• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup

BAHASA MANGGARAI 3.1 Pengantar

3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup

3.2.1.2 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup

(16) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni

‘ Berangkat kerja pagi hari - pulang sore hari- bekerja sampai kuku

tumpul - punggung terluka terkena terik matahari yang menyengat’

Ungkapan duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni merupakan

idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja. Ungkapan tersebut

menggambarkan keseharian orang Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Dengan bekerja keras diharapkan dapat memperoleh hasil yang berlimpah sehingga

dapat mendukung kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga.

(17) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io

‘ Hormatilah orang yang lebih tua - berbicaralah dengan sopan-

tunjukkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan hati orang lain’

Ungkapan hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io

mengandung makna yang berisi ajakan agar orang Manggarai menghargai dan

menghormati orang lain, terlebih kepada yang lebih tua. Hal tersebut dilakukan

dengan berbicara secara sopan dan mengikuti tata krama yang ada dalam masyarakat.

Jika kita menghargai orang lain, orang lain juga akan menghargai kita.

(18) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil- padir wa’i rentu

sai’i - manik deu main

‘ Setiap orang (kepala keluarga) berkumpul bersama - memberikan

pendapat - kaki berselonjor - kepala ditegakkan ‘

Ungkapan reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil - padir

  37

persoalan harus mengutamakan musyawarah dari seluruh warga masyarakat. Seluruh

peserta bebas mengemukakan pendapat yang berguna untuk kepentingan bersama

dalam kehidupan sosial masyarakat. Musyawarah harus mencapai kesepakatan dan

segala keputusan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

(19) Bahi gici arit - cingke gici irat

‘ Biar sedikit tapi dibagi sama rata’

Ungkapan bahi gici arit - cingke gici irat mengandung makna bahwa

dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus bersikap adil dan jujur dalam membagi

sesuatu yang merupakan hak semua orang.

(20) Duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e nggerone mbaru sama rege ruek

‘ Berangkat kerja seperti kera yang berteriak - pulang ke rumah seperti

kicauan burung ruek’

Secara leksikal, kata rangka lama dalam bahasa Manggarai berarti kera

dewasa yang selalu berteriak-teriak dan melompat-lompat. Bila seekor kera selalu

berteriak dan melompat-lompat, itu sebuah pertanda bahwa ia sedang merasa senang

atau gembira. Ruek adalah sejenis burung sebesar burung gagak, berwarna

kemerahan, dan mengeluarkan bunyi yang amat nyaring. Burung tersebut terdapat di

tanah panas dan muncul pada bulan Oktober. Burung tersebut tidak terdapat di pulau

Jawa. Rangka lama dan ruek adalah kiasan untuk mengungkapkan suasana hati yang senang atau gembira. Ungkapan duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e nggerone mbaru sama rege ruek merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa

segala sesuatu dikerjakan bersama-sama dalam suasana persatuan dan kesatuan,

dengan hati yang gembira.

(21) Kantis ati racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati

‘ Hati dan paru-paru diasah’

Ungkapan Kantis ati racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati

merupakan idiom untuk menyatakan makna usaha untuk bekerja keras.

(22) Na’a nggere wa rak - na’a nggere eta lemas

‘ Hati disimpan di paru-paru’

Ungkapan na’a nggere wa rak - na’a ngger eta lemas merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa segala tutur kata orang yang kurang berkenan di

hati, harus disikapi dengan kepala dingin.

(23) Kole le mai selendang laing tarik

‘ Pulang memakai secarik kain penutup aurat pria’

Ungkapan kole le mai selendang laing tarik merupakan idiom untuk

menyatakan makna pulang membawa sebuah kemenangan atau keberhasilan.

Ungkapan tersebut ditujukan kepada orang yang pergi merantau untuk merubah

nasib lalu pulang membawa kesuksesan.

(24) Lalong pondong du ngo - lalong rombeng du kole

‘ Jago pondong waktu pergi- jago rombeng waktu pulang’

(25) Lalong bakok du lako - lalong rombeng du kole

Jago putihwaktu pergi - jago rombeng waktu pulang’

Secara leksikal, kata lalong pondong dalam bahasa Manggarai berarti ayam

  39

panjang. Lalong pondong merupakan kiasan bagi orang yang tidak mempunyai apa-

apa (keahlian, pangkat, atau gelar). Lalong rombeng merupakan kiasan bagi orang

yang mempunyai gelar atau jabatan.

