• Tidak ada hasil yang ditemukan

GELIAT NAHDLATUL ULAMA

GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kesadaran kaum perempuan untuk menunjukkan peran dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bukti memiliki tugas dan tanggung jawab setara dengan kaum laki-laki semakin menarik untuk diperbincangkan, khususnya oleh perempun. Salah satu alasan yang mendasari adalah berkembangnya keanekaragaman pemenuhan kebutuhan keluarga, yang tidak saja cukup ditopang oleh laki-laki. Kondisi seperti ini membangkitkan kesadaran bahwa perempuan memiliki peluang untuk ikut berperan menghidupi keluarga, meringankan beban laki-laki (suami). Akibatnya

terjadi perubahan budaya (cultural changes) dan orientasi kehidupan (life orientation)

kaum perempuan. Semula terbatas mengurus kegiatan bersifat domestik seperti merawat anak, menyediakan makan dan minum, mencuci pakaian, dan membersihkan halaman rumah. Setelah ada peluang perempuan ikut serta dalam peran publik, seperti keterlibatan dalam sektor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Aksi tersebut menjadi pertanda ada dorongan kuat meningkatnya peran perempuan sebagai wujud tuntutan kesetaraan gender.

Sejarah panjang telah banyak mengungkap bahwa perempuan mengalami

keterlemparan peran (passing out) dari pergumulan kehidupan sosial, seakan tidak

ada tempat layak buat berkarya, semua hanya buat kaum laki-laki yang dipahami

lebih absah berkarya di luar rumah (ranah publik). Keberhasilan peran laki-laki

sama sekali tidak menunjukkan bahwa ada keterlibatan peran yang besar dari kaum perempuan, meskipun hanya terbatas dari lingkungan rumah tempat tinggal (ranah domestik).

Rendahnya kontekstualisasi pemahaman teks-teks agama dengan tuntutan dunia baru, menjadi salah satu alasan untuk melakukan pembenaran terhadap marjinalisasi peran perempuan yang telah tumbuh dan berkembang menjadi tradisi budaya yang sangat merugikan bagi pengembangan potensi perempuan. Akibatnya pemahaman dan interpretasi terhadap ajaran Islam, lebih-lebih dalam bentuk praktik keberagamaan dianggap ikut bertanggung jawab terhadap penderitaan, subordinasi dan inferioritas (ketertindasan) hak-hak asasi kaum perempuan.

Perlu dicari jawabannya bagaimana menumbuhkan kesadaran peran yang berujung pada terciptanya kesetaraan gender, termasuk memberikan sosialisasi bagaimana peran agama dalam menjelaskan upaya meningkatkan peran perempuan. Sosialisasi dilakukan tidak saja kepada kaum perempuam tetapi juga kepada kaum laki-laki. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kuatnya pemahaman laki-laki dari aspek keagamaan mempengaruhi laki-laki dalam memosisikan perempuan tidak terbatas berperan sebagai ibu rumah tangga yang senantiasa tunduk kepada kebijakan laki-laki. Keduanya menempatkan pada

184 Kajian Agama

Kata gender yang berasal dari ”gender” dapat diartikan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Jika dikaitkan dengan kata kesetaraan menjadi kesetaraan gender, diartikan suatu keadaan di mana laki-laki dan perempuan saling memahami adanya perbedaan kelamin tidak dijadikan sebagai alat untuk melakukan diskriminasi melainkan untuk memosisikan sikap yang saling

melengkapi (complementer), sehingga tidak ada sikap marginalisasi ataupun rasa

superior diantara keduanya. Sebaliknya, perbedaan karakteristik menjadi sebuah kebutuhan untuk membangun keharmonisan keluarga.

Agama (Islam) mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran; 36), baik dalam hal fisik, dan sifat. Struktur fisik perempuan yang memiliki alat-alat reproduksi (melahirkan, menyusui, dan menstruasi), sifat-sifat kelemahan, kelembutan, kecantikan, emosional, dan keibuan semuanya tidak dimiliki oleh laki-laki yang mempunyai kekuatan, keteguhan, dan

keperkasaan yang berbeda dengan perempuan. Pada sisi lain agama (al-Qur‟an)

juga mengisyaratkan adanya perbedaan dalam beberapa persoalan, misalnya hak waris, disebutkan bahwa anak laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dari anak

perempuan (QS. An-Nisa‟; 11). Dalam masalah kesaksian, laki-laki memiliki nilai

dua kali lipat ketimbang kesaksian perempuan (QS. Al-Baqarah; 282). Proses

penyelesaian akhir jika terjadi konflik rumah tangga seperti istri tidak taat (nusyuz)

atau meninggalkan rumah tanpa izin, kewenangan dominan diberikan kepada pihak suami untuk memberi tindakan dalam tiga tahap, pemberian nasehat atau teguran,

pisah tidur, dan memukul dengan nuansa mendidik (QS. An-Nisa‟; 34). Demikian

juga dalam masalah perceraian, laki-laki memiliki hak talak mutlak yang tidak bisa

dimiliki oleh perempuan, seperti diuraikan dalam Surat Al-Baqarah ayat (226-231).

