• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Modal pada Praktik Gaya Berjilbab dan Berbusana

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 135-143)

6. KONSTRUKSI DAN REPRESENTASI GAYA HIDUP HIJABERS

6.2 Peran Modal pada Praktik Gaya Berjilbab dan Berbusana

Fashionable Hijabers Community

Merujuk pada Ernawati, dkk (2008) istilah busana berasal dari bahasa sanskerta yaitu ”bhusana” dan istilah yang popular dalam bahasa Indonesia yaitu ”busana” yang dapat diartikan ”pakaian”. Namun demikian pengertian busana dan pakaian terdapat sedikit perbedaan, di mana busana mempunyai konotasi ”pakaian yang bagus atau indah” yaitu pakaian yang serasi, harmonis, selaras, enak dipandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai serta sesuai dengan kesempatan. Berkenaan dengan penampilan bisa dibedakan berdasar:

(1) Busana dalam pengertian luas adalah segala sesuatu yang dipakai mulai dari kepala sampai ujung kaki yang memberi kenyamanan dan menampilkan keindahan bagi si pemakai. Busana meliputi : busana mutlak yaitu busana pokok seperti : baju, rok, kebaya, blus, pakaian dalam, celana dan lainnya, (2) milineris yaitu pelengkap busana yang sifatnya melengkapi busana mutlak, serta mempunyai nilai guna di samping juga untuk keindahan seperti sepatu, tas, topi, kaus kaki,dan lainnya, (3) aksesoris yaitu pelengkap busana yang sifatnya hanya untuk menambah keindahan seperti cincin, kalung, leontin, bross dan lain sebagainya. Dengan kata lain busana tidak hanya terbatas pada pakaian seperti baju atau celana saja melainkan kesatuan yang dipakai mulai dari kepala hingga kaki dimana pakaian menjadi bagian didalamnya.

Pada perspektif Islam, berbusana tidak hanya memiliki fungsi material sebagai penutup tubuh tapi juga memiliki arti simbolis, menurut El Guindi (1999) makna pakaian dibagi menjadi dua yaitu arti material dan arti simbolis, secara material pakaian memiliki fungsi sebagai penutup tubuh. Sedangkan secara simbolis, pakaian memiliki fungsi sebagai kode tentang moralitas, kehormatan, kemanusiaan.

Aturan dalam Islam mengenai berbusana yaitu : menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal tidak boleh tipis, harus longgar atau tidak ketat sehingga tidak membentuk lekukan tubuh, tidak diberi wewangian atau parfum, tidak menyerupai laki-laki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, bukan libas syuhrah (pakaian popularitas) yaitu pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas (gengsi) di tengah

orang banyak baik pakaian tersebut mahal yang dipakai sseseorang untuk berbengga dengan gaun dan perhiasannya maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dengan tujuan riya (pamer atau menyombongkan diri) (Al-Ghifari, 2001). Menurut Arfa (2004) jilbab merupakan simbol dari pakaian perempuan Islam yang dianggap memenuhi kriteria menutup aurat2. Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang membahas mengenai penggunaan jilbab bagi perempuan yaitu Surat Al Ahzab:59 dan Surat An Nur:31.

Kontekstualisasi pemahaman jilban dan menutup aurat di Indonesia, tampaknya lebih menunjukkan gaya berjilbab dan berbusana yang cenderung lebih beragam dibandingkan dengan negara-negara Timur tengah. Terdapat berbagai variasi gaya berjilbab mulai dari jilbab cadar, jilbab panjang hingga jilbab yang trendi atau fashionable. Jilbab fashionable itu sendiri merupakan gaya berjilbab dan berbusana muslim yang lekat dengan unsur fashion yang mengutamakan unsur estetika (keindahan) serta up-to-date (mengikuti trend yang ada) sebagaimana yang terdapat pada gaya busana umum

Munculnya jilbab yang trendi atau fashionable ini menawarkan karakter Islami namun tetap modern. Oleh karena itu, berperan dalam popularitas jilbab di Indonesia karena mengubah persepsi masyarakat Indonesia terhadap jilbab yang sebelumnya menyimbolkan fundamentalisme agama kini jilbab dipandang posistif sebagai simbol kemodernan tanpa harus meninggalkan relijiusitas (Prasetia, 2009).

