ix
ABSTRAK
Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua, go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.
x
Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur.
Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya, go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya.
Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.
xi ABSTRACT
Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian
Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people.
The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.
The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.
xii
pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.
The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand.
Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people.
i
( UNGKAPAN TRADISIONAL) MANGGARAI DITINJAU DARI SEGI MAKNA DAN FUNGSI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Maria Sulastri NIM: 064114015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
♥
♥
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas segala rahmat serta berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul “Go’ét” (Ungkapan Tradisional) dalam
Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi” disusun untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra Indonesia di Universitas Sanata
Dharma.
Dalam proses penyusunan skrispi, ada banyak pihak yang turut membantu
penulis demi kelancaran penyusunan skripsi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah
membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis.
2. Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah
membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis.
3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Drs. Hery Antono, M.Hum. Drs. P. Ari
Subagyo, M.Hum. Drs. F.X. Santosa, M.S. S.E. Peni Adji, S.S,
M.Hum; atas pengetahuan yang telah dibagikan kepada penulis
vi
4. Bapak Gaudensius Bombang atas segala kritikan dan sarannya
kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.
5. Buat naca momang (yayang) yang selalu memberikan dukungan,
semangat serta kritikan kepada penulis selama proses penyusunan
skripsi.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan
skripsi.
Penulis menyadari bahwa karya ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
demi penyempurnaan karangan ini.
Yogyakarta, September 2010
Penulis
ix
ABSTRAK
Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua, go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.
x
Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur.
Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya, go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya.
Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.
xi ABSTRACT
Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian
Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people.
The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.
The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.
xii
pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.
The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand.
Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people.
xv
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisonal) dalam bahasa
Manggarai: tinjauan makna dan fungsi. Go’et merupakan milik masyarakat
Manggarai, namun hanya segelintir orang dalam masyarakat Manggarai yang
benar-benar memahami go’et dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil observasi, go’et umumnya hanya dikuasai dengan baik dan
sempurna oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai (tetua adat,
tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang-orang muda sangat jarang
yang menguasainya apalagi menghafalnya. Go’et sudah lama dikenal masyarakat
Manggarai. Umumnya orang sudah sering mendengarnya ketika diucapkan oleh para
orang tua, baik dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
Ungkapan tradisional umumnya berisi pendidikan etik dan moral,
norma-norma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma-norma tingkah
laku bagi setiap anggota masyarakat (Athaillah dkk.1984:1). Selain itu, ungkapan
tradisional pada hakikatnya adalah ide, pandangan, keinginan, sikap, serta perbuatan
yang seharusnya dilakukan ataupun yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai
ungkapan tradisional, go’et mengandung nilai pendidikan, etik, moral, norma-norma
sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi
selanjutnya. Norma-norma itu harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap
anggota, terutama yang sedang berfungsi atau yang akan menerima fungsi sebagai
pemimpin masyarakat. Generasi muda perlu memahami dan menghayati ungkapan
tradisional dengan baik agar dapat memilah unsur-unsur yang dapat digunakan dalam
pembinaan generasi berikutnya. Dalam masyarakat tradisional, pewarisan nilai-nilai
ini dilakukan melalui jalur pendidikan non-formal yang ada dalam masyarakat.
Berikut ini adalah contoh go’et Manggarai:
(1) Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta
‘ Tuan dan Pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’
(2) Kantis nai rai ati
‘ Mengasah hati dan paru-paru’
Kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta pada contoh (1)
merupakan ungkapan untuk menghormati Tuhan Allah sebagai pencipta alam
semesta, yang diucapkan pada saat upacara keagamaan atau upacara adat. Ungkapan
tersebut menggambarkan kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui Tuhan
sebagai pencipta, sumber dari segala sesuatu yang ada di bumi dan merupakan
kekuasaan tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati pada contoh (2) merupakan idiom
untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja dan berusaha. Ungkapan tersebut
merupakan nasihat dari orang tua kepada generasi muda untuk senantiasa bekerja
keras, memanfaatkan waktu dengan baik agar apa yang dicita-citakan atau yang
diharapkan dapat tercapai.
Kedua contoh di atas mengandung ajaran tentang nilai pendidikan dan nilai
3
Selain berisi nilai pendidikan dan nilai moral, kedua contoh di atas juga merupakan
ide, pandangan, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota
masyarakat Manggarai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Nilai
pendidikan yang terdapat dalam kalimat Mori agu Ngara’nata Jari Dedek tana’n wa
awang eta yaitu berisi ajaran agar umat manusia mengakui dan menghormati Tuhan
sebagai Sang Pencipta, asal mula dari segala sesuatu yang ada di bumi, dan sebagai
kekuasaan yang tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati mengandung nilai pendidikan
serta nilai moral mengenai apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mencapai
sebuah kesuksesan yaitu dengan cara bekerja keras dan tekun dalam berusaha. Kedua
ungkapan tersebut merupakan pandangan, keinginan serta sikap masyarakat
Manggarai dalam keseharian di lingkungan masyarakat.
Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti
yang mengumpulkan go’et Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai
makna serta fungsi yang terkandung dalam go’et Manggarai. Kedua, go’et
Manggarai sebagai salah satu bagian dari budaya Manggarai hanya dikuasai dan
dipahami oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Jika
para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’et Manggarai akan hilang
karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah makna go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat
Manggarai?
