• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Habitus dalam Praktik Gaya Hidup Hijabers Community

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 129-135)

6. KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP HIJABERS

6.1 Peran Habitus dalam Praktik Gaya Hidup Hijabers Community

Praktik gaya hidup terkait dengan habitus1. Habitus diperoleh dari posisi di dunia sosial yang ditempati oleh agen dalam waktu yang panjang, tidak semua orang memiliki habitus yang sama namun mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki habitus yang sama (Ritzer and Goodman, 2008 : 581). Dengan kata lain habitus dialami secara kolektif oleh agen-agen yang hidup dalam kondisi sosial yang sama. Kesamaan inilah yang memungkinkan keteraturan dan keserasian praktik dan representasi yang dihasilkan agen-agen dalam kelompok atau kelas yang sama. Dengan kata lain orang-orang yang berasal dari kelas yang sama maka akan cenderung memiliki gaya hidup yang kurang lebih sama.

Praktik gaya hidup sutau kelompok dapat dibedakan dari pilihan aktivitas waktu luang dan objek yang dikonsumsi didalamnya. Heather dan Potter (dalam Ferica, 2006) menjelaskan bahwa objek atau barang yang dikonsumsi dapat berguna sebagai sumber distingsi. Distingsi tersebut berasal dari nilai ekslusivitas yang terkandung didalam objek atau barang yang dikonsumsi. Apabila tidak semua orang memiliki maka barang tersebut maka mengidentifikasikan pemiliknya sebagai anggota klub kecil (mereka yang tahu/ those who are in the

1 Bourdieu menjelaskan habitus sebagai “struktur mental atau kognitif” yang dimiliki indvidu dalam berhubungan dengan dunia sosial. Individu dibekali dengan serangkaian skema

terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi dan megevaluasinya, secara dialektis habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial (Ritzer and Goodman, 2008 : 581).

know) dan membedakan dengan mereka dari massa (mereka yang tidak tahu

menahu (those who dont have a clue). Distingsi tersebut menimbulkan inklusivitas sekaligus ekslusivitas dimana menyatukan mereka yang dapat memiliki kemampuan konsumsi serupa dan membedakan dengan orang kebanyakan.

Melalui praktik gaya hidupnya, Hijabers Community menunjukkan bahwa memiliki pilihan kultural cenderung mengarah pada aktivitas serta objek yang memiliki nilai prestise. Hal tersebut diindikasikan dari aktivitas makan di restoran atau kafe yang „elit‟, menggunakan barang-barang branded dalam berbusana , membeli majalah fashion & lifestyle internasional yang glossy, menampilkan aktivitas hobi „mahal‟ seperti fashion dan fotografi melalui blog, mengakses saluran TV luar negeri hingga travelling ke negara lain

Pada gaya hidup mereka terlihat lebih mengarah pada aktivitas dan objek yang memiliki sentuhan budaya „tinggi‟ dimana mempunyai nilai prestise lebih. Dengan mengkonsumsi aktivitas dan objek yang bernilai prestise tersebut berpotensi untuk menciptakan distingsi untuk membedakan dirinya dengan kelompok muslimah berjilbab yang lainnya.

Objek yang mereka konsumsi tersebut menjadi elemen yang penting untuk menggambarkan pola gaya hidup yang mereka miliki. Sebab pilihan objek yang mereka konsumsi memiliki prestise tersendiri karena nilai ekslusivitasnya sehingga menimbulkan distingsi bagi komite Hijabers Community. Nilai prestise dari suatu objek atau barang menjadi suatu hal yang dikejar pada kegiatan konsumsi dalam rangka penciptaan gaya hidup. Atau dengan kata lain objek atau benda yang dikonsumsi dapat merepresentasikan gaya hidup yang mereka miliki. Nilai prestise yang terdapat dalam suatu objek atau barang dapat menunjukkan nilai sosial, status, kekuasaan pada suatu objek, yang mana mengarah pada suatu stratifikasi sosial.

Distingsi yang timbul dari objek atau barang yang dikonsumsi menurut Heather dan Potter (dalam Ferica, 2006) menimbulkan inklusivitas sekaligus ekslusivitas. Objek yang dikonsumsi menyatukan mereka yang dapat memiliki kemampuan konsumsi serupa dan membedakan dengan yang lain. Melalui objek yang dikonsumsi, Hijabers Community menunjukkan afiliasi mereka dalam kelas menengah. Dengan kata lain mengafirmasi kembali keanggotaan seseorang dalam

117

in-group superior dan disaat yang bersamaan mengingkari keanggotaan di out group inferior. Namun Heath dan Potter menekankan, bukan gairah untuk

konformitas yang mendorong proses konsumsi, melainkan pencarian terhadap distingsi.