Ungkapan lalong pondong du ngo - lalong rombeng du kole ditujukan bagi

mereka yang meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu. Ketika

meninggalkan kampung halaman, ia tidak mempunyai bekal apa-apa (lalong

pondong). Ketika ia pulang, ia telah menjadi orang yang sukses (lalong rombeng).

(26) Pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana

‘ Pulang rumah mengenakan destar - pulang kampung mengenakan

panggal’

Ungkapan pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana merupakan

idiom untuk menyatakan makna membawa kemenangan atau keberhasilan ketika

kembali ke kampung halaman. Ungkapan tersebut ditujukan bagi orang yang

meninggalkan kampung halaman untuk merubah nasib. Bagi masyarakat Manggarai,

panggal adalah simbol kekuasaan dan simbol kejantanan seorang pria, yang biasa

dipakai kaum pria pada saat tarian caci, yang menyerupai tanduk kerbau.

(27) Asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale

‘ Walaupun negeri asal ditumbuhi tumbuhan semak - biarpun tanah

orang berkelimpahan harta’

Secara leksikal kata ndusuk dalam bahasa Manggarai berarti tumbuhan

semak yang mirip dengan senduduk tetapi lebih kecil, dalam bahasa latin disebut

melastoma polyanthum (Kamus Manggarai - Indonesia, 1967 : 408). Ndusuk tumbuh

kokoh (kayu hutan). Dalam ungkapan asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale,

ndusuk digunakan sebagai kiasan untuk kampung halaman dan lale adalah kiasan

untuk negeri rantauan yang berkelimpahan harta. Ungkapan asam ndusuk tana ru -

konem lalen tana sale merupakan idiom untuk menyatakan makna rasa cinta tanah

air. Sejauh-jauhnya orang merantau, suatu hari nanti akan kembali juga ke kampung

halamannya.

(28) Gendang one - lingkon pe’ang

‘ Gendang di dalam - kebun di luar’

Mbaru gendang atau mbaru tembong adalah rumah adat Manggarai yang

berbentuk kerucut (rumah niang). Mbaru: rumah, gendang / tembong: alat musik

tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing. Mbaru gendang

dihuni oleh tu’a golo. Tu’a golo adalah kepala kampung yang menjadi pemimpin

dalam masyarakat dan merupakan tokoh adat. Sebagai rumah adat, mbaru gendang

memegang peranan penting dalam masyarakat, yaitu sebagai tempat untuk

mengadakan rapat-rapat penting yang berhubungan langsung dengan kehidupan

masyarakat, sebagai tempat untuk menyelenggarakan pesta-pesta besar dalam

kampung (pesta penti: syukuran atas hasil panen, tae kaba, wagal), tempat menerima dan menjamu tamu-tamu agung yang mengunjungi desa, tempat menyimpan barang-

barang pusaka peninggalan para leluhur, dan sebagai tempat untuk menyimpan alat

musik tradisional.

Dalam satu kampung, hanya ada satu mbaru gendang. Mbaru gendang

merupakan simbol hak ulayat atas lingko-lingko (wilayah) yang dikuasainya.

  41

terdapat dalam rumah adat mempunyai hubungan yang erat dengan hadirnya lingko

(kebun yang berbentuk jaring laba-laba) yang menjadi milik / hak masyarakat adat

desa (Janggur, 2010: 27).

(29) Temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i

‘Rawa-rawa di bawah - lindungan di atas - jerangau di hulu - wiko di

hilir’

Secara leksikal, kata temek dalam bahasa Manggarai berarti daerah berawa,

tanah lumpur pada dataran rendah, kadang-kadang digenangi air. Jengok adalah

jerangau, dalam bahasa latin disebut acorus calmus, yaitu tumbuhan tahunan yang

umbinya dapat digunakan sebagai obat atau campuran beberapa jenis tanaman keras.

Akarnya dapat digunakan sebagai bahan ramuan obat, bumbu dapur, dan insektisida

(KBBI, 1989 : 360). Wiko adalah sejenis rumput seperti gelagah yang tumbuh dekat

air, dalam bahasa latin disebut elatostema. Temek / rawa adalah daerah yang lembab

dan subur. Lindungan di atas yang dimaksudkan dalam ungkapan ini adalah tanaman

kopi yang tumbuh subur, dan berbuah banyak. Kopi yang subur dan berbuah banyak

adalah lambang kemakmuran atau status sosial seseorang (seseorang dikatakan kaya

bila ia memiliki kebun kopi yang luas). Ungkapan temek wa - mbau eta - jengok le

ulu - wiko lau wa’i merupakan idiom untuk menyatakan makna kehidupan yang

penuh dengan kemakmuran.

