• Tidak ada hasil yang ditemukan

GELIAT NAHDLATUL ULAMA

PROBLEMATIKA DAN STRATEGI DAKWAH ISLAM

Sebenarnya melakukan kegiatan dakwah tidaklah terlalu sulit. Seseorang dengan bekal seadanya disertai kemampuan menyerukan hal-hal yang baik kepada kelompok sasaran jadilah kegiatan dakwah. Pemahaman tersebut berpijak pada pengertian, bahwa dakwah adalah mengajak atau mendorong kelompok sasaran untuk melakukan kebajikan dan menjauhi kejelekan. (Sahal Mahfudh, 1992). Namun, persoalannya tidaklah sesederhana yang tertulis dalam pengertian. Karena kegiatan dakwah tidak sekedar mengajak ataupun mendorong pihak lain untuk berbuat sesuai seruan agama. Adanya perubahan pengetahuan tentang sikap dan perilaku dari kelompok sasaran sesuai dengan kerangka nilai yang diharapkan adalah yang lebih utama. Karenanya menjadi acuan keberhasilan dakwah. (Jalaludin Rahmat, 1989).

Kita mengenal dua metode dakwah, billisan dan bilhal. Keduanya memiliki

kelebihan sekaligus kekurangan. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan keduanya seharusnya dilakukan sehingga dapat saling melengkapi. Akan tetapi, dakwah

billisan dirasa yang lebih dominan dilaksanakan baik di lingkungan masyarakat umum maupun di lingkungan instansi. Di tempat kedua akhir-akhir ini kegiatan

dakwah (billisan) terlihat semakin semarak dengan dilengkapinya sarana ibadah di

tiap-tiap instansi baik pemerintah maupun swasta.

Semaraknya kegiatan dakwah yang ada boleh dikata belum memenuhi yang kita harapkan. Sekalipun acuan secara pasti untuk menilai keberhasilannya terlalu sulit untuk membakukannya. Namun, dari pengamatan secara umum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat terlihat adanya ketidakseimbangan antara kecenderungan untuk mengamalkan moral agama dengan kecenderungan untuk berperilaku yang tidak bermuatan moral agama.

Apabila sinyalemen tersebut disepakati, dapatlah dikatakan bahwa dalam

kegiatan dakwah terdapat disqualification, sehingga menimbulkan permasalahan.

Karena dakwah adalah suatu proses yang melibatkan banyak unsur seperti da‟i, kelompok sasaran, materi, sarana, dan metodologi, maka untuk menentukan sumber permasalahan dirasa sulit. Dengan kata lain permasalahan dakwah sangatlah komplek.

Problem Dakwah

Luasnya permasalahan dakwah tidaklah memungkinkan untuk semuanya dapat dibahas secara rinci dalam tulisan ini, setidaknya unsur-unsur pokok -

subyek, obyek dan materi dakwah – dapat diungkap pada dialog saat ini untuk

selanjutnya dicarikan alternatif pemecahan yang dapat mendukung tumbuhnya semangat baru dalam menekuni bidang dakwah.

Kegiatan dakwah sangat terkait dengan situasi waktu. Pergeseran waktu seirama dengan perkembangan ilmu dan teknologi memberikan dampak yang sangat besar terhadap perilaku sosial, yang pada gilirannya berakibat pada

93

peningkatan harapan dan kebutuhan hidup. Sebagai gambaran futurolog terkenal, Alvin Tofler mengisyaratkan bahwa saat sekarang ini merupakan era gelombang ketiga yang ditandai dengan era informasi global. Peristiwa yang terjadi di belahan bumi lain dapat kita tangkap dalam waktu yang sama melalui pesawat TV

berparabola. Dampaknya, proses transformasi sosial berkembang sangat cepat meluas

ke masyarakat kita seakan tidak terkendali. Perilaku sosial yang mencerminkan nilai-nilai Islam semakin sempit posisinya terdesak oleh budaya baru. Disinilah pentingnya pengemasan materi dakwah seirama tuntutan perkembangan.

