• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budi Pekert

Peristiwa 1 : Wanita muda duduk di ruang tunggu bandara Suatu petang, seorang wanita muda sedang duduk di ruang

E. Menelaah Karya Sastra Naratif

6. Gaya bahasa

Gaya bahasa adalah cara pengarang mengungkapkan cerita. Ada pengarang yang bercerita dengan menggunakan kata-kata informal, santai, atau intim. Ada pula pengarang menggunakan gaya mengejek atau mengkritik.

Sebutkan komponen kesastraan yang ada dalam penggalan novel berikut!

Temukan:

1. para pelakunya; 2. perwatakan pelaku; 3. plot atau alur ceritanya; 4. konflik di dalamnya; 5. tema yang diangkat; 6. latar yang digunakan.

Hanya Sebuah Folklore Usman

Buluh perindu yang tengah ditiupnya terhenti ketika anak jurusan sejarah yang telah dikenalnya di Lingkungan Seni (Lises) di kampus- nya itu muncul dari ruangan sambil menenteng kecapi. Rupanya dia hendak pulang karena latihan untuk acara dies natalis telah usai. Latihan memang dipercepat karena nanti malam kakak angkatan manggung di Gedung Kesenian Rumentangsiang. Rama memasuk- kan seruling itu ke dalam tasnya.

”Dik, mau pulang?” Rama menepuk pundak pemuda gagah itu. ”Mau bareng?” ajak Rama. ”Atau ngobrol-ngobrol dulu di kantin dekat Gedung Sate. Aku ingin bertanya banyak tentang cerita kutukan itu ....”

Rama terus memikirkan perkataan Andika tempo hari, percakapan di musala kampus seusai salat zuhur. Andika pernah menatap wajah Rama dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa kedip. Tubuh Rama disusuri oleh matanya, seolah ada benda asing yang unik. Rama jengkel. Andika yang sudah lama dikenalnya di Lises didorongnya sampai-sampai Andika terjengkang.

”Ada apa sih, kamu menatap aku lekat begitu, heh?!” dengus Rama waktu itu dengan perasaan jengkel.

”Aneh saja! Orang Sumedang, dan Sumedang dari pinggiran, kok bisa bule. Bisa seperti orang Amerika sana. Jangan-jangan dikutuk nih .... Mungkin kamu kena kutukan, Ram?” ujar Andika sambil menyeka sisa air wudu. Andika terus berceloteh tentang sebuah kutukan, pecanduan, tentang perkawinan yang tabu! Semuanya itu sangat tidak dimengerti oleh Rama.

Rama menghela. Jengkel. Tetapi, waktu akan mengomentari kata-kata Andika tentang makna kutukan, salat berjamaah akan dimulai. Obrolan pun tertunda dan seusai salat Andika keluar duluan, mungkin ada kuliah. Setelah itu, tidak bertemu lagi. Hari-hari ini mereka bertemu untuk latihan seni Sunda. Rama masih mengingat kejadian itu makanya ia menanyakan tentang kata-kata yang diucapkan Andika ketika menunggu salat berjamaah di masjid.

”Jelaskan, apa sih makna kutukan buat aku, Dik?” Rama benar- benar resah.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

”Jangan dipikirkan tentang ocehan aku tempo hari, anggap saja itu cerita konyol!”

Andika mengibaskan telapak tangan kirinya. Pundak pemuda bule itu ditepuknya sambil memperpanjang langkah.

”Eit, tidak bisa! Aku terus memikirkan omongan kamu tempo hari itu!” Rama menghadang langkah Andika. Terpaksa Andika menghentikan langkahnya.

”Memangnya kamu percaya akan kutukan, heh? Cerita macam begitu dan hanya ada dalam folklore! Aku, kan mengatakan, mungkiiin ...! Sesuatu bisa dipercaya apabila diperkuat dengan kata

pasti, bukan mungkin. Mungkin itu tidak bisa diper- tanggungjawabkan, karena antara ya dan tidak. Kamu tahu, ketika bicara ilmiah, bicara sesuatu yang pasti, tidak bisa memakai kata mungkin! You understand?”

