lalu ia

memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan serangan. Beberapa tokoh dan

pemimpin kelompok pasukan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kepala

pasukan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan memutuskan tali-tali jangkar

perahu pasukan Bima dan jangkar-jangkar tersebut diambil oleh anggota pasukan

Cibal. Melihat tindakan pasukan Cibal, anak buah perahu pasukan Bima berteriak:

“ Manggarai, manggarai, manggarai” (artinya jangkar dibawa lari) (Hemo, 1988:

45).

Manggarai adalah salah satu kabupaten yang berada di pulau Flores,

Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 7.136,4 km2. Kondisi geografis

daerah Manggarai terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan dataran tinggi yang

diselang-seling oleh dataran rendah. Secara geografis, sebelah timur Kabupaten

Manggarai berbatasan dengan Kabupaten Ngada di Wae Mokel, Wae Mapar, dan

Laut Flores. Sebelah barat berbatasan dengan Provpinsi Nusa Tenggara Barat di

Selat Sape. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan

(41)

antara 8º30’-8º50 lintang selatan dan antara 119º30’-120º50’ bujur timur (Hemo,

1988: 1).

Secara pemerintahan wilayah Manggarai terdiri dari tiga kabupaten, yaitu

kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai

Timur. Pada tahun 2003, Kabupaten Manggarai Barat terbentuk. Wilayahnya

meliputi daratan Pulau Flores bagian barat dan beberapa pulau kecil sekitarnya,

diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya

Kecil, Pulau Bidadari, dan Pulau Longgos. Pada tanggal 17 Juli 2007, Kabupaten

Mangarai Timur terbentuk dengan ibu kota Borong. Luas wilayahnya 2.643,41 km2.

Walaupun Manggarai terbagi menjadi tiga kabupaten, namun tetaplah menjadi “satu

kesatuan” dengan kabupaten Manggarai sebagai kabupaten induk (http: // www.

Pos-Kupang.com).

2.3 Demografi

Dalam tradisi lisan, nenek moyang orang Manggarai dikisahkan sebagai

makhluk berbulu, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Mereka belum mengenal api

(metaforik) sehingga mereka makan makanan mentah (Dami N. Toda via Nggoro,

2004:26).

Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa sub-klan

yang nenek moyangnya berasal dari luar daerah Manggarai, antara lain dari Bima,

Bugis, Goa, Serang, Makasar, Sumba, Boneng Kabo. Itu artinya bahwa nenek

moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Oleh karena

(42)

  23

berdasarkan suku asalnya. Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai

kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa / Makasar / Bugis). Hal

tersebut dapat dlihat dari segi bahasa yang mempunyai beberapa kesamaan.

Misalnya istilah yang merujuk pada sebutan untuk bangsawan. Di Manggarai

dikenal dengan kata keraeng dan di Makasar dikenal dengan istilah karaeng. Berikut

ini contoh beberapa unsur bahasa yang memiliki kesamaan dengan suku-suku yang

disebutkan di atas (Nggoro, 2004: 27) :

Bugis Goa / makasar Manggarai Indonesia

Manuk Lipa Kasiasi _ _ _ _ Bembe _ Lipa _ Somba opu Lampa

Karaeng

Nyarang

Bembe

Manuk

Lipa / towe

Kasiasi

Somba opu

Lampa

Keraeng

Jarang Bembe, mbe Ayam Sarung Miskin Menghormati leluhur

Jalan / melangkah

Bangsawan

Kuda

Kambing

Dari uraian di atas, asal-usul dan penghuni pertama daerah Manggarai tidak

diketahui secara pasti akibat tidak adanya sumber tertulis. Secara umum dapat

dikatakan bahwa penghuni pertama daerah Manggarai datang dari barat sesuai

dengan teori penyebaran penduduk di Indonesia pada umumnya di masa lampau.