Secara umum konteks yang melatarbelakangi munculnya gaya berjilbab

fashionable di Indonesia yaitu : (1) perbedaan pemaknaan tentang cara berjilbab

yang „benar‟, (2) Hibridisasi antara budaya barat dengan budaya Islam (Saluz, 2007). Pada konteks yang pertama, dalam Al-Quran dijelaskan bahwa perempuan diminta untuk menutup auratnya, namun tidak secara jelas merinci tentang model jilbab serta pakaian seperti apa yang seharusnya dikenakan perempuan dalam menutup auratnya .Oleh karena itu menimbulkan pemaknaan yang berbeda-beda

2 Aurat berasal dari Bahasa Arab „awrah yang berarti aib, dalm konteks fiqh (pemikiran keagamaan) aurat merupakan bagian tubuh seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan . Dalam Madzhab asy-Syafi‟i aurat perempuan adalah seluruh tubh kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan tangan.

123

dalam masyarakat, Saluz (2007) memaparkan terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai pengertian jilbab.

Perbedaan ini merujuk pada masa Nabi Muhammad SAW yang mana jilbab merupakan pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Selain itu Baidan (1999) jilbab memiliki arti pakaian atau baju yang longgar. Berkembang pula pengertian jilbab sebagai penutup muka sampai dada, termasuk pelipis dan hidung serta hanya kedua mata yang terlihat (Hayyan dalam Baidan, 1999). Namun jilbab yang dikenal dalam konteks Indonesia yaitu jilbab dalam arti penutup kepala (Baidan, 2003). Oleh karena untuk pakaian yang tidak ketat dan menutup aurat disebut busana muslim (Raleigh, 2004). Jilbab dan busana muslim digunakan bersama untuk saling melengkapi dalam menutup aurat.

Adanya perbedaan makna jilbab pada masyarakat, menurut Saluz (2007) menyebabkan tidak adanya konsensus mengenai cara berjilbab yang „benar‟ sehingga menimbulkan berbagai gaya berjilbab yang berbeda-beda dalam masyarakat seperti jilbab cadar, jilbab panjang hingga jilbab fashionable. Gaya berjilbab fashionable berjasa berjasa bagi popularitas jilbab di Indonesia. Jilbab

fashionable ini menawarkan karakter Islami namun tetap modern. Oleh karena itu

mengubah persepsi masyarakat Indonesia terhadap jilbab, yang pada awalnya dipandang sebagai simbol fundamentalisme agama, namun kini dipandang sebagai simbol relijiusitas yang juga memiliki nilai kemodernan.

Selanjutnya konteks yang kedua, munculnya gaya berjilbab fashionable ini dilatarbelakangi adanya proses hibridisasi. Hibridisasi merupakan pertemuan antara pengaruh dari budaya global (khususnya gaya Barat) dan budaya lokal (tradisional). Hibridisasi dalam jilbab dan busana muslim terjadi karena pengaruh

fashion yang menjadi budaya global yang populer bertemu dengan jilbab dan

busana muslim yang menjadi budaya lokal Islam. Menurut Swastika (2003) praktik-praktik dalam proses hibridisasi pengaruh global dan lokal, praktik-praktik yang selama ini terlihat berlawanan dapat menjadi serasi. Nilan (2006) menjelaskan bahwa kaum muslim muda mengambil keuntungan dari aturan agama dan trend global yang populer pada saat yang bersamaan untuk menciptakan produk dan praktik yang menyediakan „tempat berlabuh‟ yang aman

dalam dunia Islam dan budaya populer. Hal tersebut dilakukan oleh para muslimah muda dengan menggabungkan elemen gaya hidup yaitu praktik konsumsi dengan nilai relijius.

Berkenaan dengan wacana gaya berjilbab baik lintas komunitas Islam antar bangsa maupun dalam kontek Indonesia, maka bagaimana keterkaitannya dengan gaya berjilbab dan berbusana fashionable pada konteks Hijabers Community. Pertanyaan menarik adalah “bagaimana gaya berjilbab dan berbusana fashionable tersebut menjadi modal simbolik yang menguntungkan bagi HC”

Temuan lapangan menunjukkan adanya upaya „hibridisasi antara jilbab dan fashion’ yang terlihat sangat nyata pada Hijabers Community. Terkait dengan pendapat Swastika (2003) praktik-praktik yang selama ini terlihat memiliki nilai yang berlawanan dapat menjadi serasi dalam konteks budaya yang mengalami hibridisasi. Begitupun pada praktik gaya berjilbab dan berbusana

fashionable, sebenarnya aturan Islam dan prinsip dalam fashion dalam hal

berbusana bersifat kontradiktif.

