• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Berjilbab dan Berbusana Muslim Fashionable sebagai

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 146-151)

6. KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP HIJABERS

6.4 Gaya Berjilbab dan Berbusana Muslim Fashionable sebagai

Representasi Gaya Hidup Muslimah Perkotaan

Busana dapat berfungsi sebagai representasi sosial pemakainya. Melalui representasi sosial maka dapat membuat sesuatu yang tidak dikenali menjadi dikenali. Dengan begitu maka dapat mempermudah individu untuk memahami suatu obyek sosial dan mengkomunikasikannya kepada individu lain. Representasi sosial terkait dengat aktivitas simbolik. Charon (1998) menyatakan “simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apa-apa yang memang disepakati bisa dipresentasikan oleh simbol tersebut” (Ritzer and Goodman, 2008 : 589).

Menurut Bourdieu, representasi dari agen berbeda-beda sesuai dengan posisi sosial serta habitus yang dimilikinya. Habitus memproduksi praktik dan representasi yang mana menyediakan klasifikasi yang terdiferensiasi secara objektif (Bourdieu, 2007: 19). Berdasarkan penjelasan tersebut , maka representasi melalui simbol atau atribut, salah satunya busana, merepresentasikan habitus sebagai skema klasifikasi secara objektif merujuk pada kondisi sosial yang memproduksinya.

Artinya busana dapat digunakan menjadi simbol untuk merepresentasikan prestise gaya hidup kelas menengah yaitu melalui fashion5. Fashion

5

Pohelmus dan Procter menjelaskan kata fashion sering digunakan sebagai sinonim dari kata dandanan, gaya berdandan dan busana (Barnard 2002 : 9). Istilah fashion memiliki konotasi yaitu berbusana dengan memperhatikan gaya atau dandanan yang “up to date” atau sesuai dengan ide-ide masa kini. Oleh karena itu tidak semua gaya berbusana itu fashionable, bisa saja suatu gaya berbusana sudah berlalu lantas menjadi ketinggalan zaman atau tidak fashion lagi. Maka berbusana dari segi fashion lebih menekankan pada gaya atau dandanan yang sesuai dengan ide-ide masa kini atau zaman sekarang yang cenderung tidak permanen dan superfisial.

133

memungkinkan kelas menengah untuk menunjukkan posisi sosialnya karena adanya 3 norma dalam fashion yaitu prinsip pemborosan yang mencolok, prinsip kesenangan yang mencolok , busana harus selalu “up to date” (Veblen, 1992: 122) Dengan demikian dalam fashion, busana selalu berganti terus dan tidak layak dipakai jika tak lagi up to date, untuk mengganti busana tiap waktu tergantung dari “kekuatan uang” yang dimilikinya yang juga sebagai bukti kemakmuran seseorang.

Maka busana yang fashionable dapat dijadikan simbol status kelompok untuk merepresentasikan status dan posisi sosial yang dimilikinya yang berimplikasi pada bagaimana cara orang lain memperlakukannya. Simbol status membawa signifikansi kategori dimana mengarahkan pada identitas status sosial dari orang yang memakai simbol tersebut, serta signifikasi ekspresif yang menggambarkan gaya hidup serta nilai kultural bagi pemakai simbol tersebut (Goffman, 1951).

Dalam konteks muslimah perkotaan berlatarbelakang kelas menengah di Indonesia, Abdurrahman (2006) menjelaskan bahwa busana muslim menjadi simbol identitas kelas menengah muslim yang sangat penting. Melalui tipe busana mereka, perempuan muslim dapat memperlihatkan tingkat kekhususan keagamaan mereka sebaik identitas kelasnya. Busana kelas menengah dilihat sebagai aspek dari “simbol kelompok kapital” dimana pakaian dapat menciptakan dan mengukuhkan identitas kolektif maupun personal. Busana muslim dapat memberikan ilustrasi yang jelas tentang bagaimana pakaian-pakaian tersebut terinspirasikan dari retorika modernisasi di Indonesia saat ini. Hubungan antara Islam, kelas menengah dan “bahasa busana” saat ini telah menguat. Busana bergengsi kelas menengah masyarakat muslim, memiliki makna lain yang sangat berbeda. Oleh karena itu pada kelas menengah muslim, berbusana dan berjilbab yang prestisius merupakan pilihan penting.