1.2.2 Apakah fungsi go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat
Manggarai?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1 Menjelaskan makna go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai;
1.3.2 Menjelaskan fungsi go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik dan
bidang pragmatik. Dalam bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk
menganalisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’et Manggarai. Dalam bidang
pragmatik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memahami tuturan yang diucapkan
penutur agar dapat dipahami oleh mitra bicara. Secara praktis, hasil penelitian ini
dapat menambah perbendaharaan pustaka, khususnya kebudayaan daerah. Selain itu,
hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pewarisan budaya, menjadi tolak ukur
dalam melakukan penelitian baru dalam bidang kebudayaan dan memperkenalkan
5
1.5 Tinjauan Pustaka
Nggoro (2004) dalam bukunya yang berjudul Budaya Manggarai: Selayang
Pandang membahas go’et Manggarai secara sepintas dalam kaitannya dengan
budaya Manggarai mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan dapat dipahami sebagai hubungan yang terjalin
karena pertalian darah atau perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan
pergaulan hidup sehari-hari. Dalam kaitannya dengan hubungan kekerabatan, go’et
digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga, yaitu percakapan
antara orang tua dan anaknya. Percakapan tersebut berisi nasihat orang tua kepada
anak, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Got (2007) dalam tesisnya yang berjudul Makna Adat Istiadat, Leluhur Putri
Nggerang,Budaya dan Pariwisata Manggarai bagi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
membahas go’et secara sepintas dari segi makna adat-istiadat dalam tradisi budaya
dan peristilahan. Tradisi budaya dan seni peristilahan yang dimaksud adalah
mengenai tradisi pesta yang berkaitan dengan adat-istiadat budaya dan agama, yaitu
suatu kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap tahun, dilakukan setelah musim
panen. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menghormati Sang Pencipta yang sering
diungkapkan dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta
(Tuhan Pencipta langit dan bumi) yang dipersonifikasikan dengan melakukan apa
yang disebut taking seki (memberikan sesajian kepada roh-roh nenek moyang) dan
naga golo (makhluk halus) yang diberikan oleh setiap panga (klan) yang menjaga
dipakai saat upacara adat dalam bentuk doa sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur
atau rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, penelitian mengenai
go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dari segi makna dan fungsi
belum pernah dilakukan.
1.6 Landasan Teori
Lima hal yang digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan masalah
yang terumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah (1) pengertian go’et,
(2) pengertian ungkapan tradisional, (3) pengertian makna, (4) fungsi bahasa dan
kaitannya dengan budaya, (5) tindak tutur.
1.6.1 Pengertian Go’et
Menurut Verheijen ( Kamus Manggarai-Indonesia, 1967: 143) go’et adalah
sajak, pantun, seloka, (ii) tutur bahasa.
Go’et adalah tutur bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari
berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, dalam upacara adat, dan upacara
keagamaan dalam lingkungan masyarakat Manggarai, berupa bahasa kiasan. Go’et
berisi pesan yang mengandung ajaran moral, disampaikan oleh para orang tua kepada
para generasi muda, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Go’et tidak dapat ditafsirkan
secara harafiah tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks pemakaian bahasa ketika go’et
7
Menurut Bruno Agut (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah,
perumpamaan (dalam bahasa Indonesia) berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama.
Contoh : kantis nai-rai ati. Pada kalimat kantis nai-rai ati terdapat persamaan bunyi
yang sama, yaitu pengulangan vokal [i].
Menurut Petrus Janggur (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah,
petuah yang mengandung nasihat, teguran untuk memberi motivasi dari orang tua
kepada generasi muda. Selain sebagai petuah, go’et merupakan ungkapan yang
penuh dengan makna simbolis.
Go’et dalam penelitian ini adalah ungkapan, perumpamaan, berupa kalimat
atau bunyi-bunyi yang sama, yang mengandung pesan tertentu dan digunakan untuk
berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
1.6.2 Pengertian Ungkapan Tradisional
Hutomo via Suarjana dkk (1994:15) menyebutkan bahwa ungkapan
tradisional adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan
suatu maksud dengan arti kiasan yang sehalus mungkin, tetapi mudah dimengerti.
Ungkapan tradisional itu terdiri dari berbagai jenis, yaitu:
(1) Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup;
(2) Ungkapan yang berkaitan dengan pertandingan atau permainan;
(3) Ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan;
(4) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan;
(5) Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang;
(7) Ungkapan yang berkaitan dengan ejekan;
(8) Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.
Gaffar (1990:20) menyatakan bahwa ungkapan tradisional atau peribahasa
adalah bahasa kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi
buah bibir banyak orang.
Ungkapan tradisional dalam penelitian ini adalah ungkapan atau ekspresi
seorang individu dalam usahanya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta
emosinya dalam bentuk satuan kebahasaan tertentu yang dianggap paling tepat,
dengan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan masyarakat setempat,
yang berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.
1.6.3 Pengertian Makna
Makna dibagi atas dua jenis, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna
primer terdiri dari makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal, sedangkan
makna sekunder terdiri dari makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal
(Wijana, 1998:9). Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya,
makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang
sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna denotatif sering juga disebut makna
denotasial, makna konseptual, atau makna kognitif yaitu makna yang sesuai dengan
hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual
9
Makna literal atau makna lugas adalah makna yanga harafiah yaitu makna kata yang
sebenarnya berdasarkan kenyataan (Chaer, 1989 : 62-68).
Makna konotatif merupakan makna tambahan dari makna denotatif yang
berasal dari masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu,
dapat juga peristiwa sejarah atau adanya pembedaan fungsi sosial dalam masyarakat.
Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk berbagai
tujuan etis (moral), estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dan sebagainya. Makna
gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti
proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer,1989 : 62-71).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna denotatif, makna
leksikal, dan makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa
tanpa bantuan konteks. Makna satuan bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan
konteks disebut makna primer. Makna konotatif, makna figuratif, dan makna
gramatikal hanya dapat diidentifikasi oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks,
yaitu melalui konteks pemakaian bahasa yang dipakai penutur bahasa. Makna
kesatuan bahasa yang hanya dapat diidentifikasi lewat konteks pemakaian bahasa
disebut makna sekunder.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat
disimpulkan bahwa go’et Manggarai mengandung makna literal dan makna figuratif.
Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang
sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang
dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom
kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom
tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya,
maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan
leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan
tersebut (Chaer, 1989:76-77).
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah
makna satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang “menyimpang”
dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya.
Menyimpangnya makna idiomatikal didukung oleh usaha penutur untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk satuan-satuan bahasa
tertentu yang dianggap paling tepat dan mengena (Chaer, 1989:78). Untuk dapat
memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa
yang diucapkan penutur, berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan digunakan.
Jadi, makna adalah maksud ujaran penutur dalam menyampaikan pesan atau
informasi berdasarkan kenyataan dengan menggunakan bahasa yang sederhana
sehingga langsung dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar), ataupun
menggunakan bahasa yang menyimpang dari arti sebenarnya untuk tujuan etis dan
estetis. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui
pemakaian bahasa yang diucapkan penutur berdasarkan situasi dan kondisi ketika
11
1.6.4 Fungsi Bahasa dan Kaitannya dengan Budaya
Bahasa merupakan salah satu bagian dari segi kebudayaan. Sebagai salah satu
segi kebudayaan, bahasa merupakan dasar dari kebudayaan. Kebudayaan sama
tuanya dengan manusia, begitu juga bahasa, hanya corak dan bentuknya yang
berbeda. Seperti halnya dengan manusia, bahasa dan kebudayaan juga berkembang.
Hal ini dapat dilihat dari riwayatnya dan bila kita bandingkan bahasa sekarang
dengan dahulu, jauh bedanya. Khazanah kata-kata pada setiap bahasa zaman
sekarang, lebih-lebih bahasa yang luas pemakaiannya, bukan main banyaknya dan
luas pula pengertiannya (Mahjunir, 1967:84).
Bahasa bukanlah warisan biologis, tetapi diperoleh melalui proses belajar dan
pengalaman sejak kecil. Dengan demikian, bahasa merupakan ciptaan manusia yang
berfungsi sebagai alat penghubung. Sebagai alat penghubung, bahasa memungkinkan
manusia untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Selain itu,
bahasa juga digunakan dalam proses pewarisan budaya, yaitu diwariskan secara
turun temurun kepada generasi berikutnya yang diperoleh dengan cara belajar, yang
dimulai dari lingkungan keluarga. Tanpa bahasa, kebudayaan tidak dapat
berkembang. Bahasa dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan dan
meneruskan kebudayaan, di samping alat-alat lain. Tanpa bahasa, manusia tidak
dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa timbul sesuai
dengan kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bahasa seperti halnya dengan segi-segi
kebudayaan lain merupakan ciri yang membedakan manusia dengan hewan
Keraf (1987: 3) mengatakan bahwa fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar
dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu
dalam garis besarnya dapat berupa:
(1) Untuk menyatakan ekspresi diri;
(2) Sebagai alat komunikasi;
(3) Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial;
(4) Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa digunakan sebagai
sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan serta emosi kita ketika berhadapan
langsung dengan orang lain dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai alat
komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan
kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama anggota
masyarakat. Bahasa mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan,
merencanakan, dan mengarahkan masa depan kita. Bahasa juga memungkinkan
manusia menganalisa masa lampau untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi
masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial, bahasa memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain
yang berbeda kebudayaan dengan kita. Bahasa merupakan sarana untuk belajar dan
memahami situasi di lingkungan sekitar kita dan memampukan kita untuk menjalin
suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Sebagai alat untuk mengadakan
kontrol sosial, bahasa mengatur cara berpikir dan bertindak dalam berinteraksi di
13
Bahasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sesuai dengan
perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya manusia sebagai hasil
dari kemajuan intelektual itu sendiri. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia,
maka bahasa yang digunakan pun akan semakin meningkat dan berkembang. Oleh
karena itu, bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu masyarakat.
Uraian mengenai fungsi bahasa serta kaitannya dengan budaya berfungsi
untuk menjelaskan posisi serta fungsi go’et di lingkungan masyarakat Manggarai,
yaitu sebagai media bahasa yang digunakan dalam upacara-upacara tradisional
maupun dalam berbagai situasi lain dalam kehidupan sehari-hari.
1.6.5 Tindak Tutur
Searle dalam Wijana (1996: 17) mengemukakan bahwa secara pragmatis
setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan
tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something.
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu,
dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur
yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing
something.
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya
pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau
penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi
lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the act of affecting
someone (Wijana, 1996: 19-20).
Tindak tutur digunakan untuk menganalisis maksud ujaran penutur go’et
sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar). Dari hasil analisis yang
dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam go’et
Manggarai terdapat tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur
perlokusi.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni : (i) pengumpulan data atau
penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan
diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap penelitian.
1.7.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semantik.
Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur
sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.
1.7.2 Tahap Penyediaan Data
Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa
Manggarai. Objek penelitian dalam data berupa ujaran atau tuturan masyarakat
15
atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak atau penyimakan
dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Mahsun,
2005:90). Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap, yaitu
penggunaan bahasa dari sumber tertulis yaitu dari buku referensi yang berkaitan
dengan kebudayaan Manggarai, dan data lisan diperoleh dari hasil wawancara
berupa ujaran masyarakat pemakai go’et. Metode cakap atau percakapan yaitu
metode berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan
penutur selaku nara sumber (Sudaryanto, 1993:137). Metode cakap diwujudkan
melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya adalah teknik pancing
karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya
dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan
untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun,
2005:94). Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan dalam teknik lanjutan, yaitu
teknik cakap bertemu muka. Teknik selanjutnya yang digunakan adalah dengan
teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan
merekam penggunaan bahasa. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan
mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45).