Selain perbedaan, al-Qur‟an juga memberikan kesamaan norma diantara

laki-laki dan perempuan, seperti peluang berprestasi dalam menjalankan syari‟at

(QS. An-Nahl; 97), penghargaan dari Allah bagi yang berprestasi di bidang ilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadilah; 11), serta peluang menjadi pimpinan dan

seterusnya. Adanya beberapa perbedaan (distinctions) antara laki-laki dan

perempuan tidak dimaksudkan untuk diarahkan pada pembedaan (discrimination).

Kenyataan yang demikian merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri

oleh siapapun. Penjelasan Al-Qur‟an merupakan pengungkapan yang

menggambarkan realitas sebenarnya, sehingga tidak dipahami al-Qur‟an dengan

nyata telah melegitimasi diskriminasi laki-laki dan perempuan.

Tuntutan perubahan dan kondisi sosio kultural kadang mempengaruhi

pola berfikir seseorang dalam menafsirkan teks al-Qur‟an, sehingga terjadi

perbedaan hasil penafsiran yang membawa dampak tersendiri bagi perilaku

masyarakat. Penafsiran al-Qur‟an ayat 34 Surat al-Nisa‟ misalnya, bahwa kaum

laki-laki bertanggungjawab atas kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu makaperempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara

185

diri ketika suaminya tidak ada sebagaimana Allah telah memelihara mereka. Beberapa

mufasir menjelaskan kata bertanggungjawab (qowwamuna) pada ayat tersebut adalah

kaum laki-laki sebagai pemimpin kaum perempuan, atau laki-laki lebih superior ketimbang perempuan. Dalam hal ini Imam Al-Nawawi (Hamdani Anwar, 2004), menguraikan kelebihan posisi laki-laki atas perempuan karena laki-laki memiliki kesempurnaan, matang dalam perencanaan, kemampuan penilaian yang lebih tepat dan rasional, kekuatan yang lebih baik untuk berbuat. Oleh karena itu, laki-laki diberi tugas istimewa dari pada perempuan sebagai nabi, imam, wali, menjadi saksi

dalam berbagai masalah, menegakkan syiar, kewajiban berjihad, salat jum‟at, dan

lain sebagainya.

Senada dengan Al-Nawawi, Al-Thabari menafsirkan kata qowwamuna,

bahwa laki-laki bertanggungjawab atas perempuan dalam hal pendidikan, pembimbingan, pembinaan dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan

ruhani maupun jasmani, ukhrawi maupun duniawi. Demikian juga Imam

Zamakhsari menjelaskan bahwa kaum laki-laki mempunyai kewajiban untuk amar

ma‟ruf nahi munkar terhadap perempuan dan laki-laki, seperti yang dilakukan penguasa kepada rakyat.

Mufasir lain tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, Fazlur Rahman misalnya (Hamdani Anwar, 2004), menjelaskan bahwa laki-laki bertanggungjawab atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain sebab laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya. Keterangan ini

dikaitkan dengan fungsi, artinya tanggungjawab itu dikaitkan dengan fungsi

memberi nafkah. Jika istri di bidang ekonomi memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri dan dapat memberikan sumbangan untuk menciptakan stabilitas dalan berkeluarga maka hal ini akan mengurangi sifat keunggulan laki-laki. Demikian juga Aminah Wadud Muhsin yang mendukung pendapat Fazlur Rahman dengan alasan yang relatif sama, dengan tambahan jika laki-laki tidak memiliki kriteria seperti

yang ditetapkan al-Qur‟an, maka tidak berhak menyandang keunggulan tersebut.

Pendapat agak berbeda dari Ali Asghar Engineer, menurutnya kata

qowwamuna disebutkan sebagai pengakuan atas realitas keadaan kaum perempuan saat turunnya wahyu yang memiliki posisi rendah. Perempuan saat itu hanya difungsikan dalam pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki pada pekerjaan publik

yang hasilnya untuk kepentingan keluarga. Menurut Asghar kata qowwamuna

merupakan pernyataan kontekstual bukan normatif. Andai kata keunggulan laki-laki dimaksudkan berlaku untuk kapan dan di mana saja dan dalam kondisi apa saja, maka pernyataannya menggunakan istilah yang normatif, sehingga keunggulan laki-laki akan berlaku selamanya, namun karena kenyataannya tidak mempergunakan istilah normatif berarti keunggulan laki-laki itu bersifat fungsional.

