• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL MANEK, SVD

E. Spiritualitas Mgr. Gabriel Manek, SVD

3. Nilai-nilai yang dihidupi oleh Mgr. Gabriel

3. Nilai-nilai yang dihidupi oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD

Nilai acap kali dilukiskan sebagai daya pendorong manusia untuk melakukan kebaikan dalam hidupnya. Mgr. Gabriel Manek sebagai pribadi yang hakiki menyadari akan pentingnya menghidupkan nilai-nilai sebagai jembatan yang mengantar dia kepada kesempurnaan hidup. Dalam catatan sejarah berdirinya Kongregasi PRR dan lewat kesaksian para sahabatnya, secara jelas dapat kita temukan nilai-nilai yang dihidupi Mgr. Gabriel Manek, SVD.

a. Iman

Mgr. Gabriel Manek, SVD adalah seorang yang beriman teguh dan menaruh seluruh kepercayaannya pada Allah. Ia senantiasa memelihara dan memegang teguh iman yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Sejak kecil ia telah bertumbuh dan berkembang dalam keluarga yang saleh dan kuat dalam beriman akan Allah dan berdevosi kepada Bunda Maria. Kebiasaan-kebiasaan hidup doa yang diajarkan dalam keluarga, dijaga dan dikembangkannya dalam keseharian hidupnya hingga ia bersatu kembali dengan Allah dalam keabadian. Semua bentuk didikan Kristiani yang pernah ia terima baik dalam keluarga dan dalam dunia pendidikan terpancar dalam kesaksian hidupnya setiap hari (Gabriella, 2008a: 124-125).

Bersadarkan kesaksian banyak orang Sr. Gabriella dalam buku: Kisah Peziarahan Mgr. Gabriel Manek, SVD, menulis bahwa Mgr. Gabriel Manek adalah “orang kudus”. Pastor Weber Vikaris paroki Our Lady Carme Denver sebagaimana dikutip Sr. Gabriella (2008a: 124) memberikan kesaksian: ”sekali dalam 100 tahun lahir orang semacam dia, karena itu tidak rugi kita mengenal dia. Ia sungguh: ”a great man and living saint”. Sr. Gabriella juga mengulangi ungkapan Muder Regine: pemimpin umum serikat suster Cabrini Shine; pada tahun 1979 ketika Sr. Gabriella menghadiri Konggres pemimpin biara. Muder Regine bersaksi bahwa: ”Mgr. Gabriel Manek, SVD amat saleh, He is very holy”. Dan masih banyak lagi kesan-kesan para sahabat dan orang-orang kecil yang mengenal lebih dekat kerohanian Uskup Manek (Gabriella, 2008a: 124-125).

Iman dan pengharapan serta kasihnya akan Kristus yang menderita, membuat dia selalu berprinsip bahwa segala penderitaan di dunia ini belum

seberapa karena Kristus jauh lebih menderita dibanding penderitaannya. Hal ini dikatakannya dalam suatu kesempatan ketika diwawancarai oleh Sr. Gabriella, PRR di Denver-Lakewood-USA pada 16 Agustus 1986. Sampai suatu ketika ia mengalami sebuah masalah dan tantangan yang besar melampaui batas kemampuan manusiawinya, ia masih berkata: ”biarkan Allah yang membela saya”, ketika ada orang yang peduli dan mau membuat pembelaan atas dirinya. Ia meletakkan seluruh karyanya dalam penyelenggaraan Ilahi lewat devosinya yang kuat kepada Bunda Maria. Seluruh hidupnya selalu diwarnai dengan doa, tapa dan matiraga. Ia amat yakin bahwa setiap karya yang ia mulai dan lakukan akan tetap hidup dan berhasil karena ada Roh Kudus dan Bunda Maria yang selalu menolongnya (Konst., no. 114).