Dalam penelitian ini, teknik cakap bertemu muka digunakan ketika peneliti
melakukan wawancara dengan nara sumber. Teknik rekam digunakan untuk
merekam penggunaan bahasa / tuturan nara sumber. Teknik catat digunakan untuk
mencatat hasil rekaman tuturan nara sumber pada kartu data ketika hendak menyusun
1.7.3 Tahap Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah
metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa
(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,1993:13). Metode padan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis.
Metode padan translasional adalah adalah metode padan yang alat penentunya
berupa bahasa lain. Bahasa lain yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang
diteliti (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan
bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Sebagai
contoh, kata Mori dalam bahasa Manggarai tidak teridentifikasi dalam bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, Mori berarti Tuhan atau Sang Pencipta.
Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan
atau mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya satuan
kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau
mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara.
1.7.4 Tahap Penyajian Hasil analisis Data
Setelah data dianalisis, maka dilakukan tahap penyajian hasil analisis data.
Data yang sudah dianalisis disusun secara sistematis. Penyajian hasil analisis data
terhadap objek penelitian go’et Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi
17
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dijabarkan menjadi empat bab, yaitu: (i) Pendahuluan,
(ii) Gambaran Umum Lokasi Penelitian, (iii) Pembahasan, (iv) Penutup. Bab I berisi
pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik
penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi pernyataan atau
penjelasan singkat mengenai topik penelitian, alasan pemilihan topik penelitian serta
aspek yang akan dibahas dari topik penelitian. Tujuan penelitian merupakan uraian
mengenai tujuan yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan
pustaka berisi ulasan tentang kajian yang telah dilakukan tentang objek penelitian,
atau penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Landasan teori adalah kerangka
berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah penelitian. Metode
dan teknik penelitian berisi uraian mengenai metode dan teknik dalam melakukan
sebuah penelitian. Sistematika penyajian berisi uraian mengenai metode penelitian,
hasil dari penelitian yang dilakukan.
Bab II menguraikan tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yaitu
mengenai topografi dan demografi lokasi penelitian. Topografi adalah pemetaan
yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada daerah tertentu, yang meliputi luas
wilayah, keadaan geografis, letak astronomi berdasarkan garis lintang dan garis
bujur. Demografi adalah ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan
Bab III berisi pembahasan topik penelitian yang meliputi makna dan fungsi go’et
(ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Pada bab ini, penulis akan
melakukan transkrip bahasa, yaitu dari bahasa Manggarai ke bahasa Indonesia.
Bab IV berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang
dimaksud adalah kesimpulan tentang makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional)
dalam bahasa Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat. Saran yang dimaksud
19 BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Pengantar
Penjabaran lokasi penelitian berfungsi untuk menjelaskan keadaan wilayah
lokasi penelitian yang meliputi keadaan topografi dan demografi. Topografi adalah
kajian atau penguraian terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah atau
suatu kawasan tertentu. Demografi adalah uraian atau gambaran politis dari suatu
bangsa dilihat dari sudut sosial penduduk; ilmu kependudukan.
2.2 Topografi
Manggarai berasal dari kata mangga dan rai. Dalam bahasa Bima, mangga
berarti jangkar, dan rai yang berarti lari. Jadi, Manggarai berarti jangkar yang dibawa
lari. Nama Manggarai diberikan oleh pasukan Bima yang diutus Sultan Bima untuk
menghukum rakyat Cibal karena dianggap melawan perintah kesultanan Bima
(Hemo, 1988: 45).
Pada abad XVI Manggarai berada di bawah kekuasaan Gowa. Hubungan antara
Manggarai dan Gowa pada mulanya merupakan hubungan perdagangan. Pada abad
XVII Gowa meningkatkan hubungannya dengan daerah Manggarai menjadi
hubungan yang bersifat politik. Sebelum Gowa masuk ke daerah Manggarai, ada
beberapa pemerintahan suku yang berkuasa atas wilayah-wilayah di Manggarai.
Pemerintahan suku yang mendominasi saat itu adalah Cibal, Todo, Lamba Leda, dan
Bajo. Keempat kekuasaan tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan
terang-terangan kerajaan Gowa melepaskan daerah Manggarai dari pengaruh
kekuasaaannya. Secara tiba-tiba dan secara sepihak kesultanan Bima mengaku
sebagai penguasa di daerah Manggarai. Wakil Sultan Gowa yang berada di Reok
(nama salah satu wilayah di Manggarai) maupun keempat dalu (penguasa) yang
berkuasa di Manggarai tidak mengetahui bila Bima telah menguasai Manggarai.
Kehadiran orang Bima menimbulkan ketegangan karena kehadiran mereka ditolak
oleh Wakil Sultan Gowa serta keempat dalu (penguasa) di Manggarai. Hal itu
disebabkan karena mereka masih tunduk kepada Sultan Gowa sebagai penguasa
(Hemo, 1988: 41).
Mundurnya Gowa dari daerah Manggarai disebabkan beberapa hal, di antaranya
adalah perang Makasar melawan VOC tahun 1666 yang dimenangkan oleh VOC.
Tahun 1667 Raja Hasanuddin diminta untuk menandatangani perjanjian Bongaya.