Gambar 5.7 Andika berbincang-bincang dengan Rama

”Okay, okay, I understand. Please answer my question! Pokoknya aku sekarang benar-benar ingin tahu, tentang kaitan antara aku dan kutukan itu. Bagaimana ceritanya? Ayolah cerita!” Rama memelas, tangan Andika yang sedari tadi menenteng kecapi ditariknya.

”Mau traktir aku? Bolehlah! Kalau tidak, aku mau pulang saja!” jawab Andika jual mahal.

”Huh, pemerasan!” Rama mendengus. Andika mendongak seolah siap-siap ambil langkah untuk meninggalkan Rama. ”Oke, oke, aku traktir. Nasi goreng kambing di depan Gedung Sate itu, asal kamu cerita tentang kutukan itu, ya!”

”Baiklah! Heh, di mana motormu? Cepatlah! Aku kan harus ke Jatinangor, malam ini ada rapat untuk demonstrasi. Aku kan, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa! Rencananya kami akan mengadakan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat....”

”Kenapa sih, kamu rajin demonstrasi, Dik, rajin unjuk rasa? Tidak takut kena dor petugas?” Rama menyeret pemuda itu ke arah kiri karena tiba-tiba sepeda motor melintas ke depan matanya.

”Takut juga sih, hehehe...! Tetapi, sebagai generasi muda yang peduli sejarah, yang peduli kemajuan, yang peduli perkembangan budaya, unjuk rasa itu perlu. Jangan biarkan sejarah kembali ke titik nol... Kemajuan bangsa stagnasi! Sejarah, peradaban, kebudayaan harus terus berjalan. Harus melahirkan catatan-catatan perjalanan bangsa, sementara manusianya ada pada peradaban yang gemilang...” cerosos Andika dengan nada menyala-nyala.

”Aduh, sumpah... aku tidak paham akan kata-katamu!?” Rama mengeluh karena kata-kata Andika sulit mencair di batok kepalanya. ”Begini, kepedulianku pada bangsa, karena sejarah bangsa kita kini kembali lagi ke titik nol, kembali ke satu titik peradaban kehancuran moral. Manusianya terperosok lagi ke arah kerakusan kekuasaan, ekonomi, dan politik, ke titik yang bernama kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sudah dua peradaban terjadi begitu, yaitu jaman Soekarno dan jaman Soeharto. Sekarang kembali lagi ke arah itu. Sejarah semacam itu jangan dibiarkan berulang-ulang. Sejarah macam apa stagnasi begitu? Bangsa macam apa seperti ini? Padahal negara ini didirikan untuk kemajuan semua orang, untuk kemakmuran semua orang, bukan untuk segelintir orang! Jangan biarkan lagi terjadi kerakusan kolektif! Jangan biarkan kerakusan orang tuanya mewabah kepada penerusnya, lantas bermutasi lebih gawat lagi, melahirkan virus-virus yang lebih jahat, lebih picik, lebih sadis. Kelak akan lahir golongan generasi jahat, generasi apatis, dan generasi frustasi. Apa yang kita banggakan dari sejarah macam itu! Makanya ....” ketika Andika sedang berapi-api, bagai seorang retorik memuntah- kan kata-kata dari batok kepalanya, Rama langsung menyambarnya. Mengajaknya ke arah parkir motornya.