b. Cinta Kasih

Cinta kasih sebagaimana tampak dalam Rerum Novarum sebagai dasar kepedulian Mgr. Gabriel Manek bagi umatnya. Kekuatan cinta mendorong dia untuk mengabdikan seluruh hidup panggilannya demi kebaikan dan kesejahteraan kaum lemah, miskin, tertindas dan tak berdaya. Pengalaman hidup para murid pertama di masa Gereja Purba menjadi contoh baginya dalam usaha membangun hidup persaudaraan sejati atas dasar saling membantu secara baik. “Tidak ada seorangpun berkekurangan di antara mereka” (Kis 4:34). Cinta kasih menjadi inti kesempurnaan Kristiani dan sintesis hukum baru. Teori kasih tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan kasih. Hukum yang terutama adalah kasih, demikian dikatakan Yesus dengan jelas dalam sabda-Nya. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal

budimu” (Mat 22:37). Atas dasar inilah Mgr. Gabriel Manek mempertaruhkan seluruh hidup dan karyanya untuk mengasihi semua orang terlebih mereka yang hidupnya kurang beruntung, lemah, miskin, tertindas dan dihina. Uskup Manek selama hidupnya berjuang untuk mencintai dan merangkul semua orang dari golongan manapun. Dalam usaha mengasihi tidak ada perbedaan suku, ras ataupun golongan (Gabriella, 2008a: 214).

Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa cinta kasih Kristiani sungguh berakar dalam peristiwa Ekaristi. Cinta akan sesama mengungkapkan keikutsertaan seseorang dalam Kerajaan Yesus Kristus, dalam kuasa Putera Manusia ”yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” (Mrk 10:45). Cinta kasih merupakan karunia tertinggi yang dianugerahkan Roh Kudus untuk membangun iman umat. Karena itu cinta kasih sesungguhnya menghidupkan dan mendukung setiap tindakan kesetiakawanan yang dilakukan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan sesama yang sangat mendesak. Cinta kasih bersandarkan ketulusan hati untuk menyangkal diri demi kesejahteraan orang lain dengan menyadari kehadiran Kristus dalam diri sesama. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Paus Paulus VI ketika membahas pengertian-pengertian praktis mengenai sabda cinta kasih dalam hidup bermasyarakat. Beliau mengatakan bahwa dalam zaman ini Vatikan II dengan kuat menegaskan kembali tugas panggilan Gereja, dengan kesetiaan kepada Tuhan, untuk mencintai semua yang berduka dengan cara apapun serta mengakui bahwa dalam diri orang miskin dan menderita kita menyerupai Kristus yang miskin dan menderita dan sedapat-dapatnya kita membebaskan mereka dari kekurangan dengan berusaha keras melayani Kristus dalam diri mereka (OA 5).

c. Keadilan

Keadilan merupakan salah satu nilai yang amat penting diperjuangkan oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD selama tugas kegembalaannya, terutama ketika ia menjabat sebagai salah satu anggota NIT. Meskipun ada banyak kesibukan tugas yang berat dalam pendampingan iman umatnya, ia masih meluangkan waktunya untuk terlibat dalam kehidupan politik menjadi anggota parlemen Negara Indonesia bagian Timur (NIT). Ia rela meninggalkan umatnya dalam beberapa kesempatan untuk menghadiri rapat di Makasar. Tujuannya tidak lain hanya demi menyuarakan harapan masyarakat kecil yang ia cintai di daerah-daerah terpencil Nusa Tenggara Timur. Ia memperjuangkan nasih daerah-daerah terpencil yang kurang mendapatkan perhatian dan pelayanan dari Negara. Ia menyadari betul bahwa keadilan merupakan nilai moral yang membangun semua hubungan hidup bersama dalam setiap bidang kehidupan, antara lain: dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan agama (Beding, 2000: 35).

