• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. MENGHIDUPI SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL

C. Naob dan Gerak Kongregasi

Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang hidup bakti 25 Maret 1996 bagi para religius telah menyapa sekian banyak kongregasi atau tarekat-tarekat hidup bakti. Hidup bakti merupakan kharisma khusus, tidak berada di pinggiran hidup Gereja melainkan justru mengambil tempat yang layak dalam tubuh Gereja. Seruan ini ditujukan untuk semua tarekat hidup bakti termasuk Kongregasi Puteri Reinha Rosari yang telah ikut ambil bagian dalam misi Yesus Kristus sebagai sebuah tarekat religius dan misioner. Hidup religius berarti hidup secara total berdedikasi kepada Allah, dengan berkomitmen kuat pada pelayanan Gereja dan semua orang (LG 44). Demikian diperjelas oleh Darminta dalam buku: Religius dan Evangelisasi, bahwa seorang religius haruslah merupakan orang yang memiliki keyakinan akan nilai Injil yang diwartakan, sekaligus yakin pula bahwa dengan itu mampu menjawab kegelisahan manusia masa kini” (Darminta, 1997: 17). Kegelisahan itu pertama-tama juga ditemukan dalam diri orang-orang miskin, menderita dan terabaikan. Berdasarkan kharisma pendiri, semua anggota tarekat religius PRR sebagai bagian dari tubuh Gereja, ikut merasakan suka duka dan kegelisahan Gereja terutama dalam tubuh Gereja yang dilanda kemiskinan dan penderitaan, mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan disepelekan.

Kongregasi PRR sejak berdirinya hingga saat ini memiliki misi utama untuk pelayanan orang-orang kecil, miskin dan menderita seperti apa yang telah dicita-citakan oleh pendiri (Konst., no. 104). Bidang-bidang karya yang diemban kongregasi selama ini adalah: pendidikan, kesehatan, pastoral dan karya sosial kemanusiaan. Sebagai bagian dari kharisma khusus Gereja yang tidak berada dipinggiran Gereja melainkan berada di tengah dan dalam tubuh Gereja,

Kongregasi PRR membawa Gereja sebagai ibu kepada mereka yang membutuhkan pelayanan. Karena itu pada bagian ini, akan ditelaah secara khusus bagaimana Kongregasi sebagai sebuah serikat religus dalam Gereja menjalankan misinya terutama menjadi pusat gerak pelayanan orang sakit kusta di Naob.

Bagaimana kharisma pendiri ini dapat hidup terus? Siapa yang harus menghidupinya kalau bukan semua orang yang telah mengenal dia? Dari rekam jejak Tarekat PRR sebagai tarekat yang didirikan oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD, terlihat bahwa kongregasi ini telah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi kharisma pendirinya. Beberapa hal kongkrit dapat disebutkan di sini sebagai bagian dari usaha kongregasi ini untuk menghidupi semangat bapak pendiri. Pertama: dalam rangka pembinaan, setiap calon dibekali dengan semangat keterbukaan untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan sesama. Setiap calon harus bisa menerima sesama suster yang hidup dengan keterbatasannya. Sikap ini penting karena dengan sikap ini setiap anggota PRR akan dapat lebih terbuka juga untuk masuk ke dalam situasi-situasi pastoral yang menantang. Hal ini juga telah sesuai dengan arah hidup kongregasi yang termuat dalam konstitusi kongregasi no. 333 yakni: “para novis diajak untuk mendalami penghayatan panggilan dan sekaligus mengenal kharisma dan tujuan tarekat. Novis belajar mengenai tugas perutusan tarekat serta mendalami dasar-dasar dan konsekuensi perutusan lewat karya-karya pastoral dan memberi perhatian khusus kepada pelayanan orang kecil.” Kedua: dalam Kapitel Kongregasi PRR VI juga dibicarakan tentang tema keterbukaan ini. Kapitel ini menegaskan bahwa “…sikap keterbukaan, kesiapan serta kepekaan PRR untuk selalu tanggap terhadap berbagai kebutuhan masyarakat luas menuntut dari dalam dirinya