Memang kita mengakui adanya nilai manfaat yang ditimbulkan. Meningkatnya wawasan pengetahuan sehingga menambah referensi bagi seorang da‟i akan sangat berpengaruh terhadap kaulitas dakwah. Namun, yang kita rasakan adalah adanya sikap ketidakmampuan manusia (da‟i) memahami dan menguasai lingkungan, sehingga terjadi kesenjangan. Yakni, tidak adanya kesesuaian antara harapan masyarakat yang butuh dakwah dengan kenyataan yang diperoleh. Hal ini akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap keberadaan dakwah itu sendiri. Islam yang didakwahkan menurut mereka tidak mampu mengadaptasi

dengan kebutuhan umat. Padahal, yang terjadi adalah ketidakberdayaan da‟i dalam

mengemas perkembangan lingkungan menjadi santapan dakwah yang memiliki muatan nilai-nilai Islam.

Lain halnya dengan persoalan masyarakat modern, mereka terbiasa dengan adaptasi rutinitas kegiatannya sehari-hari, seakan tidak ada permasalahan. Tetapi sebenarnya beban psikologis yang dideritanya sangatlah besar sebagai dampak yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Manusia bergerak secara monoton, tanpa emosi, tanpa nilai, dan tanpa makna. Sehingga manusia seakan sebagai individu yang menjadi otomat-otomat yang kehilangan spontanitas, kreatifitas dan individualitas. Oleh Psikolog disebutnya sebagai

penyakit adaptasi yang dikenal dengan alienasi yakni manusia yang terpisahkan dari

pengalaman manusiawinya (Jalaludin Rahmat, 1991).

Masyarakat yang terkesan ibarat robot tersebut sangat membutuhkan pesan-pesan dakwah, untuk mengembalikan pemahaman terhadap jati dirinya, yang pada gilirannya dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan kepribadiannya.

Mencari Format Pendekatan

Ibarat seorang dokter, agar dapat mengobati penyakit pasiennya dia harus mampu mendiagnosa dengan cermat sehingga dapat menentukan jenis penyakit serta penyebabnya, pada akhirnya dapat menentukan jenis obat yang sesuai.

Memang permasalahannya berbeda dengan seorang juru dakwah, karena yang dihadapi adalah umat yang senantiasa mempunyai kecenderungan berubah. Untuk dapat merumuskan penyakitnya, perlu mencari titik temu antara kecenderungan perilaku sosial dengan situasi waktu dan kondisinya, sehingga dapat dirumuskan pola pendekatan dakwah sesuai dengan harapan.

94

Perlu disadari, bahwa dakwah bukan saja memberikan wawasan keislaman yang lebih luas (bersifat kognitif), bukan hanya memberikan hiburan untuk melupakan persoalan dan meredakan tekanan psikologis, lebih dari itu dakwah harus dapat membantu orang-orang modern korban kemajuan IPTEK dalam memahami dirinya, serta dapat membimbing umat untuk memahami realitas sosial.

Maka, dakwah yang dilakukan hendaknya bermodel terapeutis (bersifat

menyembuhkan).

Perumusan pendekatan dakwah tidaklah asal mengambil alih dari pihak lain yang terlihat lebih modern, tetapi didalamnya justru sulit diketemukan korelasi positif antara langkah yang diambil dengan nilai-nilai Islaminya. Sehingga yang diperoleh bukan pemecahan tapi justru pelecehan terhadap agama. Disinilah pentingnya mengembalikan nilai-nilai ke tradisi kita yang telah membudaya di masyarakat untuk dikembalikan dengan memodifikasi sesuai kepentingan dan kebutuhan.