Dapat dimengerti bahwa munculnya penafsiran yang bias gender seperti diuraikan di muka menurut Nasaruddin (2001) disebabkan karena beberapa hal,

186

mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan. Kedua, pengaruh kisah-kisah

israiliyat yang berkembang luas di kawasan Timur Tengah. Ketiga, metode penafsiran yang selama ini digunakan, masih banyak mengacu kepada pendekatan tekstual bukan kontekstual, sebagai konsekuensi logis dari penerapan kaidah oleh

jumhur ulama bahwa yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafadz, bukan

kekhususan sebab. Keempat, kemungkinan lainnya, pembaca tidak netral menilai

teks ayat-ayat al-Qur‟an atau dipengaruhi oleh perspektif lain dalam membaca

ayat-ayat yang berbasis gender, sehingga al-Qur‟an seolah-olah hanya berpihak pada

laki-laki yang mendukung budaya patriarki. Kajian Para Analis Gender

Ada banyak kerangka kerja (model) untuk mengkaji permasalahan gender, antara lain yang disampaikan oleh Sara Longwe, seorang konsultan gender dan pembangunan berkebangsaan Zambia ini menawarkan konsep mengenai pemberdayaan perempuan. Menurutnya, pemberdayaan perempuan merupakan upaya meningkatkan peran perempuan untuk mempunyai posisi yang setara dengan laki-laki, dan berpartisipasi secara setara di dalam pembangunan guna mencapai kontrol terhadap pemanfaatan faktor-faktor produksi (Formasi, 1988).

Dalam perspektif hak asasi manusia, pemberdayaan perempuan dimaknai sebagai upaya mendorong perempuan dapat mengontrol kehidupannya, dapat menentukan agenda kegiatannya, dapat mengembangkan keterampilannya secara optimal dan mampu menumbuhkan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri (Saparinah Sadli, 2000).

Pengertian di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan tidak hanya merupakan suatu proses kolektif, tetapi juga harus berlangsung pada tingkat individual. Selain merupakan proses, pemberdayaan perempuan juga merupakan hasil, yakni perempuan menjadi manusia yang mempunyai kemampuan mengontrol dan memberi arah pada kehidupannya sendiri. Menurut Longwe,

kesetaraan (equality) tidak hanya terbatas pada sektor-sektor yang konvensional

dalam masyarakat, yakni kesetaraan dalam pendidikan, pekerjaan, dan lainnya. Persoalannya sistem analisis ini memiliki kelemahan, karena hanya memfokuskan pada bidang-bidang kehidupan sosial dari pada peran kesetaraan perempuan dalam setiap proses pemberdayaan.

Longwe menawarkan lima level kesetaraan (equality) sebagai dasar kriteria

untuk menilai tingkat pemberdayaan perempuan dalam setiap bidang kehidupan yang sebenarnya dapat diurai lebih jauh dengan melihat aspek kuantitas dan kualitas keterlibatan perempuan. Kelima level tersebut adalah: (1) Kontrol, Acuan kriteria kontrol menggunakan ada tidaknya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan atas pemanfaatan faktor-faktor produksi dan distribusi manfaat terhadap fasilitas keluarga. (2) Partisipasi, diartikan sebagai keterlibatan perempuan dalam identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan serta monitoring dan evaluasi kegiatan di lingkungan

187

keluarga. (3) Penyadaran, merupakan pemahaman terhadap perbedaan peran sex dan peran gender. Peran gender bersifat kebudayaan dan dapat diubah. Sedangkan peran sex bersifat kodrat. Oleh karenanya perlakuan peran gender harus atas dasar persetujuan kedua belah pihak yang tidak ada dominasi diantara keduanya. (4) Akses, dimaksudkan sebagai peluang memiliki dan memanfaatkan faktor-faktor produksi dan fasilitas lain di lingkungan keluarga haruslah setara antara perempuan dan laki-laki, sehingga menjamin adanya kesetaraan dalam menggunakan kesempatan. (5) Kesejahteraan, indikator kesejahteraan adalah tingkat terpenuhinya

kebutuhan material perempuan dalam hal supply makanan, pendapatan dan

pelayanan kesehatan relatif sama dengan yang berlaku untuk laki-laki, sehingga terjadi kesetaraan antara keduanya.

Berdasarkan uraian di atas, sebagai seorang muslim sudah pasti tidak ingin larut dalam pemaknaan dan pengembangan gender yang tidak berdasar dari sumber-sumber islami. Juga, tidak ingin terpasung dalam pemahaman teks-teks agama yang tertutup, tidak memberikan ruang untuk pengembangan pemberdayaan perempuan. Solusi terbaik adalah melakukan kajian oleh tokoh agama (Islam) bersama para pakar untuk melahirkan desain pengembangan gender secara islami. Kajian dilakukan secara obyektif proporsional antara peran laki-laki dan perempuan sehingga menghasilkan kajian yang tidak bias gender. Selanjutnya keberhasilan sangat tergantung pada kesadaran dan kemauan dalam mewujudkan kesetaraan gender diantara laki-laki dan perempuan (suami-istri). Atas dasar ini, sukses kesetaraan gender akan dapat mudah dicapai.

188