(30) Uwa haeng wulang - langkas haeng ntala

‘ Bertumbuh sampai di bulan - tinggi sampai di bintang’

Dalam ungkapan uwa haéng wulang - langkas haéng ntala, kata wulang dan

pada malam hari menggantikan kedudukan matahari untuk menerangi bumi.

Kehadiran bulan dan bintang selalu menjadi pusat perhatian para petani di desa

karena bulan dan bintang menjadi pedoman bagi para petani di desa (sebelum

mengenal istilah kalender dan masih berlaku hingga saat ini) untuk mengerjakan

atau menggarap lahan mereka. Para orang tua berharap agar anak- anak mereka dapat

menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat sehingga selalu menjadi pusat

perhatian masyarakat karena aura kepemimpinan yang terdapat dalam diri sang anak.

Ungkapan uwa haeng wulang - langkas haeng ntala merupakan idiom untuk

menyatakan makna menggantungkan cita-cita yang tinggi, setinggi bulan dan bintang

di langit agar kelak dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.

(31) Neka ngonde holes - neka mejeng hese

‘ Jangan malas bergerak - jangan lamban berdiri’

Ungkapan neka ngonde holes - neka mejeng hese merupakan idiom untuk menyatakan makna rajin dalam bekerja. Selain itu, idiom tersebut digunakan untuk

menyatakan kewajiban dari anak laki-laki untuk menggantikan peran orang tua

dalam keluarga, termasuk kewajiban untuk memelihara / mengurus orang tua jika

telah lanjut usia serta mengikuti berbagai urusan adat di lingkungan masyarakat.

Bila orang tuanya meninggal, maka segala urusan adat yang menyangkut adat

kematian orang tuanya menjadi tanggung jawab anak laki-laki. Selain bertanggung

jawab atas segala urusan keluarga, anak laki- laki juga wajib membantu saudarinya

yang sudah berkeluarga terutama bila mereka mengalami musibah.

(32) Toing le toming - tae le pande

  43

Ungkapan toing le toming - tae le pande merupakan idiom untuk menyatakan makna bila seorang pemimpin harus pandai menjaga keseimbangan

antara kata-kata dan perbuatan dalam kesehariannya. Pemimpin senantiasa

berdisiplin sehingga pantas untuk diteladani oleh masyarakatnya.

(33) Toe ngoeng te karukak ka’eng tana

‘ Tidak mau menjadi orang yang panjang mulut dalam hidup

bermasyarakat’

Ungkapan toe ngoeng te karukak ka’eng tana mengandung makna orang yang cinta damai, tidak suka membuat keributan dengan orang lain di mana pun ia

berada.

(34) Toe mbasa saek - toe woro waes tipek

Ungkapan toe mbasa saek - toe woro waes tipek mengandung makna tidak bergaya hidup mewah dan tidak boros. Ungkapan toe mbasa saék - toé woro waés

tipek dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan peribahasa ingat

sebelum kena, hemat sebelumhabis.

(35) Penti weki - péso béo

Penti adalah pesta syukuran atas hasil panen dari penduduk desa kepada

Tuhan dan para leluhur karena tahun telah berganti, musim kerja yang lama telah

berlalu dan siap menyongsong musim kerja yang baru. Penti dirayakan setiap tahun

sesudah memetik hasil kebun, karena itu sering dirayakan antara bulan Juni sampai

bulan September. Penti memiliki tiga dimensi yang memiliki arti penting bagi

masyarakat Manggarai, yaitu dimensi vertikal, dimensi horizontal, dan dimensi

Dimensi vertikal yang terdapat dalam pesta penti adalah mengucap syukur

atas segala karunia yang diberikan Tuhan. Sebagai Sang Pencipta (Mori Jari agu

Dedek), Tuhan harus disembah dan dimuliakan sebagai sumber hidup dan penghidupan manusia. Selain mengucap syukur kepada Tuhan yang telah

memberikan kehidupan, masyarakat Manggarai juga bersyukur kepada para leluhur

(empo) yang telah mewariskan tanah (lingko), dengan cara memberikan persembahan

yang pantas bagi mereka berupa sesajian. Dimensi horizontal dari perayaan penti

adalah memperkokoh persatuan dan kesatuan wa’u (klan), panga (sub klan), asé-ka’é

(adik-kakak), anak rona (pihak pemberi istri), dan anak wina (pihak penerima istri).

