• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP REMAJA IDEAL Telaah dalam Perspektif Agama

GELIAT NAHDLATUL ULAMA

KONSEP REMAJA IDEAL Telaah dalam Perspektif Agama

Ketika Rasulullah Saw. wafat, berkumpullah para pembesar Islam saat itu

di kediaman Bani Sai‟dah untuk membicarakan siapa sosok yang ideal pengganti

Nabi Muhammad. Muncul beberapa gagasan dari peserta musyawarah dengan menawarkan tokoh-tokoh, yang menurut mereka sangat layak menjadi pengganti Nabi. Diidentifikasi tokoh-tokoh yang ada, mulai tingkat senioritas dalam hal wawasan keilmuan, kewibawaan, kepemimpinan, manajemen, dan tidak ketinggalan faktor usia. Nama Ali Bin Abi Tholib sempat dimunculkan mengingat dari sisi keilmuan dialah yang paling diakui oleh masyarakat, karena mendapat pengakuan langsung dari Nabi, bahwa Nabi adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintu masuknya. Ali dianggap sebagai calon yang ideal menggantikan Nabi, bukan hanya karena keilmuann dan keberaniannya, namun juga karena Ali berkedudukan sebagai menantu Nabi yang dipastikan kelak akan menurunkan keturunannya.

Ali tidak berhasil terpilih menjadi khalifah menggantikan Nabi. Hasil musyawarah menyepakati Abu Bakar Al-shiddiq yang lebih pantas menjadi kholifah pertama menggantikan Nabi, karena faktor senioritas lebih berpihak kepada Abu Bakar dari pada Ali. Ali sendiri baru mendapat giliran menjadi kholifah keempat setelah meninggalnya Utsman bin Affan. Dengan kata lain, Ali baru mendapat kategori ideal dalam memimpin ummat setelah periode Utsman, meski pun pada akhirnya Ali terbunuh menyusul peristiwa Utsman oleh pengikut

setianya (kelompok khowarij) yang menganggap Ali telah keluar dari garis ideal yang

dipahami oleh pengikutnya.

Para kaum muda pengikut setia Abu Bakar Ba‟asyir baru-baru ini

beramai-ramai ke Jakarta mengepung Rutan Salemba, untuk melakukan pembelaan terhadap gurunya agar dibebaskan dari tuduhan terlibat kasus pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, setelah sekian lama ditahan karena tuduhan makar. Para pengikut menganggap bahwa Ba‟asyir adalah sosok ustadz yang memenuhi tipe ideal dalam mengembangkan agama (Islam) menginginkan tegaknya negara Islam. Menurutnya hanya melalui pemerintahan berasas Islam yang mampu membawa perubahan, terciptanya kesejahteraan umat. Tidak seperti kelompok lain, Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, juga memiliki misi mengembangkan ajaran Islam, namun dalam berdakwah tidak harus melalui kekerasan, bahkan lebih

mengedepankan sikap tasamuh, ta‟adul, tawasuth, dan tawazun dengan tetap

menunjukkan amar ma‟ruf nahi munkar. Ini pun oleh kelompok NU disebut sebagai

sikap ideal dalam beragama.

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa peristiwa tersebut menurut penafsiran masing-masing kelompok, dalam lingkup beragama termasuk dikategorikan ideal. Permasalahannya adalah bagaimana memahami dan merumuskan sesuatu yang memiliki sifat ideal dalam konteks ruang dan waktu seperti sekarang ini, apakah akan merujuk pada semangat disertai kegiatan nyata

81

sama seperti pada era Rosul dan khulafaur rosyidin serta para sahabat. Akankah

remaja sekarang merujuk pada sikap dan perilaku Ali dalam melakukan dakwah agama. Bagaimana merumuskan sikap sebagai generasi Islam kedepan dan implementasinya? Beberapa persoalan tersebut layak kiranya dijadikan bahan renungan, agar sosok ideal sebagai remaja dapat terpikirkan guna memudahkan kita dalam mengambil peran di masyarakat terkait dengan kegiatan keagamaan.