d. Kebenaran

Sebuah kebenaran adalah dambaan semua orang, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan atau masalah dalam hidup. Untuk menentukan kebenaran perlu sebuah pemahaman kritis. Bagaimana orang mengkritisi sebuah persoalan sehingga tidak mudah terjebak dengan berbagai hal yang tidak benar atau kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang melawan kebenaran. Potret kehidupan manusia zaman ini, tidak jarang diwarnai oleh kegelapan, pertikaian dan permusuhan, penipuan dan ketidakjujuran, tidak mengakui kesalahan yang menimbulkan banyak orang menderita, menyalah-nyalahkan orang yang jujur dan

benar demi keamanan diri sendiri. Bertindak benar dan memperjuangkan kebenaran di tengah situasi kegelapan hati nurani seperti ini merupakan hal yang tidak mudah. Orang yang berani bertindak dan memperjuangkan kebenaran di tengah situasi kegelapan adalah orang yang benar-benar menghayati makna sebuah kemartiran. Bahwa demi kebenaran segala yang menguntungkan bagi diri sendiri disingkirkan jauh-jauh. Menurut kesaksian Hadjon seperti yang telah diceritakan sebelumnya bahwa ketika Mgr. Gabriel Manek mendengar cerita tentang ceramah Menteri Pendidikan yang menyinggung hal Katolik sebagai “konservatif tidak progresif revolusioner, menjalankan politik Nasakom dengan tidak semestinya sehingga belum menjadi Pancasila sejati”. Beliau sangat marah dan tersinggung. Beliau meminta tokoh-tokoh Katolik dalam rapat singkat untuk bereaksi menanggapi ceramah itu secara terbuka. Hal ini menunjukkan kepekaan naluri Mgr. Gabriel Manek terhadap pemerintah yang tidak benar dan sifatnya merendahkan agama, untuk itu beliau membantah bahwa hal itu tidak benar dan segera mengambil sikap tegas untuk memberi tanggapan (Gabriella, 2008a: 209).

e. Kerendahan Hati

Teladan kerendahan hati merupakan suatu sikap yang paling pokok dalam praktek hidup sosial kemanusiaan. Sikap rendah hati adalah perpaduan antara sikap hati yang mau menempatkan orang lain lebih dari diriku, sekaligus disertai dengan tindakan tangan yang melayani dengan ringan dan tulus. Melayani dengan rendah hati berarti siap menjadi orang nomor dua atau orang dibalik layar, dengan kata lain siap untuk tidak diperhitungkan peranannya. Yesus mengajarkan kepada para muridnya: “Apa bila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan

kepadamu, hendaklah kamu berkata: kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk 17:10).

Mgr. Gabriel Manek adalah pribadi yang rendah hati dan lebih mengutamakan orang lain. Baginya orang lain adalah tamu istimewa yang pantas untuk disambut dan dilayani dengan baik. Kepada orang-orang dekatnya sebagaimana dikutip oleh Sr. Gabriella, bapak uskup selalu berpesan: ”Kamu harus rendah hati. Jika engkau tidak rendah hati, Allah sendiri akan merendahkan engkau” (Gabriella, 2008a: 126). Hidupnya benar-benar menjadi sebuah persembahan yang utuh kepada pelayanan sesama terutama bagi yang miskin dan menderita. Apapun yang dipikirkannya baik demi kesejateraan sesamanya, ia lakukan tanpa memikirkan rasa malu atau bakal mendatangkan bahaya bagi hidupnya. Segala pikiran, perasaan dan kehendak hatinya terarah hanya demi terlaksananya kehendak Allah. Ia juga seorang yang pengampun dan mudah melupakan kesalahan orang lain. Ketika ia mengalami banyak masalah pribadi, difitnah ataupun dihina, ia tidak pernah membuat pembelaan atas dirinya, ia selalu berkata; “biarkan Tuhan yang membela saya” (Gabriella, 2008a: 238).

