• Tidak ada hasil yang ditemukan

GELIAT NAHDLATUL ULAMA

MENUJU PILKADA DEMOKRATIS

Pengalaman panjang dari rezim kepemimpinan lama yang menjadikan warga terpasung pada sebuah pemahaman hanya ada satu model kekuasaan (demokrasi semu), membuat semua lapisan masyarakat bergerak ingin menunjukkan bahwa mereka adalah manusia yang memiliki potensi dan hak untuk mengatur, menentukan pilihan setiap yang berhubungan dengan kepentingan hidup mereka. Kesadaran ini tumbuh sebagai dampak terbatasnya ruang gerak dalam berkreasi. Segala bentuk kegiatan harus mengikuti rambu-rambu yang sudah

disunnahkan oleh penguasa, meskipun bertentangan dengan keinginan yang sejatinya menjadi harapan semua pihak.

Dampaknya, masyarakat melakukan perlawanan untuk keluar dari keterbelengguan hidup dengan berbagai cara diambil, tujuannya segera dapat mengatur pola hidup sendiri sesuai dengan potensi yang ada, terhindar dari segala macam paksaan dan pembatasan. Kata “demokrasi” menjadi sebuah ucapan yang

dielukan oleh warga –meski masih terbatas memahami makna kandungannya-

dengan tujuan untuk menohok para penguasa yang memimpin secara otoriter dan tidak memberikan ruang kebebasan. Perilaku penguasa seperti itu salah satunya dipicu oleh faktor terbentuknya kekuasaan tidak dibangun atas dasar keinginan rakyat melalui pemungutan suara langsung, bebas, rahasia, dan bertanggung jawab,

melainkan ditetapkan dari penguasa atasan (top down) atau dengan cara lain yang

kelihatan akomodatif, tetapi sesungguhnya pemilihan penguasa hanya menjadi keinginan sekelompok orang.

Kerinduan untuk memilih pimpinan sesuai selera akan mulai dapat diwujudkan setelah turun ketentuan otonomi daerah termasuk peraturan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Rakyat secara leluasa dapat merumuskan calon kepala daerah yang menurut penilaian mereka dapat menjanjikan berbagai peluang kemudahan yang berujung pada terbangunnya kesejahteraan secara merata, adil dan makmur. Permasalahannya adalah belum ada jaminan, bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung akan berjalan secara demokratis yang pada gilirannya mampu menumbuhkan sistem pemerintahan yang melindungi rakyat, sehingga terbebas dari segala bentuk pemaksaan kehendak. Disinilah pentingnya memahami demokrasi berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah, tidak saja melihat kelengkapan berbagai perangkat pemilihan, tetapi juga melihat berlangsungnya proses pemilihan dan manajemen kepemimpinan yang ditampilkan oleh penguasa terpilih. Kalimat sukses pilkada belum menjamin sukses pemerintahan, seyogyanya menjadi pegangan sekaligus kontrol agar tidak ikut larut dalam “kelalaian yang direncanakan” setelah kekuasaan berada di tangan.

Demokrasi dan Proses Pilkada

Sampai saat ini, demokrasi masih diakui sebagai satu-satunya sistem politik yang banyak diminati oleh hampir semua kelompok masyarakat di dunia. Tidak

71

saja karena telah melewati uji verifikasi sejarah yang cukup komplek dan panjang, demokrasi secara faktual juga telah menunjukkan kemampuannya mendorong tumbuhnya masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi. Merujuk pengertian bahwa, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk

rakyat (government of the people, by the people, for the people), mengindikasikan segala

sistem yang diberlakukan mengarah pada pembentukan kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, dan pemerintahan juga berbasis kerakyatan.

Pemahaman demokrasi yang memiliki tiga karakter seperti di atas seharusnya dipahami secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan sikap

berlebihan, segala-galanya rakyat mutlak berkuasa. Pertama, pemerintahan dari

rakyat, mengandung pengertian bahwa dimata rakyat terdapat pemerintahan yang

sah dan diakui (legitimate government) dan pemerintahan yang tidak sah dan tidak

diakui (unlegitimate government). Pemerintahan yang sah dan diakui berarti

pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan yang diberikan rakyat. Hal ini dapat terwujud manakala pemerintah berkuasa diperoleh melalui pemilihan langsung dari rakyat, bukan pemberian. Diharapkan ada kesadaran mendalam bagi pemerintah yang berkuasa dalam menjalankan program-programnya bahwa posisi yang diterimanya merupakan amanat dari rakyat. Menurut pengertian ini, pemerintah berkuasa yang tidak diperoleh melalui pemilihan langsung dari rakyat dianggap tidak sah dan tidak mendapat pengakuan.