Selain itu, dengan merayakan penti, secara tidak langsung akan memperkuat

keberadaan gendang dan lingko (gendang oné - lingko pé’ang), memperteguh hak

ulayat yang dipegang oleh para tetua adat atas lingko-lingko yang dimiliki, serta

memperkuat kepemilikan tanah oleh para warga yang menerima bagian dalam

lingko-lingko tersebut (ata sor moso oné lingko situ) baik yang berada dalam desa

maupun yang berdomisili di tempat lain (ise’t long oné tanah data).

Dimensi sosial yang terdapat dalam pesta penti adalah sebagai reuni

keluarga serta sebagai sarana untuk mengembangkan kesenian tradisional

Manggarai, seperti lagu-lagu daerah (sanda dan mbata), alat-alat musik tradisional

dan permainan-permainan tradisional.

3.2.2 Ungkapan yang Berfungsi untuk Mengenakkan Pembicaraan

Berikut ini akan diuraikan contoh ungkapan yang berfungsi untuk

  45

(36) Boto cuku nungan retak cepa - pora raci

Secara leksikal, kalimat retak cepa - pora raci dalam bahasa Manggarai

berarti lidah yang terbelah karena mabuk makan sirih pinang serta bibir yang

berwarna merah, karena air sirih. Dalam adat Manggarai, cepa (sirih pinang)

melambangkan persahabatan. Setiap tamu yang berkunjung disuguhi sirih pinang

sebagai salam perkenalan. Makan sirih pinang sudah menjadi kebiasaan para orang

tua (laki-laki dan perempuan) dan para gadis di desa. Sirih pinang selalu dibawa

ketika hendak bepergian ke suatu tempat. Ketika berpapasan dengan seseorang yang

dikenal, mereka akan berhenti sejenak untuk beristirahat melepas lelah sambil makan

sirih pinang. Orang Manggarai menggunakan bibir yang terbelah karena mabuk

makan sirih sebagai kiasan untuk sebuah persahabatan / keluarga yang retak atau

renggang. Ungkapan boto cuku nungan retak cepa-pora raci merupakan idiom

untuk menyatakan makna jangan sampai berkelanjutan permusuhan diantara anggota

keluarga yang saling bermusuhan. Untuk itu, perlu diadakan upacara perdamaian,

dalam bahasa Manggarai disebut hambor. Upacara tersebut biasa dilakukan ketika

pesta tahun baru atau pesta penti menurut adat Manggarai agar sebelum memasuki

musim kerja yang baru segala bentuk ketidakberesan dalam keluarga sudah

terselesaikan.

(37) Porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise

‘ Semoga berakhir tangis dan air mata pada keluarga mereka’

Ungkapan porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise

merupakan idiom yang bermakna semoga berakhir kedukaan dalam keluarga yang

(38) Baro ranggong api pesa

‘ Melemparkan api padam’

Ungkapan baro ranggong api pesa merupakan idiom untuk seorang laki-laki

yang meminang wanita tungku (anak perempuan dari paman). Dalam adat

Manggarai, dikenal tiga macam bentuk perkawinan adat. Pertama, perkawinan

cangkang. Kedua, perkawinan tungku dan ketiga perkawinan cako. Perkawinan

cangkang adalah perkawinan antar suku / klan. Perkawinan cangkang bertujuan

untuk membentuk kekerabatan baru (woé nelu weru atau iné - amé weru). Dengan

demikian terjadilah perluasan hubungan kekeluargaan sehingga nama suatu suku

semakin dikenal oleh suku-suku lainnya. Perkawinan cangkang merupakan bentuk

perkawinan yang sesuai dengan tradisi gereja Katolik dan iman Kristen.

Perkawinan tungku dan perkawinan cako adalah perkawinan intra klan / suku.

Perkawinan terjadi antara anak laki - laki dari saudari dengan anak perempuan dari

saudara (paman). Perkawinan tungku dan perkawinan cako bertujuan untuk

melestarikan hubungan kekeluargaan yang telah terbentuk sejak lama agar tidak

terputus. Perkawinan tungku dan perkawinan cako pada umumnya berasal dari

perkawinan cangkang. Perkawinan tungku dan perkawinan cako dilarang dan tidak

diperkenankan oleh pihak gereja Katolik .