Pada ajaran Islam terdapat norma berbusana yaitu tidak boleh libas

syuhrah (pakaian popularitas) yaitu pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih

popularitas (gengsi) di tengah orang banyak baik pakaian tersebut mahal yang dipakai seseorang untuk berbangga (bermewah-mewah) dengan gaun dan perhiasannya maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dengan tujuan riya (pamer,atau menyombongkan diri).Sedangkan sebaliknya, norma dalam fashion justru adanya pemborosan yang mencolok, kesenangan yang mencolok , busana harus selalu “up to date”. Dengan kata lain, fashion identik dengan pemborosan, konsumtivisme dan menekankan nilai prestise dari berbusana yang bertentangan dengan syariat Islam yang melarang berbusana untuk bermewah-mewah untuk mendapatkan prestise.

Walaupun terdapat nilai fashion yang bertentangan dengan nilai Islam dalam praktik berjilbab dan berbusana fashionable. Namun anggota komite tetap besikap permisif dan tetap mempertahankan praktik berjilbab dan berbusana

fashionable pada Hijabers Community. Ternyata hal tersebut dilatarbelakangi oleh

125

fashion. Dimana Ke-fashionable-an dalam berbusana dan berjilbab juga menjadi

modal simbolik yang menguntungkan bagi komite Hijabers Community.

Hal tersebut terkait dengan penjelasan Bourdieu bahwa modal sosial, budaya dan ekonomi yang dikonversikan menjadi modal simbolik mampu memberikan legitimasi terhadap posisi dan tindakan sehingga dianggap absah oleh agen lain. Bourdieu menjelaskan bahwa dengan modal simbolik agen mampu mendefinisikan agen-agen lainnya, merepresentasikan mereka dan membentuk “dunia sosial” yang diakui keabsahannya dan mendapatkan keuntungan dari hal tersebut yang dapat memperkuat posisinya (Bourdieu, 1995 : 166)

Dengan modal simbolik yang dimilikinya, komite Hijabers Community mampu mengobjektifikasi selera berbusana dan berjilbab yang mereka miliki menjadi trend baru dalam fashion muslimah dan menjadi trendsetter yang mendefinisikan selera baru dalam ranah fashion muslimah. Posisi dominan mereka dalam ranah fashion muslimah yaitu sebagai trendsetter menjadi absah ketika standar selera baru dalam berjilbab dan berbusana yang mereka definisikan dalam ranah fashion muslimah mendapatkan legitimasi dari masyarakat.

Bentuk legitimasi terhadap selera baru dalam berjilbab dan berbusana muslim yang didefinisikan oleh Hijabers Community salah satunya diindikasikan dari gaya berjilbab mereka yang khas dengan jilbab shawl dan hoodie yang dipadukan dengan dalaman ninja, menjadi populer dan banyak digunakan oleh para muslimah berjilbab. Pada awalnya produk jilbab dengan model tersebut hanya bisa didapatkan di butik Moshaict namun kini dapat telah ditiru oleh produsen jilbab dan busana muslim lain sehingga dapat mudah ditemui di mall-mall dan ITC. Selain itu bentuk legitimasi lainnya berupa peminat Hijabers

Community terus bertambah dari waktu ke waktu yang diindikasikan dari jumlah followers di twitter sekitar 1000 orang pada bulan November 2010 hingga

September 2011 dengan followers di twitter terus bertambah mencapai 26.000 orang dan 35.000 orang di facebook.

Gaya berjilbab dan berbusana mereka yang fashionable menjadi trend baru yang diterima oleh masyarakat dan diimitasi oleh muslimah-muslimah lainnya sehingga memperkuat posisi sosial Hijabers Community dalam ranah fashion muslimah. Selain itu membawa keuntungan bagi mereka yaitu semakin dikenal

masyarakat dan mereka yang mayoritas memiliki usaha di bidang fashion juga diuntungkan hubungan kerjasama dengan butik Moshaict berperan dalam memfasilitasi pemasaran produk dari fashion label milik komite Hijabers

Community.