Pada praktik gaya hidup tersebut melibatkan habitus sebagai pemandu dalam memilih dan mengapresiasi suatu praktik sosial. Berdasarkan pemaparan data mengenai gaya hidup Hijabers Community terlihat habitus berupa menonjolkan prestise dalam praktik gaya hidupnya. Selain itu dari pemaparan data terlihat bahwa para anggota memiliki pilihan aktivitas waktu luang dan konsumsi objek tidak jauh berbeda satu sama lain. Hal tersebut terkait dengan kesamaan kondisi sosial-ekonomi yang diindikasikan dari pendapatan dan tingkat pendidikan yang kurang lebih sama. Kelas sosial mempengaruhi sosialisasi kultural yang mendorong terbentuknya kesamaan habitus anggota yang ada didalamnya

Hal tersebut terkait dengan penjelasan Bourdieu (1984) bahwa kumpulan agen yang menduduki posisi yang serupa dengan ditempatkan dalam kondisi serupa dan ditundukkan pada pengkondisian serupa, memiliki segala kemungkinan untuk memiliki disposisi dan kepentingan serupa, dan karenanya memiliki segala kemungkinan untuk memproduksi praktik dan mengadopsi sikap mental serupa. Oleh karena itu posisi sosial sebagai kelas menengah membentuk habitus yang serupa pada komite Hijabers Community sehingga menghasilkan praktik sekaligus apresiasi yang tidak jauh berbeda dalam pilihan aktivitas waktu luang serta objek yang dikonsumsi .

. Selain habitus prestise, habitus lainnya yang terwujud para praktik gaya hidup mereka yaitu keislaman yang moderat1. Hal tersebut terwujud pilihan objek yang mereka konsumsi dalam praktik gaya hidup yang bertema Islami namun tetap sesuai dengan gaya hidup „masa kini‟ . Contohnya yaitu pilihan majalah dan label fashion. Jenis majalah lifestyle & fashion yang paling banyak dipilih oleh

1 Moderat berasal dari bahasa latin yaitu moderare yang memiliki arti tidak ekstrim , sehingga memiiki makna yang berlawanan dengan sesuatu yang radikal. Sedangkan Islam yang moderat memiliki ciri yaitu memahami ajaran Islam tidak bersifat ekstrim dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Watak Islam moderat tersebut memungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis.

anggota komite Hijabers Community, namun yang menarik terdapat pilihan majalah lifestyle & fashion yang bertema Islami seperti Noor, Paras, Aquila Asia dan Aulia. Walaupun mengusung tema Islami, majalah-majalah tersebut, salah satunya Aquila Asia menyatakan dirinya sebagai majalah fashion & lifestyle untuk muslimah kosmopolitan masa kini dengan target pembaca yaitu kaum Muslimah di Indonesia, Malaysia. Majalah ini terlihat mengusung semangat modernitas wanita Muslim, yang terlihat dari artikel-artikelnya tentang fashion yang trendi, tetapi tetap Islami juga berita gaya hidup. Majalah-majalah tersebut menampilkan menawarkan gambaran gaya hidup muslimah masa kini yang up-to-date dengan perkembangan zaman namun tetap Islami.

Selain itu, dari segi pilihan label fashion selain memilih merk atau label

fashion internasional ternama seperti ZARA, GAP atau Mango para komite Hijabers Community juga mengkonsumsi busana muslim dari label fashion atau

desainer muslim lokal. Hal tersebut dijelaskan oleh informan RM dikatakan sebagai bentuk dukungan untuk memajukan sesama umat muslim. Namun ternyata label fashion yang mereka pilih memiliki desain yang fashionable yang mengikuti tren fashion yang sedang up-to-date. Maka dengan menggunakan produk-produk tersebut mereka tetap dapat menutup aurat sekaligus bergaya

up-to-date.

Sedangkan pada praktik berjilbab dan berbusana fashionable Hijabers

Community, mereka mempertahankan fashion dalam walaupun terdapat nilai yang

bertentangan dengan nilai Islam. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh habitus keislaman moderat yang mereka miliki. Terlihat dari penjelasan informan JN bahwa fashion dapat digunakan sebagai alat syiar agar menarik lebih banyak muslimah untuk berjilbab. Melalui gaya berjilbab dan berbusana fashionable, mereka ingin memberikan inspirasi dan membuat lebih banyak muslimah muda berjilbab. Jadi, walaupun sebenarnya terdapat nilai yang kontradiktif Islam dan

fashion dalam praktik berjilbab dan berbusana fashionable mereka tetap bersikap

permisif terhadap hal tersebut karena dimaknai bertujuan untuk syiar.

