• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 151-155)

6. KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP HIJABERS

7.1 Kesimpulan

Kondisi sosial-ekonomi dan gaya hidup tidak dapat dipisahkan. Terlihat pada anggota Hijabers Community, pilihan aktivitas dan objek yang dikonsumsinya terkait dengan pendapatan, status pernikahan, pendidikan dan pekerjaan. Pendapatan yang memadai mereka memiliki kemampuan untuk makan di restoran atau kafe yang „elit‟, membeli pakaian, baju serta tas branded, membeli majalah fashion & lifestyle internasional yang glossy , mengakses saluran TV luar negeri hingga travelling ke negara lain. Sedangkan status pernikahan anggota komite membuat pilihan “teman” dalam menjalani aktivitas waktu luang menjadi berbeda yaitu anggota komite yang sudah menikah cenderung pilihanya hanya dengan keluarga, sedangkan yang belu menikah pilihannya lebih luas iatu bersama keluarga, teman, pacar/calon suami.

Pendidikan anggota komite yang tinggi membuat jangkauan pilihan aktivitas waktu luang mereka lebih luas, tidak hanya terbatas pada aktivitas rekreasi melainkan juga aktivitas organisasi. Pekerjaan mereka yang mayoritas bergerak di bidang fashion membuat objek yang mereka konsumsi seperti majalah, acara TV mengarah pada tema fashion. Selain pekerjaan mereka di bidang fashion, membuat mereka memiliki pengetahuan lebih luas mengenai merk

atau label fashion dan membuat preferensi konsumsi penampilan mereka cenderung pada produk dari label fashion internasional.

Dari temuan data pada penelitian ini, gaya hidup individual anggota komite juga terbawa pada saat mereka dalam kelompok yaitu seperti makan direstoran atau kafe, travelling, internetan, berbelanja dan pembedaan gaya berbusana untuk suasana yang berbeda Selain itu terlihat bahwa gaya hidup anggota komite Hijabers Community tidak jauh berbeda satu sama lain. Hal tersebut terkait dengan kesamaan kondisi sosial-ekonomi dari posisi sosial mereka yang diindikasikan dari pendapatan dan tingkat pendidikan yang kurang lebih sama. Maka posisi sosial mempengaruhi sosialisasi kultural yang mendorong terbentuknya kesamaan habitus anggota yang ada didalamnya.

Oleh karena itu, praktik gaya hidup pada Hijabers Community juga melibatkan habitus sebagai pemandu dalam memilih praktik gaya hidup tersebut dan pemaknaannya. Dari hasil analisa data, terlihat bahwa Hijabers Community memiliki dua habitus dalam praktik gaya hidupnya yaitu : (1) menonjolkan prestise dan (2) keislaman yang moderat .

Habitus prestise, mengarahkan anggota komite Hijabers Community cenderung memilih aktivitas dan objek yang memiliki sentuhan budaya „tinggi‟ dimana mempunyai nilai prestise lebih. Hal tersebut terlihat dari aktivitas makan di restoran atau kafe yang „elit‟, menggunakan barang-barang branded dalam berbusana , membeli majalah fashion & lifestyle internasional yang glossy, menampilkan aktivitas hobi „mahal‟ seperti fashion dan fotografi melalui blog, mengakses saluran TV luar negeri hingga travelling ke negara lain

Sedangkan habitus keislaman yang moderat memandu komite Hijabers

Community dalam memaknai gaya hidup yang mereka miliki. Pada persepsi

mereka mengenai aktivitas berbusana fashionable, hangout ke mall, menonton film bioskop, makan di kafe atau restoran merupakan budaya yang populer yang sudah familiar di masyarakat dan bukanlah hal yang salah karena tidak melanggar batasan Islam yang mereka yakini. Mereka memaknai bahwa ajaran Islam tidak bersifat ekstrim dan masih dapat „berkompromi‟ dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu dalam persepsi mereka Islam tidak melarang untuk mengikuti gaya hidup sesuai perkembangan zaman . Oleh karena

139

itu mereka tidak sependapat dengan pihak yang mereka anggap „kolot‟yang tidak bisa menerima gaya hidup masa kini yang lekat dengan budaya konsumtif dan leisure time. Oleh karena itu secara keseluruhan, pada gaya hidup anggota komite Hijabers Community lebih menonjol nilai prestise dibandingkan nilai keislamannya dan hal tersebut juga terbawa pada saat mereka didalam kelompok.

Pada pembahasan praktik gaya berjilbab dan berbusana fashionable dipaparkan bahwa sebenarnya nilai pemborosan dan konsumtivisme dalam

fashion yang bertentangan dengan nilai kesederhanaan berbusana dalam Islam.

Namun ternyata pada Hijabers Community gaya berjilbab dan berbusana yang

fashionable tersebut tetap dipertahankan. Hal tersebut didasari pemaknaan bahwa fashion dalam berjilbab diperbolehkan selama masih menutup aurat dan tidak

membentuk lekukan tubuh. Selain itu fashion dimaknai oleh Hijabers Community dapat dijadikan alat syiar dimana membuat berjilbab menjadi lebih indah dan sesuai perkembangan zaman sehingga dapat membuat lebih banyak perempuan tertarik untuk berjilbab. Pemaknaan tersebut terkait dengan habitus keislaman moderat pada Hijabers Community yang mengarahkan bahwa Islam dapat mengikuti perkembangan zaman.