Jumlah peminat Hijabers Community yang banyak nampaknya disadari oleh anggota sebagai peluang bagi usaha yang dikelolanya, oleh karena itu para peminat Hijabers Community yang merupakan muslimah muda berjilbab di bidik menjadi target pasar dari bisnis mereka. Menyadari akan potensi modal kelompok yang dapat memberikan keuntungan ekonomis, oleh karena itu anggota komite lainnya juga termotivasi untuk membuat bisnis di bidang fashion dan mempertahankan gaya berjilbab dan berbusana yang fashionable. Hal tersebut diindikasikan dari bertambahnya jumlah bisnis fashion label yang dimiliki komite

Hijabers Community. Sebelum Hijabers Community melakukan launching pada

bulan Maret 2011 hanya ada 4 label fashion, lalu seiring kepopuleran dengan bertambahnya jumlah peminat Hijabers Community hingga bulan Agustus 2011 muncul 8 label fashion baru yang dimiliki oleh komite Hijabers Community. Selain itu adanya kerjasama Hijabers Community dengan pihak lain yaitu butik Moshaict turut mejadi penunjang bagi fashion label anggota komite. Butik Moshaict berperan dalam memfasilitasi pemasaran produk dari fashion label milik komite Hijabers Community. Dari 12 fashion label yang dimiliki oleh para komite

Hijabers Community 10 diantaranya menjadi tenant di butik Moshaict..

Dari penjelasan diatas, maka legitimasi masyarakat yang didapatkan

Hijabers Community dalam ranah fashion muslimah memudahkan anggota

komitenya untuk mengakumulasi modal-modal yang mereka miliki. Contohnya modal sosial mereka bertambah dengan semakin dikenalnya mereka, lalu mengarahkan bertambahnya modal ekonomi dari keuntungan bagi bisnis dibidang

fashion yang mereka jalani.

Namun dalam dalam suatu ranah tidak terlepas dari adanya agen-agen lainnya yang juga berusaha mendapatkan posisi yang dominan. Sebab dalam pemahaman Bourdieu, ranah merupakan medan pertarungan antar agen untuk memperkuat poisisnya (dalam ranah). Bagi yang dominan, ia adalah medan untuk mempertahankan posisinya, sedangkan bagi yang marjinal untuk

127

merebutnya (Bourdieu and Wacquant, 1992 : 101). Namun pertarungan yang terjadi berupa pertarungan simbolik (symbolic struggle).

Pertarungan simbolik dalam ranah fashion muslimah tersebut berupa debat dari agen yang dilontarkan melalui twitter dan blog mengenai gaya berjilbab mengenai gaya berjilbab yang menggunakan dalaman ninja serta hoodie3 (yang merupakan gaya berjilbab dipopulerkan oleh Hijabers Community) dianggap menyalahi aturan islam karena menyerupai tudung yang dikenakan biarawati. Selain itu dari gaya berbusana juga dianggap menyalahi aturan Islam karena masih membentuk lekukan tubuh.

Gambar 6.1 Gaya Berjilbab yang Dianggap Menyerupai Tudung Biarawati

Sumber : http://www.gadisberjilbabb.tumblr.com

Dengan modal budaya berupa pengetahuan agama dan modal sosial berupa jaringan sosial di internet, agen tersebut berusaha mendefinisikan dalam ranah

fashion muslimah bahwa gaya berjilbab dan berbusana yang dipopulerkan oleh Hijabers Community menyalahi aturan dalam Islam. Agen tersebut juga

„menawarkan‟ standar berjilbab yang dinggap ideal sesuai aturan Islam dengan kriteria seperti pada gambar berikut :

3

Hoodie merupakan model jilbab yang menyerupai tudung dan menyatu dengan baju sehingga dalam pemakaiannnya tidak diperlukan peniti dan bagian bawah dagu dan leher dibiarkan terbuka , oleh karena itu penggunaannya dipadukan dengan dalaman ninja untuk menutupi leher

Gambar 6.2 Gaya Berbusana yang Dianggap Memenuhi Kriteria dalam Ajaran Islam

Sumber : http://www.gadisberjilbabb.tumblr.com

Dengan demikian, tanpa modal simbolik yang cukup besar, agen tersebut terlihat belum mampu mengobjektifikasi nilai-nilai berbusana dan berjilbab yang didefinisikan sebagai „sesuai syariat Islam‟ dalam ranah fashion muslimah. Oleh karena itu mereka tidak dapat mengintervensi komite Hijabers Community untuk mengubah gaya berbusana dan berjilbabnya. Selain itu gaya jilbab shawl4 dan hoodie yang dipopulerkan oleh komite Hijabers Community masih diminati oleh

para muslimah. Dengan kata lain, komite Hijabers Community tetap dapat mempertahankan posisinya dalam ranah fashion muslimah.

4

Shawl merupakan model jilbab yang serupa selendang yang berukuran panjang berbahan kaos, biasanya digunakan dipadukan dengan dalaman ninja dan dapat dimodifikasi menjadi berbagai gaya

129

Dalam dokumen Hijab Ers (Halaman 135-143)