Remaja Ideal

Definisi baku mengenai batasan remaja, masih diperdebatkan ada yang melihat dari sisi perkembangan fisik (biologis), mental (psikologis), dan usia, namun pada dasarnya berbagai kalangan sependapat bahwa usia remaja adalah fase transisi antara usia anak-anak ke usia dewasa yang dimulai sejak umur 13/14 tahun yang biasa disebut sebagai usia pubertas. Dalam Islam usia seperti ini sudah mulai

masuk kategori baligh (usia 15 tahun dan mimpi basah) yang berarti, jika ada

kemampuan dan peluang wajib bagi dia melaksanakan semua syariat Islam yang

disebut sebagai mukallaf.

Dalam konteks Islam perilaku ideal merujuk pada dua unsur utama yang

saling menunjang dan melengkapi. Unsur pertama bersumber dari al-Qur‟an dan

unsur kedua bersumber dari kehidupan Nabi, yang disebut sunnah. Ditambah unsur

penuntun tambahan yakni kehidupan para sahabat Nabi. Dari kedua unsur utama

tersebut – al-Qur‟an dan kehidupan Nabi – mengarahkan, memberi semangat, dan

mempengaruhi kehidupan orang muslim dari lahir sampai meninggal dunia.

Hassan Al-Banna pernah menyatakan di Mesir; “Kami mengajak kalian dengan

al-Qur‟an di tangan kanan dan sunnah di tangan kiri” (Akbar S. Ahmad, 1990:5). Keduanya memberi penuntun menyangkut perilaku yang seharusnya dimiliki (ideal) oleh seorang muslim.

Kalimat yang disampaikan Akbar nampak jelas bahwa dalam bertinadak di

semua aspek kehidupan – ekonomi, politik, sosial, dan budaya – siapapun yang

mengaku muslim harus menjadikan Alquran dan sunnah sebagai acuan merumuskan

dan melakukan segala perbuatannya. Perilaku ini sesuai anjuran Nabi bahwa jika

kita melakukan sesuatu berpegang teguhlah dengan al-Qur‟an dan sunnahnya.

Hadits tersebut menjadi acuan dalam merumuskan model perilaku ideal.

Berdasarkan beberapa kasus yang terurai di depan, jika dihubungkan

dengan kondisi sekarang, ada perbedaan makna kata ideal. Pertama, secara substansi

konseptual ideal berarti sesuai dengan sesuatu yang diharapkan, artinya perilaku seorang muslim seharusnya sesuai dengan perilaku yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya baik bentuk, isi, maupun gaya dalam bertindak dalam hal beribadah maupun bermuamalah. Unsur waktu, tempat dan struktur budaya masyarakat tidak berhak memberikan pengaruh terhadap pemahaman substansi agama tersebut. Termasuk memberikan makna analogi pada aspek pemahaman simbol-simbol keagamaan, kurang mendapat respon bagi kelompok ini. Muncul kelompok-kelompok gerakan Islam yang berambisi (aliansi islam garis keras),

82

untuk menegakkan agama Islam sama seperti yang pernah dilakukan Nabi. Termasuk dalam contoh kasus ini adalah sebagai remaja harus mampu menampilkan kembali perilaku Nabi ketika usia muda, paling tidak mengikuti jejak Ali dalam mengembangkan dan membela kebenaran Islam.

Kedua, makna substansi kontekstual, ideal berarti sesuai dengan yang diharapkan, artinya acuan perilaku muslim tetap merujuk pada sunnah Nabi dan sahabatnya, namun ada peluang untuk memberikan pemahaman makna secara analogis dengan memperhatikan dimensi waktu, ruang maupun kondisi struktur budaya masyarakat terhadap konsep agama. Sesuatu yang ideal dalam Islam

memang harus mengacu al-Qur‟an dan sunnah Nabi, namun implementasi ajaran

dalam kehidupan praktis di masa sekarang, tidak harus dimaknai sama persis

seperti tindakan yang berlangsung ketika pada era Nabi dan para sahabat. Setting

kehidupan sosial dan unsur budaya merupakan dua hal yang sangat mendasar yang dapat dijadikan alasan mengapa kegiatan keagamaan sekarang tidak harus sama seperti saat kelahiran Islam, namun substansi agama haruslah tetap sama.