Isi perjanjian Bongaya antara lain Makassar harus melepaskan daerah-daerah
bawahannya. Setelah Makasar ditaklukan VOC, satu per satu kerajaan kecil lainnya
termasuk Gowa ditaklukkan. Raja-raja tersebut, termasuk raja Gowa menandatangani
perjanjian dan melepaskan daerah-daerah bawahannya ( Hemo, 1988: 42).
Walaupun Gowa tidak secara terang-terangan melepaskan daerah Manggarai,
Cibal pasti tidak akan menerima siapa saja selain Gowa. Sikap Cibal yang menolak
kehadiran Bima membuat Sultan Bima marah. Ia mengirimkan pasukan untuk
menghukum rakyat Cibal. Pasukan Bima menyampaikan pesan kepada dalu Cibal
bahwa pasukan Bima telah menguasai daerah Cibal. Apabila kedaluan Cibal tidak
mengakui kekuasaan sultan, rakyat Cibal akan dihukum. Pesan yang disampaikan
21
para pemimpin pasukan Cibal sepakat untuk menghadapi pasukan Bima agar mereka
tidak seenaknya memasukkan pengaruhnya di daerah kekuasaannya. Peperangan
tidak dapat dihindari. Kedua pasukan saling saling beradu di medan pertempuran.
Pasukan Bima memperhitungkan bahwa pasukan Cibal dapat dikalahkan dengan
mudah,tetapi dugaan mereka meleset. Pasukan Cibal ternyata lebih unggul dan
memenangkan perang. Karena semakin terdesak oleh serangan pasukan Cibal,
pemimpin pasukan Bima meminta pemimpin pasukan Cibal untuk menghentikan
serangan. Permintaan tersebut diterima oleh kepala pasukan Cibal, lalu ia
memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan serangan. Beberapa tokoh dan
pemimpin kelompok pasukan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kepala
pasukan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan memutuskan tali-tali jangkar
perahu pasukan Bima dan jangkar-jangkar tersebut diambil oleh anggota pasukan
Cibal. Melihat tindakan pasukan Cibal, anak buah perahu pasukan Bima berteriak:
“ Manggarai, manggarai, manggarai” (artinya jangkar dibawa lari) (Hemo, 1988:
45).
Manggarai adalah salah satu kabupaten yang berada di pulau Flores,
Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 7.136,4 km2. Kondisi geografis
daerah Manggarai terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan dataran tinggi yang
diselang-seling oleh dataran rendah. Secara geografis, sebelah timur Kabupaten
Manggarai berbatasan dengan Kabupaten Ngada di Wae Mokel, Wae Mapar, dan
Laut Flores. Sebelah barat berbatasan dengan Provpinsi Nusa Tenggara Barat di
Selat Sape. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan
antara 8º30’-8º50 lintang selatan dan antara 119º30’-120º50’ bujur timur (Hemo,
1988: 1).
Secara pemerintahan wilayah Manggarai terdiri dari tiga kabupaten, yaitu
kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai
Timur. Pada tahun 2003, Kabupaten Manggarai Barat terbentuk. Wilayahnya
meliputi daratan Pulau Flores bagian barat dan beberapa pulau kecil sekitarnya,
diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya
Kecil, Pulau Bidadari, dan Pulau Longgos. Pada tanggal 17 Juli 2007, Kabupaten
Mangarai Timur terbentuk dengan ibu kota Borong. Luas wilayahnya 2.643,41 km2.
Walaupun Manggarai terbagi menjadi tiga kabupaten, namun tetaplah menjadi “satu
kesatuan” dengan kabupaten Manggarai sebagai kabupaten induk (http: // www.
Pos-Kupang.com).
2.3 Demografi
Dalam tradisi lisan, nenek moyang orang Manggarai dikisahkan sebagai
makhluk berbulu, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Mereka belum mengenal api
(metaforik) sehingga mereka makan makanan mentah (Dami N. Toda via Nggoro,
2004:26).
Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa sub-klan
yang nenek moyangnya berasal dari luar daerah Manggarai, antara lain dari Bima,
Bugis, Goa, Serang, Makasar, Sumba, Boneng Kabo. Itu artinya bahwa nenek
moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Oleh karena
23
berdasarkan suku asalnya. Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai
kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa / Makasar / Bugis). Hal
tersebut dapat dlihat dari segi bahasa yang mempunyai beberapa kesamaan.
Misalnya istilah yang merujuk pada sebutan untuk bangsawan. Di Manggarai
dikenal dengan kata keraeng dan di Makasar dikenal dengan istilah karaeng. Berikut
ini contoh beberapa unsur bahasa yang memiliki kesamaan dengan suku-suku yang
disebutkan di atas (Nggoro, 2004: 27) :
Bugis Goa / makasar Manggarai Indonesia
Manuk Lipa Kasiasi _ _ _ _ Bembe _ Lipa _ Somba opu Lampa
Karaeng
Nyarang
Bembe
Manuk
Lipa / towe
Kasiasi
Somba opu
Lampa
Keraeng
Jarang Bembe, mbe Ayam Sarung Miskin Menghormati leluhur
Jalan / melangkah
Bangsawan
Kuda
Kambing
Dari uraian di atas, asal-usul dan penghuni pertama daerah Manggarai tidak
diketahui secara pasti akibat tidak adanya sumber tertulis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa penghuni pertama daerah Manggarai datang dari barat sesuai
dengan teori penyebaran penduduk di Indonesia pada umumnya di masa lampau.