(43)

nenek moyang yang menurunkan warga wa’u. Namun dari cerita tersebut tidak

dapat ditentukan bahwa nenek moyang tertentu sebagai penghuni pertama daerah

Manggarai. Apalagi cerita itu diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi,

berbeda-beda serta bervariasi. Terlebih ada kebiasaan melarang menyebutkan nenek

moyang, jika bukan pada saat upacara tradisi yang sudah ditetapkan sejak nenek

moyang pertama, seperti upacara penti, hang rani, dan cepa. Pada upacara tersebut

para orang tua boleh menceritakan pengalaman nenek moyang mereka. Mereka

menyebut nama nenek moyangnya, tempat-tempat yang disinggahi, bahkan tentang

binatang yang mengantar nenek moyang ke suatu tempat atau cerita tentang binatang

yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Binatang itu kelak menjadi

binatang yang dianggap suci atau dikenal sebagai ceki/ mawa. Ceki adalah larangan

untuk membunuh dan memakan daging binatang menurut cerita lisan yang

diturunkan dari generasi ke generasi merupakan binatang yang telah meluputkan

nenek moyang dari bahaya. Menurut kepercayaan masyarakat Manggarai, apabila

larangan (ceki) dilanggar maka yang bersangkutan akan menderita sakit yang

berkepanjangan atau cacat mental. Tiap wa’u mempunyai ceki atau mawa

masing-masing. Ceki atau mawa sesungguhnya merupakan lambang setiap wa’u (Hemo,

1988: 8).

Seperti telah disebutkan bahwa asal-usul dan penghuni pertama daerah

Manggarai belum diketahui, maka sulit untuk menentukan wa’u (klan) manakah

sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Seorang pastor SVD, Dr. P.J. Glinka

mengadakan penelitian tentang prasejarah perkembangan kehidupan masa lampau

(44)

  25

penelitian, P.J. Glinka menggunakan metode berdasarkan indeks kepala, wajah,

hidung dan tinggi kepala. Hasil penelitian Dr. P.J. Glinka S.V.D berhasil

mengungkapkan tipe penduduk Nusa Tenggara timur yang terdiri dari tiga tipe.

Ketiga tipe tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tipe europoid yang mirip ras

mediteran di sekitar Laut Tengah, India sampai Polinesia. Kedua, tipe pacifid yang

termasuk golongan mongoloid yang menyebar di Jepang, Taiwan, Filipina dan

Polynesia. Tipe ketiga adalah tipe negroid. Di daerah Manggarai, ketiga tipe

penduduk tersebut ada, yakni Eouropoid 42,1 %, Pasifid 22,6 % dan Negroid 35,3%

(Hemo, 1988: 9).

Seorang linguis yang pernah mengadakan penelitian di Manggarai adalah Jilis

AJ Verheijen, S.V.D, seorang misionaris berkebangsaan Belanda. Berdasarkan

penelitian Verheijen, bahasa yang digunakan di Manggarai adalah bahasa Manggarai

dengan dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah. Seluruh masyarakat Manggarai

merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap

perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat (http : //

kraengadhy.blogspot.com).

Penggunaan bahasa daerah Manggarai mempunyai sistem yang dapat dibedakan

menurut maksud serta tujuan penggunaan bahasa, terdiri dari bahasa percakapan

sehari-hari, bahasa upacara adat, doa-doa upacara yang mempunyai nilai religius,

bahasa tanda atau bahasa sandi, bahasa lambang atau simbol, ungkapan dan syair.

Bahasa tanda adalah suatu cara mengungkapkan suatu maksud tanpa diucapkan

berupa kata-kata, melainkan dengan menggunakan benda atau tanda tertentu.

