• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL MANEK, SVD

E. Spiritualitas Mgr. Gabriel Manek, SVD

4. Hal-hal yang Mempengaruhi Hidup Mgr. Gabriel

Riwayat hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, memberikan gambaran secara sekilas tentang sosok yang menjadi pokok studi ini. Dengan mempelajari riwayat hidupnya kita sekaligus bisa tahu apa saja dan siapa saja yang berada di balik kesuksesannya. Tentu ada banyak hal dan banyak pihak yang berpengaruh terhadap hidup dan perkembangannnya.

Namun kita tidak akan membahas semua hal itu. Cukuplah kalau kita hanya melihat hal-hal yang menurut hemat penulis lebih besar pengaruhnya terhadap perkembangan hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD. Untuk maksud ini Secara sangat kasat mata kita bisa melihat bahwa latar belakang keluarga termasuk lingkungan alam dan sosial dari mana dia datang dan latar belakang iman yang dia anut adalah hal-hal pokok yang amat mempengaruhi hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD. Pada bagian ini akan dibahas secara khusus dua hal terkait latar belakang keluarga dan latar belakang iman Katolik yang dia anut.

a. Keluarga dan Lingkungan Sosial

Mgr. Gabriel Manek, SVD menghayati hidupnya dengan tingkat disiplin diri yang tinggi untuk menjalankan komitmennya, terutama kepada orang-orang kecil. Terkait disiplin kita melihat pengaruh dari figur ayah angkat Raja Don Kaitanus da Costa dan tentu kemudian juga pengaruh dari pendidikan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris yang mempunyai kekhususan untuk mengajar orang memiliki disiplin hidup dan kemandirian. Dari pihak ayah angkat pengaruh latihan tentang disiplin membuat Gabriel Manek menjadi sosok yang kuat dan mencintai kerja keras. Sebagaimana diceritakan Gabriel Manek tidak memanfaatkan status sebagai penghuni kerajaaan yang menikmati berbagai kemudahan tetapi sebaliknnya oleh disiplin yang ditegakkan dia bisa mencintai kerja keras yakni dengan setia membantu ibunya. Selain pendidikan disiplin dan kerja keras yang diajarkan oleh ayah angkat Raja Don Kaitanus da Costa, tentu di dalam dirinya ada juga pengaruh ibu angkat Maria Belak, saudara dan saudari juga semua orang di lingkungan istana dan sekitarnya yang menjalin relasi dengan dia selama dia berada di rumah (Beding, 2000: 8).

Masa kecil Mgr. Gabriel Manek, SVD dan bahkan selama ia hidup sebagai imam dan uskup, ditandai dengan kehidupan ekonomi yang sulit terutama karena tekanan penjajahan. Semasa hidup Mgr. Gabriel Manek, wilayah Timor dijajah oleh Belanda. Tantangan penjajahan, seperti dikisahkan Herman Lalawar dalam tulisannya yang dimuat dalam buku: Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Vriens: 1292-1293), dikenal seorang yang bernama “Atok Serani” sebagai penghubung antara raja dan pastor sebagai penerjemah dari bahasa Belanda ke bahasa Tetun dan sebaliknya. Meski ada penyebaran iman pada waktu itu tetapi dalam iklim penjajahan perbaikan kondisi hidup ke arah lebih baik tentu tidak bisa diharapkan.

Kondisi politik yang berpengaruh pada bidang ekonomi tentu amat berpengaruh secara khusus dalam membentuk pandangan-pandangannya tentang perbudakan dan kemiskinan, kebebasan dan keadilan sosial. Selain itu dari sisi sosio- kultural terlihat perbedaan kelas sosial dan ketidakadilan dalam masyarakat yang amat kuat terutama dalam masyarakat-masyarakat feodal seperti wilayah Timor waktu itu. Tuan-tuan tanah dan raja adalah kelompok kelas atas sementara rakyat jelata adalah kelompok rakyat kebanyakan yang hidupnya susah dan tertindas oleh aturan-aturan feodalisme yang menekan hidup mereka seperti membayar upeti pada raja dan tuan-tuan tanah (Beding, 2000: 10).

