• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU SOLITER DALAM PROSES PEMBELAJARAN Masih teringat permasalahan berkaitan hasil Ujian Nasional akhir tahun

GELIAT NAHDLATUL ULAMA

PERILAKU SOLITER DALAM PROSES PEMBELAJARAN Masih teringat permasalahan berkaitan hasil Ujian Nasional akhir tahun

pelajaran 2004/2005 lalu, beberapa madrasah mengalami kekecewaan berat sehubungan dengan banyaknya siswa yang tidak lulus ujian. Pada jenjang Aliyah jurusan IPS mengalami nasib lebih buruk ketimbang jurusan lain (IPA/Bahasa). Meskipun kondisi seperti ini dialami juga pada sekolah umum (SMA), bahkan di Yogyakarta yang notabene kota pelajar terdapat 13 SMA yang persentase kelulusan muridnya nol persen (baca Suara Merdeka: Selasa 23 Agustus 2005 hal. 6), ketidakberhasilan ini cukup membebani terlebih pada Madrasah Aliyah yang siswanya mengalami kegagalan mencapai 50 % lebih. Dengan hasil tersebut, pengelola madrasah dituntut lebih giat lagi untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi ujian tahun depan (2006), mengingat beban mata pelajaran di Madrasah lebih besar dibanding dengan Sekolah Umum, yang juga membutuhkan energi untuk dapat mengawal lulusannya memahami ilmu-ilmu keagamaan sebagai ciri khas kelembagaan yang harus tetap dipertahankan.

Hasil maksimal yang belum dapat dicapai, perlu ditelusuri melalui analisis komponen pembelajaran. Menurut pengamatan, ketidak berhasilan itu antara lain

disebabkan oleh beberapa hal: pertama, Pelabelan sepihak oleh guru yang

mengatakan bahwa siswa –utamanya pada jurusan IPS- memiliki kecenderungan

malas belajar, tidak serius, nakal, dan banyak tingkah yang negatip, meskipun

sebenarnya tidak semua berperilaku demikian; kedua, Guru dirasa belum

menemukan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter mata pelajaran, sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai desain keinginan guru bukan berorientasi pada pemberdayaan potensi siswa yang mengacu pada karakter materi untuk mencapai keberhasilan kompetensi tertentu.

Permasalahan menjadi menarik untuk dikaji jika dikaitkan dengan keberadaan kita sebagai pendidik yang memiliki kepentingan menciptakan keberhasilan dalam proses pembelajaran. Dua alasan tersebut bukan saja menghambat belajar, tapi akan menghancurkan potensi dan prestasi belajar karena dampak yang ditimbulkan. Dampak yang muncul sebagai akibat dari alasan pertama, siswa akan berperilaku benar-benar tidak serius dalam belajar, dan cenderung melawan arus. Dari pihak guru berasumsi, meskipun pembelajaran dijalankan serius tidak akan membawa hasil memuaskan, sehingga proses pembelajaran dijalankan tidak secara maksimal.

Pada alasan kedua, pembelajaran akan tidak menghasilkan keterampilan

bermakna. Jika dihubungkan dengan KBK, tidak mendukung pada kecakapan

hidup (life skill), karena tidak membentuk kompetensi belajar, bahkan standard model

-perilaku yang merupakan produk dari proses pembelajaran berdasarkan kajian pokok bahasan tertentu- belum terbangun. Jika hal ini terjadi, siswa hanya akan dihadapkan pada penumpukan pemahaman konsep-konsep kognitif, sementara

174

yang dipahami guru hal seperti itu dianggap sudah termasuk pada penguasaan

keterampilan (skill).

Jika dikaji lebih lanjut, pokok permasalahan berada pada keterbatasan guru

dalam hal: pertama, keterbatasan mencari informasi identitas potensi peserta didik

baik secara individu maupun kelompok yang berakibat pada penyamarataan sikap mengambil keputusan dalam menentukan desain pembelajaran yang hanya

berdasarkan informasi bukan merujuk pada data yang valid. Kedua, keterbatasan

penguasaan guru baik terhadap metodologi maupun materi pembelajaran yang berakibat rendahnya penyerapan materi atau bahkan tidak ada sama sekali, karena tidak ditemukan konsep-konsep esensial dari mata pelajaran (karakter materi) yang dapat membentuk seperangkat kompetensi. Meskipun sebenarnya sudah ada forum guru yang setiap kali pertemuam mebicarakan kegiatan pembelajaran mereka, namun yang menjadi bahasan terkadang masih terbatas pada bagaimana membuat keseragaman pola pembelajaran dan pengembangan materi, bukan bagaimana menumbuhkan keberanian untuk mendesain teknik pembelajaran yang