(45)

orang lain tanpa izin pemilik kebun karena kebutuhan mendesak, maka orang

tersebut akan memberikan tanda berupa ranting atau daun-daunan. Bahasa simbol

atau bahasa lambang adalah suatu sistem menyampaikan maksud dengan

menggunakan kata-kata simbol atau lambang. Misalnya istilah untuk meminang

seorang gadis dikenal dengan istilah taeng kala rana (taeng= meminta, kala=sirih,

rana= buah, daun yang pertama kali digunakan). Ungkapan dalam bahasa daerah

Manggarai mempunyai makna dan arti bagi kehidupan manusia, sehingga dapat

dijadikan pedoman dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Ungkapan-ungkapan

tersebut mengandung pesan untuk diteladani manusia dalam bertindak, bersikap, dan

(46)

27  BAB III

MAKNA DAN FUNGSI GO’ET (UNGKAPAN TRADISIONAL) DALAM

BAHASA MANGGARAI

3.1 Pengantar

Pada bab ini diuraikan makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam

bahasa Manggarai, dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Sesuai teori

Hutomo via Suarjana (1995: 25), dalam budaya masyarakat Manggarai juga

ditemukan tujuh jenis ungkapan tradisional yang terdapat dalam budaya masyarakat

Manggarai, meliputi ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan

hidup, ungkapan untuk mengenakkan pembicaraan, ungkapan berkaitan dengan

larangan, berkaitan dengan status sosial seseorang, berkaitan dengan bahasa rahasia,

berkaitan dengan ejekan, dan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.

Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah

dan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan

yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan ungkapan gambaran kepercayaan

orang Manggarai akan Wujud Tertinggi, sedangkan ungkapan yang berkaitan

dengan kegiatan hidup berfungsi untuk menggambarkan keseharian kehidupan

masyarakat Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta mengungkapkan

relasi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan untuk mengenakkan

pembicaraan berjumlah tiga buah yang berfungsi untuk memperhalus kata / ucapan

seseorang agar enak didengar. Ungkapan yang berkaitan dengan larangan berjumlah

(47)

masyarakat. Ungkapan tersebut berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, untuk

mendidik budi pekerti anak agar tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia berjumlah enam puluh

delapan buah yang berfungsi untuk tujuan etis agar tidak menyinggung perasaan

orang yang sedang dibicarakan. Ungkapan berkaitan dengan ejekan berjumlah satu

buah, yang berfungsi untuk menyindir orang. Ungkapan yang menunjukkan pertalian

kekeluargaan berjumlah tiga belas buah, yang berfungsi untuk mengungkapkan

hubungan kekerabatan dalam keluarga. Ungkapan yang berkaitan dengan status

sosial seseorang berjumlah dua buah, berfungsi untuk menjelaskan kedudukan serta

status sosial seseorang dalam lingkungan masyarakat. Berikut ini diuraikan mengenai

makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai.

3.2 Makna Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat

disimpulkan bahwa go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai

mengandung makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas

adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan

kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk

tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Berikut

ini akan diuraikan mengenai makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa

(48)

  29

3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup

Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah,

sedangkan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah.

Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan gambaran kepercayaan

masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi yang disebut MoriKraeng (Tuhan

Allah) yang diyakini memiliki kekuasaan tertinggi dan tak terbatas, yang

menciptakan manusia dan alam semesta. Selain mengakui Tuhan sebagai Pencipta

dan Penguasa, masyarakat Manggarai juga menganut kepercayaan animisme dan

dinamisme. Ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup merupakan gambaran

keseharian masyarakat Manggarai, dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

3.2.1.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan

Berikut ini diuraikan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan

kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi.

(1) Mori’n agu Ngara’n ata Jari agu Dédék tana wa awang’n eta

‘ Tuan dan pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’

Secara leksikal, kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”, “ketua”.