Ideal dan Implikasinya

Al-Qur‟an dan al-sunnah adalah dua sumber utama yang mengatur

perilaku umat manusia. Keduanya merupakan grand theory yang masih abstrak

sifatnya, untuk dapat menjabarkannya diperlukan keterampilan menerjemahkan

konsep dan proposisi yang diturunkan dari dalil-dalil al-Qur‟an maupun al-Hadits,

menjadi kalimat-kalimat yang operasional, dapat dipahami dan diwujudkan ke dalam bentuk perilaku nyata. Hal seperti ini hanyalah ada pada pribadi Rosul, al-Qur‟an adalah konsep dasarnya dan perilaku Nabi adalah gambaran nyata. Jika kata ideal mengacu pada gambaran seperti ini, maka menurut Sulaiman Nadwi saat sekarang ini jelas tidak akan ada kehidupan yang ideal (Sulaiman Nadwi, 2002:50), yang layak untuk diikuti oleh orang-orang lain. Bagaimana orang lain bisa mengikuti suatu contoh pemberi petunjuk, jika petunjuk itu sendiri tidak pernah digambarkan secara nyata. Sulaiman mensyaratkan bahwa untuk dapat menciptakan sebuah kehidupan yang ideal harus memenuhi syarat-syarat dalam

aspek: historisitas, kekomprehensifan, kesempurnaan, dan praktikalitas.

Mensikapi persoalan tersebut, kita sangat terpanggil untuk dapat berlomba menggapai makna kata ideal agar tetap terkendali dari pemahaman yang bias. Harapan ini mengandung konsekuensi adanya tuntutan untuk menguasai

ilmu-ilmu bantu yang dibutuhkan dalam mengkaji kandungan al-Qur‟an dan

al-Hadits, sehingga dapat memberikan eksplanasi dan deskripsi gejala keagamaan secara jelas dan kongkret terhadap konsep-konsep dari kedua sumber tersebut, yang pada gilirannya akan terpenuhi sosok tampilan yang sesuai dengan kriteria ideal, paling tidak dapat dikatakan ideal pada era kehidupan dalam rentang waktu tertentu.

Berkaitan dengan sikap ideal, subyektifitas pemahaman terhadap konsep agama tak dapat dihindari, namun subyektifitas yang dapat dipertanggungjawabkan

83

secara keilmuan akan melahirkan sebuah obyektifitas. Subyektifitas untuk menjadi remaja ideal tetap saja mengacu pada persyaratan empat unsur tersebut di atas, sesuai dengan kualitas masing-masing penafsir, selanjutnya akan diperoleh hasil tentu saja sangat berbeda dan bervariasi. Tuntutan mempersiapkan remaja ideal

seperti itu akan terpenuhi dengan syarat: pertama, menguasai ilmu-ilmu sumber

keagamaan baik secara tekstual maupun kontekstual. Penguasaan teks-teks sumber agama tanpa mengkorelasikan dengan tuntutan perkembangan budaya masyarakat hanya akan mempersempit ruang gerak agama itu sendiri.

Kedua, menguasai keterampilan kognitif dalam menerjemahkan secara operasional proposisi dan konsep-konsep sumber agama ke dalam bentuk kalimat empiris, sehingga dapat dengan mudah dipahami dan diikuti dengan tindakan nyata

oleh anggota masyarakat. Suatu himbauan yang terbatas hanya billisan dan tidak

tergambar dengan perilaku nyata, sudah tentu masyarakat akan cepat berpaling. Untuk memenuhi sikap seperti itu sudah pasti kebutuhan penguasaan ilmu-ilmu

yang mendukung tidak dapat diabaikan begitu saja. Ketiga, penguasaan terhadap

peralatan teknologi komunikasi adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar, melalui media tersebut ilmu pengetahuan dapat dikembangkan sesuai irama perkembangan.

Walhasil, untuk menghasilkan remaja yang ideal, syaratnya harus pintar. Memiliki peluang waktu untuk mengembangkan diri dan berkhidmah kepada masyarakat yang membutuhkan, dan memiliki sifat integritas tinggi dalam mewujudkan kebenaran. Itu semua berpulang kepada pribadi kita. Inginkah kita memiliki kepribadian yang bermakna? jawabnya hanya anda dan saudara yang tahu. Yang jelas masyarakat menunggu kiprah anda dalam merumuskan sebuah pembaharuan.

84

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DI ERA GLOBAL