(39) Ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau

‘ Melihat sirih pinang di gerbang kampung - lalu mencari pohon

  47

Ungkapan ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau merupakan idiom yang

bermakna bahwa si pemuda sudah jatuh cinta kepada seorang gadis yang ditemuinya

di kampung lain / klan lain, lalu datang ke rumah sang gadis untuk melamarnya.

3.2.3 Ungkapan yang Berkaitan dengan Larangan

(40) Neka inung toe nipu - neka hang toe tanda - neka lage loce data

‘ Jangan minum sembarangan - jangan makan sembarangan - jangan

melangkahi tikar tidur milik orang lain’

(41) Neka ngoeng ata - neka jurak - neka lage loce toko data

‘ Jangan menginginkan orang lain - jangan melangkahi tikar tidur orang

lain’

Inung (meminum) dan hang (makan) dalam kalimat di atas merupakan

perumpamaan untuk hubungan seks. Inung toe nipu - hang toe tanda artinya

melakukan hubungan seks dengan wanita yang tidak diperkenankan menurut adat.

Lage loce toko data (melangkahi tikar tidur milik orang lain) adalah perumpamaan

yang digunakan untuk menyatakan makna istri orang. Ungkapan (40) dan (41)

merupakan idiom yang bermakna jangan melakukan hubungan seks yang terlarang.

Orang Manggarai menyebutnya jurak, seperti berhubungan seks dengan saudara /

keluarga sendiri (incest), berzinah dengan istri orang baik atas persetujuan kedua

(42) Eme inung toe nipu - hang toe tanda - anggom le anggom lau - ro’e

ngoel rekok lebo cemoln de mosem

‘ Bila minum dan makan sembarangan - merangkul orang secara

sembarangan - hidupmu akan layu sebelum berkembang’

Ungkapan eme inung toe nipu- hang toe tanda - anggom le anggom lau -

ro’e ngoel rekoklebo cemoln de mosem merupakan idiom untuk menyatakan makna

bahwa orang yang melakukan seks yang terlarang akan meninggal pada usia muda

karena dikutuk oleh orang yang haknya diambil secara paksa.

(43) Neka tuku - takak neho lema de nggalang

‘ Jangan berasak-asakan seperti lidah ular’

Ungkapan neka toko-takak neho lema de nggalang merupakan idiom untuk menyatakan makna jangan suka membual atau berbohong. Secara leksikal, kata

nggalang dalam bahasa Manggarai berarti ular berbisa yang kecil atau ular tambang,

dalam bahasa latin disebut ahaetulla picta. Dalam ungkapan néka tuku - takak ného

lema de nggalang, nggalang adalah kiasan bagi orang yang suka membual atau

memutarbalikkan fakta. Ungkapan néka tuku-takak ného lema de nggalang dalam

bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan lidah tak bertulang dalam

ungkapan bahasa Indonesia.

(44) Neka beti nai agu mas mata

‘ Jangan sakit hati dan sakit mata ‘

Ungkapan neka beti nai agu mas mata merupakan idiom untuk menyatakan makna tidak boleh merasa sakit hati atau merasa iri dengan keberhasilan orang lain.

  49

(45) Neka wa’ek lewing nare

‘ Jangan mengambil panci tanak nasi’

Ungkapan neka wa’ek lewing nare merupakan idom untuk menyatakan makna melarang mengawini wanita yang masih mempunyai hubungan sedarah /

sesama klan. Menurut adat Manggarai, panci adalah kiasan untuk seorang perempuan

(ibu rumah tangga) karena panci hanya digunakan oleh kaum ibu untuk menanak

nasi di dapur, dan merupakan simbol garis keturunan ibu.

(46) Neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu tengu

‘ Jangan terlalu menengadah nanti kerongkongan terpancung - jangan

terlalu tunduk nanti tengkuk terkudung’

Ungkapan neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu

tengu merupakan idiom yang bermakna jangan terlalu sombong nanti menjadi

musuh banyak orang, dan jangan terlalu merendah diri agar tidak dimanfaatkan

orang lain.

(47) Neka bea betan - ngampang be wan

‘ Tanah rata di atas - jurang di bawah’

Ungkapan neka bea betan - ngampang be wan merupakan idiom yang untuk menyatakan makna bicara jangan manis di mulut, lain di hati.