unik mengacu pada karakter peserta didik dan esensi materi serta setting sosial

budaya lingkungan yang pada kenyataannya berbeda satu lokasi dengan lainnya. Keberanian untuk mengembangkan materi pembelajaran dan metodologi

secara teknis sampai di tingkat contoh yang kongkrit dengan berbagai macam analogi yang belum pernah tergali sebelumnya oleh guru itu sendiri ataupun orang lain dengan maksud menemukan unggulan hasil pembelajaran merupakan

perwujudan dari perilaku soliter. Meskipun terbatas masih sendirian dalam

mengaplikasikan suatu teknik pembelajaran yang diketemukan tidak menjadi soal, asalkan mendukung pembentukan kompetensi unggulan. Dengan demikian untuk meraih keberhasilan dalam proses pembelajaran diperlukan perilaku soliter dengan tujuan untuk: (1) Meningkatkan semangat dalam menemukan kesesuaian metode, tujuan dan karakter materi pembelajaran sehingga diperoleh validitas hasil; (2) Meningkatkan peran peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga memperoleh kemudahan memahami dan mengembangkan materi secara maksimal; (3) Memudahkan terbentuknya kompetensi sesuai standar yang diinginkan berdasarkan pokok bahasan yang dikaji.

Memanfaatkan Potensi Karakter Berpikir Otak

Pembelajaran –asal kata belajar- terdapat dua rumusan utama: pertama,

upaya memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat

latihan dan pengalaman. Kedua, proses memperoleh respon sebagai akibat adanya

latihan khusus. Jadi proses pembelajaran dapat diartikan sebagai tahapan upaya memperoleh perubahan perilaku baik kognitif, afektif, dan psikomotor yang terjadi pada peserta didik yang bersifat positif.

Perubahan hasil belajar dalam pandangan teori-teori behavioristik:

175

maupun Social Learning Theory, semuanya melihat hanya pada aspek perilaku

jasmaniah semata. Belajar merupakan hasil refleks jasmani terhadap stimulus yang ada dan tidak ada hubungannya dengan bakat ataupun kecerdasan bawaan.

Berbeda dengan pandangan teori kognitif (cognitive theory), menurutteori ini belajar

merupakan peristiwa mental bukan semata-mata perilaku behavioral. Melalui faktor bawaan (bakat dan kemampuan) akan memberikan peluang peserta didik melakukan respon terhadap stimulus, sehingga belajar tidak bersifat otomatis sebab tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan dan yang lainnya.

Kedua teori besar tersebut berupaya membangun landasan proses belajar dengan membuat keserasian konsep untuk mengantarkan hasil belajar mencapai optimal. Namun, dalam prakteknya harapan itu sulit dicapai, karena keduanya tidak memberikan resep bagaimana cara belajar dengan memanfaatkan kemampuan berpikir efektif. Otak sebagai sarana berpikir belum dimanfaatkan secara harmonis antara otak kiri dan otak kanan, akibatnya optimalisasi belajar menjadi terhambat. Otak kiri berpikir dengan cara urut, bagian per bagian, dan logis, sementara otak kanan melengkapinya dengan cara berpikir acak, holistik, dan

kreatif (Lihat Agus Nggermanto, 2003 dalam Quantum Quotient Kecerdasan Quantum).

Jika kedua bagian otak tersebut dimanfaatkan secara baik akan diperoleh hasil pembelajaran yang maksimal. Dalam kenyataannya, proses belajar sering hanya memanfaatkan separo kemampuan peserta didik, yaitu otak kiri yang menuntut berpikir urut dan logis saja, dengan lebih banyak mengkaji tentang apa

(what) bukan bagaimana (how). Untuk pengembangan belajar perlu menggunakan separo kemampuan lainnya dari otak sebelah kanan yang membutuhkan keberanian berpikir secara acak, menyeluruh dan kreatif. Disinilah perlunya keberanian secara soliter dalam pembelajaran sangat dibutuhkan untuk dapat menurunkan beberapa kasus ataupun contoh-contoh kongkrit sesuai karakter disiplin ilmu, karena perumusan contoh-contoh kongkrit seperti itu secara metodologis belum dapat dibakukan.