f. Persaudaraan

Tentang kasih persaudaraan, Yesus dengan sangat jelas memberikan nasehat-Nya demikian: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasehatmu engkau telah mendapatnya kembali” (Mat 18:15-20). Sebuah amanat yang sangat luhur dalam membangun sebuah komunitas persaudaraan atau hidup bersama sebagai saudara. Amanat tentang kasih persaudaraan sangat mudah diucapkan tetapi dalam kenyataan hidup

bersama sulit untuk dilaksanakan. Apalagi jika merasa tersakiti dan mengalami kerugian karena nama baik diceritakan, menjadi bahan gosip dan tutur litani keburukan yang terus berkembang. Romo Fransiskus Emanuel da Santo, Pr dalam kotbahnya pada 9 Agustus 2013 dalam rangka Novena menjelang pesta 100 tahun kelahiran pendiri menceriterakan pengalaman Romo Yosef Lalu, Pr., ketika beberapa waktu ada bersama Mgr. Gabriel Manek, SVD di Ende, beliau memberi kesaksian bahwa: “Mgr. Gabriel Manek adalah orang yang paling tidak suka kalau orang membicarakan masalah confrater yang mengalami masalah atau kesulitan dalam hidup panggilannya di meja makan. Contohnya masalah persahabatan dengan lawan jenis. Beliau biasanya tidak satu katapun yang keluar dari mulutnya. Beliau lebih memilih sikap diam!!! Itu hal yang luar biasa” (Gabriella, 2008a: 239).

Begitu pentingnya menjaga api kasih persaudaraan sampai beliau merasa tidak tega membicarakan kelemahan sesamanya. “Diam” tidak berarti mengamini apa yang dianggap buruk tetapi memelihara kasih persaudaraan dan pengampunan jauh lebih besar dari pada setitik tinta hitam yang mengotori sesamanya. Di dalam diamnya, ia selalu mendoakan sesamanya yang dinilai buruk, bahkan dia tidak segan-segan memberi nasehat kepada confraternya untuk tetap menjaga api kasih yang berkobar dalam komunitasnya. Seburuk apapun saudaranya ia tidak mudah mengambil sikap menjauhi apalagi menghakimi atau menyebar gosip murahan. Baginya tidak patut menjadikan masalah atau kegelapan sesama menjadi menu cerita yang paling heboh atau sebagai gosip murahan yang efeknya hanya menyudutkan atau memojokkan sesama. Adalah lebih bermakna jika dalam kasih persaudaraan ada saling keterbukaan, saling membantu, saling menghargai dan saling menasehati sebagai saudara dan saling mendoakan (Gabriella, 2008a: 240).

g. Penghargaan terhadap Martabat Hidup Manusia.

Keterpanggilan Mgr. Gabriel Manek, SVD menjadi perpanjangan tangan Tuhan pertama-tama misi utamanya adalah melayani Allah yang hadir dalam setiap pribadi yang ia jumpai dalam hidupnya. Pribadi itu adalah sesamanya manusia. Bapak uskup begitu memperhitungkan keluhuran martabat setiap pribadi sehingga ia selalu menasehatkan sebagaimana dikutip oleh Sr. Gabriella: “Taruhlah seluruh dirimu, hatimu, dedikasimu, dan hadirlah dengan seluruh dirimu dalam setiap pekerjaan yang sedang dilakukan. Layanilah setiap sesama dengan sepenuh hatimu seakan dia sendirilah di dunia ini yang kau layani karena itulah matiragamu dan disitu pula letak pengorbanan dan tapamu” (Gabriella, 2008a: 89).

Apa yang dinasehatkannya ia sendiri telah menunjukkan dalam kenyataan hidupnya, bagaimana ia mempertaruhkan seluruh pengabdiannya demi keluhuran martabat manusia yang adalah sesamanya. Ia berjuang mengangkat martabat setiap jiwa yang merana, tersisikan dan menderita. Ia berani meletakkan mahkota kerajaannya sebagai putra raja, dan memposisikan dirinya sebagai saudara kaum miskin. Ia bersahabat dan melayani semua orang tanpa perbedaan karena menyadari bahwa semua kita sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.