keterbukaaan untuk berdialog…” (Konst., no. 113). Hal ini disadari bahwa melalui dialog kita dapat melihat, menemukan dan memperoleh kekayaan Firman Allah pada pelbagai agama, budaya, tradisi yang dimiliki oleh orang lain. Lebih dari itu Kapitel Umum VI menegaskan agar setiap anggota PRR memfokuskan diri pada keterbukaan terhadap orang-orang kecil dan miskin. Ketiga: dalam mewujudkan semua hal yang tertuang dalam dokumen kongregasi sebagai arah hidup, saat ini PRR sebagai sebuah tarekat lokal telah meluaskan misinya ke luar keuskupan bahkan ke luar negeri. Kini dalam jumlah anggota yang masih sangat terbatas, kongregasi telah mengambil bagian dalam pelayanan sosial di sebagian belahan dunia seperti di Indonesia, Afrika, Italia, Timor Leste dan Belgia. Di Indonesia Kongregasi PPR sudah tersebar dan berkarya di 23 keuskupan dengan 54 komunitas. Sebagian besar adalah karya sosial dan kesehatan.

Terkait pelayanan orang sakit kusta di Naob, kongregasi mengusahakan tenaga-tenaga khusus seperti tenaga perawat, dokter dan tenaga medis lainnya. Kongregasi telah mengirim sekian banyak suster untuk studi khusus bagian kesehatan. Kongregasi juga membiayai tenaga-tenaga awam yang bekerjama sama dengan para suster di rumah sakit kusta untuk melanjutkan studi kesehatan. Dari tahun ke tahun kongregasi berusaha melengkapi fasilitas yang semakin menunjang karya di Naob seperti pembangunan fisik, gedung dan kelengkapan sarana prasana rumah sakit (Marsella, 2015: 1-3).

Kongregasi mempunyai satu gerakan khusus yang melibatkan seluruh anggota kongregasi. Kongregasi menghimbau seluruh anggota untuk terlibat dalam kegiatan usaha dana demi menunjang kebutuhan hidup orang-orang kecil. Kongregasi cukup bekerja keras dalam memikirkan kelangsungan hidup orang

sakit kusta dan karya pelayanan sosial lainnya. Kegiatan terbesar yang dibuat rutin setiap tahun adalah gerakan penjualan kalender liturgi, majalah misi rosari, aqua viva (buku renungan harian) dan penjualan benda-benda rohani seperti rosario, lilin, salib, dan lain-lain. Kegiatan ini sangat mendukung kelangsungan karya-karya sosial kongregasi. Seluruh anggota secara tidak langsung turut memberikan perhatian yang khas bagi pelayanan orang-orang kecil. Saat ini Kongregasi PRR tidak saja sedang melayani orang-orang pinggiran terutama orang sakit kusta di RS Kusta Sta. Maria Pembantu Abadi Naob-TTU, tetapi kini sudah memekarkan sayap pelayanan orang sakit kusta di pelosok Papua, tepatnya di Keuskupan Agats-Wasior (Simprosa, 2015: 27).

Pada tahun 2014 telah dibuka sebuah komunitas baru di Mamugu Keuskupan Agats-Papua untuk menanggapi kebutuhan umat yang tersingkirkan akibat menderita penyakit ini. Sebuah wilayah yang sangat jauh, sulit, terpencil dan sangat terbelakang. Untuk sampai di tempat para penduduk lepra yang sangat terisolir ini hanya bisa ditempuh dengan motor laut kurang lebih 4 jam melewati hutan belantara dan arum jeram. Medannya sungguh berat dan semua serba sulit baik air, makanan dan segala kebutuhan lainnya, termasuk komunikasi. Semuanya hanya bisa menggunakan bahasa isyarat. Kendatipun demikian dengan cinta yang berapi-api para suster pioner berusaha menyesuaikan diri dan berdamai dengan segala situasi yang ada (Simprosa, 2015: 27).

Keadaan umat sangat memprihatinkan, gizi menjadi masalah yang urgen. Bagaimana mungkin memberi obat tanpa makan, sedangkan mereka sendiri belum mengerti tentang sakit penyakit itu karena tak adanya pendidikan dan pendampingan? Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, semua dimulai dari

nol. Para suster memberi contoh melalui cara hidup dan cara kerja, menanam sayur, memasak, membagi-bagi makanan kepada semua yang datang dan makan bersama. Mereka tidak hanya dilayani dalam hal kesehatan (pengobatan) tetapi juga diberi makan. Para suster yang menjadi pionir di sana sungguh hadir sebagai ibu kehidupan bagi orang sakit kusta. Kini karya ini sedang dalam proses pelayanan darurat, dalam bentuk poliklinik kecil sambil diusahakan sebuah lembaga kesehatan yang memadai berkat kerja sama dengan pemerintah dan Gereja setempat (Simprosa, 2015: 27).