Selain berdasarkan pemaknaan tersebut, praktik berjilbab dan berbusana

fashionable tetap dipertahankan pada Hijabers Community karena

ke-fashionable-an tersebut justru menjadi modal simbolik yke-fashionable-ang menguntungkke-fashionable-an bagi kepentingke-fashionable-an ekonomi anggota komite. Modal simbolik kelompok pada Hijabers Community membuatnya menjadi trendsetter yang mendefiniskan trend baru dalam ranah

fashion muslimah Hal tersebut memberikan keuntungan bagi anggota komitenya

untuk memperbesar modal sosial, lalu mengarah pada akumulasi modal ekonomi dimana penjualan produk-produk dari fashion label anggota komite semakin meningkat.

Selanjutnya pada pembahasan peran kelompok dalam penanaman nilai keislaman pada aggota komite, habitus anggota komite berkembang sesuai dengan lingkungan kelompok. Hal tersebut dimungkinkan terjadi didalam kelompok, dimana nilai-nilai kelompok dapat merasuk pada struktur kognitif para anggotanya dan membuat habitus berkembang. Hijabers Community sebagai

kelompok muslimah berjilbab yang mengusung identitas keislaman, menimbulkan tanggung jawab para komitenya untuk menjaga citra islam. Salah satunya dilakukan dengan menerapkan norma kelompok yang mengarahkan mereka untuk menjaga gaya berjilbab dan berbusana mereka agar sesuai dengan syariat Islam. Perkembangan habitus komitenya terlihat dari perubahan dari segi gaya berbusana dan berjilbab setelah masuk di Hijabers Community yang didasari oleh penyesuaian diri dengan norma kelompok.

Terakhir, pada bagian hasil analisa data gaya berbusana dan berjilbab

fashionable sebagai representasi sosial dijelaskan bahwa praktik berjilbab dan

berbusana yang fashionable komite Hijabers Community merepresentasikan keislaman sekaligus posisi sosial mereka. Masuknya unsur fashion dalam jilbab dan busana muslim, berimplikasi pada terjadinya perkembangan makna. Jilbab dan busana muslim yang pada esensinya sebagai sebagai simbol agama yang memiliki makna relijius namun kini sekaligus menjadi simbol status dengan makna keprestisan dan kemodernan. Makna keprestisan muncul dari kecenderungan komite Hijabers Community dalam pemilihan barang yang bermerk dalam berbusana. Sedangkan, makna kemodernan tersebut timbul dari prinsip „up to date’ (sesuai dengan ide-ide masa kini/ perkembangan zaman) dari

fashion. Dengan begitu, jilbab dan busana muslim diharapkan dapat sesuai dengan

perkembangan zaman sehingga tidak ditinggalkan oleh umat muslim. Oleh karena itu tujuan dari Hijabers Community pun terlihat mengarah pada usaha „menaikkan status‟ jilbab dan busana muslim dengan menggunakan fashion untuk mengubah pemaknaan masyarakat .

Nilai prestise yang menonjol pada praktik berjilbab dan berbusana komite

Hijabers Community, membuat konstruksi jilbab dan busana muslim yang

terbangun pada mereka yaitu sebagai sebuah simbol status. Simbol status meneguhkan identitas mereka untuk mendistingsi dirinya dengan kelas bawah serta memudahkan pihak lain untuk memahami bahwa bagaimana cara memperlakukan mereka. Dengan begitu, jilbab dan busana muslim tidak hanya merepresentasikan keislaman namun sekaligus posisi sosial pada Hijabers

141

Representasi sosial dari jilbab dan busana muslim pada Hijabers

Community tersebut juga menjadi modal simbolik Modal simbolik tersebut

merupakan gabungan antara modal ekonomi berupa kemampuan ekonomi untuk selalu membeli busana sesuai trend fashion up-to-date, modal budaya berupa pengetahuan dan selera fashion, serta modal sosial berupa jaringan sosial seperti hubungan kerjasama dengan pihak lain.

Dari keseluruhan hasil penelitian ini, bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya maka menunjukkan bahwa perkembangan jilbab tidak hanya sebagai suatu budaya populer seperti yang dijelaskan oleh Raleigh (2004) dan Saluz (2007) melainkan berkembang menjadi simbol status untuk menunjukkan posisi sosial pemakainya. Selanjutnya terdapat „benang merah‟ antara hasil penelitian ini dengan penelitian Saluz (2007) dimana melihat muslimah muda melalui gaya berjilbab berusaha untuk mengkonstruksikan identitasnya. Selain itu dalam berjilbab muslimah muda tidak hanya memperhatikan aspek agamanya saja melainkan terdapat aspek lain yang dinegosiasikan. „Aspek lain yang dinegosiasikan‟ yang terdapat dalam penelitian ini yaitu fashion. Saluz (2007) juga menjelaskan bahwa terjadinya destabilisasi makna jilbab, hal tersebut juga terlihat pada hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa jilbab tidak lagi hanya dimaknai sebagai simbol agama maupun relijiusitas melainkan juga sebagai simbol status. Sedangkan „benang merah‟ antara penelitian ini dengan penelitian Susiana (2005) yaitu penanaman nilai berbusana dalam kelompok dapat dilakukan melalui pada kegiatan-kegiatan kelompok mengarahkan para anggota untuk berbusana sesuai noma kelompok yang ada. Selain itu pada penelitian ini dan penelitian Susiana (2005) melihat melalui jilbab dapat dijadikan pembeda dengan kelompok lain.

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 151-155)