nenek moyang yang menurunkan warga wa’u. Namun dari cerita tersebut tidak
dapat ditentukan bahwa nenek moyang tertentu sebagai penghuni pertama daerah
Manggarai. Apalagi cerita itu diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi,
berbeda-beda serta bervariasi. Terlebih ada kebiasaan melarang menyebutkan nenek
moyang, jika bukan pada saat upacara tradisi yang sudah ditetapkan sejak nenek
moyang pertama, seperti upacara penti, hang rani, dan cepa. Pada upacara tersebut
para orang tua boleh menceritakan pengalaman nenek moyang mereka. Mereka
menyebut nama nenek moyangnya, tempat-tempat yang disinggahi, bahkan tentang
binatang yang mengantar nenek moyang ke suatu tempat atau cerita tentang binatang
yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Binatang itu kelak menjadi
binatang yang dianggap suci atau dikenal sebagai ceki/ mawa. Ceki adalah larangan
untuk membunuh dan memakan daging binatang menurut cerita lisan yang
diturunkan dari generasi ke generasi merupakan binatang yang telah meluputkan
nenek moyang dari bahaya. Menurut kepercayaan masyarakat Manggarai, apabila
larangan (ceki) dilanggar maka yang bersangkutan akan menderita sakit yang
berkepanjangan atau cacat mental. Tiap wa’u mempunyai ceki atau mawa
masing-masing. Ceki atau mawa sesungguhnya merupakan lambang setiap wa’u (Hemo,
1988: 8).
Seperti telah disebutkan bahwa asal-usul dan penghuni pertama daerah
Manggarai belum diketahui, maka sulit untuk menentukan wa’u (klan) manakah
sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Seorang pastor SVD, Dr. P.J. Glinka
mengadakan penelitian tentang prasejarah perkembangan kehidupan masa lampau
25
penelitian, P.J. Glinka menggunakan metode berdasarkan indeks kepala, wajah,
hidung dan tinggi kepala. Hasil penelitian Dr. P.J. Glinka S.V.D berhasil
mengungkapkan tipe penduduk Nusa Tenggara timur yang terdiri dari tiga tipe.
Ketiga tipe tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tipe europoid yang mirip ras
mediteran di sekitar Laut Tengah, India sampai Polinesia. Kedua, tipe pacifid yang
termasuk golongan mongoloid yang menyebar di Jepang, Taiwan, Filipina dan
Polynesia. Tipe ketiga adalah tipe negroid. Di daerah Manggarai, ketiga tipe
penduduk tersebut ada, yakni Eouropoid 42,1 %, Pasifid 22,6 % dan Negroid 35,3%
(Hemo, 1988: 9).
Seorang linguis yang pernah mengadakan penelitian di Manggarai adalah Jilis
AJ Verheijen, S.V.D, seorang misionaris berkebangsaan Belanda. Berdasarkan
penelitian Verheijen, bahasa yang digunakan di Manggarai adalah bahasa Manggarai
dengan dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah. Seluruh masyarakat Manggarai
merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap
perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat (http : //
kraengadhy.blogspot.com).
Penggunaan bahasa daerah Manggarai mempunyai sistem yang dapat dibedakan
menurut maksud serta tujuan penggunaan bahasa, terdiri dari bahasa percakapan
sehari-hari, bahasa upacara adat, doa-doa upacara yang mempunyai nilai religius,
bahasa tanda atau bahasa sandi, bahasa lambang atau simbol, ungkapan dan syair.
Bahasa tanda adalah suatu cara mengungkapkan suatu maksud tanpa diucapkan
berupa kata-kata, melainkan dengan menggunakan benda atau tanda tertentu.
orang lain tanpa izin pemilik kebun karena kebutuhan mendesak, maka orang
tersebut akan memberikan tanda berupa ranting atau daun-daunan. Bahasa simbol
atau bahasa lambang adalah suatu sistem menyampaikan maksud dengan
menggunakan kata-kata simbol atau lambang. Misalnya istilah untuk meminang
seorang gadis dikenal dengan istilah taeng kala rana (taeng= meminta, kala=sirih,
rana= buah, daun yang pertama kali digunakan). Ungkapan dalam bahasa daerah
Manggarai mempunyai makna dan arti bagi kehidupan manusia, sehingga dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Ungkapan-ungkapan
tersebut mengandung pesan untuk diteladani manusia dalam bertindak, bersikap, dan
27 BAB III
MAKNA DAN FUNGSI GO’ET (UNGKAPAN TRADISIONAL) DALAM
BAHASA MANGGARAI
3.1 Pengantar
Pada bab ini diuraikan makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam
bahasa Manggarai, dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Sesuai teori
Hutomo via Suarjana (1995: 25), dalam budaya masyarakat Manggarai juga
ditemukan tujuh jenis ungkapan tradisional yang terdapat dalam budaya masyarakat
Manggarai, meliputi ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan
hidup, ungkapan untuk mengenakkan pembicaraan, ungkapan berkaitan dengan
larangan, berkaitan dengan status sosial seseorang, berkaitan dengan bahasa rahasia,
berkaitan dengan ejekan, dan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.
Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah
dan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan
yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan ungkapan gambaran kepercayaan
orang Manggarai akan Wujud Tertinggi, sedangkan ungkapan yang berkaitan
dengan kegiatan hidup berfungsi untuk menggambarkan keseharian kehidupan
masyarakat Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta mengungkapkan
relasi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan untuk mengenakkan
pembicaraan berjumlah tiga buah yang berfungsi untuk memperhalus kata / ucapan
seseorang agar enak didengar. Ungkapan yang berkaitan dengan larangan berjumlah
masyarakat. Ungkapan tersebut berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, untuk
mendidik budi pekerti anak agar tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia berjumlah enam puluh
delapan buah yang berfungsi untuk tujuan etis agar tidak menyinggung perasaan
orang yang sedang dibicarakan. Ungkapan berkaitan dengan ejekan berjumlah satu
buah, yang berfungsi untuk menyindir orang. Ungkapan yang menunjukkan pertalian
kekeluargaan berjumlah tiga belas buah, yang berfungsi untuk mengungkapkan
hubungan kekerabatan dalam keluarga. Ungkapan yang berkaitan dengan status
sosial seseorang berjumlah dua buah, berfungsi untuk menjelaskan kedudukan serta
status sosial seseorang dalam lingkungan masyarakat. Berikut ini diuraikan mengenai
makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai.