Pendidikan Dakwah Sebagai Alternatif

Dari bukti sejarah lembaga pendidikan Islam yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan modifikasi sistem pendidikan di lingkungan pesantren pola

lama, yakni yang dikenal dengan sistem halaqoh (lingkaran) dalam bentuk pengajian

weton maupun sorogan. Ciri utamanya adalah pengajarannya ditekankan pada

penangkapan secara harfiah (letterlek) dengan pendekatan penyelesaian pembacaan

kitab (teks) kemudian dilanjutkan ke kitab lainnya. (Abdurrahman Wahid, 1975). Sistem tersebut secara bertahap dibenahi seirama dengan tuntutan keinginan masyarakat untuk maju. Dari non klasikal menjadi berjenjang dalam bentuk kelas-kelas, dari tujuan pendidikan yang hanya mengutamakan kepentingan beribadah meningkat ke pencapaian terbentuknya perubahan pola fikir, sikap dan perilaku yang materinya dipaket melalui program-program pengajaran yang dibakukan dalam bentuk kurikulum.

Perubahan yang terjadi sebenarnya adalah karena pengaruh timbal balik antara tuntutan perkembangan dari waktu ke waktu dengan keinginan lembaga pendidikan itu untuk tetap eksis dan diminati masyarakat.

Kita sepakat bahwa pendidikan Islam dimaksud merupakan bagian dari kegiatan dakwah Islam. Sebab, dakwah juga mempunyai tujuan sama dengan tujuan pendidikan yakni terbentuknya perubahan pola fikir, sikap dan perilaku dari kelompok sasaran dakwah sesuai dengan seruan ajaran Islam.

Dengan demikian, pendidikan disini dimaksudkan sebagai upaya kaderisasi agar tetap terjadi kesinambungan kegiatan dakwah Islamiyah. Sebagai lembaga

pendidikan dakwah ada dua bentuk kegiatan yang menghasilkan out put yang

diharapkan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan. Bentuk kegiatan dimaksud adalah pendidikan formal semisal sekolah atau bentuk lain yang setingkat. Penyelenggaraannya membutuhkan waktu relatif lama (+ 3 tahun untuk setingkat Aliyah) dengan tujuan untuk mempersiapkan kematangan sikap dan mental para

95

peserta didik. Sasaran tersebut berbeda dengan bentuk kegiatan yang relatif lebih singkat waktu yang diperlukan. Tujuannya pun terbatas untuk menambah

pengetahuan atau keterampilan tertentu guna melengkapi kualitas out put dari

bentuk pendidikan yang pertama. Sebagai misal kegiatan yang kita laksanakan saat

ini, Penataran Baca Tulis al-Qur‟an Metode Modern. Kegiatan ini dilakukan antara

lain karena adanya kekhawatiran terputusnya kader-kader pembina baca tulis al-Qur‟an di masa mendatang.

Kedua bentuk kegiatan pendidikan di atas sangat besar manfaatnya sebagai referensi pengembangan dakwah. Namun perlu diingat, suatu kegiatan dapat dinyatakan berhasil apabila ada kesejahteraan antara harapan dengan kenyataan yang dihasilkan. Sehingga perlu ada evaluasi yang berkelanjutan agar dapat ditemukan manakah titik lemahnya dan daya dukungnya. Untuk selanjutnya kita persiapkan bentuk alternatif kegiatan lain yang lebih relevan.

Pada intinya, Problem dakwah sangat luas. Karena, dakwah melibatkan banyak unsur. Problem muncul karena tidak adanya keharmonisan proses dakwah, sehingga permasalahannya dapat timbul dari pihak juru dakwah karena kemampuannya kurang memadai, dari segi materi karena tidak relevan, dan dapat dari kelompok sasaran (obyek dakwah) karena adanya sikap ketidak pedulian.

Untuk mencari model dakwah yang berdaya guna perlu pendekatan analisa psikososial dan kultural, sehingga dapat diketemukan pemecahan strategi dakwah yang tepat. Disini pendidikan dakwah dirasa dapat membantu memberikan sumbangan memecahkan sebagian problem dakwah.

96

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA