• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. SPIRITUALITAS MGR. GABRIEL MANEK, SVD

B. Riwayat Hidup Mgr. Gabriel Manek, SVD

Mgr. Gabriel Manek, SVD adalah putera bungsu dari empat bersaudara. Ayah dan ibunya bernama Lay Piang Siu dan Liu Keu Moy. Ia dilahirkan di sebuah dusun kecil bernama Ailomea-Lahurus pada 18 Agustus 1913. Hanya dalam tempo satu hari tepatnya pada 19 Agustus 1913, ia dibaptis dengan nama: Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek (Lay Tjhong Sie). Imam yang membaptisnya waktu itu adalah P. Arnoldus Verstraelen, SVD dan bapak saksi permandian bernama Yohanes Leki. Dalam usia yang masih sangat kecil ibunya meninggal

karena sakit kanker, ketika itu ayahnya berada di Tiongkok. Gabriel Manek kecil bersama ketiga saudaranya tinggal sendirian. Gabriel Manek kecil ini kemudian diambil sebagai anak angkat oleh mama kecilnya Maria Belak, istri dari Raja Don Kaitanus da Costa, raja kerajaan Taifeto, Belu Utara (Beding, 2000: 7).

Orang tua angkat ini mendidik Manek dengan baik hingga dewasa. Lingkungan hidupnya berada di antara kalangan keluarga raja di zaman itu. Ayah angkatnya adalah putera raja Oekusi yang waktu itu merupakan bekas jajahan Portugal. Wilayah jajahan ini dipengaruhi juga dari sisi agama penjajah waktu itu yakni agama Katolik. Karena itu Raja Don Kaitanus menjadi juga pewaris tradisi Katolik. Ia seorang raja yang mencintai kerja keras dan disiplin. Dua hal ini yang menjadi ciri pendidikan bagi keluarga dan masyarakatnya. Dalam praktik imannya ia sungguh percaya kepada Yesus Kristus. Ia juga berdevosi kepada Bunda Maria sebagai Bunda Gereja. Semua hal yang dipandangnya baik, ia ajarkan kepada keluarganya termasuk kepada anak angkatnya Manek kecil.

1. Masa Kecil Gabriel Manek

Manek dikenal sebagai anak penurut. Hal ini tentu sesuai dengan arti kata ‘manek’ dalam bahasa lokal. Kata ‘manek’ artinya terlalu penurut dan begitulah saudara-saudara Manek mengenalnya dalam kalangan keluarga raja. Dia hidup bersama tiga saudara; dua perempuan dan satu laki-laki. Manek termasuk anak paling muda. Dia sangat dekat dengan ibunya dan rajin membantu sang ibu dalam berbagai pekerjaan rumah tangga. Ia memperbaiki pancuran air, memetik buah kelapa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Meskipun sebagai putera raja, Manek tidak memperlihatkan atau menempatkan dirinya sebagai anak

manja yang suka dilayani oleh para pelayan. Ia selalu memperlihatkan sikap hidup polos dan sederhana. Masa kecil Manek tidak dilewati di wilayah istana saja, tetapi ia sering bertemu dan bermain bersama anak-anak kampung yang sederhana hidupnya di sekitar istana raja (Beding, 2000: 12).

Terkait pendidikan formal, Manek disekolahkan di SR (Sekolah Rakyat) bersama kakaknya Dona Wilhelmina da Costa di desa Halelulik tahun 1920. Semasa sekolah mereka tinggal di asrama yang dikelola oleh Misi Katolik. Gabriel Manek dikenal sebagai murid cerdas, karena itu suatu waktu yakni tahun 1920 ia lompat kelas dari kelas satu ke kelas tiga. Enam tahun kemudian Gabriel Manek melanjutkan pendidikannya ke Schakelschool, tahun 1926. Schakelschool adalah sekolah yang disediakan pemerintahan Kolonial Belanda sebagai lanjutan dari SR. Sekolah ini hanya untuk anak-anak dari kalangan atas yang akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah milik Belanda (Beding, 2000: 12).

2. Pendidikan di Seminari

Seminari yang ada pada masa itu hanya satu. Itupun letaknya jauh yakni di Flores tepatnya di Wilayah Selatan Kabupaten Sikka-Maumere saat ini, di sebuah kampung yang kemudian menjadi nama Kabupaten yakni Sikka. Seminari itu baru dibuka dan Gabriel Manek termasuk salah satu di antara murid-murid angkatan awal seminari pada tahun 1927-1929. Di seminari ini Gabriel Manek mulai belajar bahasa Latin dan bahasa Belanda, juga tentunya memperdalam pelajaran Agama Katolik yang dianutnya.

Situasi pendidikan waktu itu, meski wilayahnya masih dalam Koloni Belanda tetapi bahasa pengantar dalam pelajaran masih menggunakan bahasa Melayu.

Pimpinan seminari waktu itu adalah P. Cornelissen, SVD. Bahasa melayu adalah bahasa yang umum dipakai untuk semua sekolah sedangkan bahasa Belanda dipakai di kalangan pegawai tinggi sekaligus menjadi bahasa dalam perundang-undangan, surat kabar, majalah dan buku-buku ilmu pengetahuan. Bahasa Belanda sangat perlu karena saat itu dijadikan sebagai bahasa pengantar untuk mempelajari bahasa klasik seperti bahasa Latin. Para seminaris diwajibkan mempelajari bahasa Belanda agar selanjutnya bisa belajar bahasa Latin. Gabriel Manek tekun mempelajari bahasa Belanda sehingga pada akhirnya ia menguasai dan sangat fasih berbahasa Belanda (Beding, 2000: 16).

