• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. MENGHIDUPI SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL

A. Naob Menerjemahkan, Menghayati Spiritualitas

Berdasarkan latar belakang berdirinya rumah sakit kusta Naob sebagaimana tertulis pada hal. 65, bahwa karya pelayanan orang sakit kusta di Naob sebagai jawaban atas cita-cita dan warisan pendiri Mgr. Gabriel Manek, maka tentu merupakan suatu hal yang penting untuk berupaya menghayati semangat pendiri terkait dengan pelayanan orang kecil dan terabaikan.

Telah diceritakan pula secara amat jelas tentang siapa itu pendiri Mgr. Gabriel Manek, SVD pada bab dua dari tulisan ini. Spiritualitas, kharisma dan nilai-nilai yang dihayatinya dan dilaksanakan dalam karya pengabdiannya sebagai abdi dan gembala Kristus. Selanjutnya yang mau kita lihat pada bagian ini adalah bagaimana para suster menerjemahkan dan menghayati jiwa/semangat pendiri dalam pelayanan orang sakit kusta di Naob.

Pendiri dalam hidupnya mencerminkan kehidupan Yesus Kristus yang adalah hamba Allah, setia dalam melaksanakan kehendak Bapa-Nya sampai mati di salib (Konst., no. 106). Demikian pula Bunda Maria yang menjadi ibu dan teladan hidupnya, Maria menjadi hamba yang setia melakukan kehendak Tuhan hingga berdiri dengan perkasa di bawah Salib Putranya (Konst., no. 109). Semangat itu pula yang dihayati oleh para suster di Naob. Kerinduan dan cita-cita pendiri agar suster-suster PRR memperhatikan dan melayani orang sakit kusta,

akhirnya terwujud juga dengan hadirnya komunitas PRR di Naob-TTU. Di sana mereka tinggal bersama orang sakit kusta yang paling sederhana, menderita dan terabaikan. Berdasarkan data pasien kusta sebagaimana tertulis pada hal. 72, banyak orang sakit kusta yang dibantu dan dilayani oleh para suster di Rumah Sakit Kusta Naob telah mengalami kesembuhan. Para suster bekerja keras, dengan hati penuh cinta, sebagai ibu kehidupan merangkul mereka, memberikan perhatian secara merata kepada semua penderita yang ada dengan bermacam ragam kebutuhannya (Marsella, 2015: 5).

. Mereka dilatih dan diberi kesadaran untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diterimanya melalui doa-doa harian, sabda dan perayaan Ekaristi yang menjadi sumber kekuatannya. Selain hal-hal rohani yang diberikan, mereka dilatih dengan berbagai ketrampilan lainnya, seperti berkebun dan berternak agar mereka tidak hanya menunggu belas kasih orang tetapi dapat membuat sesuatu untuk kehidupan mereka sendiri. Bagi pasien lepra yang sudah mengalami kesembuhan total boleh kembali ke tengah keluarga dan suster-suster tetap mengunjungi mereka secara rutin. Tetapi ada juga pasien yang sudah sembuh dan tidak ingin kembali ke tengah keluarga bahkan memilih tinggal untuk mengabdi di Komunitas PRR Naob. Para suster tak pernah merasa lelah dan bosannya menolong kaum lepra walaupun kekurangan dana untuk biaya kehidupan mereka. Kepedulian yang tinggi dari para suster tidak mengendorkan semangat pelayanan, tanpa putus asah tetap berjuang mencari jalan untuk bisa membantu dan menyelamatkan sesama yang menderita ini (Marsella, 2015: 8).

Mgr. Gabriel Manek, SVD dalam kotbahnya di Denver tahun 1975, sebagaimana dikutip oleh Sr. Gabriella, berpesan demikian: “Kalau kita

mengenakan sengsara dan kematian Kristus dalam hidup kita sehari-hari maka kita dimampukan untuk mematikan diri dan mengalahkan diri dari kematian dalam keseharian dan memampukan kita menjadi lemah lembut dan bersahabat dengan mereka yang kita layani, yang hidupnya penuh dengan beban dan kesulitan”. Wejangan ini memberikan inspirasi sekaligus meneguhkan para suster agar memiliki kerelaan untuk menderita bersama Kristus demi keselamatan banyak orang. Ini adalah spiritualitas salib yang dihayati pendiri dan meneguhkan para suster dalam pelayanan orang sakit kusta di Naob (Gabriella, 2008a: 84).

Sebuah pengalaman yang dialami sendiri oleh penulis ketika mengunjungi orang sakit kusta bersama Sr. Krisanti, PRR di desa Oenino dapat memberi gambaran tentang usaha keras para suster dalam menghidupi semangat pendiri. Hari itu pada 4 Juni 2015, kami mengunjungi desa Oenino. Desa ini terdiri dari 3 dusun dengan jumlah penduduk + 2.000 jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Banyak penderita kusta tinggal di sini. Bapak Hendrikus kepala suku setempat, membantu kami untuk menjangkau rumah-rumah yang memiliki penderita kusta. Ketika melewati setiap perkampungan Dia hanya berteriak “kusta…kusta….kusta” dan langsung mendapat respon dari rumah-rumah yang dimaksud. Untuk menjangkau tempat ini kami harus berjalan kaki selama dua jam. Sr. Krisanti bercerita bahwa dia dan beberapa suster PRR sering mengunjungi tempat ini. Jalannya licin dan berbatu-batu, kami harus melewati semak-semak yang menakutkan terutama ketika pulang ke rumah bapak Kus pada malam hari. Peristiwa seperti ini sudah menjadi hal yang biasa kata Sr. Krisanti. Tidak jarang mereka melayani 2-3 hari baru kembali ke biara. Sr. Krisanti sangat ramah dan fasih dalam menggunakan bahasa setempat. Dialah yang berusaha

meyakinkan para penderita kusta untuk mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit kusta Naob. Sebagaimana disaksikan penulis, dalam kunjungan itu Sr. Krisanti berhasil meyakinkan 6 orang pasien untuk dirawat di rumah sakit kusta Naob. Sr. Krisanti juga memberi pencerahan kepada mereka terkait penyakit kusta dan penularannya serta bagaimana mengakses obat. Terkait hal terakhir para penderita kusta mengakui bahwa mereka sering ditipu ketika harus mendapatkan obat kusta. Mereka harus membayar sejumlah uang kepada petugas puskesmas setempat yang sedianya harus diberi gratis untuk mereka.

Pengalaman singkat ini melukiskan bahwa semangat pelayanan kepada orang-orang kusta cukup dihidupi oleh para suster di Naob. Para suster berani mengambil resiko dalam menjangkau para penderita kusta di daerah-daerah pedalaman. Satu kerinduan terbesar agar berjumpa dengan orang sakit, meyakinkan mereka dan membawa mereka untuk dirawat di rumah sakit kusta Naob. Ini semua adalah bagian dari pejuangan menghidupi semangat pendiri. Berat tetapi bagi seorang PRR tidak mundur karena menyadari bahwa dalam diri orang-orang sakit dan menderita hadir Kristus yang harus ditolong “ketika aku lapar kamu memberi aku makan, ketika aku haus kamu memberi aku minum, ketika aku sakit kamu mengunjungi aku” (Mat 25:35-36). Itulah sukacita Injil yang dapat diwartakan oleh para suster di Naob.