Kedua, pemerintahan oleh rakyat memiliki makna bahwa dalam menjalankan kekuasaan, pemerintah atas nama rakyat bukan atas dorongan

keinginan sendiri. Selain itu pemerintahan berada dalam pengawasan rakyat (social

control), baik dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung melalui dewan perwakilan (DPRD). Adanya sistem seperti ini akan menghilangkan ambisi sikap otoriter dari para penyelenggara negara dalam menjalankan gerak pemerintahan.

Ketiga, pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan rakyat kepada pemerintah, dijalankan semata untuk kepentingan rakyat. Rakyat harus didahulukan dan diutamakan di atas segalanya. Itu sebabnya mendengar dan mengakomodasi aspirasi rakyat ketika merumuskan dan menjalankan kebijakan maupun program-program oleh pemerintah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Saluran dan ruang yang menjamin kebebasan harus dibuka seluas-luasnya kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasi melalui media yang dibenarkan menurut hukum yang berlaku.

Berdasarkan konsep di atas, proses pilkada langsung merupakan pintu awal memasuki pengamalan demokrasi yang sesungguhnya, yakni pelaksanaan pemerintahan oleh penguasa terpilih. Salah pilih tidak boleh terjadi menurut kriteria yang dipahami sebagai barometer untuk mengukur sikap dan perilaku bakal calon. Kegagalan dalam mengantarkan proses awal ini menjadi kendala besar untuk

72

melakukan pengawasan lebih lanjut disaat penguasa telah memasuki atau menjalankan pemerintahan. Keterbatasan rakyat dalam melakukan kontrol sikap dan perilaku bakal calon dalam proses pemilihan, maka rakyat dibantu beberapa perangkat, seperti Panitia Pengawas (Panwas), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan perangkat lain semisal tata peraturan maupun perundang-undangan yang telah ditetapkan berikut perangkat keamanan yang dipersiapkan untuk mengawal semua tahapan pilkada.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas menjalankan semua tahapan proses pilkada sampai menghasilkan penguasa terpilih. Sementara Panitia Pengawas (Panwas) melakukan pengawasan kepada semua komponen pilkada, dengan mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan. Panwas melihat ada tidaknya penyimpangan, manakala diketemukan segera diproses sesuai tata peraturan yang berlaku. Peraturan yang menjadi acuan disusun atas dasar pertimbanagan membela kepentingan rakyat bukan individu maupun kelompok. Semua mekanisme pemilihan yang dijalankan dalam rangka mewujudkan kepuasan yang berakhir dengan terciptanya kesejahteraan rakyat. Jika semua berjalan sesuai irama aturan, sesungguhnya demokrasi telah mulai berjalan.

Faktor Kendala

Beberapa faktor yang menjadi tantangan berlakunya sistem demokrasi dalam proses pilkada di Pati, antara lain dipengaruhi oleh faktor budaya dan meningkatnya jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Faktor budaya menyangkut etos kerja masyarakat yang relatif kurang mendukung dalam berkompetisi untuk meraih peluang kerja yang produktif, justru sebaliknya cenderung berlaku konsumtif. Sikap tersebut berdampak pada munculnya penyandang masalah kesejahteraan sosial secara signifikan (Litbang Pati, 2005). Hal ini dapat dilihat tingginya jumlah keluarga pra sejahtera (miskin) yang mencapai 34,34 persen, sementara jumlah keluarga pra sejahtera pada usia produktif mencapai 29,19 persen (Dinas BK/KS Pati, 2006). Kondisi tersebut akan berpengaruh pada tahapan proses pilkada yang diinginkan berlangsung secara demokratis. Mental menerabas, seperti keinginan mendapatkan sejumlah uang dengan hanya berjanji sanggup mendukung ikut mensukseskan salah satu bakal calon menjadi komoditas yang sangat subur diperjual belikan. Ujung-ujungnya

kegiatan money politic sulit dihindarkan, karena antara bakal calon dan pemilih

sama-sama memiliki peluang kepentingan yang sama-sama (saling membutuhkan).