b. Latar Belakang Iman Katolik

Sebagaimana sudah diketahui, Mgr. Gabriel Manek semasa kecil, hidup dalam sebuah lingkup keluarga yang taat pada iman Katolik. Devosi kepada Bunda Maria yang dibuat oleh ayah angkatnya memiliki pengaruh pada kehidupan devosi Mgr. Manek kemudian. Bimbingan keluarga yang berlatar belakang iman

Katolik ini mempengaruhi pandangan Mgr. Gabriel Manek tentang sistem nilai yang harus dibangun dan diperjuangkan dalam hidup. Secara sangat jelas, pengaruh ini terlihat dari pilihannya untuk mengenyam pendidikan di seminari yang dia tahu dengan sadar bahwa pendidikan itu akan menghantarnya kelak untuk menjadi imam. Pilihan ini tidak muncul dari sebuah ruang kosong. Ia muncul sebagai sebuah rahmat yang sudah ditanam Tuhan dalam keluarga tempat dia hidup dan dibesarkan (Beding, 2000: 16-25).

Iman tidak pernah lepas dari pengajaran dan pengetahuan yang melatarinya. Secara spesifik apa yang diajarkan kepada Gabriel Manek semenjak masih kecil adalah tentu benih-benih Sabda Allah. Benih-benih Sabda Allah menjadi semakin berakar dalam dirinya melalui Serikat Sabda Allah (SVD) sejak menjadi seminaris hingga ditahbiskan jadi imam Serikat Sabda Allah. Serikat ini turut berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadiannya melalui pengetahuan dan penghayatan nasehat-nasehat Injili. Ia terkenal sebagai pribadi yang bertekun dalam berbagai pendidikan dan pengajaran yang baik. Apa saja yang ia pelajari dan terima selama hidupnya dalam keluarga besar Serikat Sabda Allah, ia wujudnyatakan dalam kata dan perbuatannya. Dengan demikian kisah-kisah biblis seperti kisah ‘orang samaria yang baik hati’ (Luk 10:30-37) dan kisah-kisah sejenis yang diceritakan oleh Yesus sudah pasti menginspirasi pahamnya tentang arti hidup sehingga kemudian dia berhasil menjadi orang samaria yang baik hati bagi orang-orang kecil yang dia perhatikan dan layani. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Sabda yang menjelma menjadi manusia menjadi dasar inspirasinya dalam totalitas penyerahan dirinya bagi karya keselamatan. Sabda Allah menjadi dasar utama dalam menjalani hidup dan karyanya setiap hari. Ia

sungguh peka mendengarkan dan menanggapi suara panggilan Tuhan Yesus Kristus yang menghendakinya untuk menyangkal dirinya, mengangkat salibnya dan mengikuti Dia (Mat 16:24).

Dalam perjalanan sejarah pendidikan Gabriel Manek hingga menjadi imam, pengetahuan tentang iman yang dia peroleh diperdalam. Maka pengaruh Tuhan yang membimbing dia dalam diri orang-orang yang mengajar dan mendidik Gabriel Manek layak disebutkan di sini. Mereka adalah para guru yang mengajarkan kepada dia banyak ilmu humaniora dan juga ilmu Ketuhanan atau Teologi. Dia tentu belajar tidak hanya dari pelajaran yang diajarkan di sekolah tetapi dari relasi sosial dengan teman dan guru-gurunya. Belajar memang merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai. Sebab itu setelah menjadi imam dan uskup situasi sosial dan relasi dengan orang-orang yang dijumpai mulai dari umat yang dilayani, karyawan atau karyawati, rekan imam, juga rekan-rekan uskup menjadi guru kehidupan yang membentuk dia menjadi pribadi yang kuat, beriman dan teguh dalam hal solidaritas dengan orang-orang kecil dan terpinggirkan (Beding, 2000: 16-25).