Seorang atasan biasanya disapa dengan mori, lazimnya didahului kata yang

menyatakan rendahan, yakni yo. Sekali-sekali dipakai juga sebagai sebutan manja

terhadap anak-anak. Dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dédék tana wa

awang’n eta di atas, kata Mori bukan merupakan kata sapaan melainkan berfungsi

referensial. Di sini –n adalah sufiks posesif persona ketiga tunggal. Contoh: morin

(49)

menambahkan kata penentu, berarti “Tuhan”, “Tuhan tertinggi”. Nyata bahwa –n di

sini menunjukkan hubungan antara Allah dengan sesuatu yang tunggal khususnya

alam semesta (Verheijen, 1991: 34-35).

Agu (dan) dan yang selalu mendapat sufiks posesif –n di belakang Ngara,

adalah nama Allah yang paling banyak dipakai dalam doa-doa yang lebih resmi.

Adapun kata ngara (dalam beberapa dialek : nggara) kira-kira sinonim dengan mori,

sebutan ini umum dan dipakai di seluruh Manggarai. Mori agu Ngara’n dapat

dipandang sebagai nama yang spesifik untuk Wujud Tertinggi. Nama untuk Allah

yang tersebar luas ini terdiri atas dua buah kata kerja. Jari berarti “menjadi”,

“berhasil”, “berjalan baik”, “menjadikan”, dan sebagainya. Dedek berarti

“membuat”, “membentuk”, “menempa”, dan lain-lain. Kata ini dipakai untuk

membuat hal perabot, periuk-periuk tanah, cincin, uang, dan lain-lain. Juga hal

melahirkan anak dinyatakan dengan jari dan dédék. Kedua kata ini dipinjam dari

bahasa Makasar (jari dan dédé), tetapi ungkapannya merupakan suatu kekhasan

Manggarai. Ungkapan ini diucapkan dalam doa-doa orang Manggarai. Pada

umumnya Jari agu Dédék dipakai dalam nas-nas yang meriah. Gabungan ini

mengungkapkan pengertian tunggal, paling tepat diterjemahkan dengan “Pencipta”

atau “Pembuat” ( Verheijen, 1991: 36-38).

Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang’n eta

mengandung makna bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Tuhan, yang

memiliki kekuatan melebihi daya jangkauan mereka, yang diyakini sebagai pencipta

(50)

  31

(2) Imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite-Mori Jari agu Dédék

‘ Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan kita - Tuhan pencipta

dan penjadi’

Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek

mengandung makna bahwa orang Manggarai percaya akan adanya Tuhan sebagai

pencipta dan penjadi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta.

(3) Mori ata pukul par agu kolep

‘ Tuhan yang mengatur dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’

Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep mengandung makna bahwa orang

Manggarai meyakini kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta yang tak terbatas oleh

waktu. Tuhan-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, sejak

matahari terbit hingga terbenam. Wilayah kekuasaannya sangat luas dan tak terbatas.

(4) Mori nipu riwu ongko do

‘ Tuhan mengatur segala-galanya ’

Ungkapan Mori nipu riwu ongko do mengandung makna bahwa orang

Manggarai meyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada

di muka bumi. Hidup, mati, suka dan duka manusia ada dalam tangan-Nya.

(5) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng

de Dédék

‘Kuasa Tuhan tidak dapat dihalang-halangi - kehendak Pencipta tidak

dapat dirintangi’

Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n

(51)

tertinggi ada di tangan Sang Pencipta dan manusia tak berdaya menghadapi

kuasa-Nya. Apa pun bila itu menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi.

(6) Suju neka tumpus - ngaji neka caling- ngaji bilang bari kamping Jari

‘Jangan berhenti bersujud - jangan berhenti berdoa - berdoalah ke

hadapan Tuhan setiap hari’

Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping

Jari mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk bersujud dan

berdoa di hadapan Tuhan Sang Pencipta, mengucap syukur atas segala karunia yang

diberikan Tuhan kepada manusia setiap hari.

(7) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dédék

‘ Sembah dan pujilah Tuhan Penguasa - Pemilik dan Pencipta

Ungkapan Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate jari Dédék mengandung

makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menyembah dan memuji Tuhan

Allah sebagai Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan bagi mereka.