Tahun yang ketiga yakni tahun 1929, Manek melanjutkan pendidikan ke Seminari Mataloko. Waktu itu terjadi satu perubahan dalam sistem pendidikan yakni semua sekolah membuka tahun ajaran tidak lagi pada bulan Januari melainkan pada bulan Agustus. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tahun pelajaran waktu itu yakni tahun 1928-1929, harus diperpanjang setengah tahun untuk semua kelas. Satu hal yang menjadi kekhususan saat itu yakni aturan ini tidak berlaku untuk seminaris Gabriel Manek. Ia diberi kesempatan setengah tahun untuk mengenyam pendidikan di kelas III dan pada tahun ajaran baru ia lompat kelas IV karena dianggap sangat cerdas melampaui kecerdasan kakak-kakak tingkatnya. Akhirnya ia bergabung dengan angkatan pertama di kelas IV. Seiring berjalannya waktu, banyak angkatan pertama yang meninggalkan seminari karena macam-macam alasan hingga menyisakan dua seminaris yang bertahan yakni Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale (Beding, 2000:18).

Pada tahun ajaran baru, bulan Agustus tahun 1929, jumlah siswa seminari bertambah menjadi 30 orang. Gabriel Manek mempunyai banyak teman karena terkenal sebagai seminaris yang ceria. Ia suka membuat cerita humor dengan

menggunakan bahasa asal teman-temannya. Bakatnya untuk mempelajari banyak bahasa sangat menonjol. Sebagai siswa yang berbakat dan pandai dalam berbahasa Belanda, ketika upacara pembukaan seminari di Todabelu, Manek diberi kepercayaan untuk memberikan kata sambutan dalam bahasa Belanda. Gabriel Manek mendapatkan pujian yang luar biasa dari Assistant-Resident Belanda. Selain menguasai banyak bahasa, Manek diakui sebagai seminaris yang baik, disiplin, rajin dan tekun dalam berdoa. Ia juga menguasai beberapa alat musik seperti harmonika, seruling dan biola (Beding, 2000: 19).

Setelah mengenyam pendidikan selama 6 tahun, di Seminari Mataloko, tiba saatnya Gabriel Manek mengutarakan niatnya untuk menjadi calon imam SVD. Sebab itu dia dianjurkan untuk membuat permohonan untuk masuk di Novisiat SVD di Todabelu. Pada 16 Oktober 1934 Gabriel Manek resmi diterima sebagai Novis SVD. Novisiat adalah masa untuk pembaharuan diri supaya mulai berusaha bertumbuh menjadi seorang religius atau rohaniwan. Niatnya menjadi imam Tuhan sangat kuat, hal itu terlihat dari semangat dan keseriusannya menjalani masa pembinaan di Novisiat. Menurut ketentuan Serikat Sabda Allah, sesudah berakhir masa dua tahun Novisiat, setiap frater mengajukan permohonan untuk mengikrarkan kaul-kaul pertama. Maka atas permohonannya, Frater Gabriel Manek diterima untuk mengikrarkan kaul pertama pada 17 Januari 1936. Untuk pertama kali, terdengar di wilayah ini bahwa calon imam mengikrarkan Tri Kaulnya yakni kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan sesuai dengan peraturan konstitusi Serikat Sabda Allah. Kaul-kaul ini akan selalu diperbaharui setiap tahun hingga 6 kali sebelum mengikrarkan kaul kekal (Beding, 2000: 23).

Pada 15 Agustus 1940 Frater Gabriel Manek akhirnya dinilai layak dan berhasil sehingga dapat mengikrarkan kaul kekal. Dengan demikian dia resmi

menjadi anggota penuh Serikat Sabda Allah. Frater Manek kemudian diterima untuk ditabiskan menjadi imam Tuhan bersama Frater Karolus Kale Bale pada 28 Januari 1941 oleh Mgr. Leven, SVD di Nita-Maumere. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang amat besar dan mengagumkan di wilayah ini karena imam-imam pertama dari kalangan pribumi ditahbiskan. Hal ini juga menjadi kesempatan syukur di wilayah-wilayah tempat mereka berasal sebab setelah ditahbiskan mereka diijinkan untuk kembali ke tempat asal masing-masing dan mengadakan perayaan syukur bersama keluarga dan umat (Beding, 2000: 24).

Pada 25 April 1951, Mgr. Gabriel Manek, SVD ditahbiskan menjadi Uskup Tituler Alinda dan Vikaris Apostolik Larantuka melalui tangan Mgr. Hendrikus Leven, SVD. Dalam perjalanan waktu Mgr.Gabriel Manek, SVD melihat dan membaca kebutuhan yang paling mendesak akan pendalaman iman umat, serta peningkatan hidup sebagai umat beriman, namun ketiadaan tenaga pelayan. Mgr. Gabriel Manek, SVD kemudian mendirikan Kongregasi Puteri Reinha Rosari pada 15 Agustus 1958 sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas anugerah iman dan keselamatan bagi umat atau Gereja di Nusantara. Pelindung utama tarekat ini adalah Maria Ratu Rosari. Nama ini merupakan warisan penghormatan kepada Bunda Maria sejak berabad-abad lamanya dalam umat. Maria dalam sejarah hidup iman umat telah menjadi pelindung dan penyerta umat setempat (Beding, 2000: 65).