Di sisi lain, konspirasi kekuatan beberapa kelompok yang ingin mengegolkan jagonya, berpotensi kuat untuk tidak mengindahkan peraturan dan berpeluang besar menimbulkan konflik sosial. Potensi tersebut perlu diwaspadai, karena kesadaran membangun tatanan yang menghargai pluralitas yang menjadi salah satu ciri demokrasi sama sekali tidak diperhatikan. Doktrin menghalalkan segala cara, menjadi acuan mereka dalam setiap melangkah dengan tujuan memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Jika hal itu terjadi semua komponen yang

73

terlibat dalam proses penyelenggaraan pilkada seharusnya mengambil sikap sama, menginformasikan kepada masyarakat pemilih, bahwa telah terjadi penyimpangan pada pasangan bakal calon tertentu dengan melakukan tindakan tidak terpuji dan melanggar kesepakatan. Disamping itu, pemberian sanksi sesuai peraturan tetap dilakukan, sehingga pemilih memahami dan dapat menilai karakter para kandidat.

Permasalahan lain seperti konflik internal partai yang tidak berkesudahan berpeluang memicu munculnya sikap spekulasi yang dapat mengganggu hasil kepakatan bersama antar semua pihak yang terlibat. Akibatnya, kondidi itu merugikan banyak pihak, tidak saja dialami oleh bakal calon itu sendiri, partai politik pengusung bakal calon juga akan kehilangan dukungan dari warga. Kekecewaan yang dialami para pendukung partai maupun terhadap bakal calon akan terlampiaskan dengan mencari kompensasi tindakan yang rawan menimbulkan gangguan, sehingga dapat mengancam efektivitas proses pilkada.

Menyikapi beberapa kendala seperti di atas, ada baiknya memahami beberapa unsur yang mempengaruhi tegaknya demokrasi, sekaligus menjadikan pertimbangan untuk mendapatkan rambu-rambu acuan, dengan maksud agar demokrasi dapat ditegakkan dalam pilkada. Unsur-unsur penegak demokrasi

tersebut meliputi: pertama, peraturan perundang-undangan benar-benar menjadi

acuan dan pengendali semua kegiata proses pilkada, berikut sanksi tegas yang

menjadi bagian dari peraturan tersebut. Kedua, memanfaatkan kelompok

masyarakat berpengetahuan (civil society), yang dicirikan dengan partisipasi aktif,

melalui analisis pikirannya secara positif akan mampu mengendalikan segala kegiatan secara efektif, terutama dalam proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan.

Ketiga, membangun infrastruktur politik yang kondusif, artinya ada upaya

menjadikan partai politik (political party), kelompok gerakan atau organisasi

masyarakat (movment group), dan kelompok kepentingan (interest group) sebagai basis

gerakan yang dapat memberikan dampak positif untuk pengumpulan suara, mengingat masing-masing kelompok memiliki orientasi pemberdayaan terhadap anggotanya, sehingga penyimpangan akan dapat dihindari untuk menjaga identitas

dan norma yang dianut sesuai dasar etika masing-masing kelompok. Keempat,

adanya pers yang bebas dan bertanggung jawab, artinya membangun kemitraan semua pihak bersama pers memiliki dampak positif sebagai media kontrol, sehingga dapat mengendalikan kemungkinan terjadinya tindakan yang

menyimpang dari aturan.

Pada akhirnya, sukses pilkada tergantung pada kesiapan semua pihak yang terkait, termasuk keinginan untuk membuat berlangsungnya memenuhi standar demokratis tidaknya pilkada. Kesadaran kuat yang diikuti tindakan konkret dari semua pihak untuk menjadikan pilkada berlangsung demokratis menjadi faktor penentu untuk memperoleh sukses. Pendidikan politik warga melalui forum-forum seminar dan diskusi memiliki dampak positif bagi peningkatan pengetahuan warga tentang dunia politik, sehingga terbebas dari pemaksaan kehendak.

74