3.2 Makna Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai
Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat
disimpulkan bahwa go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai
mengandung makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas
adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan
kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk
tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Berikut
ini akan diuraikan mengenai makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa
29
3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup
Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah,
sedangkan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah.
Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan gambaran kepercayaan
masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi yang disebut MoriKraeng (Tuhan
Allah) yang diyakini memiliki kekuasaan tertinggi dan tak terbatas, yang
menciptakan manusia dan alam semesta. Selain mengakui Tuhan sebagai Pencipta
dan Penguasa, masyarakat Manggarai juga menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme. Ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup merupakan gambaran
keseharian masyarakat Manggarai, dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
3.2.1.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan
Berikut ini diuraikan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi.
(1) Mori’n agu Ngara’n ata Jari agu Dédék tana wa awang’n eta
‘ Tuan dan pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’
Secara leksikal, kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”, “ketua”.
Seorang atasan biasanya disapa dengan mori, lazimnya didahului kata yang
menyatakan rendahan, yakni yo. Sekali-sekali dipakai juga sebagai sebutan manja
terhadap anak-anak. Dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dédék tana wa
awang’n eta di atas, kata Mori bukan merupakan kata sapaan melainkan berfungsi
referensial. Di sini –n adalah sufiks posesif persona ketiga tunggal. Contoh: morin
menambahkan kata penentu, berarti “Tuhan”, “Tuhan tertinggi”. Nyata bahwa –n di
sini menunjukkan hubungan antara Allah dengan sesuatu yang tunggal khususnya
alam semesta (Verheijen, 1991: 34-35).
Agu (dan) dan yang selalu mendapat sufiks posesif –n di belakang Ngara,
adalah nama Allah yang paling banyak dipakai dalam doa-doa yang lebih resmi.
Adapun kata ngara (dalam beberapa dialek : nggara) kira-kira sinonim dengan mori,
sebutan ini umum dan dipakai di seluruh Manggarai. Mori agu Ngara’n dapat
dipandang sebagai nama yang spesifik untuk Wujud Tertinggi. Nama untuk Allah
yang tersebar luas ini terdiri atas dua buah kata kerja. Jari berarti “menjadi”,
“berhasil”, “berjalan baik”, “menjadikan”, dan sebagainya. Dedek berarti
“membuat”, “membentuk”, “menempa”, dan lain-lain. Kata ini dipakai untuk
membuat hal perabot, periuk-periuk tanah, cincin, uang, dan lain-lain. Juga hal
melahirkan anak dinyatakan dengan jari dan dédék. Kedua kata ini dipinjam dari
bahasa Makasar (jari dan dédé), tetapi ungkapannya merupakan suatu kekhasan
Manggarai. Ungkapan ini diucapkan dalam doa-doa orang Manggarai. Pada
umumnya Jari agu Dédék dipakai dalam nas-nas yang meriah. Gabungan ini
mengungkapkan pengertian tunggal, paling tepat diterjemahkan dengan “Pencipta”
atau “Pembuat” ( Verheijen, 1991: 36-38).
Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang’n eta
mengandung makna bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Tuhan, yang
memiliki kekuatan melebihi daya jangkauan mereka, yang diyakini sebagai pencipta
31
(2) Imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite-Mori Jari agu Dédék
‘ Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan kita - Tuhan pencipta
dan penjadi’
Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek
mengandung makna bahwa orang Manggarai percaya akan adanya Tuhan sebagai
pencipta dan penjadi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta.
(3) Mori ata pukul par agu kolep
‘ Tuhan yang mengatur dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’
Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep mengandung makna bahwa orang
Manggarai meyakini kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta yang tak terbatas oleh
waktu. Tuhan-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, sejak
matahari terbit hingga terbenam. Wilayah kekuasaannya sangat luas dan tak terbatas.
(4) Mori nipu riwu ongko do
‘ Tuhan mengatur segala-galanya ’
Ungkapan Mori nipu riwu ongko do mengandung makna bahwa orang
Manggarai meyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada
di muka bumi. Hidup, mati, suka dan duka manusia ada dalam tangan-Nya.
(5) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng
de Dédék
‘Kuasa Tuhan tidak dapat dihalang-halangi - kehendak Pencipta tidak
dapat dirintangi’
Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n
tertinggi ada di tangan Sang Pencipta dan manusia tak berdaya menghadapi
kuasa-Nya. Apa pun bila itu menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi.
(6) Suju neka tumpus - ngaji neka caling- ngaji bilang bari kamping Jari
‘Jangan berhenti bersujud - jangan berhenti berdoa - berdoalah ke
hadapan Tuhan setiap hari’
Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping
Jari mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk bersujud dan
berdoa di hadapan Tuhan Sang Pencipta, mengucap syukur atas segala karunia yang
diberikan Tuhan kepada manusia setiap hari.
(7) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dédék
‘ Sembah dan pujilah Tuhan Penguasa - Pemilik dan Pencipta
Ungkapan Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate jari Dédék mengandung
makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menyembah dan memuji Tuhan
Allah sebagai Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan bagi mereka.