”Sudahlah.... Itu kata-katamu yang enggan masuk ke batok kepalaku, muntahkan saja nanti di depan teman-temanmu. Ayo ke Gasibu, aku ingin disumpali nasi goreng nih, dan petuah-petuahmu tentang masalah aku!” Rama memaksa Andika segera menaiki jok motornya. Setelah pengamen itu berhenti dan Rama melempar uang kepingan lima ratus ke kotak yang disodorkan pengamen, Andika baru menarik napas seolah ingin memulai dongengannya. Ditatapnya wajah Rama yang nampak serius. Pemuda bule itu bersidekap dengan mata menatap bola mata Andika. Andika belum juga memulai ocehannya, malah nampak tersenyum geli. Andika memang menertawai sikap Rama yang sudah terpancing omongannya. Tempo hari, waktu jeda latihan Andika dan Rama menyempatkan diri sembahyang dzuhur. Seusai wudhu, sambil menunggu salat berjamah, iseng-iseng Andika bercerita tentang kutukan perkawinan karena sejarah, karena pacaduan. Pacaduan 36 itu adalah pantangan untuk dilanggar. Apabila pacaduan itu dilanggar akan ada akibatnya. Akibatnya itu termasuk kutukan. Rupanya kata-kata Andika itu menggerogoti otak Rama yang memang terus memikirkan misteri dirinya.

...

Rangkuman

1. Menikmati pementasan drama berbeda dengan menikmati naskah drama. Ada unsur acting, vocal, dan blocking yang menonjol dalam pementasan. Meskipun demikian, aspek penokohan, jalan cerita, latar, dialog dan tema tetap harus ditelaah untuk memperoleh pemahaman secara utuh tentang drama yang dipentaskan.

2. Menceritakan kembali sebuah cerpen tentu lebih banyak menekankan pada unsur jalan cerita. Meskipun demikian, untuk memberikan penekanan dan penjelasan agar lebih bermakna, dibutuhkan pula tambahan informasi lain seperti latar, penokohan, dll.

3. Nilai-nilai kehidupan bisa diambil dari cerpen karena cerpen pada hakikatnya adalah cerminan pengalaman atau pemikiran pengarangnya. Ada nilai moral atau pendidikan yang dicerminkan melalui karakter tokoh, dialog, dan jalan cerita. 4. Menulis puisi bisa dilakukan dengan menjadikan pengalaman sebagai sumber

inspirasinya. Caranya adalah dengan merenungi pengalaman itu, lalu mengungkapkannya dengan kata-kata, simbol, majas, dan permainan bunyi yang sesuai.

5. Karya-karya sastra naratif seperi drama, cerpen, novel, bahkan juga puisi menekankan unsur jalan cerita lebih dominan dari unsur lain. Meskpun demikian unusur itu tidak bisa berdiri sendiri, didalamnya selalu ada unsur intrinsik lain dan ditambah unsur ekstrinsik.

Refleksi

Karya sastra merupakan cerminan kehidupan nyata yang diungkapkan dengan bahasa yang indah. Pelajaran tentang kehidupan seperti nilai-nilai sosial, moral, dan pendidikan bisa diambil dari dalamnya. Bisa jadi tokoh-tokoh yang ada dalam drama, novel, atau cerpen yang kita baca adalah cerminan dari sebagian karakter kita. Mungkin juga jalan cerita para tokoh yang ada di dalamnya merip dengan yang kita alami. Tidak ada salahnya kita menjadikan karya sastra itu pelajaran hidup kita.

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Soal-Soal Pengembangan Kompetensi

1. Buatlah tanggapan atas dialog yang dilakukan para tokoh sinetron yang pernah kalian saksikan di TV!

2. Bacalah kembali cerpen ”Nggak Tahu Malu”, kemudian ceritakan kembali dengan bahasamu sendiri!

3. Temukan nilai-nilai dalam cerpen ”Nggak Tahu Malu”! 4. Buatlah puisi tentang pengalaman atau pengalaman yang pernah

kalian lakukan!

Kata Berhikmah

Bahasa dan bangsa tidak diperjualbelikan.

Dalam dokumen sma11bhsindbhs KompetensiBerbahasa Syamsuddin (Halaman 103-108)