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan jilbab dan busana muslim kini tidak hanya dimaknai sebagai simbol agama, melainkan juga dikonstruksikan sebagai simbol status yang merepresentasikan kelas sosial beserta gaya hidup didalamnya. Begitu pula pada Hijabers Community, jilbab dan busana muslim tidak hanya menunjukkan keislamannya namun juga merepresentasikan mereka

sebagai kelompok kelas menengah muslim perkotaan dengan gaya hidup yang lekat dengan budaya konsumtif dan leisure time.

Jilbab dan busana muslim yang merupakan simbol agama, diestetisasi dengan fashion yang mengandung nilai gaya hidup yang lekat dengan budaya konsumtif dan leisure time. Masuknya unsur fashion tersebut, membuat terjadinya perkembangan makna pada jilbab dan busana muslim. Dimana tidak hanya makna relijiusitasnya sebagai simbol agama namun juga berpadu dengan makna kemodernan dan keprestisan. Makna kemodernan tersebut timbul dari prinsip „up

to date’ (sesuai dengan ide-ide masa kini/ perkembangan zaman) dari fashion.

Sedangkan makna keprestisan muncul kecenderungan pemilihan barang yang bermerk dalam berbusana. Barang yang dikonsumsi dalam berbusana tidak hanya mempertimbangkan segi nilai gunanya namun juga segi nilai ekslusivitasnya.

Terkait dengan pandangan Bourdieu bahwa representasi dari agen berbeda-beda sesuai dengan posisi sosial serta habitus yang dimilikinya, maka representasi kelas menengah melalui gaya berjilbab dan berbusana fashionable yang dilakukan komite Hijabers Community dilatarbelakangi habitus prestise yang mereka miliki. Hal tersebut terlihat sebagian besar komite memaknai bahwa gaya berjilbab dan berbusana fashionable dapat memberikan nilai prestise tersendiri. Selain itu, habitus prestise tersebut juga diindikasikan dari kecenderungan pemilihan barang yang bermerk pada aktivitas konsumsi mulai dari makanan, kultural hingga penampilan.

Konstruksi jilbab dan busana muslim menjadi sebuah simbol status terkait dengan tujuan Hijabers Community, yaitu mengubah citra muslimah berjilbab masih dipandang sebelah mata. Menurut komite Hijabers Community, konstruksi citra mengenai muslimah berjilbab di Indonesia masih kerap dianggap tidak gaul, tidak bisa gaya dan kuno karena tidak sesuai dengan gaya hidup masa kini Oleh karena itu mereka melakukan estetisasi jilbab dan busana muslim dengan memasukkan unsur fashion yang identik dengan gaya hidup masa kini. Dengan begitu, jilbab dan busana muslim diharapkan dapat sesuai dengan perkembangan zaman sehingga tidak lagi adanya stigma kuno atau „jadul‟ pada muslimah berjilbab. Hal tersebut ditujukan agar jilbab tidak ditinggalkan oleh umat muslim. Selain itu nilai prestise dari fashion juga digunakan oleh mereka

135

„menaikkan status‟ untuk mengubah pemaknaan masyarakat bahwa jilbab tidak gaya. Dengan kata lain, keeksisan Hijabers Community berperan dalam mengubah pemaknaan jilbab yang dahulu dipandang hanya menyimbolkan fundamentalisme agama namun kini juga dapat menyimbolkan posisi sosial dan kemodernan

BAB VII

PENUTUP

Berdasar temuan dan analisis data, berikut akan dipaparkan kesimpulan penelitian, utamanya jawaban atas pertanyaan pokok maupun penunjang dari studi pada HC ini. Pertanyaan utama pada penelitian ini yaitu bagaimana

Hijabers Community menempatkan jilbab dan busana muslim untuk

merepresentasikan gaya hidup muslimah kelas menengah perkotaan?. Sedangkan pertanyaan turunan pada penelitian ini yaitu : (1) bagaimana Hijabers

Community mengkonstruksikan jilbab dan busana yang merupakan simbol agama

sekaligus menjadi simbol status? (2) bagaimana peran Hijabers Community terhadap pemaknaan dan penanaman nilai Islam pada komitenya dalam hal berbusana?

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 146-151)