(8) Hiang Hia te pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau-

awang’n eta - tana’n wa'

‘ Hormatilah Dia yang menguasai alam semesta - langit dan bumi - Dia

telah menciptakan segala mahluk dan Dia yang menguasai waktu dari

terbitnya matahari hingga terbenamnya’

Ungkapan Hiang Hia te pukul par’n awo - agu kolep’n sale - ulun le -

wa’in lau - awang’n eta - tana’n wa mengandung makna bahwa manusia harus

menghormati Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Tuhan-lah

(52)

  33

Dalam tradisi Manggarai, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi tersirat dan

tersamar dalam setiap upacara adat. Tempat diadakan upacara adat bervariasi, seperti

dalam mbaru gendang (rumah adat), dalam rumah pribadi, di compang (mesbah /

altar) yang terletak di tengah kampung, di ladang, di mata air, di pekuburan, dan

sebagainya ( Janggur, 2008: 5).

(9) Mori Keraéng

Sebutan Mori Keraéng tersebar di seluruh Manggarai. Sebutan ini dapat

dianggap sebagai nama Allah yang paling lazim dipakai bila orang berbicara

mengenai Wujud Tertinggi. Pemakaian nama Mori Keraéng dimajukan oleh

pengaruh agama Katolik, sebab misionaris yang pertama mengangkat sebutan ini

sebagai nama yang utama untuk Allah. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa

nama ini sedikit saja dijumpai dalam doa-doa persembahan yang komunal dan

panjang-panjang tetapi sering terdapat dalam doa-doa yang bersifat pribadi

(Verheijen, 1991: 37).

(10) Ronan éta mai - winan wa mai

‘ Suaminya di atas - istrinya di bawah’

Secara leksikal, kata rona dan wina dalam bahasa Manggarai masing-masing

berarti “suami” dan “istri”. Sufiks posesif –n ‘nya’ menunjukkan hubungan timbal

balik. Rona dan wina dalam kalimat di atas adalah sebutan orang Manggarai untuk

menyebut Wujud Tertinggi. Sebutan untuk Wujud Tertinggi ini dijumpai antara lain

di wilayah Ruteng, Todo - Pongkor, dan di wilayah Kolang. “pria di atas” adalah

sinonim dengan “langit”, “bentangan langit”, dan “wanita di bawah” sinonim dengan

(53)

bentangan langit, sebab hujan berasal dari bentangan langit, turun dan mengenai

bumi. Dari itu bumi adalah istri dari langit. Air hujan, cairan tubuh langit, turun ke

bumi sehingga tanaman-tanaman bertumbuh dan menjadi besar. Dari uraian tersebut,

dapat disimpulkan bahwa “suami di atas-istrinya di bawah” merupakan sinonim

“langit dan bumi”; jadi sebagai nama metonimis untuk wujud tertinggi. Hal ini sering

kali cocok dengan pengucapan sastra. Bahwa orang menempatkan atribut “di atas”

dan “di bawah” pada “langit “ dan “bumi” sudah sewajarnya. Dalam hubungan ini

dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnya orang berpikir Mori Keraéng bertahta

di atas, dan dari atas Ia memandang kita. Orang menganggap langit sebagai atribut

bagi Wujud Tertinggi ( Verheijen, 1991 : 43-45).

(11) Amé rinding mané - iné rinding wié

‘ Ayah pelindung di malam hari - ibu pengayom di tengah malam’

Ungkapan amé rinding mané - iné rinding wié mengandung makna yang

sama dengan ungkapan amé éta - iné wa, yaitu sebagai nama metonimis untuk

Wujud Tertinggi.

(12) Pong dopo ngalor masa

‘ Daerah angker berawa-rawa; palungan air yang kering’

Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, masyarakat Manggarai

menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu

kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami suatu tempat (pohon, batu, gunung, dan

sebagainya). Dinamisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai

(54)

  35

sampai saat ini, daerah berawa-rawa dihuni oleh mahluk halus, diyakini dapat

membawa kebaikan; kesejahteraan sekaligus bencana.