Salah satu media untuk memahami atau membuka pola berfikir seperti itu dalam proses pembelajaran atau bahkan kegiatan di luar konteks pembelajaran

adalah teori pemetaan pikiran (mind mapping theory). Alat ini merupakan salah satu

teknik untuk mengembangkan pendekatan berpikir yang lebih kreatif dan inovatif, melalui kemampuannya membuka jalan ke seluruh otak yang mendorong munculnya gagasan-gagasan cemerlang (Lihat Tony Buzan dalam Hernowo 2005). Dengan alat tersebut juga membantu untuk mengait-ngaitkan informasi dengan

dirinya, sehingga menjadikan diri kreatif dan menghasilkan mekanisme brainstorming

yang efektif. Hasil akhir dari pemanfaatan teori mind mapping diharapkan adalah

sebuah unggulan. Dikatakan unggulan apabila diperoleh keunikan yang lebih dari hasil penilaian proses pembelajaran, sehingga layak dihargai dan dirayakan bersama.

176 Perubahan Paradigma Pembelajaran

Perilaku soliter akan mengantarkan hasil belajar maksimal. Implementasinya

membutuhkan pemahaman tentang perubahan strategi pembelajaran dari

paradigma teaching menjadi learning, dengan merujuk pada indikator learning how to

know, learning how to do,learning how to be dan learning how to live together. Jika indikator

ini terpenuhi, maka akan dapat menjawab pertanyaan how to becoming learner (Andrias

Harefa, 2000). Untuk keberhasilan pelaksanaan konsep ini perlu diciptakan iklim pembelajaran yang mengikuti perkembangan berpola: (1) dari belajar yang terfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik; (2) dari citra hubungan pendidik-peserta didik yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan; dan (3) dari citra hubungan antar komponen pendidikan yang terisolasi ke penampilan harmonisasi dalam tim kerja.

Tahapan tersebut menjadi pijakan awal strategi pembelajaran yang dirumuskan oleh pendidik sebelum secara aktif proses pembelajaran dilakukan. Menciptakan tampilan seperti itu tanpa ada kesiapan perencanaan yang diikuti dengan latihan dan pembiasaan terasa agak menyulitkan. Dibutuhkan apresiasi terhadap konsep-konsep pembelajaran dengan maksud akan dapat membantu dalam merumuskan teknik-teknik interaksi edukatif yang mampu menumbuhkan motivasi belajar, sehingga penguasaan materi dapat ditingkatkan. Kemampuan

pendidik –sebagai wujud berperilaku soliter- ditantang untuk menciptakan proses

pembelajaran yang lebih efektif, efisien, mempunyai daya tarik serta lebih demokratis yang berpeluang besar meningkatkan prestasi belajar.

Konsep pembelajaran paradigma Quantum Teaching, merupakan salah satu

alternatif pendekatan menuju terwujudnya peningkatan kualitas hasil belajar. Secara

teknis strategi model pembelajaran Quantum Teaching meliputi: (1) Segalanya

berbicara, segalanya bertujuan, peran pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan; (2) Membawa dunia mereka ke dunia kita dan mengantarkan dunia kita ke dunia mereka; (3) Menggunakan kerangka pembelajaran yang dikenal sebagai TANDUR, yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi dan Rayakan (Lihat Bobbi DePorter, 2005).

Jika desain pembelajaran telah ditemukan sesuai dengan karakter materi pembelajaran dan pada kenyataannya dapat menaikkan prestasi belajar, itu berarti perilaku soliter pendidik yang senantiasa melakukan pengembaraan untuk menemukan teknik-teknik baru dalam proses pembelajaran menjadi sebuah keharusan agar kompetensi belajar dapat terwujud dengan kualitas hasil sesuai yang diharapkan.

Pada akhirnya, untuk memenuhi harapan seperti itu pendidik perlu memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: (1) menguasai karakter disiplin ilmu; (2) memahami pola berpikir peserta didik; (3) menguasai pendekatan dan metode pembelajaran

partisipatory; (4) menguasai teknik-teknik pengembangan materi; dan (5) menguasai teknik-teknik uji pembelajaran. Jika persyaratan ini terpenuhi diikuti kemauan kuat mengujicobakan, beban berat menghadapi Ujian Nasional 2006 dapat terkurangi.

177