Namun bila dilihat lebih mendalam, nilai syiar untuk tujuan agama dari berjilbab dan berbusana fashionable yang dilakukan Hijabers Community tersebut justru terlihat sebagai usaha „melegalkan‟ prinsip pemborosan dan

119

konsumtivisme pada fashion yang bertentangan dengan nilai kesederhanaan dalam Islam. Tujuan syiar terlihat digunakan sebagai alat untuk melegitimasi praktik berjilbab fashionable sebagai diterima sebagai jalan tengah, sebab jilbab dan busana muslim fashionable merupakan pilihan yang „aman‟ bagi mereka untuk dapat tetap memenuhi perintah agama tanpa mengorbankan keeksisan dalam lingkungan sosial dan mengikuti perkembangan zaman.Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Nilan (2006) bahwa kaum muslim muda mengambil keuntungan dari aturan agama dan trend global yang populer pada saat yang bersamaan untuk menciptakan produk dan praktik yang menyediakan „tempat berlabuh‟ yang aman dalam dunia Islam dan budaya populer.

Habitus keislaman moderat tersebut juga terwujud dalam pemaknaan komite mengenai gaya hidup mereka yang lekat dengan budaya konsumtif dan

leisure time. Berikut penjelasan informan DP dan Informan AP :

“kayak beberapa waktu yang lalu ada yang bilang muslimah.yang bener

tuh gak kayak gitu.. tapi dijaman sekarang gini emang kita bisa menemukan yang kayak gitu? kayaknya mall, kafe atau bioskop itu menjadi hal yang sudah familiar di lingkungan kita ya kita gabisa hindarin , bisa sih belanja di pasar tapi pasar sama aja kan kayak mall jadi tergantung individunya kalo mau lebih murah ya ke pasar kalo mau lebih berkualitas dan nyaman ya ke mall, nah open mind aja jangan kalo cewek jadi gaboleh gini gitu sekarang udah bukan lagi jamannya. Sekarang mau beli kebutuhan kemana coba? sekarang emang masih ada anggapan anggapan kolot seperti itu jadi kayak gaboleh ke mall, gaboleh fashionable...jadi kalo emang menurut anda seperti itu ya saya nerima anda..tapi anda juga harus nerima saya selayaknya saya nerima anda. Jadi kayak gue gak protes ke lo, knapa lo mesti protes ke gue..bagimu agamamu bagiku agamaku... gitu kalo menurut kalian mikir kayak gitu silakan jalan ini, kalo gue ya tetep jalanin sesuai perkembangan jaman. Soalnya mall sama pasar itu sama aja tempat jual beli bedanya mall lebih bagus dan orang suka identik dengan yang jelek jelek kayak mall tempat nongkrong, ngerokok banyak cowo cowo..bioskop tempat gelap gelapan pasti ada apa apa...terus kafe tempat nongkrong2 ghibah segala macem. Justru yang salah yang ngejudge kayak gitu karena mereka udah suudzon duluan dengan apa yang orang lakukan di mall, padahal kan gak selalu orang ke mall kayak gitu. Itulah emang orang yg berpikiran sempit jadi ya open minded aja...” (Informan DP, 8 Agustus 2011 pkl 14:25 WIB)

Dari pernyataan diatas menggambarkan bagaimana mereka merasa kondisi masyarakat perkotaan ditengah globalisasi dan indutrialisasi, „dikepung‟ oleh banyaknya pembangunan mall-mall, kafe atau bioskop sehingga tempat-tempat

tersebut menjadi hal yang biasa dan tidak dapat dihindari. Mereka memaknai praktik gaya hidupnya seperti berbusana fashionable, hangout ke mall, menonton film bioskop, makan di kafe atau restoran merupakan budaya yang populer yang sudah familiar di masyarakat dan bukanlah hal yang salah karena tidak melanggar batasan Islam yang ia yakini. Walaupun begitu mereka menyadari terdapat perbedaan pemahaman dari berbagai „aliran‟ Islam tentang apa yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah.

Oleh karena itu mereka memilih untuk menerima perbedaan yang ada. Hal tersebut terlihat dari pernyataan „bagimu agamamu bagiku agamaku‟. Mereka memaknai bahwa ajaran Islam tidak bersifat ekstrim dan masih dapat „berkompromi‟ dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu dalam persepsi mereka Islam tidak melarang untuk mengikuti gaya hidup sesuai perkembangan zaman . Oleh karena itu mereka tidak sependapat dengan pihak yang mereka anggap „kolot‟yang tidak bisa menerima gaya hidup masa kini yang lekat dengan budaya konsumtif dan leisure time.

121

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 129-135)