(13) Hau muing be sina - ami muing be ce’e

‘ Engkau bagian sana - kami bagian sini’

Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan idiom untuk

menyatakan makna bahwa tidak ada hubungan lagi antara orang yang sudah mati

dengan yang masih hidup. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang diucapkan

pemimpin adat pada upacara kematian, agar yang meninggal tidak mengganggu

keluarganya yang masih hidup.

(14) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung

‘ Semoga engkau menjadi penghalang di depan penutup di bagian

belakang’

Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan

idiom untuk menyatakan harapan agar orang yang sudah mati menjadi pelindung

bagi yang masih hidup dari musibah, baik yang datang dari depan maupun belakang.

(15) Boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong

Ungkapan boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong

merupakan sebuah doa yang diucapkan tetua adat ketika memberikan persembahan

berupa sesajen kepada arwah para leluhur (empo) pada saat upacara penti agar

mereka tidak mencari atau mengambil sendiri dari tengah-tengah keluarga yang

masih hidup. Orang Manggarai menyakini bahwa para arwah bisa saja mengambil

(55)

3.2.1.2 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup

(16) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni

‘ Berangkat kerja pagi hari - pulang sore hari- bekerja sampai kuku

tumpul - punggung terluka terkena terik matahari yang menyengat’

Ungkapan duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni merupakan

idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja. Ungkapan tersebut

menggambarkan keseharian orang Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Dengan bekerja keras diharapkan dapat memperoleh hasil yang berlimpah sehingga

dapat mendukung kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga.

(17) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io

‘ Hormatilah orang yang lebih tua - berbicaralah dengan sopan-

tunjukkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan hati orang lain’

Ungkapan hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io

mengandung makna yang berisi ajakan agar orang Manggarai menghargai dan

menghormati orang lain, terlebih kepada yang lebih tua. Hal tersebut dilakukan

dengan berbicara secara sopan dan mengikuti tata krama yang ada dalam masyarakat.

Jika kita menghargai orang lain, orang lain juga akan menghargai kita.

(18) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil- p

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang dalam penelitian ini adalah orang – orang sudah lupa bahkan tidak mengerti lagi dengan makna yang terkandung pada setiap ornamentik pada Gotong

ditambah dengan [ ] (maju), yang berarti dapat terlewati dengan lancar tanpa hambatan. Dan dari kedua kanji tersebut bila di gabungkan, maka terbentuklah sebuah kata yang

Maka makna “Kecil” kalimat di atas sesuai dengan Kamus bahasa Indonesia bahwa.. “Kecil” yaitu tidak besar, tidak luas dan Kikuo Nomoto menyatakan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Tongkat Tunggal Panaluan pada museum GKIP Pangururan, untuk mengetahui perubahan bentuk, fungsi dan makna dengan

2113151020, “ ANALISIS PENERAPAN ORNAMEN TRADISIONAL ALAS PADA KHUMAH ADAT ALAS DITINJAU DARI SEGI BENTUK, WARNA, DAN MAKNA SIMBOLIK DI KEC.. Penelitian ini bertujuan

Namun dalam penelitian ini ditaruh pada tahap awal karena proses penilaian dilakukan pada tahap awal yakni memberikan penilaian terhadap makna ungkapan tradisional

berbelakangan” (Data-10). Makna ungkapan pantangan ini merupakan pantangan pada saat makan bersama keluarga tapi dalam keadaan saling tidak berhadapan. Adapun ungkapan

Sebelum berlanjut ke contoh kalimat yang mengandung konotasi, ada baiknya adik-adik memahami terlebih dahulu apa itu Makna Konotasi, Idiom (Ungkapan), dan Juga Metafora..