(8) Hiang Hia te pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau-
awang’n eta - tana’n wa'
‘ Hormatilah Dia yang menguasai alam semesta - langit dan bumi - Dia
telah menciptakan segala mahluk dan Dia yang menguasai waktu dari
terbitnya matahari hingga terbenamnya’
Ungkapan Hiang Hia te pukul par’n awo - agu kolep’n sale - ulun le -
wa’in lau - awang’n eta - tana’n wa mengandung makna bahwa manusia harus
menghormati Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Tuhan-lah
33
Dalam tradisi Manggarai, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi tersirat dan
tersamar dalam setiap upacara adat. Tempat diadakan upacara adat bervariasi, seperti
dalam mbaru gendang (rumah adat), dalam rumah pribadi, di compang (mesbah /
altar) yang terletak di tengah kampung, di ladang, di mata air, di pekuburan, dan
sebagainya ( Janggur, 2008: 5).
(9) Mori Keraéng
Sebutan Mori Keraéng tersebar di seluruh Manggarai. Sebutan ini dapat
dianggap sebagai nama Allah yang paling lazim dipakai bila orang berbicara
mengenai Wujud Tertinggi. Pemakaian nama Mori Keraéng dimajukan oleh
pengaruh agama Katolik, sebab misionaris yang pertama mengangkat sebutan ini
sebagai nama yang utama untuk Allah. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa
nama ini sedikit saja dijumpai dalam doa-doa persembahan yang komunal dan
panjang-panjang tetapi sering terdapat dalam doa-doa yang bersifat pribadi
(Verheijen, 1991: 37).
(10) Ronan éta mai - winan wa mai
‘ Suaminya di atas - istrinya di bawah’
Secara leksikal, kata rona dan wina dalam bahasa Manggarai masing-masing
berarti “suami” dan “istri”. Sufiks posesif –n ‘nya’ menunjukkan hubungan timbal
balik. Rona dan wina dalam kalimat di atas adalah sebutan orang Manggarai untuk
menyebut Wujud Tertinggi. Sebutan untuk Wujud Tertinggi ini dijumpai antara lain
di wilayah Ruteng, Todo - Pongkor, dan di wilayah Kolang. “pria di atas” adalah
sinonim dengan “langit”, “bentangan langit”, dan “wanita di bawah” sinonim dengan
bentangan langit, sebab hujan berasal dari bentangan langit, turun dan mengenai
bumi. Dari itu bumi adalah istri dari langit. Air hujan, cairan tubuh langit, turun ke
bumi sehingga tanaman-tanaman bertumbuh dan menjadi besar. Dari uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa “suami di atas-istrinya di bawah” merupakan sinonim
“langit dan bumi”; jadi sebagai nama metonimis untuk wujud tertinggi. Hal ini sering
kali cocok dengan pengucapan sastra. Bahwa orang menempatkan atribut “di atas”
dan “di bawah” pada “langit “ dan “bumi” sudah sewajarnya. Dalam hubungan ini
dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnya orang berpikir Mori Keraéng bertahta
di atas, dan dari atas Ia memandang kita. Orang menganggap langit sebagai atribut
bagi Wujud Tertinggi ( Verheijen, 1991 : 43-45).
(11) Amé rinding mané - iné rinding wié
‘ Ayah pelindung di malam hari - ibu pengayom di tengah malam’
Ungkapan amé rinding mané - iné rinding wié mengandung makna yang
sama dengan ungkapan amé éta - iné wa, yaitu sebagai nama metonimis untuk
Wujud Tertinggi.
(12) Pong dopo ngalor masa
‘ Daerah angker berawa-rawa; palungan air yang kering’
Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, masyarakat Manggarai
menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu
kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami suatu tempat (pohon, batu, gunung, dan
sebagainya). Dinamisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai
35
sampai saat ini, daerah berawa-rawa dihuni oleh mahluk halus, diyakini dapat
membawa kebaikan; kesejahteraan sekaligus bencana.
(13) Hau muing be sina - ami muing be ce’e
‘ Engkau bagian sana - kami bagian sini’
Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan idiom untuk
menyatakan makna bahwa tidak ada hubungan lagi antara orang yang sudah mati
dengan yang masih hidup. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang diucapkan
pemimpin adat pada upacara kematian, agar yang meninggal tidak mengganggu
keluarganya yang masih hidup.
(14) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung
‘ Semoga engkau menjadi penghalang di depan penutup di bagian
belakang’
Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan
idiom untuk menyatakan harapan agar orang yang sudah mati menjadi pelindung
bagi yang masih hidup dari musibah, baik yang datang dari depan maupun belakang.
(15) Boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong
Ungkapan boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong
merupakan sebuah doa yang diucapkan tetua adat ketika memberikan persembahan
berupa sesajen kepada arwah para leluhur (empo) pada saat upacara penti agar
mereka tidak mencari atau mengambil sendiri dari tengah-tengah keluarga yang
masih hidup. Orang Manggarai menyakini bahwa para arwah bisa saja mengambil
3.2.1.2 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup
(16) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni
‘ Berangkat kerja pagi hari - pulang sore hari- bekerja sampai kuku
tumpul - punggung terluka terkena terik matahari yang menyengat’
Ungkapan duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni merupakan
idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja. Ungkapan tersebut
menggambarkan keseharian orang Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan bekerja keras diharapkan dapat memperoleh hasil yang berlimpah sehingga
dapat mendukung kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga.
(17) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io
‘ Hormatilah orang yang lebih tua - berbicaralah dengan sopan-
tunjukkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan hati orang lain’
Ungkapan hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io
mengandung makna yang berisi ajakan agar orang Manggarai menghargai dan
menghormati orang lain, terlebih kepada yang lebih tua. Hal tersebut dilakukan
dengan berbicara secara sopan dan mengikuti tata krama yang ada dalam masyarakat.
Jika kita menghargai orang lain, orang lain juga akan menghargai kita.
(18) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil- p